LILIANA
Astaga, ada apa denganku? Seharusnya aku benci dia! Setelah sebulan menikah, baru tadi malam dia menunjukkan wajahnya dan menyentuhku! Mungkin karena efek alkohol atau entah apa.
Ethan menenggelamkan wajahnya ke lekuk leherku yang licin karena keringat. Aku tidak berdaya. Bahkan bersuara pun aku terlalu takut. Rambut panjangku berjuntaian di antara belahan dadaku dan menguarkan bau shampo yang begitu wangi dan lembut.
Dia melakukan percintaan yang paling primitif. Dengan kekuatannya, Ethan seolah tidak terbendung. Sedangkan aku hanya bisa menangkap bau alkohol yang keluar dari tubuhnya. Aku hanya terus melakukan apa yang dia perintahkan dan tidak berdaya. Tanganku hanya bisa mengepal kuat. Kuku-kukuku yang sebelumnya dicat warna merah, kini mencengkeram kuat ke telapak tanganku hingga berdarah.
Ethan terus mencumbuku bolak-balik. Dia memang tidak bisa berjalan, tapi kejantanannya sama sekali tidak ada cela!
Aku hanya merasakan kesakitan dan kehancuran yang tidak berakhir. Pada puncaknya, entah bagaimana aku merintih panjang dan noda merah tertinggal di sprei putih tempat kami bercumbu. Aku jijik pada diriku sendiri.
Ethan jatuh limbung usai melampiaskan seluruh hasratnya. Dia jatuh tertidur di sampingku dan meringkuk seperti bayi. Sedangkan aku... Hanya mampu beruraian air mata tanpa suara.
Aku mencoba menepis kenangan semalam dan berbalik ketakutan menghadap ke arah tempat tidur. Mungkin aku telah membangunkannya. Rambut hitam Ethan yang berantakan dan sorot matanya yang dingin menunjukkan ketidaksukaan yang tak berusaha ia sembunyikan dariku.
"K-kau sudah bangun?" tanyaku berusaha menjaga nadaku selembut mungkin.
Ethan tidak menjawab. Ia hanya meraba jam digital khusus di nakas yang akan mengeluarkan suara jam saat ditekan. Pukul lima pagi. Hari masih gelap di luar. Ethan mengambil kemeja yang tergantung di kursi, mengenakannya dengan gerakan cepat. Setelah meraih kursi rodanya dan duduk di sana dengan gerakan yang mengagumkan, dia meraih kunci mobil di atas meja dan melangkah menuju pintu tanpa sepatah kata pun.
"Ethan, tunggu," panggilku, mencoba menghentikannya. "Maksudku, Tuan Darnell ..."
Aku harus memastikan dia tidak marah padaku. Aku ragu apakah semalam aku memenuhi ekspektasinya? Tapi jika aku gagal, tamat sudah riwayatku. Tidak ada jalan kembali untukku. Jika Ethan Darnell menolakku, maka pengorbananku untuk keluargaku akan-. Mereka tidak cukup hanya akan menunuhku, bahkan mungkin akan menyiksaku lebih dulu.
Namun, Ethan mengabaikanku dan terus mendorong kursi rodanya. Aku mengutuki diriku sendiri karena kondisiku yang masih lemah. Aku mencoba mengejar, tapi karena bagian sensitif di antara kedua pahaku belum sepenuhnya pulih, aku malah jatuh ke lantai. Rasa sakit menjalar dari lututku, tetapi yang lebih menyakitkan adalah tatapan Ethan yang penuh penghinaan ketika ia berbalik.
"Apa yang kau lakukan? Berpura-pura lemah? Kau pikir ini akan membuatku merasa iba dan mengampuni keluargamu?" ucapnya dengan nada dingin.
Aku menatapnya, muak. Toh dia juga tidak bisa membaca ekspresi di wajahku. Aku juga tidak inginkan semua ini. Aku hanya terpaksa bersikap lembut di hadapannya jika tidak ingin kepalaku terpisah dari tubuhku.
"Aku ... istrimu, Ethan. Bagaimana bisa kau memperlakukanku seperti ini?" kataku dengan suara gemetar karena tersinggung. Kata-kata istri sebenarnya menggangguku.
