LILIANA
Di luar kamar, Sophia duduk di ruang tamu, menikmati secangkir the yang disiapkan pelayan. Ketika aku berjalan melewatinya, ia memandangku dengan tatapan dingin. Kukepalkan tangaku kuat-kuat. Aku tahu dia mencoba membuatku terlihat buruk dan ingin menjadikanku tersangka untuk segala hal yang tidak pernah aku lakukan.
"Kau seharusnya tahu kapan harus menyerah, Lili," katanya tanpa menoleh.
Aku berhenti sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan namun tegas, "Aku tidak pernah mencoba merebut apa pun darimu, Sophia. Tapi aku juga tidak akan membiarkan diriku diinjak-injak. Ah, dan aku juga ingat bagaimana caramu menyebut-nyebut dengan jijik 'pria tua dan cacat' itu dalam setiap kesempatan jamuan the dengan para sahabatmu!"
Sophia tersenyum tipis, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Aku melanjutkan langkahku, meninggalkan vila dengan perasaan campur aduk. Entah kenapa kata-kata ibu tiriku lagi-lagi mengiringi langkahku.
"Perusahaan kita sedang terancam! Banyak karyawan yang harus kita jaga masa depannya. Jika sampai Presdir Darnell menuntut, maka kita semua akan hancur, bangkrut, dan tidak akan ada yang tersisa. Aku dan ayahmu tidak punya pilihan lain. Lili, kamu harus menikahi Presdir Darnell."
"Aku tidak mengenalnya, Bu. Aku juga tidak mencintainya. Bahkan aku tidak pernah melihat wajahnya. Bagaimana bisa kau memintaku menikah dengan pria asing ini? Dia... Terkenal sangat kejam. Kenapa tidak kau minta saja Raymond untuk bertanggungjawab?"
Wajah putus asa ibu tiriku berubah menjadi kemarahan. Dia menamparku dengan kasar.
"Raymond adalah calon penerus perusahaan Lennox. Kau harus berkorban untuknya! Aku tidak peduli meskipun kau tidak menyukainya. Kau hanya perlu bercumbu dengan Presdir Darnell dan mendapatkan anak darinya. Anak itu yang akan menjadi daya jual keluarga kita. Jika kau hamil dan memiliki anak dari Presdir Darnell, aku yakin keluarga mereka tidak akan membiarkan kita menderita."
Memikirkan ucapan ibu tiriku, membuat aku merasa mual. Aku berjalan meninggalkan Solaris Heights dengan perasaan bebas dan juga marah. Dari awal Ethan Darnell hanya menginginkan Sophia Lennox. Jika Sophia juga menginginkan semua ini, kenapa harus menjebakku dan mempermalukanku?
Tiga Tahun Kemudian
Hidupku berubah drastis setelah meninggalkan Solaris Heights. Kembali menjadi manusia bebas dan hidup normal selayaknya yang lain. Aku benar-benar melepas nama Lennox di belakang namaku dan menyembunyikan diri dari siapapun.
Aku sangat menikmatinya, meski sesekali aku merasa ada yang salah. Aku telah mencoba melupakan semua rasa sakit itu dan membangun hidupku kembali. Namun, takdir tampaknya tidak ingin memberiku jeda.
Malam ini, aku terpaksa kembali ke Celestia. Aku mendongak menatap gedung-gedung tingginya dan ke sebuah gang sempit serta lembab yang mengingatkanku pada kengerian tiada akhir.
"Aku hanya perlu melewatinya tanpa berpikir dan berjalan cepat. Tempat yang aku tuju ada di ujung gang itu. Agak menyebalkan saat klien ingin bertemu di tempat tidak biasa seperti ini, tapi aku bisa mengerti. Dia seorang figur publik dan menginginkan kerahasiaan."
Aku embuskan napas berat sambil menatap gaunku yang rasanya kurang pas untuk pertemuan malam ini. Gaun putih sepaha tanpa lengan, jaket kulit, dan sepatu bot berhak setinggi lutut. Aku juga menggerai dan mengikalkan rambutku yang sudah sepunggung saat ini. Sambil menggamit tas di lengan kiri, aku memantapkan diri untuk berjalan ke gang.
