LILIANATubuhku gemetar bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena amarah dan ketakutan yang menyatu dalam nadiku. Aku tidak berdaya, hanya berbalut pakaian dalam, dengan tangan yang dicengkeram kuat oleh dua priabertubuh kekar. Mereka menahanku dengan cengkeraman baja seolah aku hanyalah seekor anak rusa yang siap dikorbankan.Sang bosmelangkah mendekat. Langkahnya pelan, penuh keyakinan, dan matanya yang tajam berkilat dari balik topeng yang menutupi sebagian wajahnya. Aku berani bersumpah, di balik topeng itu tersembunyi ekspresi penuh perhitungan."kau!" umpatku, menendang ke arahnya. Tapi ia hanya sedikit memiringkan tubuhnya, dengan mudah menghindari seranganku seolah itu hanya sebuah angin lalu.Dia mengambil pakaianku yang robek dan penuh lumpur dari tanah, menimbangnya sejenak sebelum melemparkan ke salah satu anak buahnya. "Kirim pakaiannya sebagai bukti!" perintahnya dingin.Mataku membelalak. "Siapa kau?
LILIANAAku pikir dia tahu tentangku saat dia menyebutkan ancaman bahwa aku mungkin tidak akan bisa bertemu dengan anakku. Rupanya dia tidak tahu apa pun. Aku hanya tersenyum kecut. Tiga tahun lalu setelah aku diusir dari Solaris Heights oleh suamiku sendiri, Ethan Darnell, dan dituduh menjadi penipu dalam pernikahan politik itu, aku benar-benar menghilang dan bersembunyi. Tidak ada yang tahu jika aku masih hidup atau apa yang sedang aku lakukan.Ryder Black adalah teman masa kecil Ethan Darnell. Begitu yang aku dengar dari gosip yang beredar di kalangan sosialita Celestia. Meski demikian, hanya sekali aku pernah bertemu dengannya, di pesta pernikahanku dengan Ethan. Lebih tepatnya, aku melihat dia tapi dia tidak melihatku. Jadi kenapa tiba-tiba sekarang dia muncul dan menculikku?Aku mengerjap-ngerjapkan mataku saat menatap wajah Ryder. Dia tampan sekali dari jarak sedekat ini. Pertemuan pertamaku dengannya tidak berkesan sama sekali. Saat itu aku bahkan tidak menganggap dia ada. Kar
ETHANAku menunggu cemas di kantorku. Sudah beberapa botol vodka tapi tidak juga membuatku merasa lebih baik. Entah sudah berapa jam waktu berlalu sejak mereka membawa atau bahkan menculik Lili.Kukepalkan tinjuku kuat-kuat. Kenapa di saat seperti ini aku merasa menjadi sangat lemah? Selama ini aku tidak pernah merasa goyah dan selalu percaya diri meski wolf di dalam diriku hilang pergi entah ke mana usai kecelakaan itu. Bahkan kedua kakiku pun mengkhianatiku. Aku jadi lumpuh. Tapi aku tidak pernah merasa terpuruk. Lalu kenapa sekarang aku merasa seperti pecundang?Harga diriku mereka cabik-cabik. Mereka sengaja merebut apa yang aku inginkan atau tidak? Aku jadi ragu pada diriku sendiri. Kenapa aku harus merasa cemas? Aku mencoba menguraikan perasaanku yang kacau saat ini.Pertama, aku dan Liliana tidak ada hubungan lagi. Aku sudah mengusirnya dari keluargaku sejak tiga tahun lalu dan selama itu pula dia hilang seolah ditelan bumi. Kedua,
