LILIANAEntah berapa lama aku duduk meringkuk di ranjang keras itu, tubuhku kaku dan pegal. Tali kasar yang mengikat pergelangan tangan dan kakiku terasa semakin menyakitkan setiap kali aku mencoba bergerak. Udara di dalam pondok kayu ini dingin, menusuk tulang, dan semakin menambah perasaan putus asa yang menggerogoti hatiku.Aku benar-benar bosan, tapi yang lebih dominan adalah rasa kesal yang membakar dalam dada.Siang tadi, seorang pria bertubuh kekar mengantarkan makanan. Ia juga menawariku bantuan untuk ke toilet, dengan sikap dingin dan formal seperti robot. Aku menolak keduanya. Aku tidak ingin bergantung pada siapapun di tempat ini, apalagi menunjukkan kelemahan.Dia mengabaikan semua rengekanku untuk membebaskanku. Wajahnya datar, bahkan saat aku berusaha memohon ataupun mengancam. Sejak upayaku kabur semalam — dengan mencuri salah satu kuda mereka — semua orang di tempat ini tampaknya jauh lebih berhati-hati.Aku mendesah pelan, menahan rasa frustrasi.Ketika malam tiba dan
LILIANA LENNOXKubuka mataku perlahan. Pagi rasanya masih jauh dari harapan. Tubuhku terasa berat, tapi mataku tak mau terpejam lebih lama lagi. Aku masih syok dan juga sangat lelah setelah melewati malam yang panjang dan menyiksa. Malam yang benar-benar membuka kesadaranku, akan betapa bodohnya aku selama ini! Bahkan bau alkohol masih tersisa di udara, bercampur dengan aroma parfum Ethan yang maskulin dan membuatku merinding.Dengan kesadaran penuh, aku keluar dari selimut dan meraih gaun tidurku yang terserak di lantai. Aku berjalan dengan hati-hati menuju ke jendela setinggi langit-langit, membuka tirainya, dan menatap pemandangan lampu berwarna-warni di bawah sana."Celestia," bisikku pada diri sendiri. "Kota yang tak pernah tidur. Sebentar lagi matahari terbit. Berharap aku akan hilang oleh sinarnya..."Solaris Heights adalah kawasan vila yang hanya dihuni oleh kalangan elite di Celestia, telah menjadi sangkar emasku sejak sebulan yang lalu. Aku terkurung di balik pagar besi ting
LILIANAAstaga, ada apa denganku? Seharusnya aku benci dia! Setelah sebulan menikah, baru tadi malam dia menunjukkan wajahnya dan menyentuhku! Mungkin karena efek alkohol atau entah apa.Ethan menenggelamkan wajahnya ke lekuk leherku yang licin karena keringat. Aku tidak berdaya. Bahkan bersuara pun aku terlalu takut. Rambut panjangku berjuntaian di antara belahan dadaku dan menguarkan bau shampo yang begitu wangi dan lembut.Dia melakukan percintaan yang paling primitif. Dengan kekuatannya, Ethan seolah tidak terbendung. Sedangkan aku hanya bisa menangkap bau alkohol yang keluar dari tubuhnya. Aku hanya terus melakukan apa yang dia perintahkan dan tidak berdaya. Tanganku hanya bisa mengepal kuat. Kuku-kukuku yang sebelumnya dicat warna merah, kini mencengkeram kuat ke telapak tanganku hingga berdarah.Ethan terus mencumbuku bolak-balik. Dia memang tidak bisa berjalan, tapi kejantanannya sama sekali tidak ada cela!Aku hanya merasakan kesakitan dan kehancuran yang tidak berakhir. Pada