Ethan memutar kursi rodanya dan mendekatiku. Dia berdiri di hadapanku dengan aura yang mengintimidasi.
"Istriku? Jangan membuatku tertawa. Kau hanya alat keluargamu untuk mendapatkan pengampunan dan kekayaan dariku. Jangan pernah berpikir kau berarti lebih dari itu," ucapnya dengan nada tajam.
Kata-kata itu menghantamku seperti pukulan telak. Diam-diam kukepalkan kedua tanganku di atas pangkuan. Aku telah menanggung penghinaan karena menikahi Ethan, dan juga menanggung penghinaan yang selalu dia lontarkan padaku. Tetapi, tetap saja saat mendengarnya secara langsung melukai hatiku. Aku mencoba menahan tangis, tetapi air mata tetap mengalir di pipiku.
Ethan menghela napas, lalu membungkuk dari atas kursi rodanya. Dia meraih daguku dengan kasar. Matanya menatap dalam padaku, seperti mencoba menembus semua pertahanan diriku.
Di saat seperti ini, aku mengira bahwa Ethan sebenarnya tidak buta. Meski mereka mengatakan dia buta parsial, hanya tidak bisa mengenali wajah. Tapi, rasanya dia bisa melihat segalanya. Sepasang matanya begitu indah dan menyala. Dan dia... sama sekali tidak tua. Sebaliknya, Ethan adalah pria tampan yang sedang berada di usia kejayaan seorang manusia serigala.
"Sayangnya, sebentar lagi kau tidak akan menjadi Nyonya Darnell lagi. Wanita tak tahu malu sepertimu tidak layak berada di sini," katanya dengan nada yang begitu dingin hingga membuat bulu kuduk Liliana meremang.
Aku mengerjap, mencoba menahan air mataku. "Aku tidak layak? Kamu yang bilang aku tidak layak? Aku belum melakukan apa pun, Ethan. Kenapa kau terus menghinaku seperti ini? Bahkan kau sendiri yang menginginkan aku untuk berada di sini!" suaraku gemetar. Harga diriku terusik oleh ucapannya. "Seharusnya kau bunuh saja Raymond!"
Ethan tertawa kecil, tawa yang penuh ejekan. Ia mempererat cengkeramannya pada daguku, nyaris membuatku kesakitan.
"Yah, kau benar. Membunuh orang yang sudah membunuh sahabatku saja tidak cukup. Aku pasti akan membuat dia membayarnya berkali lipat. Dan... menjadikan Nona Lennox tawanan saja juga tidak cukup. Karena... aku tahu kau bukan Sophia Lennox seperti yang aku inginkan! Kau pikir aku bodoh? Aku tahu permainan ini sejak awal. Tapi aku membiarkanmu di sini karena aku punya alasan sendiri!" ucapnya dengan dingin.
Aku kaget setengah mati mendengarnya, Sophia Lennox? Jadi selama sebulan aku menjadi tawanannya... sebenarnya yang dia inginkan adalah Sophia?
"Apa maksudmu dengan Sophia? Bagaimana kau mengenalnya?" Aku bertanya dengan cemas dan ketakutan dengan kemungkinan bahwa aku juga ditipu oleh keluargaku sendiri.
Ethan menyeringai muak. "Apa aku menghinamu? Kau sendiri yang membuat dirimu pantas dihina. Kau pikir dengan berpura-pura menjadi Sophia Lennox, aku akan benar-benar percaya pada permainanmu?" katanya sinis.
Aku tersentak. "Aku tidak pernah berpura-pura menjadi Sophia! Aku hanya..."
"Hanya apa? Hanya alat keluargamu untuk mendapatkan pengampunan dan kekayaan dariku? Jangan lupa, aku sudah menyelidikimu sejak awal. Kau pikir aku tidak tahu? Anak tidak sah. . Bahkan kau..." Ethan memotongku dengan tajam. "Kau jelek!"
Wajahku memucat. Aku terdiam. Apakah itu kesalahanku jika lahir dari rahim ibuku yang hanya seorang pekerja miskin di rumah keluarga Darnell? Lantas bagaimana dengan dirinya sendiri yang menjadi contoh sempurna ketidaksampurnaan?