LILIANARyder tiba-tiba menangkap pergelangan tanganku dengan sangat cepat dan menjepitnya sekuat jepitan baja. Dia langsung menjauhkan tanganku dari pistol di pinggangnya."Jangan coba-coba," bisiknya tajam.Aku mengerang kesakitan, bahkan menjerit kesal karena kalah. Aku benar-benar merasa sangat frustrasi. Mata kami bertemu, dan dalam kilatan sekilas, aku bisa melihat peringatan di matanya. Ia tahu apa yang kupikirkan.Aku menggertakkan gigi, berusaha menyembunyikan keterkejutanku. "Kau ... mungkin salah paham. Aku hanya... haus dan ingin ke toilet."Aku tidak punya ide lain, hanya alasan itu yang terlintas di dalam kepalaku saat ini.Ryder tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia hanya menatapku lebih dalam, sebelum akhirnya melepaskan genggamannya perlahan.Aku menarik tanganku dengan hati-hati, lalu menegakkan punggung. "Aku bilang ingin ke toilet... dan haus."Dia menghela napas, seolah mempertimbangkan jawabannya. "Tahanlah sebentar lagi. Kau bukan anak kecil. Tidak jauh lagi kit
SOPHIAAku benci diabaikan!Ethan tidak hanya mengabaikan pertanyaanku, tetapi juga secara gamblang mengabaikan keberadaanku. Kami seharusnya menghadiri jamuan makan malam keluarga malam ini dan mempertegas tanggal pertunangan kami. Namun, sejak aku tiba di rumahnya, dia tampak gelisah, seolah pikirannya berada di tempat lain. Itu membuatku muak!"Kenapa kau ke sini, Sophi?" tanyanya dengan nada enggan.Aku tersinggung sekali. Aku memandangnya dengan tajam, menuntut penjelasan atas sikap dinginnya."Apakah ini karena Lili?" Aku tidak bisa menahan diri untuktidakbertanya.Ethan mengalihkan tatapan dariku, ekspresinya tampak lelah dan... penuh kebingungan. Aku semakin curiga."Bukankah kau sudah mengusirnya, Ethan? Kenapa dia kembali ke sini?""Aku tidak tahu!" jawab Ethan gusar. Rahangnya mengeras, kedua tangannya terkepal di atas sandaran lengan kursi rodanya."Bagaimana bisa kau tidak tahu?"
LILIANAAku memandang berkeliling. Orang-orang ini telah mengubah penampilan mereka dari para bandit ke para pria dan wanita pada umumnya. Membuat satu hal tampak jelas: mereka semua orang-orang kota. Tidak seperti dugaanku jika mereka para penjahat yang biasa hidup bebas dan berkeliaran bersama kelompoknya. Aku pikir mereka para atau anggota geng yang terorganisasi.Harus aku akui, sikap dan suaraRydermemikat.Dia tampak lebih menonjol dibandingkan yang lain.Matanya luar biasa biru dan berkilau, tapi apakah benar-benar memesona?Tiga tahun lalu, Ryder yang aku dengar memang seorang CEO grup perusahaan terkenal. Tapi, sepertinya di sini mereka tidak memandangnya begitu.Jika benar, apakah mereka semuakumpulan orang-orang yang terusir dari rumah dan perusahaan masing-masing oleh Ethan Darnell?Wah... aku kaget dengan pemikiranku sendiri. Apalagi perempuan yang agresif tadi, juga termasuk di dalamnya? Apa y
LILIANAAku mengerjapkan mata, mencoba memahami apa yang baru saja kudengar. Ryder Black berdiri di depanku dengan tangan terlipat di dada, matanya menatapku dengan penuh percaya diri. Kata-katanya bergema di pikiranku."Memaksa suamimu membuka akses ke Hutan Merah!"Aku terkejut. Sama sekali jauh dari dugaanku. Jika mereka menculikku demi uang atau harta, itu masih masuk akal. Tapi ini? Mereka menginginkan akses jalan ke sebuah kawasan yang bahkan belum pernah kudengar sebelumnya.Dan... Ethan Darnell? Wah, tampaknya dia salah mengira aku masih ada hubungan Ethan Darnell dan memiliki nilai tukar.Aku hampir membuka mulutku untuk mengatakan yang sebenarnya agar mereka bisa membebaskan aku. Tapi, aku lalu menutup rapat lagi mulutku dan menggeleng.Aku bisa saja dalam bahaya jika ternyata aku tidak bernilai untuk tujuan mereka, bukan? Aku tidak punya jaminan kalau mereka akan membebaskanku begitu saja. Karena aku sudah tahu tuju