LILIANAEthan tersenyum dingin. Sebelum ia berbalik dan pergi, suara tapak sepatu terdengar dari pintu. Kami berdua menoleh. Dan di sana, berdiri seorang wanita dengan wajah muram, kontras dengan pakaiannya yang anggun dan menawan. Sophia Lennox, wanita yang menjadi alasan semua ini terjadi, berdiri di ambang pintu ditemani oleh seorang kepala pelayan.Sophia menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Lili, aku memperlakukanmu seperti saudara selama ini. Bagaimana kau bisa mencuri pria yang seharusnya menjadi suamiku saat aku sedang berjuang untuk perusahaan kita di cabang yang jauh dari kota?" suaranya penuh kekecewaan."Sophia, kau salah. Aku tidak pernah..." Aku mencoba membela diri, tetapi tubuhku kadung gemetar hebat. Kedatangan Sophia secara tiba-tiba benar-benar membuatku kehilangan kata-kata.Ayahku, Duran Lennox mencampakkan ibuku yang seorang pelayan setelah dia menemukan Alina, wanita yang dijodohkan untuknya. Bersatunya ayahku dan Alina melahirkan Sophia setahun setelah aku lahi
LILIANADi luar kamar, Sophia duduk di ruang tamu, menikmati secangkir the yang disiapkan pelayan. Ketika aku berjalan melewatinya, ia memandangku dengan tatapan dingin. Kukepalkan tangaku kuat-kuat. Aku tahu dia mencoba membuatku terlihat buruk dan ingin menjadikanku tersangka untuk segala hal yang tidak pernah aku lakukan."Kau seharusnya tahu kapan harus menyerah, Lili," katanya tanpa menoleh.Aku berhenti sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan namun tegas, "Aku tidak pernah mencoba merebut apa pun darimu, Sophia. Tapi aku juga tidak akan membiarkan diriku diinjak-injak. Ah, dan aku juga ingat bagaimana caramu menyebut-nyebut dengan jijik 'pria tua dan cacat' itu dalam setiap kesempatan jamuan the dengan para sahabatmu!"Sophia tersenyum tipis, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Aku melanjutkan langkahku, meninggalkan vila dengan perasaan campur aduk. Entah kenapa kata-kata ibu tiriku lagi-lagi mengiringi langkahku."Perusahaan kita sedang terancam! Banyak karyawan yang harus ki
LILIANADarahku berdesir kencang, napasku tersengal, dan tubuhku membeku dalam kehangatan yang aneh. Tidak lama aku duduk di pangkuan Ethan yang keras dan berotot. Entah bagaimana aku memikirkan semua itu.Apakah dia berolahraga? Ethan bahkan tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya, lalu bagaimana dia melatih otot-otot kakinya sampai sekeras dan seenak ini? Wajahku bersemu merah memikirkan hal-hal yang tak pantas. Aku segera menepis pemikiran memalukan itu."Kenapa kau kembali ke sini?" geram Ethan. "Sudah kuperingatkan kau untuk tidak pernah muncul lagi di hadapanku, kan?"Di pangkuannya, aku berusaha mendorong dada Ethan agar aku bisa menatapnya dengan tajam. "Aku juga tidak menginginkannya! Kaulah... jika bukan karena kau, para serigala ini tidak akan memburuku!"Ethan marah, bukankah seharusnya itu aku yang marah? Enak saja dia menyalahkanku. Aku berusaha untuk turun dari pangkuan Ethan, akan tetapi dari arah yang berbeda, aku mendengar suara derap langkah kaki. Bukan hanya satu a
ETHANLangit malam berpendar dengan sinar bulan yang redup ketika Sanders berhenti di depan gerbang mansion, dan pasti dia akan membawaku masuk ke ruanganku. Napasku masih terengah-engah, bukan karena kelelahan, tetapi karena amarah yang mendidih di dadaku. Begitu pintu mobil terbuka, aku berteriak padanya dengan tatapan penuh bara."Sanders! Apa yang kau lakukan?!" teriakku penuh kemarahan.Dia tidak menjawab. Sanders bergerak secara efektif dan membantuku duduk di kursi roda. Tubuh tegapnya bergetar halus sebelum akhirnya dia berlutut di hadapanku, kepalanya tertunduk. Aku tidak membutuhkan penjelasannya. Aku tahu persis apa yang baru saja dia lakukan.Plak!Tinju kananku mendarat keras di wajahnya, membuat kepalanya sedikit terpelanting. Namun, Sanders tetap diam, tidak membalas, bahkan tidak mengangkat kepalanya."Maafkan aku, Bos. Aku hanya menjalankan tugasku untuk melindungimu," ujarnya lirih.Plak!Tinju keduaku menghantam pipinya, lebih keras dari sebelumnya. Napasku memburu,