Kemarahan menguasai sekujur tubuhku. Oh, seharusnya memang bukan aku yang harus ditumbalkan dan menjadi tawanan Ethan Darnell sejak awal. Rupanya, dia menginginkan Sophia Lennox, saudari tiriku, yang sempurna itu.
Aku menyeringai tanpa suara menyadari berkali-kali aku telah dibodohi oleh orang-orang yang aku sayangi. Ditipu oleh keluargaku sendiri. Dan yang lebih mengejutkan, rupanya Ethan sudah tahu sejak awal kalau aku bukan wanita yang dia inginkan. Apakah karena itu dia menunda menemuiku selama sebulan ini? Bahkan semalam dia tetap mencumbuku meski tahu aku bukan Sophia. Apakah ini penghinaan untukku?
Tubuhku terasa lemah, seolah seluruh kekuatanku menghilang dalam sekejap.
"Jika kau benar-benar peduli pada keluargamu, tinggalkan Solaris Heights sekarang juga. Kau tidak pantas menjadi bagian dari keluarga Darnell," lanjut Ethan sebelum melangkah pergi.
Meninggalkan Solaris Heights? Dia membuangku setelah merusakku?
LILIANAEthan tersenyum dingin. Sebelum ia berbalik dan pergi, suara tapak sepatu terdengar dari pintu. Kami berdua menoleh. Dan di sana, berdiri seorang wanita dengan wajah muram, kontras dengan pakaiannya yang anggun dan menawan. Sophia Lennox, wanita yang menjadi alasan semua ini terjadi, berdiri di ambang pintu ditemani oleh seorang kepala pelayan.Sophia menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Lili, aku memperlakukanmu seperti saudara selama ini. Bagaimana kau bisa mencuri pria yang seharusnya menjadi suamiku saat aku sedang berjuang untuk perusahaan kita di cabang yang jauh dari kota?" suaranya penuh kekecewaan."Sophia, kau salah. Aku tidak pernah..." Aku mencoba membela diri, tetapi tubuhku kadung gemetar hebat. Kedatangan Sophia secara tiba-tiba benar-benar membuatku kehilangan kata-kata.Ayahku, Duran Lennox mencampakkan ibuku yang seorang pelayan setelah dia menemukan Alina, wanita yang dijodohkan untuknya. Bersatunya ayahku dan Alina melahirkan Sophia setahun setelah aku lahi
LILIANADi luar kamar, Sophia duduk di ruang tamu, menikmati secangkir the yang disiapkan pelayan. Ketika aku berjalan melewatinya, ia memandangku dengan tatapan dingin. Kukepalkan tangaku kuat-kuat. Aku tahu dia mencoba membuatku terlihat buruk dan ingin menjadikanku tersangka untuk segala hal yang tidak pernah aku lakukan."Kau seharusnya tahu kapan harus menyerah, Lili," katanya tanpa menoleh.Aku berhenti sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan namun tegas, "Aku tidak pernah mencoba merebut apa pun darimu, Sophia. Tapi aku juga tidak akan membiarkan diriku diinjak-injak. Ah, dan aku juga ingat bagaimana caramu menyebut-nyebut dengan jijik 'pria tua dan cacat' itu dalam setiap kesempatan jamuan the dengan para sahabatmu!"Sophia tersenyum tipis, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Aku melanjutkan langkahku, meninggalkan vila dengan perasaan campur aduk. Entah kenapa kata-kata ibu tiriku lagi-lagi mengiringi langkahku."Perusahaan kita sedang terancam! Banyak karyawan yang harus ki
LILIANADarahku berdesir kencang, napasku tersengal, dan tubuhku membeku dalam kehangatan yang aneh. Tidak lama aku duduk di pangkuan Ethan yang keras dan berotot. Entah bagaimana aku memikirkan semua itu.Apakah dia berolahraga? Ethan bahkan tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya, lalu bagaimana dia melatih otot-otot kakinya sampai sekeras dan seenak ini? Wajahku bersemu merah memikirkan hal-hal yang tak pantas. Aku segera menepis pemikiran memalukan itu."Kenapa kau kembali ke sini?" geram Ethan. "Sudah kuperingatkan kau untuk tidak pernah muncul lagi di hadapanku, kan?"Di pangkuannya, aku berusaha mendorong dada Ethan agar aku bisa menatapnya dengan tajam. "Aku juga tidak menginginkannya! Kaulah... jika bukan karena kau, para serigala ini tidak akan memburuku!"Ethan marah, bukankah seharusnya itu aku yang marah? Enak saja dia menyalahkanku. Aku berusaha untuk turun dari pangkuan Ethan, akan tetapi dari arah yang berbeda, aku mendengar suara derap langkah kaki. Bukan hanya satu a
