Clara semakin bersemangat melihat Aurora meringis, ia semakin berani saat melihat Jonny yang tidak memperdulikan apa yang dia lakukan pada Aurora.
"Sungguh kasihan, baru kehilangan anak kemarin, sekarang sudah kehilangan suami. Sebaiknya kamu segera pergi jika kamu masih punya malu!" kata Clara. Aurora yang lemah secara fisik, tidak sepadan dengan Clara. Rasa sakit yang intens di perutnya hampir membuat Aurora tidak bisa berdiri. Clara melepaskan Aurora, ia membersihkan tangannya dengan tisu karena merasa jijik sudah memegang rambut Aurora. "Cepat keluar dari kamarku!" teriak Jonny dengan tidak sabar. Aurora tidak tahu harus kemana setelah ini. Ia tidak memiliki keluarga dan rumah neneknya pun sudah di jual. "Jonny, kamu akan menyesal," gumam Aurora dengan dingin. Aurora menghapus darah dari sudut mulutnya, setelah itu ia keluar dari kamar itu. Langkahnya sempoyongan karena kehilangan tenaga, namun ia tetap berusaha tegar. Tepat saat ia sampai di depan pintu keluar, ia kebetulan bertemu ibu mertuanya, Delina Smith dan adik iparnya, Niken yang baru saja kembali. "Ibu, Niken ...., " Aurora tersenyum manis saat menyapa mertua dan adik iparnya itu. "Sepertinya kamu sudah tahu. Sebaiknya kamu segera pergi dari kehidupan anakku. Sudah tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan kamu. Anakmu sudah mati dan kamu tidak memiliki status yang jelas. Keberadaan mu hanya akan membuat malu keluarga besar Smith." Delina mengatakan itu dengan wajah yang dingin dan tanpa rasa kasihan. Bola mata Aurora kembali basah, perkataan Delina setajam pisau yang menghujam tepat di jantung nya. "Kenapa kalian semua melakukan ini padaku? Apa hati kalian sudah mati sehingga tidak punya simpati padaku?"teriak Aurora menggunakan tenaga terakhirnya. "Kamu harusnya bersyukur karena kami mau menampung anak yatim dan miskin sepertimu. Anakku benar-benar sudah buta karena menikahi wanita sepertimu,"kata Delina dengan kasar. "Aku ..." "Cukup!" teriak Niken. "Sekarang juga pergi dari sini!" Niken menarik Aurora dengan kasar lalu mendorongnya keluar dari gerbang dengan kasar. Gedebug ... Ouch .... Aurora terjatuh ditengah hujan. Untungnya untuk kedua kalinya, ia selalu bisa menjaga perutnya agar tidak terbentur. Ia ingin melindungi yang masih ada di dalam perutnya. "Pergi kamu! Jangan pernah kembali!"setelah mengatakan itu, Niken segera masuk ke dalam rumah bersama ibunya. Aurora terduduk lemas di tengah genangan air hujan. Rasa sakit di perutnya bercampur dengan rasa sakit di hatinya. Semua mimpi dan harapannya sirna dalam sekejap. Ia terpuruk dan tak tahu harus berbuat apa. "Aku ...., aku ...., aku akan membalas kalian!" gumam Aurora dengan suara yang gemetar. Hujan terus menguyur. Air mata Aurora bercampur dengan air hujan, membasahi wajahnya. "Aku akan membalas semua perbuatan kalian! Aku akan membalas kalian!" gumam Aurora lagi, mengucapkan janji pada dirinya sendiri. Aurora mendongak, terkejut saat seseorang lelaki berpakaian hitam memayunginya. "Kamu siapa?"tanya Aurora dengan suara yang lemah. "Hujan semakin deras, sebaiknya, kita segera pergi dari sini, Nona. Nanti, saya akan jawab pertanyaan Nona." Tanpa berpikir macam-macam, Aurora mengikuti laki-laki itu. Sekarang, Aurora sudah berada di dalam mobil. Ia bersandar karena kelelahan dan kedinginan. Melihat Aurora kedinginan, lelaki itu memberikannya jaket. "Nona, pakai jaket saya dulu untuk sementara!" Aurora mengambil jaket itu sambil tersenyum tipis. Ia merasa sedikit lebih hangat. Ia memperhatikan kendaraan berlalu lalang dari dalam mobil dengan perasaan yang berantakan. "Tuan, siapa Anda? Ke