LILIANATubuhku gemetar bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena amarah dan ketakutan yang menyatu dalam nadiku. Aku tidak berdaya, hanya berbalut pakaian dalam, dengan tangan yang dicengkeram kuat oleh dua priabertubuh kekar. Mereka menahanku dengan cengkeraman baja seolah aku hanyalah seekor anak rusa yang siap dikorbankan.Sang bosmelangkah mendekat. Langkahnya pelan, penuh keyakinan, dan matanya yang tajam berkilat dari balik topeng yang menutupi sebagian wajahnya. Aku berani bersumpah, di balik topeng itu tersembunyi ekspresi penuh perhitungan."kau!" umpatku, menendang ke arahnya. Tapi ia hanya sedikit memiringkan tubuhnya, dengan mudah menghindari seranganku seolah itu hanya sebuah angin lalu.Dia mengambil pakaianku yang robek dan penuh lumpur dari tanah, menimbangnya sejenak sebelum melemparkan ke salah satu anak buahnya. "Kirim pakaiannya sebagai bukti!" perintahnya dingin.Mataku membelalak. "Siapa kau?
LILIANAEntah berapa lama aku duduk meringkuk di ranjang keras itu, tubuhku kaku dan pegal. Tali kasar yang mengikat pergelangan tangan dan kakiku terasa semakin menyakitkan setiap kali aku mencoba bergerak. Udara di dalam pondok kayu ini dingin, menusuk tulang, dan semakin menambah perasaan putus asa yang menggerogoti hatiku.Aku benar-benar bosan, tapi yang lebih dominan adalah rasa kesal yang membakar dalam dada.Siang tadi, seorang pria bertubuh kekar mengantarkan makanan. Ia juga menawariku bantuan untuk ke toilet, dengan sikap dingin dan formal seperti robot. Aku menolak keduanya. Aku tidak ingin bergantung pada siapapun di tempat ini, apalagi menunjukkan kelemahan.Dia mengabaikan semua rengekanku untuk membebaskanku. Wajahnya datar, bahkan saat aku berusaha memohon ataupun mengancam. Sejak upayaku kabur semalam — dengan mencuri salah satu kuda mereka — semua orang di tempat ini tampaknya jauh lebih berhati-hati.Aku mendesah pelan, menahan rasa frustrasi.Ketika malam tiba dan
LILIANADia menjatuhkanku ke ranjang kokoh dan cukup besar di pondok ini. Ranjang ini bahkan terasa lebih nyaman daripada yang mereka berikan padaku di pondok tempat aku dikurung semalam. Tapi, bukan soal ranjang yang ingin aku keluhkan. Aku inginkan jawaban.Ryder tidak bisa pergi begitu saja setelah apa yang baru saja dia katakan. Seharusnya aku sadar dari awal ini terasa aneh. Aku berjuang untuk duduk dan berlari ingin mencegah Ryder pergi.Aku menatap punggung Ryder dengan tatapan marah yang membara. Lelaki itu tetap tak bergeming, seolah-olah pertanyaanku tak berarti apa-apa baginya. Tanpa menoleh sedikit pun, dia berjalan menuju pintu kayu pondok yang reyot itu. Pondok ini bahkan tak memiliki jendela—tempat ini jelas dibuat untuk menahan seseorang. Sepertiku.“Tunggu!” teriakku, suaraku menggema keras di ruangan yang pengap ini. “Jangan coba-coba meninggalkanku tanpa jawaban, Ryder! Jangan berani mengabaikan pertanyaanku!”Aku merasakan nadiku berdegup cepat di bawah kulitku. Ke