ETHANLangit malam berpendar dengan sinar bulan yang redup ketika Sanders berhenti di depan gerbang mansion, dan pasti dia akan membawaku masuk ke ruanganku. Napasku masih terengah-engah, bukan karena kelelahan, tetapi karena amarah yang mendidih di dadaku. Begitu pintu mobil terbuka, aku berteriak padanya dengan tatapan penuh bara."Sanders! Apa yang kau lakukan?!" teriakku penuh kemarahan.Dia tidak menjawab. Sanders bergerak secara efektif dan membantuku duduk di kursi roda. Tubuh tegapnya bergetar halus sebelum akhirnya dia berlutut di hadapanku, kepalanya tertunduk. Aku tidak membutuhkan penjelasannya. Aku tahu persis apa yang baru saja dia lakukan.Plak!Tinju kananku mendarat keras di wajahnya, membuat kepalanya sedikit terpelanting. Namun, Sanders tetap diam, tidak membalas, bahkan tidak mengangkat kepalanya."Maafkan aku, Bos. Aku hanya menjalankan tugasku untuk melindungimu," ujarnya lirih.Plak!Tinju keduaku menghantam pipinya, lebih keras dari sebelumnya. Napasku memburu,
LILIANATubuhku gemetar bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena amarah dan ketakutan yang menyatu dalam nadiku. Aku tidak berdaya, hanya berbalut pakaian dalam, dengan tangan yang dicengkeram kuat oleh dua priabertubuh kekar. Mereka menahanku dengan cengkeraman baja seolah aku hanyalah seekor anak rusa yang siap dikorbankan.Sang bosmelangkah mendekat. Langkahnya pelan, penuh keyakinan, dan matanya yang tajam berkilat dari balik topeng yang menutupi sebagian wajahnya. Aku berani bersumpah, di balik topeng itu tersembunyi ekspresi penuh perhitungan."kau!" umpatku, menendang ke arahnya. Tapi ia hanya sedikit memiringkan tubuhnya, dengan mudah menghindari seranganku seolah itu hanya sebuah angin lalu.Dia mengambil pakaianku yang robek dan penuh lumpur dari tanah, menimbangnya sejenak sebelum melemparkan ke salah satu anak buahnya. "Kirim pakaiannya sebagai bukti!" perintahnya dingin.Mataku membelalak. "Siapa kau?
LILIANAAku pikir dia tahu tentangku saat dia menyebutkan ancaman bahwa aku mungkin tidak akan bisa bertemu dengan anakku. Rupanya dia tidak tahu apa pun. Aku hanya tersenyum kecut. Tiga tahun lalu setelah aku diusir dari Solaris Heights oleh suamiku sendiri, Ethan Darnell, dan dituduh menjadi penipu dalam pernikahan politik itu, aku benar-benar menghilang dan bersembunyi. Tidak ada yang tahu jika aku masih hidup atau apa yang sedang aku lakukan.Ryder Black adalah teman masa kecil Ethan Darnell. Begitu yang aku dengar dari gosip yang beredar di kalangan sosialita Celestia. Meski demikian, hanya sekali aku pernah bertemu dengannya, di pesta pernikahanku dengan Ethan. Lebih tepatnya, aku melihat dia tapi dia tidak melihatku. Jadi kenapa tiba-tiba sekarang dia muncul dan menculikku?Aku mengerjap-ngerjapkan mataku saat menatap wajah Ryder. Dia tampan sekali dari jarak sedekat ini. Pertemuan pertamaku dengannya tidak berkesan sama sekali. Saat itu aku bahkan tidak menganggap dia ada. Kar