Malam semakin larut, dan suasana di sekitarku semakin mencekam. Aku merasa ada bayang-bayang yang mendekatiku. Napasku menjadi semakin berat seiring langkah yang kuayunkan.
"Tenang, Liliana. Kau aman. Tak ada yang tahu kau kembali ke kota ini," gumamku pada diri sendiri. Namun, rasa takutku terbukti benar ketika sebuah tangan besar meraih lenganku dari belakang.
"Ah!" Aku refleks menjerit, tetapi jeritanku teredam oleh desiran angin malam.
Pria itu menarikku dengan paksa ke dinding gang yang lembab. Aku terjatuh dengan keras, kepala nyaris terbentur dinding yang berjamur.
"Siapa kau? Apa yang kau inginkan?" tanyaku dengan suara gemetar. Mereka para yang menakutkan.
Pria itu tertawa dingin, suaranya serak dan penuh ejekan. "Kau tidak tahu siapa aku? Lihat baik-baik, dasar kecil," katanya sambil menjambak rambutku, memaksaku mendongak.
Aku berusaha melawan, tetapi kekuatanku tidak sebanding dengan pria itu. "Lepaskan aku! Aku tidak tahu siapa kau!" teriakku, tetapi pria itu hanya tertawa lebih keras.
"Kau pikir bisa lari dari kami? Kami telah mencarimu di setiap sudut negeri ini, dan akhirnya kami menemukanmu 'kembali ke sini'. Kau berutang pada kami, dan hari ini kau harus membayarnya!"
Wajahku memucat. Berutang padanya?
"Aku tidak pernah berutang apapun pada siapapun! Ini pasti salah paham," kataku mencoba meyakinkan pria itu.
Pria itu tidak peduli. "Salah paham? Jangan bercanda! Kau kabur dari Celestia setelah menjual kami pada Ethan Darnell! Dia menghancurkan dan merebut wilayah kami. Maka, kau harus membayar setiap perbuatanmu!" ancamnya.
Aku mengernyit menahan sakit. Aku tidak tahu siapa mereka. Tapi, mendengar kekesalannya tampaknya dia salah satu orang yang sudah dikecewakan oleh Ethan Darnell. Itu tidak ada hubungannya denganku, kan?
Pria itu mengeluarkan pisau lipat dari sakunya, memainkan ujung tajamnya di depan wajahku.
"A-apa yang kalian inginkan dariku?"
"Kembalikan wilayah kami!" desisnya. "Buat Ethan Darnell berlutut di depan kami dan membayar setiap perbuatannya pada warga kami! Jika kau tidak bisa melakukannya, kami akan mengambil sesuatu yang lebih berharga darimu," katanya dengan seringai mengerikan.
Aku menelan ludah, tubuhku gemetar hebat. Aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari situasi ini. Namun, sebelum pria itu bisa bergerak lebih jauh, sebuah suara tegas menggema di sepanjang gang.
"Lepaskan dia!"
Semua orang menoleh. Di ujung gang, seorang pria tinggi dengan setelan mahal berdiri, tatapannya dingin seperti es.
"Siapa kau?" salah satu ini bertanya dengan suara kesal karena terganggu. "Sebaiknya jangan bermain menjadi pahlawan."
Pria tinggi itu tidak menjawab. Ia melangkah maju, auranya yang mengintimidasi membuat semua orang di sana merasakan ancaman, termasuk aku. Ketika ia cukup dekat, cahaya dari salah satu gedung memperlihatkan wajahnya.
Aku terkejut. "Sanders Gram? Apa yang dia lakukan di sini?" suaraku bergetar.
Aku berpikir cepat. Jika ada Sanders, apakah artinya Ethan Darnell juga ada di sekitar sini? Sanders Gram adalah orang kepercayaan Ethan Darnell. Saudara kembar Sanders yang mati di tangan Raymond.
Sanders hanya menatap para itu dengan penuh kebencian. "Aku bilang, lepaskan dia," ulangnya, kali ini dengan nada lebih rendah tetapi lebih mengancam.
yang mengancamku ragu sejenak sebelum akhirnya melepaskanku. Aku jatuh ke lantai, terengah-engah.
"Kau tahu siapa kami?" salah satu itu mencoba bersikap berani.
Sanders tersenyum dingin. "Aku tidak peduli siapa kalian. Jika kalian tidak pergi sekarang, kalian akan tahu apa artinya menantang keluarga Darnell."