mana Anda akan membawa saya?"tanya Aurora setelah selesai dengan lamunannya. Pria itu mengemudikan mobil sambil melirik Aurora dari kaca depan. "Saya Julian, orang kepercayaan keluarga Santoso. Saya ditugaskan membawa Nona pulang ke rumah Keluarga Santoso." Aurora tercengang mendengar nama keluarga Santoso yang sangat terkenal. Ia tidak mengerti kenapa ia harus pulang kesana. "Kenapa kamu membawa saya ke rumah keluarga Santoso?" Aurora bertanya lagi setelah lama terdiam. Mobil melaju dengan cepat di jalanan yang sepi. Aurora masih menunggu penjelasan dari Julian. "Karena anda andalah pewaris keluarga Santoso yang sudah lama hilang,"jawab Julian. "Apa kamu tidak salah orang?" Aurora tidak bisa mempercayai apa yang dia dengar. Julian tersenyum tipis. "Iya. Saya sudah mempersiapkan semuanya untuk membuat Nona percaya." Julian memberikan beberapa bukti berupa tes DNA, foto, data rumah sakit dan surat keterangan lahir atas nama Jasmine Santoso.Aurora meneteskan air mata. Ini adalah takdir baik untuknya. Ia tidak menyangka kalau dirinya benar-benar pewaris dari keluarga Santoso."Kenapa mereka baru mencari ku sekarang? Dan kenapa aku bisa diasuh oleh nenek Julia?" tanya Aurora setelah menyeka air matanya."Maaf, Nona. Saya belum bisa memberikan penjelasan lebih detail. Nona akan mendapatkan semua informasi saat kita tiba di rumah," kata Julian.Aurora terdiam sejenak, mencoba mencerna sedikit informasi yang diberikan Julian. Aurora bercampur bingung, kecewa, dan sedikit ketakutan. Ia tidak tahu harus senang atau sedih karena rasa sakitnya masih menganga hebat. Aurora terkejut saat memasuki kawanan Central Business Distric yang dijuluki segitiga emas. Harga tanah disana rata-rata Rp 60-200 juta per meter persegi.Akhirnya, Aurora sampai di rumah mewah keluarga Santoso. Julian memarkir mobilnya di depan pintu utama."Rumahnya mewah banget. Lebih mewah dua kali lipat dari rumah mewah keluarga Smith. Apakah ini rumah keluarga S
Lima tahun kemudian, Aurora kembali ke Jakarta dengan penampilan baru yang memukau. Rambut panjangnya kini telah dipotong sebahu, memberikan kesan yang lebih segar. Matanya berbinar, langkahnya lebih mantap dan percaya diri.Aurora menurunkan kaca mobilnya sedikit, ia menghirup udara malam dan sambil menatap kota yang sudah lama ia tinggalkan itu. Ia merasa Jakarta, kota yang pernah membuatnya merasa sakit, kini terasa seperti kanvas kosong yang siap ia lukis dengan warna-warna hidupnya yang baru."Nona, Jasmine. Kenapa kita belum sampai juga? Di mana kita sekarang?"Aurora menoleh ke arah bocah laki-laki berusia 5 tahun itu. Namanya Ethan. Ia duduk di kursi belakang mobil. Ethan adalah anak Aurora dan Jonny.Rambut Ethan yang keemasan terlihat lebih panjang dan mata birunya semakin bersinar. Ethan mewarisi gen neneknya yaitu Emiliana yang merupakan orang Inggris. Aurora menggelengkan kepala. Karena Ethan lebih sering memanggil namanya daripada memanggilnya ibu."Sebentar lagi sayan
"Maafkan Ibu sayang, tapi kamu harus bersama Tante Silvia dulu."Ethan menghela nafas panjang, ia menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Aku akan melaporkan Nona muda Jasmine kepada Nona tua. Kalau Nona sudah mengabaikan anak Nona. Sekarang, aku tidak mau bicara denganmu lagi." Ethan sangat kesal sehingga ia mematikan panggilan itu secara sepihak lalu melempar ponselnya ke bawah. Silvia hanya bisa menarik nafas sembari mengambil ponsel Ethan dengan hati-hati. Mall megah di pusat kota Jakarta bergema dengan suara tawa anak-anak, alunan musik lembut, dan deru langkah para pengunjung. Ethan, yang baru berusia lima tahun itu, berjalan pelan dengan tas merah di punggungnya diikuti oleh Silvia."Ethan, apa kamu mau ke tempat permainan dulu?" tanya Silvia dengan hati-hati.Ethan meliriknya dengan tajam. "Astaga, Tante Silvia, aku ini bukan anak kecil yang lebih suka bermain.""Oke. Jadi, kamu mau ke mana dulu?" tanya Silvia lagi sembari menahan tawanya."Nona Jasmine akan ulang tahun mi