ETHANAku menunggu cemas di kantorku. Sudah beberapa botol vodka tapi tidak juga membuatku merasa lebih baik. Entah sudah berapa jam waktu berlalu sejak mereka membawa atau bahkan menculik Lili.Kukepalkan tinjuku kuat-kuat. Kenapa di saat seperti ini aku merasa menjadi sangat lemah? Selama ini aku tidak pernah merasa goyah dan selalu percaya diri meski wolf di dalam diriku hilang pergi entah ke mana usai kecelakaan itu. Bahkan kedua kakiku pun mengkhianatiku. Aku jadi lumpuh. Tapi aku tidak pernah merasa terpuruk. Lalu kenapa sekarang aku merasa seperti pecundang?Harga diriku mereka cabik-cabik. Mereka sengaja merebut apa yang aku inginkan atau tidak? Aku jadi ragu pada diriku sendiri. Kenapa aku harus merasa cemas? Aku mencoba menguraikan perasaanku yang kacau saat ini.Pertama, aku dan Liliana tidak ada hubungan lagi. Aku sudah mengusirnya dari keluargaku sejak tiga tahun lalu dan selama itu pula dia hilang seolah ditelan bumi. Kedua,
LILIANARyder tiba-tiba menangkap pergelangan tanganku dengan sangat cepat dan menjepitnya sekuat jepitan baja. Dia langsung menjauhkan tanganku dari pistol di pinggangnya."Jangan coba-coba," bisiknya tajam.Aku mengerang kesakitan, bahkan menjerit kesal karena kalah. Aku benar-benar merasa sangat frustrasi. Mata kami bertemu, dan dalam kilatan sekilas, aku bisa melihat peringatan di matanya. Ia tahu apa yang kupikirkan.Aku menggertakkan gigi, berusaha menyembunyikan keterkejutanku. "Kau ... mungkin salah paham. Aku hanya... haus dan ingin ke toilet."Aku tidak punya ide lain, hanya alasan itu yang terlintas di dalam kepalaku saat ini.Ryder tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia hanya menatapku lebih dalam, sebelum akhirnya melepaskan genggamannya perlahan.Aku menarik tanganku dengan hati-hati, lalu menegakkan punggung. "Aku bilang ingin ke toilet... dan haus."Dia menghela napas, seolah mempertimbangkan jawabannya. "Tahanlah sebentar lagi. Kau bukan anak kecil. Tidak jauh lagi kit
LILIANADengan susah payah, aku akhirnya berhasil melepaskan diri darinya dan menjauh. Aku menarik selimut yang tadi menjadi alas dudukku, membungkus tubuhku, lalu berguling di bawah pohon. Jika dia melarangku pergi ke pondok, maka aku akan tidur di sini. Aku tidak peduli.Angin malam bertiup pelan, menyentuh kulitku yang mulai dingin. Aku merapatkan selimut, mencoba menenangkan diri. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama.Tanpa peringatan, Ryder meraih tubuhku, mengangkatku bersamaan dengan selimut yang membungkusku erat. Aku terperangkap! Aku meronta sekuat tenaga, tapi itu sia-sia."Apa yang kau lakukan?" pekikku."Membawamu pergi," jawabnya singkat.Aku terus menggeliat, mencoba melepaskan diri, tapi Ryder tetap melangkah mantap seolah aku hanyalah gumpalan kapas dalam gendongannya. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha menggigit lengannya, berharap dia akan melepaskanku."Aww!" Dia mengumpat pelan, tapi tidak menghentikan langkahnya. "Sial, kau benar-benar liar."Aku tidak pedu
LILIANAAku menggigit bibir bawahku, menyadari bahwa aku telah menginjak ranah yang seharusnya kuhindari. "Aku hanya bertanya," jawabku akhirnya, berusaha membela diri.Ryder menghela napas pelan, lalu bangkit dari tempatnya duduk. Dia menarikku ke balik batu besar tempatnya bersandar tadi. Kami tersembunyi dari semua orang. Anehnya, aku tidak menolak. Sebaliknya, aku tidak bergerak, meskipun ada dorongan dalam tubuhku untuk mundur."Serina bukan siapa-siapaku," katanya, berdiri tepat di hadapanku. Dia mengunci tubuhku di antara kedua lengannya yang menekan batu. "Dan aku tidak membiarkan siapa pun memilihkan jalan hidupku."Aku menelan ludah. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku merasa seakan ia sedang berusaha menegaskan sesuatu padaku."Kalau begitu," suaraku hampir berbisik, aku tidak akan terintimidasi. "Mengapa dia begitu marah kepadaku?"Ryder menyipitkan matanya. "Kau terlalu banyak bertanya."Aku mendengus pelan, mencoba menutupi kegugupanku. "Aku sandera di sin