Pernyataan itu malah semakin membuat para itu lebih marah. "Mumpung orangnya Darnell ada di sini, kenapa tidak kita habisi sekalian dia lalu kita bisa membawa wanitanya Darnell sebagai tawanan?"
Mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengeluarkan senjata masing-masing. Aku sungguh tidak ingin terlibat dengan semua kekonyolan ini. Maka, diam-diam aku berlari meninggalkan gang yang gelap itu.
Tapi, salah satu dari para itu menyadari kepergianku dan dia mulai mengejarku. Dengan susah payah aku akhirnya sampai di ujung gang. Mataku disilaukan oleh cahaya lampu mobil yang melaju dengan kencang. Aku hampir saja tertabrak jika seseorang tidak menarik tanganku dengan kuat dan membuatku jatuh... di pangkuannya!
Saat mataku sudah beradaptasi, aku kaget karena aku duduk di pangkuan Ethan Darnell yang keras dan berotot.
"Hei, pria cacat! Kembalikan perempuan itu pada kami!" teriak dua yang berhasil mengejarku ke ujung gang.
Aku berusaha melepaskan diri dari pangkuan Ethan yang duduk kaku di kursi rodanya, tapi Ethan menahan pinggangku. "Tetaplah di sini. Ini perintah!"
LILIANADarahku berdesir kencang, napasku tersengal, dan tubuhku membeku dalam kehangatan yang aneh. Tidak lama aku duduk di pangkuan Ethan yang keras dan berotot. Entah bagaimana aku memikirkan semua itu.Apakah dia berolahraga? Ethan bahkan tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya, lalu bagaimana dia melatih otot-otot kakinya sampai sekeras dan seenak ini? Wajahku bersemu merah memikirkan hal-hal yang tak pantas. Aku segera menepis pemikiran memalukan itu."Kenapa kau kembali ke sini?" geram Ethan. "Sudah kuperingatkan kau untuk tidak pernah muncul lagi di hadapanku, kan?"Di pangkuannya, aku berusaha mendorong dada Ethan agar aku bisa menatapnya dengan tajam. "Aku juga tidak menginginkannya! Kaulah... jika bukan karena kau, para serigala ini tidak akan memburuku!"Ethan marah, bukankah seharusnya itu aku yang marah? Enak saja dia menyalahkanku. Aku berusaha untuk turun dari pangkuan Ethan, akan tetapi dari arah yang berbeda, aku mendengar suara derap langkah kaki. Bukan hanya satu a
ETHANLangit malam berpendar dengan sinar bulan yang redup ketika Sanders berhenti di depan gerbang mansion, dan pasti dia akan membawaku masuk ke ruanganku. Napasku masih terengah-engah, bukan karena kelelahan, tetapi karena amarah yang mendidih di dadaku. Begitu pintu mobil terbuka, aku berteriak padanya dengan tatapan penuh bara."Sanders! Apa yang kau lakukan?!" teriakku penuh kemarahan.Dia tidak menjawab. Sanders bergerak secara efektif dan membantuku duduk di kursi roda. Tubuh tegapnya bergetar halus sebelum akhirnya dia berlutut di hadapanku, kepalanya tertunduk. Aku tidak membutuhkan penjelasannya. Aku tahu persis apa yang baru saja dia lakukan.Plak!Tinju kananku mendarat keras di wajahnya, membuat kepalanya sedikit terpelanting. Namun, Sanders tetap diam, tidak membalas, bahkan tidak mengangkat kepalanya."Maafkan aku, Bos. Aku hanya menjalankan tugasku untuk melindungimu," ujarnya lirih.Plak!Tinju keduaku menghantam pipinya, lebih keras dari sebelumnya. Napasku memburu,
LILIANATubuhku gemetar bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena amarah dan ketakutan yang menyatu dalam nadiku. Aku tidak berdaya, hanya berbalut pakaian dalam, dengan tangan yang dicengkeram kuat oleh dua priabertubuh kekar. Mereka menahanku dengan cengkeraman baja seolah aku hanyalah seekor anak rusa yang siap dikorbankan.Sang bosmelangkah mendekat. Langkahnya pelan, penuh keyakinan, dan matanya yang tajam berkilat dari balik topeng yang menutupi sebagian wajahnya. Aku berani bersumpah, di balik topeng itu tersembunyi ekspresi penuh perhitungan."kau!" umpatku, menendang ke arahnya. Tapi ia hanya sedikit memiringkan tubuhnya, dengan mudah menghindari seranganku seolah itu hanya sebuah angin lalu.Dia mengambil pakaianku yang robek dan penuh lumpur dari tanah, menimbangnya sejenak sebelum melemparkan ke salah satu anak buahnya. "Kirim pakaiannya sebagai bukti!" perintahnya dingin.Mataku membelalak. "Siapa kau?