Aurora tersenyum sinis, hatinya dipenuhi rasa jijik mendengar pertanyaan Jonny. Ia sekarang merasa menyesal pernah memberikan cinta dan hatinya sepenuhnya untuk Jonny."Nama saya Jasmine bukan Aurora. Jadi, Anda salah orang, Tuan," jawab Aurora dengan tenang.Jonny tersenyum mengejek, yakin bahwa di hadapannya adalah Aurora."Kita pernah hidup bersama selama dua tahun. Kamu tidak bisa menipuku. Aku tahu betul kamu adalah Aurora," kata Jonny dengan percaya diri.Aurora mengepal tangan dengan erat, berusaha menahan emosinya. Ia tidak ingin mengungkapkan identitasnya terlalu cepat."Akui saja bahwa kamu adalah Aurora, mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk kembali bersamamu," kata Jonny sambil meraih tangan Aurora. Aurora tercengang. Ia tidak percaya Jonny adalah pria yang tidak tahu malu, sangat menjijikkan."Lepaskan saya, Tuan!" Aurora berusaha melepaskan diri. "Saya bukan wanita yang kamu maksud. Selain itu, saya sudah menikah dan memiliki seorang anak."Aurora menatap Jonny dengan
"Jasmine, sepertinya ada acara di dalam. Banyak mobil mewah parkir di sini," kata Silvia setelah mengamati restoran itu dari dalam mobil.Aurora tersadar dari lamunannya."Kamu benar. Sebaiknya kita cari tempat makan yang lain. Aku ingat, ada restaurant seafood yang enak di dekat perumahan kita. Bagaimana kalau kita makan disana saja?"Walaupun merasa sangat lapar, tapi Ethan tetap mengangguk karena dia tidak suka makan di tempat yang ramai."Oke," ucap Ethan.Setelah itu, mereka segera meninggalkan restoran itu. Di sepanjang jalan, Aurora merasa tidak nyaman. Ia masih ingat pertemuannya dengan Jonny yang secara tiba-tiba. Lain kali, ia harus berhati-hati agar Jonny dan Ethan tidak bertemu lagi.Keesokan harinya, Aurora tiba di kantor Maverick Group. Dulu, saat kuliah, ia bercita-cita menjadi desainer utama di perusahaan bergengsi ini. Namun, mimpinya kandas setelah ia berhenti kuliah dan menikah.Kini, ia adalah desainer terkenal di Inggris dengan nama Jasmine Santoso. Namun, kali ini
Ana menunduk, jantungnya berdebar kencang. Jari-jarinya memainkan ujung bajunya dengan gemetar, menunjukkan rasa gugup yang tak tertahankan. Ia tak berani menatap mata Archen, pria yang sudah terkenal kejam dan tak kenal ampun di perusahaan ini. "Manager Mona yang membuat keputusan, Bos," jawab Ana lirih, suaranya bergetar seperti daun kering ditiup angin. Archen mengerutkan kening. Sorot matanya tajam, seperti pisau yang siap menusuk. Ia tidak menyangka kalau Manager Disain perusahannya sangat tidak kompeten. "Mona tidak berhak menolak pelamar yang memiliki kemampuan," ucapnya, nada suaranya dingin dan penuh penolakan. Tepat saat itu, Roni, asisten Archen, muncul di belakangnya, wajahnya dipenuhi keringat dingin. "Ada apa, Bos?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar, ia menyadari ketegangan yang mencekam di udara. "Katakan pada pelamar ini, kalau besok dia boleh bekerja!" kata Archen, suaranya tegas, seraya menyerahkan dokumen pelamar yang dimaksud. Roni tercengang. Matanya te