LILIANAAku tidak punya pilihan selain berkuda dengannya. Ryder menarikku ke atas kudanya dengan kasar, membuat tubuh kami otomatis berimpitan. Aku bisa merasakan napasnya yang berat di belakang telingaku, sementara satu tangannya mencengkeram tali kendali dan tangan lainnya melingkari pinggangku erat.Aku merasa muak pada diriku sendiri. Aku menyesal kenapa tidak pernah mau repot-repot belajar cara bertahan hidup di alam. Setidaknya akan bermanfaat pada saat seperti ini. Tidak memiliki keahlian khusus menjadikanku seperti beban."Duduk diam dan jangan banyak bergerak," desisnya. "Kalau kau mencoba melompat turun, aku tidak akan bertanggung jawab jika kau terluka."Aku menggigit bibir, menahan amarah yang berkecamuk di dadaku. Aku tahu Ryder bukan orang yang bisa diajak bernegosiasi dengan mudah, terutama dalam situasi seperti ini. Kudanya berlari melintasi jalanan berbatu yang sepi, jauh dari perkampungan terdekat. Aku merasa terperangka
LILIANATekadku sudah bulat. Seharian bahkan sampai malam, aku terus memikirkan rencana untuk kabur. Aku mencuri waktu berkeliling perkampungan ini demi mempelajari rute pelarianku dan kendaraan apa yang bisa kugunakan.Ada sejumlah mobil kemah dan truk di lapangan desa terpencil ini, diparkir di area yang digunakan untuk api unggun saat malam. Tapi terlalu banyak orang di sana saat malam. Mustahil aku mencuri salah satunya tanpa membuat mereka sadar.Lalu cara lain apa yang bisa kugunakan? Kuda? Entah kenapa tiba-tiba aku teringat kuda yang dipakai Ryder saat membawaku ke sini. Aku mengoreksi ide itu. Kuda itu ditinggalkan di kampung sebelumnya, dan kami ke sini menggunakan truk.Tak putus asa, aku menyelinap lagi setelah dari sungai untuk mandi. Aku terus mencari dan benar saja, ada beberapa kuda di kandang. Sekitar tiga atau empat. Tampaknya mereka menggunakan kuda untuk berburu.Aku sudah memikirkan dan mempersiapkan segalanya. Malam nanti, menjelang fajar, saat orang-orang terlel
LILIANADengan susah payah, aku akhirnya berhasil melepaskan diri darinya dan menjauh. Aku menarik selimut yang tadi menjadi alas dudukku, membungkus tubuhku, lalu berguling di bawah pohon. Jika dia melarangku pergi ke pondok, maka aku akan tidur di sini. Aku tidak peduli.Angin malam bertiup pelan, menyentuh kulitku yang mulai dingin. Aku merapatkan selimut, mencoba menenangkan diri. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama.Tanpa peringatan, Ryder meraih tubuhku, mengangkatku bersamaan dengan selimut yang membungkusku erat. Aku terperangkap! Aku meronta sekuat tenaga, tapi itu sia-sia."Apa yang kau lakukan?" pekikku."Membawamu pergi," jawabnya singkat.Aku terus menggeliat, mencoba melepaskan diri, tapi Ryder tetap melangkah mantap seolah aku hanyalah gumpalan kapas dalam gendongannya. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha menggigit lengannya, berharap dia akan melepaskanku."Aww!" Dia mengumpat pelan, tapi tidak menghentikan langkahnya. "Sial, kau benar-benar liar."Aku tidak pedu
LILIANAAku menggigit bibir bawahku, menyadari bahwa aku telah menginjak ranah yang seharusnya kuhindari. "Aku hanya bertanya," jawabku akhirnya, berusaha membela diri.Ryder menghela napas pelan, lalu bangkit dari tempatnya duduk. Dia menarikku ke balik batu besar tempatnya bersandar tadi. Kami tersembunyi dari semua orang. Anehnya, aku tidak menolak. Sebaliknya, aku tidak bergerak, meskipun ada dorongan dalam tubuhku untuk mundur."Serina bukan siapa-siapaku," katanya, berdiri tepat di hadapanku. Dia mengunci tubuhku di antara kedua lengannya yang menekan batu. "Dan aku tidak membiarkan siapa pun memilihkan jalan hidupku."Aku menelan ludah. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku merasa seakan ia sedang berusaha menegaskan sesuatu padaku."Kalau begitu," suaraku hampir berbisik, aku tidak akan terintimidasi. "Mengapa dia begitu marah kepadaku?"Ryder menyipitkan matanya. "Kau terlalu banyak bertanya."Aku mendengus pelan, mencoba menutupi kegugupanku. "Aku sandera di sin