LILIANA"Apa kau tidak penasaran seberapa berharganya dirimu bagi Ethan Darnell?" bisik Ryder di telingaku, suaranya dalam dan penuh tipu daya.Aku mengatupkan rahangku rapat-rapat, berusaha menahan dorongan untuk bereaksi terhadap provokasinya. Namun, godaan itu membayangiku. Seberapa berharganya aku bagi Ethan? Apakah dia akan datang mencariku? Ataukah dia bahkan tidak peduli jika aku menghilang?Aku menepis pikiranku sendiri, lalu mendengus sinis dan menatap Ryder dengan dingin. "Aku sudah tahu jawabannya. Aku sama sekali tidak berharga baginya. Itu sebabnya dia mencampakkanku tiga tahun lalu. Jadi kau keliru memilih sandera kali ini. Seharusnya kau menculik Sophia Lennox, dan bukannya aku!"Ryder menyeringai, tatapannya menyapu wajahku seolah mencari kebohongan dalam kata-kataku. Napasku naik turun dalam amarah, mantel yang kubalutkan di tubuhku sedikit terbuka, memperlihatkan lekuk dadaku yang terangkat karena emosi. Aku buru-buru menyilangkan mantel itu, menutupinya rapat-rapat
LILIANADengan susah payah, aku akhirnya berhasil melepaskan diri darinya dan menjauh. Aku menarik selimut yang tadi menjadi alas dudukku, membungkus tubuhku, lalu berguling di bawah pohon. Jika dia melarangku pergi ke pondok, maka aku akan tidur di sini. Aku tidak peduli.Angin malam bertiup pelan, menyentuh kulitku yang mulai dingin. Aku merapatkan selimut, mencoba menenangkan diri. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama.Tanpa peringatan, Ryder meraih tubuhku, mengangkatku bersamaan dengan selimut yang membungkusku erat. Aku terperangkap! Aku meronta sekuat tenaga, tapi itu sia-sia."Apa yang kau lakukan?" pekikku."Membawamu pergi," jawabnya singkat.Aku terus menggeliat, mencoba melepaskan diri, tapi Ryder tetap melangkah mantap seolah aku hanyalah gumpalan kapas dalam gendongannya. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha menggigit lengannya, berharap dia akan melepaskanku."Aww!" Dia mengumpat pelan, tapi tidak menghentikan langkahnya. "Sial, kau benar-benar liar."Aku tidak pedu
LILIANAAku menggigit bibir bawahku, menyadari bahwa aku telah menginjak ranah yang seharusnya kuhindari. "Aku hanya bertanya," jawabku akhirnya, berusaha membela diri.Ryder menghela napas pelan, lalu bangkit dari tempatnya duduk. Dia menarikku ke balik batu besar tempatnya bersandar tadi. Kami tersembunyi dari semua orang. Anehnya, aku tidak menolak. Sebaliknya, aku tidak bergerak, meskipun ada dorongan dalam tubuhku untuk mundur."Serina bukan siapa-siapaku," katanya, berdiri tepat di hadapanku. Dia mengunci tubuhku di antara kedua lengannya yang menekan batu. "Dan aku tidak membiarkan siapa pun memilihkan jalan hidupku."Aku menelan ludah. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku merasa seakan ia sedang berusaha menegaskan sesuatu padaku."Kalau begitu," suaraku hampir berbisik, aku tidak akan terintimidasi. "Mengapa dia begitu marah kepadaku?"Ryder menyipitkan matanya. "Kau terlalu banyak bertanya."Aku mendengus pelan, mencoba menutupi kegugupanku. "Aku sandera di sin