Roni, mengabaikan protes Mona lalu keluar dari ruang wawancara itu bersama Ana.Wajah Mona memerah menahan amarah, ia segera pergi dari ruangan itu menyusul Ana dan Roni."Kenapa kamu muncul lagi setelah lima tahun dan langsung membawa masalah untukku? Apakah kamu kembali untuk merebut suamiku dan balas dendam?" Mona menatap Aurora dengan tatapan tajam yang penuh amarah.Langkah Aurora terhenti ketika mendengar pertanyaan Clara. Aurora membalas tatapan Clara yang menghalangi jalannya menuju pintu keluar. "Bagaimana kalau itu benar? Apa kamu takut dia akan meninggalkan kamu seperti yang dia lakukan padaku dulu?"Clara mengepal tangannya karena kesal. "Jonny tidak mungkin meninggalkan aku demi wanita jelek dan miskin sepertimu. Selain itu, kami sudah memiliki anak yang mengikat kami. Dan selama ini kami hidup bahagia!"Aurora sedikit terpancing, ia mengingat masih anaknya yang selama lima tahun tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari Ayahnya. Sedangkan Ayahnya, tidak mengetahui kebe
Menyadari keberadaan Jonny, Aurora segera pamit dari hadapan Archen. Ia tak ingin kebohongannya terbongkar jika Jonny melihat Archen. Archen membiarkan Aurora pergi, karena ia harus menghubungi seseorang di dalam mobilnya."Aurora?" Suara itu, tegas dan dingin, memanggil namanya. Aurora terhenti, jantungnya berdebar kencang. Tak ada yang bisa menyembunyikan identitasnya dari Jonny."Ternyata kamu masih hidup!" Jonny berdiri di hadapannya, tatapannya menusuk.Aurora mencoba bersikap tenang, seolah-olah tidak mengenal Jonny. "Apa kamu kecewa melihatku masih hidup?"Jonny tersenyum sinis, memperhatikan Aurora dari atas hingga bawah. "Sepertinya kamu belum bisa melupakan aku, sehingga kamu memilih untuk tetap hidup!"Aurora tersenyum geli mendengar pertanyaan Jonny. Lelaki ini terlalu percaya diri."Kamu tersenyum, apa untuk menggodaku?" tanya Jonny, suaranya berbisik. "Maaf, aku tidak akan pernah tergoda olehmu!" Aurora mengangkat dagunya, berusaha mempertahankan ketenangannya. "Jika tu
Sinar matahari pagi menerobos jendela kaca besar, menyorot meja kayu di sudut Restaurant. Archen, dengan kemeja berwarna hitam, rapi dan senyum manis yang terukir di wajahnya, menatap Aurora dengan tatapan yang penuh kelembutan. Kecanggungan masih terasa di udara, seperti asap tipis yang mengepul dari cangkir kopi di hadapan mereka.“Kamu mau pesan apa, Sayang?” tanya Archen, suaranya lembut seperti alunan melodi yang menenangkan.Aurora, dengan rambutnya yang panjang terurai di bahu dan mata yang berkilauan seperti embun pagi, mengelus menu di tangannya. "Nasi goreng seafood saja, minumnya air putih saja," jawabnya, matanya berbinar-binar. "Kalau kamu mau pesan apa? Biar sekalian aku pesankan?"Archen mengangguk dengan senyum yang tulus. "Samakan saja denganmu!"Aurora mengerutkan keningnya, jari-jarinya bertaut di bawah meja. Sekilas ia merasa Archen amat berbeda-beda hari ini, sedikit berlebihan.“Baiklah, nasi goreng seafood dua!” setelah membuat pesanan, Aurora kembali merasa
"Ini videonya," kata Archen sambil menyerahkan ponselnya pada satpam.Satpam menerima ponsel itu dan memperlihatkan video tersebut pada Clara dan Aurora. Video itu menunjukkan dengan jelas bagaimana Clara yang duluan ingin mendorong. Aurora hanya menghindar dan Clara malah terjatuh sendiri.Clara mencoba mengelak, "Itu editan. Bukan aku yang mendorong wanita ini, tapi dia yang sudah mendorongku!""Tidak bisa dibantah, vidio ini asli dan. menunjukkan dengan jelas kejadian sebenarnya," ujar satpam dengan tegas. "Saya meminta anda berhenti memfitnah orang, apalagi ini masih di lingkungan sekolah sekolah. Tidak baik jika ada. anak yang melihatnya."" lanjut satpam itu sambil menatap Clara dengan sinis. Clara langsung terdiam malu. Ia menatap tajam kearah Archen karena sekali lagi rencana jahatnya terbongkar oleh Archen. "Kenapa kamu selalu mencampuri urusan kami?"Archen tersenyum sinis, "Karena aku tidak suka melihat orang baik dirugikan oleh orang licik sepertimu!"Clara mencibir dan