LILIANAAku pikir dia tahu tentangku saat dia menyebutkan ancaman bahwa aku mungkin tidak akan bisa bertemu dengan anakku. Rupanya dia tidak tahu apa pun. Aku hanya tersenyum kecut. Tiga tahun lalu setelah aku diusir dari Solaris Heights oleh suamiku sendiri, Ethan Darnell, dan dituduh menjadi penipu dalam pernikahan politik itu, aku benar-benar menghilang dan bersembunyi. Tidak ada yang tahu jika aku masih hidup atau apa yang sedang aku lakukan.Ryder Black adalah teman masa kecil Ethan Darnell. Begitu yang aku dengar dari gosip yang beredar di kalangan sosialita Celestia. Meski demikian, hanya sekali aku pernah bertemu dengannya, di pesta pernikahanku dengan Ethan. Lebih tepatnya, aku melihat dia tapi dia tidak melihatku. Jadi kenapa tiba-tiba sekarang dia muncul dan menculikku?Aku mengerjap-ngerjapkan mataku saat menatap wajah Ryder. Dia tampan sekali dari jarak sedekat ini. Pertemuan pertamaku dengannya tidak berkesan sama sekali. Saat itu aku bahkan tidak menganggap dia ada. Kar
ETHANAku menunggu cemas di kantorku. Sudah beberapa botol vodka tapi tidak juga membuatku merasa lebih baik. Entah sudah berapa jam waktu berlalu sejak mereka membawa atau bahkan menculik Lili.Kukepalkan tinjuku kuat-kuat. Kenapa di saat seperti ini aku merasa menjadi sangat lemah? Selama ini aku tidak pernah merasa goyah dan selalu percaya diri meski wolf di dalam diriku hilang pergi entah ke mana usai kecelakaan itu. Bahkan kedua kakiku pun mengkhianatiku. Aku jadi lumpuh. Tapi aku tidak pernah merasa terpuruk. Lalu kenapa sekarang aku merasa seperti pecundang?Harga diriku mereka cabik-cabik. Mereka sengaja merebut apa yang aku inginkan atau tidak? Aku jadi ragu pada diriku sendiri. Kenapa aku harus merasa cemas? Aku mencoba menguraikan perasaanku yang kacau saat ini.Pertama, aku dan Liliana tidak ada hubungan lagi. Aku sudah mengusirnya dari keluargaku sejak tiga tahun lalu dan selama itu pula dia hilang seolah ditelan bumi. Kedua,
LILIANARyder tiba-tiba menangkap pergelangan tanganku dengan sangat cepat dan menjepitnya sekuat jepitan baja. Dia langsung menjauhkan tanganku dari pistol di pinggangnya."Jangan coba-coba," bisiknya tajam.Aku mengerang kesakitan, bahkan menjerit kesal karena kalah. Aku benar-benar merasa sangat frustrasi. Mata kami bertemu, dan dalam kilatan sekilas, aku bisa melihat peringatan di matanya. Ia tahu apa yang kupikirkan.Aku menggertakkan gigi, berusaha menyembunyikan keterkejutanku. "Kau ... mungkin salah paham. Aku hanya... haus dan ingin ke toilet."Aku tidak punya ide lain, hanya alasan itu yang terlintas di dalam kepalaku saat ini.Ryder tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia hanya menatapku lebih dalam, sebelum akhirnya melepaskan genggamannya perlahan.Aku menarik tanganku dengan hati-hati, lalu menegakkan punggung. "Aku bilang ingin ke toilet... dan haus."Dia menghela napas, seolah mempertimbangkan jawabannya. "Tahanlah sebentar lagi. Kau bukan anak kecil. Tidak jauh lagi kit
SOPHIAAku benci diabaikan!Ethan tidak hanya mengabaikan pertanyaanku, tetapi juga secara gamblang mengabaikan keberadaanku. Kami seharusnya menghadiri jamuan makan malam keluarga malam ini dan mempertegas tanggal pertunangan kami. Namun, sejak aku tiba di rumahnya, dia tampak gelisah, seolah pikirannya berada di tempat lain. Itu membuatku muak!"Kenapa kau ke sini, Sophi?" tanyanya dengan nada enggan.Aku tersinggung sekali. Aku memandangnya dengan tajam, menuntut penjelasan atas sikap dinginnya."Apakah ini karena Lili?" Aku tidak bisa menahan diri untuktidakbertanya.Ethan mengalihkan tatapan dariku, ekspresinya tampak lelah dan... penuh kebingungan. Aku semakin curiga."Bukankah kau sudah mengusirnya, Ethan? Kenapa dia kembali ke sini?""Aku tidak tahu!" jawab Ethan gusar. Rahangnya mengeras, kedua tangannya terkepal di atas sandaran lengan kursi rodanya."Bagaimana bisa kau tidak tahu?"