LILIANASebelum aku bisa merespons, satu penjaga pintu sudah bergerak cepat, tangannya yang besar mencengkram tanganku dan menarikku dengan kasar. Aku berusaha melawan, berteriak dan berontak sekuat tenaga. "Tidak!" aku berteriak, suaraku pecah. Aku berusaha untuk menarik diriku dari genggaman tangan penjaga yang kasar, tetapi usahaku sia-sia. Tangan besar itu tak tergoyahkan, menarikku tanpa ampun.Aku merasa tubuhku terangkat dari lantai, tak mampu melawan. Tanpa ampun, mereka membawaku keluar dari balai pertemuan itu, menarikku kembali ke pondok. Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku akan terkunci di sana, sendirian. Mereka tidak akan membiarkanku keluar sampai mereka yakin aku tak akan mencoba melarikan diri atau melakukan sesuatu yang bisa membahayakan mereka.Setiap langkah yang mereka ambil membawa aku semakin jauh dari apa yang masih tersisa dari kebebasanku. Rasanya seperti ada tembok besar yang menghalangi jalanku, dan aku tak tahu bagaimana cara menghindarinya. Ak
LILIANA“Dan jika aku menolak?” Aku masih mencoba melawan, meskipun tahu bahwa aku berada di ujung tanduk.Ryder mendekat, membungkuk agar wajahnya sejajar dengan wajahku. “Kau tahu jawabannya, Liliana. Jangan salah langkah," Ryder mengingatkan, suara serak penuh ancaman. "Waktumu kurang dari satu menit untuk bicara pada suamimu!"Aku menatap kursi itu, tak tahu apa yang harus dilakukan. Menuruti perintah Ryder, atau melawan? Namun, saat aku melihat pisau itu dan mengingat video anak-anak di panti asuhan, aku tahu jawabannya. Aku harus melakukannya. Aku harus bertindak seperti yang mereka mau, atau aku tidak akan pernah keluar dari sini hidup-hidup.Dengan tangan gemetar, aku duduk di kursi yang sudah ditunjukkan Ryder. Aku bisa merasakan betapa dinginnya udara di ruangan ini, seakan-akan segala sesuatu telah dihentikan untuk memberi perhatian penuh padaku. Suasana semakin mencekam, dan setiap detik terasa seperti satu abad.Saat aku duduk, aku baru menyadari mengapa ruangan ini begitu
LILIANATanpa berpikir panjang, aku melangkah masuk ke dalam pondok besar ini. Aku pikir tempat ini adalah yang paling besar di antara semua pondok yang telah kutemui sebelumnya. Pikirku, mungkin mereka menyajikan sarapan di sini. Aku sangat lapar setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan. Kulangkahkan kaki dengan penuh harap, berharap bisa menemukan sesuatu yang mengisi perutku yang sudah mulai keroncongan.Namun, begitu aku masuk, langkahku langsung terhenti. Suasana di dalam ruangan ini begitu sunyi, seolah waktu berhenti di sini. Pencahayaan yang remang membuat ruangan terasa lebih besar dan mencekam. Ada aroma maskulin yang kuat, yang segera membuatku merinding. Aku mencoba menyesuaikan diri dengan pencahayaan yang redup, berharap bisa melihat lebih jelas, dan apa yang kulihat membuat hatiku hampir berhenti berdetak.Di tengah ruangan, sebuah meja besar terletak melingkar, dikelilingi oleh sejumlah pria. Mereka duduk dengan sikap tenang, seperti sedang menunggu sesuatu, nam