LILIANASebelum aku bisa merespons, satu penjaga pintu sudah bergerak cepat, tangannya yang besar mencengkram tanganku dan menarikku dengan kasar. Aku berusaha melawan, berteriak dan berontak sekuat tenaga. "Tidak!" aku berteriak, suaraku pecah. Aku berusaha untuk menarik diriku dari genggaman tangan penjaga yang kasar, tetapi usahaku sia-sia. Tangan besar itu tak tergoyahkan, menarikku tanpa ampun.Aku merasa tubuhku terangkat dari lantai, tak mampu melawan. Tanpa ampun, mereka membawaku keluar dari balai pertemuan itu, menarikku kembali ke pondok. Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku akan terkunci di sana, sendirian. Mereka tidak akan membiarkanku keluar sampai mereka yakin aku tak akan mencoba melarikan diri atau melakukan sesuatu yang bisa membahayakan mereka.Setiap langkah yang mereka ambil membawa aku semakin jauh dari apa yang masih tersisa dari kebebasanku. Rasanya seperti ada tembok besar yang menghalangi jalanku, dan aku tak tahu bagaimana cara menghindarinya. Ak
LILIANA“Dan jika aku menolak?” Aku masih mencoba melawan, meskipun tahu bahwa aku berada di ujung tanduk.Ryder mendekat, membungkuk agar wajahnya sejajar dengan wajahku. “Kau tahu jawabannya, Liliana. Jangan salah langkah," Ryder mengingatkan, suara serak penuh ancaman. "Waktumu kurang dari satu menit untuk bicara pada suamimu!"Aku menatap kursi itu, tak tahu apa yang harus dilakukan. Menuruti perintah Ryder, atau melawan? Namun, saat aku melihat pisau itu dan mengingat video anak-anak di panti asuhan, aku tahu jawabannya. Aku harus melakukannya. Aku harus bertindak seperti yang mereka mau, atau aku tidak akan pernah keluar dari sini hidup-hidup.Dengan tangan gemetar, aku duduk di kursi yang sudah ditunjukkan Ryder. Aku bisa merasakan betapa dinginnya udara di ruangan ini, seakan-akan segala sesuatu telah dihentikan untuk memberi perhatian penuh padaku. Suasana semakin mencekam, dan setiap detik terasa seperti satu abad.Saat aku duduk, aku baru menyadari mengapa ruangan ini begitu
LILIANATanpa berpikir panjang, aku melangkah masuk ke dalam pondok besar ini. Aku pikir tempat ini adalah yang paling besar di antara semua pondok yang telah kutemui sebelumnya. Pikirku, mungkin mereka menyajikan sarapan di sini. Aku sangat lapar setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan. Kulangkahkan kaki dengan penuh harap, berharap bisa menemukan sesuatu yang mengisi perutku yang sudah mulai keroncongan.Namun, begitu aku masuk, langkahku langsung terhenti. Suasana di dalam ruangan ini begitu sunyi, seolah waktu berhenti di sini. Pencahayaan yang remang membuat ruangan terasa lebih besar dan mencekam. Ada aroma maskulin yang kuat, yang segera membuatku merinding. Aku mencoba menyesuaikan diri dengan pencahayaan yang redup, berharap bisa melihat lebih jelas, dan apa yang kulihat membuat hatiku hampir berhenti berdetak.Di tengah ruangan, sebuah meja besar terletak melingkar, dikelilingi oleh sejumlah pria. Mereka duduk dengan sikap tenang, seperti sedang menunggu sesuatu, nam