LILIANAAku memandang berkeliling. Orang-orang ini telah mengubah penampilan mereka dari para bandit ke para pria dan wanita pada umumnya. Membuat satu hal tampak jelas: mereka semua orang-orang kota. Tidak seperti dugaanku jika mereka para penjahat yang biasa hidup bebas dan berkeliaran bersama kelompoknya. Aku pikir mereka para atau anggota geng yang terorganisasi.Harus aku akui, sikap dan suaraRydermemikat.Dia tampak lebih menonjol dibandingkan yang lain.Matanya luar biasa biru dan berkilau, tapi apakah benar-benar memesona?Tiga tahun lalu, Ryder yang aku dengar memang seorang CEO grup perusahaan terkenal. Tapi, sepertinya di sini mereka tidak memandangnya begitu.Jika benar, apakah mereka semuakumpulan orang-orang yang terusir dari rumah dan perusahaan masing-masing oleh Ethan Darnell?Wah... aku kaget dengan pemikiranku sendiri. Apalagi perempuan yang agresif tadi, juga termasuk di dalamnya? Apa y
LILIANADengan susah payah, aku akhirnya berhasil melepaskan diri darinya dan menjauh. Aku menarik selimut yang tadi menjadi alas dudukku, membungkus tubuhku, lalu berguling di bawah pohon. Jika dia melarangku pergi ke pondok, maka aku akan tidur di sini. Aku tidak peduli.Angin malam bertiup pelan, menyentuh kulitku yang mulai dingin. Aku merapatkan selimut, mencoba menenangkan diri. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama.Tanpa peringatan, Ryder meraih tubuhku, mengangkatku bersamaan dengan selimut yang membungkusku erat. Aku terperangkap! Aku meronta sekuat tenaga, tapi itu sia-sia."Apa yang kau lakukan?" pekikku."Membawamu pergi," jawabnya singkat.Aku terus menggeliat, mencoba melepaskan diri, tapi Ryder tetap melangkah mantap seolah aku hanyalah gumpalan kapas dalam gendongannya. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha menggigit lengannya, berharap dia akan melepaskanku."Aww!" Dia mengumpat pelan, tapi tidak menghentikan langkahnya. "Sial, kau benar-benar liar."Aku tidak pedu
LILIANAAku menggigit bibir bawahku, menyadari bahwa aku telah menginjak ranah yang seharusnya kuhindari. "Aku hanya bertanya," jawabku akhirnya, berusaha membela diri.Ryder menghela napas pelan, lalu bangkit dari tempatnya duduk. Dia menarikku ke balik batu besar tempatnya bersandar tadi. Kami tersembunyi dari semua orang. Anehnya, aku tidak menolak. Sebaliknya, aku tidak bergerak, meskipun ada dorongan dalam tubuhku untuk mundur."Serina bukan siapa-siapaku," katanya, berdiri tepat di hadapanku. Dia mengunci tubuhku di antara kedua lengannya yang menekan batu. "Dan aku tidak membiarkan siapa pun memilihkan jalan hidupku."Aku menelan ludah. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku merasa seakan ia sedang berusaha menegaskan sesuatu padaku."Kalau begitu," suaraku hampir berbisik, aku tidak akan terintimidasi. "Mengapa dia begitu marah kepadaku?"Ryder menyipitkan matanya. "Kau terlalu banyak bertanya."Aku mendengus pelan, mencoba menutupi kegugupanku. "Aku sandera di sin
LILIANASebelum aku bisa merespons, satu penjaga pintu sudah bergerak cepat, tangannya yang besar mencengkram tanganku dan menarikku dengan kasar. Aku berusaha melawan, berteriak dan berontak sekuat tenaga. "Tidak!" aku berteriak, suaraku pecah. Aku berusaha untuk menarik diriku dari genggaman tangan penjaga yang kasar, tetapi usahaku sia-sia. Tangan besar itu tak tergoyahkan, menarikku tanpa ampun.Aku merasa tubuhku terangkat dari lantai, tak mampu melawan. Tanpa ampun, mereka membawaku keluar dari balai pertemuan itu, menarikku kembali ke pondok. Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku akan terkunci di sana, sendirian. Mereka tidak akan membiarkanku keluar sampai mereka yakin aku tak akan mencoba melarikan diri atau melakukan sesuatu yang bisa membahayakan mereka.Setiap langkah yang mereka ambil membawa aku semakin jauh dari apa yang masih tersisa dari kebebasanku. Rasanya seperti ada tembok besar yang menghalangi jalanku, dan aku tak tahu bagaimana cara menghindarinya. Ak
LILIANA“Dan jika aku menolak?” Aku masih mencoba melawan, meskipun tahu bahwa aku berada di ujung tanduk.Ryder mendekat, membungkuk agar wajahnya sejajar dengan wajahku. “Kau tahu jawabannya, Liliana. Jangan salah langkah," Ryder mengingatkan, suara serak penuh ancaman. "Waktumu kurang dari satu menit untuk bicara pada suamimu!"Aku menatap kursi itu, tak tahu apa yang harus dilakukan. Menuruti perintah Ryder, atau melawan? Namun, saat aku melihat pisau itu dan mengingat video anak-anak di panti asuhan, aku tahu jawabannya. Aku harus melakukannya. Aku harus bertindak seperti yang mereka mau, atau aku tidak akan pernah keluar dari sini hidup-hidup.Dengan tangan gemetar, aku duduk di kursi yang sudah ditunjukkan Ryder. Aku bisa merasakan betapa dinginnya udara di ruangan ini, seakan-akan segala sesuatu telah dihentikan untuk memberi perhatian penuh padaku. Suasana semakin mencekam, dan setiap detik terasa seperti satu abad.Saat aku duduk, aku baru menyadari mengapa ruangan ini begitu
LILIANATanpa berpikir panjang, aku melangkah masuk ke dalam pondok besar ini. Aku pikir tempat ini adalah yang paling besar di antara semua pondok yang telah kutemui sebelumnya. Pikirku, mungkin mereka menyajikan sarapan di sini. Aku sangat lapar setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan. Kulangkahkan kaki dengan penuh harap, berharap bisa menemukan sesuatu yang mengisi perutku yang sudah mulai keroncongan.Namun, begitu aku masuk, langkahku langsung terhenti. Suasana di dalam ruangan ini begitu sunyi, seolah waktu berhenti di sini. Pencahayaan yang remang membuat ruangan terasa lebih besar dan mencekam. Ada aroma maskulin yang kuat, yang segera membuatku merinding. Aku mencoba menyesuaikan diri dengan pencahayaan yang redup, berharap bisa melihat lebih jelas, dan apa yang kulihat membuat hatiku hampir berhenti berdetak.Di tengah ruangan, sebuah meja besar terletak melingkar, dikelilingi oleh sejumlah pria. Mereka duduk dengan sikap tenang, seperti sedang menunggu sesuatu, nam
RYDERAku mencoba untuk merencanakan sesuatu yang sederhana. Hanya sedikit hukuman kecil untuk Liliana. Jika aku bisa membuatnya merasa tidak nyaman, mungkin dia akan sedikit menyerah, atau setidaknya berhenti melawan setiap kata yang aku ucapkan.Kali ini, aku memilih pakaian yang menurutku sangat buruk. Pakaian usang yang terbuat dari kain kasar dan warnanya pudar. Pasti, dia tidak akan terlihat bagus mengenakannya. Itu akan membuat dia tidak nyaman dan malu. Pasti!Tapi aku salah. Bahkan pakaian seburuk itu pun, tetap terlihat menakjubkan di tubuhnya. Liliana, dengan rambut basah yang baru saja dicelupkan ke dalam sungai, mengenakan pakaian itu dengan cara yang begitu... memukau.Aku hanya bisa berdiri dan menatapnya. Rambutnya setengah basah, meneteskan air ke tanah, dan dia tidak memiliki cara lain untuk mengeringkannya. Tidak ada pengering rambut, tidak ada alat lainnya. Satu-satunya cara adalah dengan handuk yang tampak usang, tetapi hasilnya tak memadai.Beberapa bagian rambut
RYDERSetelah meninggalkan Randal, aku pergi ke pondok paling atas. Tempat di mana Liliana aku tinggalkan semalam. Zero, nama pemuda yang aku minta berjaga di depan pondok, sampai aku datang, rupanya dia masih duduk di sana dengan tenang. Aku tidak ragu lagi. Dia benar-benar menjalankan tugasnya untuk menjaga tawanan dengan baik.Saat aku tiba di sana, matahari baru saja merayap naik di langit, menyibak kabut yang terus membungkus lembah ini. Zero masih duduk dengan santai di depan pintu, wajahnya datar tapi matanya sedikit berbinar saat melihatku datang. Dia tidak tampak lelah sama sekali, tapi mungkin hanya bosan karena hanya duduk berjaga sendirian."Kau sudah boleh pergi sekarang!" tegurku dengan nada tegas.Zero langsung berdiri, meregangkan tubuhnya sejenak sebelum melambaikan tangan ke arahku dengan senyum tipis. "Dia tidak membuat keributan semalam, cukup tenang," lapornya sebelum melangkah pergi. "Aku akan pergi sarapan. Jika kau butuh aku untuk berjaga lagi...""Aku akan mem
RYDERPagi cepat sekali datang, tapi aku masih juga belum bisa tidur. Semalaman penuh aku terjaga dan waspada. Meski sudah kutempatkan para penjaga di kawasan ini, entah kenapa rasanya masih ada yang kurang. Kucengkeram batang pohon yang ada di depan pondokku dan menatap ke kejauhan. Memastikan semuanya berjalan normal.Aku kembali mengevaluasi seluruh prosesnya. Penculikan berjalan dengan mulus, tanpa cela. Semuanya sudah dalam rencana. Tapi entah kenapa aku tidak merasa bahagiaatas keberhasilan ini. Tujuanku sudah dekat. Sandera sudah ada di tangan, tinggal selangkah lagi untuk melakukan pertukaran. Tapi hatiku gelisah. Aku tidak senang sama sekali.Pikiranku terus tertuju pada Liliana. Ada apa dengan diriku?Kami bahkan tidak saling mengenal sebelumnya. Tidak boleh ada sentimen pribadi dengan sandera.Angin berembus pelan, menggoyangkan dedaunan pinus yang menjulang tinggi. Aku mengeraskan rahang, mencoba mengabaikan gejolak
RYDERAku menekan pedal rem dengan kasar dan menghentikan trukku di depangerbang masukarea perlindungan. Ada banyak pondok kayu tua yang tersembunyi di tengah hutan. Liliana duduk di kursi penumpang, tampak tegang, kedua tangannya mengepal di atas pahanya yang terbuka. Aku berbalik menatapnya tajam."Keluar!" suaraku terdengar tajam, hampir seperti geraman. Aku tidak ingin berlama-lama berdua dengannya. Tidak ingin kehilangan kendali.Liliana mengangkat wajahnya, menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Matanya yang cokelat tua seperti hendak mengungkapkan sesuatu, tetapi aku tidak peduli."Cepat!" desakku lagi, merasa napasku sendiri semakin berat.Aku tarik pintu di sampingnya, memaksa dia turun.Dengan enggan, Liliana akhirnya turun dari truk. Udara malam yang dingin menyergapkami, membuatdiamerapatkan kemeja flanel yang kupinjamkan. Aku melihatnya menarik-narik ujung celana pendeknya, t