LILIANASebelum aku bisa merespons, satu penjaga pintu sudah bergerak cepat, tangannya yang besar mencengkram tanganku dan menarikku dengan kasar. Aku berusaha melawan, berteriak dan berontak sekuat tenaga. "Tidak!" aku berteriak, suaraku pecah. Aku berusaha untuk menarik diriku dari genggaman tangan penjaga yang kasar, tetapi usahaku sia-sia. Tangan besar itu tak tergoyahkan, menarikku tanpa ampun.Aku merasa tubuhku terangkat dari lantai, tak mampu melawan. Tanpa ampun, mereka membawaku keluar dari balai pertemuan itu, menarikku kembali ke pondok. Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku akan terkunci di sana, sendirian. Mereka tidak akan membiarkanku keluar sampai mereka yakin aku tak akan mencoba melarikan diri atau melakukan sesuatu yang bisa membahayakan mereka.Setiap langkah yang mereka ambil membawa aku semakin jauh dari apa yang masih tersisa dari kebebasanku. Rasanya seperti ada tembok besar yang menghalangi jalanku, dan aku tak tahu bagaimana cara menghindarinya. Ak
LILIANA“Dan jika aku menolak?” Aku masih mencoba melawan, meskipun tahu bahwa aku berada di ujung tanduk.Ryder mendekat, membungkuk agar wajahnya sejajar dengan wajahku. “Kau tahu jawabannya, Liliana. Jangan salah langkah," Ryder mengingatkan, suara serak penuh ancaman. "Waktumu kurang dari satu menit untuk bicara pada suamimu!"Aku menatap kursi itu, tak tahu apa yang harus dilakukan. Menuruti perintah Ryder, atau melawan? Namun, saat aku melihat pisau itu dan mengingat video anak-anak di panti asuhan, aku tahu jawabannya. Aku harus melakukannya. Aku harus bertindak seperti yang mereka mau, atau aku tidak akan pernah keluar dari sini hidup-hidup.Dengan tangan gemetar, aku duduk di kursi yang sudah ditunjukkan Ryder. Aku bisa merasakan betapa dinginnya udara di ruangan ini, seakan-akan segala sesuatu telah dihentikan untuk memberi perhatian penuh padaku. Suasana semakin mencekam, dan setiap detik terasa seperti satu abad.Saat aku duduk, aku baru menyadari mengapa ruangan ini begitu
LILIANATanpa berpikir panjang, aku melangkah masuk ke dalam pondok besar ini. Aku pikir tempat ini adalah yang paling besar di antara semua pondok yang telah kutemui sebelumnya. Pikirku, mungkin mereka menyajikan sarapan di sini. Aku sangat lapar setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan. Kulangkahkan kaki dengan penuh harap, berharap bisa menemukan sesuatu yang mengisi perutku yang sudah mulai keroncongan.Namun, begitu aku masuk, langkahku langsung terhenti. Suasana di dalam ruangan ini begitu sunyi, seolah waktu berhenti di sini. Pencahayaan yang remang membuat ruangan terasa lebih besar dan mencekam. Ada aroma maskulin yang kuat, yang segera membuatku merinding. Aku mencoba menyesuaikan diri dengan pencahayaan yang redup, berharap bisa melihat lebih jelas, dan apa yang kulihat membuat hatiku hampir berhenti berdetak.Di tengah ruangan, sebuah meja besar terletak melingkar, dikelilingi oleh sejumlah pria. Mereka duduk dengan sikap tenang, seperti sedang menunggu sesuatu, nam
RYDERAku mencoba untuk merencanakan sesuatu yang sederhana. Hanya sedikit hukuman kecil untuk Liliana. Jika aku bisa membuatnya merasa tidak nyaman, mungkin dia akan sedikit menyerah, atau setidaknya berhenti melawan setiap kata yang aku ucapkan.Kali ini, aku memilih pakaian yang menurutku sangat buruk. Pakaian usang yang terbuat dari kain kasar dan warnanya pudar. Pasti, dia tidak akan terlihat bagus mengenakannya. Itu akan membuat dia tidak nyaman dan malu. Pasti!Tapi aku salah. Bahkan pakaian seburuk itu pun, tetap terlihat menakjubkan di tubuhnya. Liliana, dengan rambut basah yang baru saja dicelupkan ke dalam sungai, mengenakan pakaian itu dengan cara yang begitu... memukau.Aku hanya bisa berdiri dan menatapnya. Rambutnya setengah basah, meneteskan air ke tanah, dan dia tidak memiliki cara lain untuk mengeringkannya. Tidak ada pengering rambut, tidak ada alat lainnya. Satu-satunya cara adalah dengan handuk yang tampak usang, tetapi hasilnya tak memadai.Beberapa bagian rambut