"Jangan merasa hebat dulu karena satu kemenangan. Aku akan pastikan kalau hidupmu hancur untuk kesekian kalinya. Mudah bagiku kalau aku ingin menyingkirkan kamu dari Maverick Group lewat Tante Amanda, Ibu dari Presiden Maverick!" kata Clara sambil tersenyum angkuh, berusaha keras untuk menunjukkan dominasi.Aurora terdiam sejenak, mengingat pesan ibunya tentang Tante Amanda. Senyum sinis terkembang di bibirnya."Bukan aku yang akan hancur, tapi kamu yang akan hancur sampai ke akar-akarnya akibat ulahmu sendiri,"ucap Aurora pelan, tetapi suaranya beresonansi dengan kekuatan yang tak terduga. "Ingat, aku memegang kartu asmu. Dengan itu, aku bisa membuat keluarga Smith menyingkirkan kamu. Dan percayalah, mereka tidak suka sampah."Kata-kata Aurora bagaikan panah yang menusuk hati Clara. Amarah menguasainya sepenuhnya, matanya menyala membara. Ia ingin mendorong Aurora, membalas perkataannya yang menyakitkan. Sebelum tangannya mencapai bahu Aurora, ia sudah menghindar dengan cepat. Clara
"Bagaimana kalau nenek suapi?" tanya Emeliana sambil menatap lembut kearah Ethan.Ethan menggelengkan kepalanya, "Ethan sudah besar nenek. Ethan bisa makan sendiri.""Anak pintar. Tapi, kali ini saja nenek ingin menyuapi-mu. Boleh kan?" Emiliana memohon dengan raut wajah yang memelas.Ethan menarik nafas dalam, lalu mengangguk sambil tersenyum. Ia tidak mau mengecewakan neneknya. Emiliana langsung menyuapi Ethan dengan semangat dan gembira. Aurora memperhatikan interaksi hangat antara ibunya dan Ethan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba melupakan rasa tidak nyaman di hatinya. Sesaat kemudian. "Ethan, Mama sudah siapkan bekalmu. Mama akan mengganti pakaian dulu baru berangkat," kata Aurora setelah melihat Ethan selesai sarapan."Oke, Ma," jawab Ethan tanpa menoleh kearah Aurora. Setelah itu, Aurora meninggalkan Ethan yang tengah asyik ngobrol dengan neneknya.Aurora berganti pakaian. Ia memilih baju berwarna pastel, berusaha terlihat elegan namun tidak terlalu mencolok. Ia mena
"Begini rencanaku," Jonny memulai dengan senyum licik, "Pertama, kita perlu membuat Aurora gagal total di Jakarta Fashion Week. Tanpa panggung ini, dia akan kehilangan kredibilitas dan bisa jadi Maverick akan menyingkirkannya.""Tapi bagaimana kita bisa melakukannya?" tanya Clara, sedikit penasaran."Jangan khawatir, Clara," jawab Jonny, "Aku punya kontak di backstage Jakarta Fashion Week. Dia akan membantu kita merusak karya Aurora sebelum dia tampil. Dengan begitu, dia akan terlihat tidak profesional dan merusak nama baik Maverick Fashion.""Itu ide bagus," kata Delina, "Tapi bagaimana dengan orang-orang di luar sana? Bagaimana kita membuat mereka percaya bahwa Aurora memang pantas dipecat?""Mama tenang saja," jawab Jonny, "Kita akan menyebarkan rumor tentang Aurora. Kita akan membuat semua orang percaya bahwa dia mencuri desain Clara. Kita akan menyebarkan video-video manipulatif yang seolah-olah dia melakukan plagiat dan menggunakan tubuhnya untuk mendapatkan pekerjaan di Maveric