RYDERAku mencoba untuk merencanakan sesuatu yang sederhana. Hanya sedikit hukuman kecil untuk Liliana. Jika aku bisa membuatnya merasa tidak nyaman, mungkin dia akan sedikit menyerah, atau setidaknya berhenti melawan setiap kata yang aku ucapkan.Kali ini, aku memilih pakaian yang menurutku sangat buruk. Pakaian usang yang terbuat dari kain kasar dan warnanya pudar. Pasti, dia tidak akan terlihat bagus mengenakannya. Itu akan membuat dia tidak nyaman dan malu. Pasti!Tapi aku salah. Bahkan pakaian seburuk itu pun, tetap terlihat menakjubkan di tubuhnya. Liliana, dengan rambut basah yang baru saja dicelupkan ke dalam sungai, mengenakan pakaian itu dengan cara yang begitu... memukau.Aku hanya bisa berdiri dan menatapnya. Rambutnya setengah basah, meneteskan air ke tanah, dan dia tidak memiliki cara lain untuk mengeringkannya. Tidak ada pengering rambut, tidak ada alat lainnya. Satu-satunya cara adalah dengan handuk yang tampak usang, tetapi hasilnya tak memadai.Beberapa bagian rambut
RYDERSetelah meninggalkan Randal, aku pergi ke pondok paling atas. Tempat di mana Liliana aku tinggalkan semalam. Zero, nama pemuda yang aku minta berjaga di depan pondok, sampai aku datang, rupanya dia masih duduk di sana dengan tenang. Aku tidak ragu lagi. Dia benar-benar menjalankan tugasnya untuk menjaga tawanan dengan baik.Saat aku tiba di sana, matahari baru saja merayap naik di langit, menyibak kabut yang terus membungkus lembah ini. Zero masih duduk dengan santai di depan pintu, wajahnya datar tapi matanya sedikit berbinar saat melihatku datang. Dia tidak tampak lelah sama sekali, tapi mungkin hanya bosan karena hanya duduk berjaga sendirian."Kau sudah boleh pergi sekarang!" tegurku dengan nada tegas.Zero langsung berdiri, meregangkan tubuhnya sejenak sebelum melambaikan tangan ke arahku dengan senyum tipis. "Dia tidak membuat keributan semalam, cukup tenang," lapornya sebelum melangkah pergi. "Aku akan pergi sarapan. Jika kau butuh aku untuk berjaga lagi...""Aku akan mem
RYDERPagi cepat sekali datang, tapi aku masih juga belum bisa tidur. Semalaman penuh aku terjaga dan waspada. Meski sudah kutempatkan para penjaga di kawasan ini, entah kenapa rasanya masih ada yang kurang. Kucengkeram batang pohon yang ada di depan pondokku dan menatap ke kejauhan. Memastikan semuanya berjalan normal.Aku kembali mengevaluasi seluruh prosesnya. Penculikan berjalan dengan mulus, tanpa cela. Semuanya sudah dalam rencana. Tapi entah kenapa aku tidak merasa bahagiaatas keberhasilan ini. Tujuanku sudah dekat. Sandera sudah ada di tangan, tinggal selangkah lagi untuk melakukan pertukaran. Tapi hatiku gelisah. Aku tidak senang sama sekali.Pikiranku terus tertuju pada Liliana. Ada apa dengan diriku?Kami bahkan tidak saling mengenal sebelumnya. Tidak boleh ada sentimen pribadi dengan sandera.Angin berembus pelan, menggoyangkan dedaunan pinus yang menjulang tinggi. Aku mengeraskan rahang, mencoba mengabaikan gejolak
RYDERAku menekan pedal rem dengan kasar dan menghentikan trukku di depangerbang masukarea perlindungan. Ada banyak pondok kayu tua yang tersembunyi di tengah hutan. Liliana duduk di kursi penumpang, tampak tegang, kedua tangannya mengepal di atas pahanya yang terbuka. Aku berbalik menatapnya tajam."Keluar!" suaraku terdengar tajam, hampir seperti geraman. Aku tidak ingin berlama-lama berdua dengannya. Tidak ingin kehilangan kendali.Liliana mengangkat wajahnya, menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Matanya yang cokelat tua seperti hendak mengungkapkan sesuatu, tetapi aku tidak peduli."Cepat!" desakku lagi, merasa napasku sendiri semakin berat.Aku tarik pintu di sampingnya, memaksa dia turun.Dengan enggan, Liliana akhirnya turun dari truk. Udara malam yang dingin menyergapkami, membuatdiamerapatkan kemeja flanel yang kupinjamkan. Aku melihatnya menarik-narik ujung celana pendeknya, t