RYDERSetelah meninggalkan Randal, aku pergi ke pondok paling atas. Tempat di mana Liliana aku tinggalkan semalam. Zero, nama pemuda yang aku minta berjaga di depan pondok, sampai aku datang, rupanya dia masih duduk di sana dengan tenang. Aku tidak ragu lagi. Dia benar-benar menjalankan tugasnya untuk menjaga tawanan dengan baik.Saat aku tiba di sana, matahari baru saja merayap naik di langit, menyibak kabut yang terus membungkus lembah ini. Zero masih duduk dengan santai di depan pintu, wajahnya datar tapi matanya sedikit berbinar saat melihatku datang. Dia tidak tampak lelah sama sekali, tapi mungkin hanya bosan karena hanya duduk berjaga sendirian."Kau sudah boleh pergi sekarang!" tegurku dengan nada tegas.Zero langsung berdiri, meregangkan tubuhnya sejenak sebelum melambaikan tangan ke arahku dengan senyum tipis. "Dia tidak membuat keributan semalam, cukup tenang," lapornya sebelum melangkah pergi. "Aku akan pergi sarapan. Jika kau butuh aku untuk berjaga lagi...""Aku akan mem
RYDERPagi cepat sekali datang, tapi aku masih juga belum bisa tidur. Semalaman penuh aku terjaga dan waspada. Meski sudah kutempatkan para penjaga di kawasan ini, entah kenapa rasanya masih ada yang kurang. Kucengkeram batang pohon yang ada di depan pondokku dan menatap ke kejauhan. Memastikan semuanya berjalan normal.Aku kembali mengevaluasi seluruh prosesnya. Penculikan berjalan dengan mulus, tanpa cela. Semuanya sudah dalam rencana. Tapi entah kenapa aku tidak merasa bahagiaatas keberhasilan ini. Tujuanku sudah dekat. Sandera sudah ada di tangan, tinggal selangkah lagi untuk melakukan pertukaran. Tapi hatiku gelisah. Aku tidak senang sama sekali.Pikiranku terus tertuju pada Liliana. Ada apa dengan diriku?Kami bahkan tidak saling mengenal sebelumnya. Tidak boleh ada sentimen pribadi dengan sandera.Angin berembus pelan, menggoyangkan dedaunan pinus yang menjulang tinggi. Aku mengeraskan rahang, mencoba mengabaikan gejolak
RYDERAku menekan pedal rem dengan kasar dan menghentikan trukku di depangerbang masukarea perlindungan. Ada banyak pondok kayu tua yang tersembunyi di tengah hutan. Liliana duduk di kursi penumpang, tampak tegang, kedua tangannya mengepal di atas pahanya yang terbuka. Aku berbalik menatapnya tajam."Keluar!" suaraku terdengar tajam, hampir seperti geraman. Aku tidak ingin berlama-lama berdua dengannya. Tidak ingin kehilangan kendali.Liliana mengangkat wajahnya, menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Matanya yang cokelat tua seperti hendak mengungkapkan sesuatu, tetapi aku tidak peduli."Cepat!" desakku lagi, merasa napasku sendiri semakin berat.Aku tarik pintu di sampingnya, memaksa dia turun.Dengan enggan, Liliana akhirnya turun dari truk. Udara malam yang dingin menyergapkami, membuatdiamerapatkan kemeja flanel yang kupinjamkan. Aku melihatnya menarik-narik ujung celana pendeknya, t