Walaupun tidak nyaman dengan pengaturan Aurora, tapi Archen hanya bisa mengatakan, "Baiklah.""Oh iya, besok aku ada acara, mungkin tidak akan ada di rumah saat kamu dan Ethan pulang." kata Archen dengan."Aku juga ada acara besok. Jadi, kamu tidak perlu khawatir. Sementara, kita selesaikan dulu urusan kita masing-masing baru berkumpul lagi," jawab Aurora dengan nada datar, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya."Oke. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku!" kata Archen dengan nada khawatir."Iya." Aurora menutup panggilan, seolah ingin menghindari pertanyaan lebih lanjut dari Archen.Dengan langkah lemas, Aurora kembali ke kamar Ethan. Ia memilih untuk tidur bersama putranya untuk menenangkan dirinya. "Besok akan menjadi hari yang panjang. Aku harus mengajak Tuan Muda Maverick untuk negosiasi agar dia yang membatalkan perjodohan ini," gumam Aurora, seakan mencari penghidupan di dalam gelapnya malam.Di suatu tempat, tepatnya di ruang tamu keluarga Smith terasa menyesakkan, setelah
Senyap-nya malam menyelimuti rumah saat Aurora selesai menidurkan Ethan. Dengan langkah hati-hati, ia keluar dari kamar Ethan. Cahaya redup lampu ruang tamu memantul pada lukisan abstrak di dinding, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang menari-nari. Aroma kopi dingin yang membekas di udara membuat Aurora menoleh. Disana, duduklah Emeliana, seolah terbungkus dalam kepulan misteri. Dua cangkir kopi dingin tergeletak di meja di hadapannya, seperti dua mata yang memandang kegelapan."Jasmine sayang,"suara Emeliana terdengar lembut namun penuh makna, "Apakah Ethan sudah terlelap?""Sudah, Ma," jawab Aurora, suaranya nyaris tak terdengar."Kalau begitu, kemari lah!," Emeliana berkata, suaranya kini lebih tegas. "Ada yang ingin Mama bicarakan."Aurora mendekat dan duduk di samping ibunya, tubuhnya masih terasa kaku, seolah terikat oleh rasa khawatir yang tak terdefinisi-kan. Emeliana menatapnya dengan mata tajam yang seolah menembus ke dalam jiwanya. "Anakku sayang," Emeliana memula
Aurora terpaku. Napasnya tercekat, tangannya gemetar menggenggam ponsel di dekat telinga. Suara Mamanya yang penuh harap terdengar samar, "Aurora, Mama dihubungi Tante Amanda. Dia mengatakan kamu dan anaknya belum bertemu. Jadi, kami berencana untuk mempertemukan kalian secara langsung. Makanya Mama pulang dadakan sehingga tidak sempat memberitahu kamu."Bayangan pernikahan paksa kembali menghantui Aurora. Entah mengapa, mendengar kata-kata Mamanya, jantungnya berdebar kencang. Ia bukan seorang putri kerajaan yang bisa dipersunting begitu saja. Namun, ia bingung harus berkata apa pada Mamanya. Ia belum siap memberitahu tentang pernikahan kilatnya, tentang Ethan, buah hati yang ia jaga dengan sepenuh hati."Maafkan aku, Ma. Sekarang aku akan pulang. Tapi, aku akan menjemput Ethan dulu di rumah Silvia!" katanya dengan suara serak, berusaha meyakinkan Mamanya bahwa ia tak bermaksud menunda pertemuan itu."Baiklah, jangan lama-lama. Mama sudah sangat rindu pada Ethan!" Mama Aurora menutup
Clara meninggalkan ruangan dengan langkah gontai. Ia bersumpah akan membalas penghinaan yang dia dapatkan hari ini. Dengan kekuatan keluarga Jhonson, ia akan menyingkirkan mereka yang menindasnya hari ini.Archen dan Aurora terdiam, menatap kepergian Clara. Keheningan menyelimuti ruangan, diiringi oleh deru AC yang seakan berbisik, "Karma itu benar adanya."Clara melangkah keluar dari ruangan, rasa dingin menjalar di sekujur tubuhnya. Ia berjalan gontai, menghindari tatapan mata rekan-rekannya yang menghakimi. Clara membereskan semua berkas dan barang-barangnya di ruangan yang sudah ia tempati selama berada di Maverick sebelum ia benar-benar meninggalkan perusahaan raksasa itu. Beberapa saat kemudian, Clara dan Jonny masuk ke dalam mobil. Jonny melajukan mobil dengan pelan, menghindari jalanan yang ramai. Clara terdiam, matanya menatap kosong ke depan. Jonny sesekali melirik Clara, jari-jarinya menggenggam erat tangan Clara, mencoba memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya