Aurora meneteskan air mata. Ini adalah takdir baik untuknya. Ia tidak menyangka kalau dirinya benar-benar pewaris dari keluarga Santoso.
"Kenapa mereka baru mencari ku sekarang? Dan kenapa aku bisa diasuh oleh nenek Julia?" tanya Aurora setelah menyeka air matanya. "Maaf, Nona. Saya belum bisa memberikan penjelasan lebih detail. Nona akan mendapatkan semua informasi saat kita tiba di rumah," kata Julian. Aurora terdiam sejenak, mencoba mencerna sedikit informasi yang diberikan Julian. Aurora bercampur bingung, kecewa, dan sedikit ketakutan. Ia tidak tahu harus senang atau sedih karena rasa sakitnya masih menganga hebat. Aurora terkejut saat memasuki kawanan Central Business Distric yang dijuluki segitiga emas. Harga tanah disana rata-rata Rp 60-200 juta per meter persegi. Akhirnya, Aurora sampai di rumah mewah keluarga Santoso. Julian memarkir mobilnya di depan pintu utama. "Rumahnya mewah banget. Lebih mewah dua kali lipat dari rumah mewah keluarga Smith. Apakah ini rumah keluarga Santoso?"gumam Aurora dengan mata yang terbelalak tak percaya. "Ini rumah Nona," kata Julian dengan senyum yang lembut. Aurora tidak percaya kalau rumah semewah ini adalah rumahnya. Karena ia belum pernah melihat rumah seindah dan semewah ini. "Ayo masuk, Nona!" Aurora mengangguk lemas. Ia mengikuti Julian masuk dengan langkah pelan. Di dalam rumah, sudah ada dua dokter khusus keluarga Santoso yang akan memeriksa kondisi Aurora. Julian menunjukkan kamar Aurora. Ia juga meninggalkan dua pelayan untuk membantu Aurora mengganti pakaiannya. Kondisi Aurora stabil sehingga dua dokter itu langsung pergi setelah memeriksa keadaan Aurora. "Selamat istirahat, Nona. Besok pagi, orang tua Nona akan tiba disini." Setelah mengatakan itu, Julian segera pergi meninggalkan Aurora tanpa membiarkannya bertanya lagi. Keesokan paginya, Aurora terbangun dengan perasaan yang rumit. Saat membuka mata, ia tersentak kaget saat menemukan dirinya ada di kamar yang asing. Namun, ia segera mengingat kejadian kemarin, kalau dia sedang berada di rumah keluarga Santoso, keluarga kandungnya. Di samping ranjang Aurora, dua orang asing menatapnya. Mereka adalah kedua orang tua kandungnya. Aurora mengerutkan kening. "Kalian siapa?" Kepala Aurora masih terasa sakit. Ia tidak banyak bergerak. Kedua orang itu langsung memperkenalkan diri. "Saya Armand dan Emiliana. Kami adalah orang tua kandungmu," jelas Armand. "Iya sayang, ini ibu. Apakah kamu sudah merasa lebih baik? Atau kamu perlu ke rumah sakit?" tanya Emiliana dengan lembut. Armand berusia 60 tahun dengan rambut beruban sedikit. Ia berdiri tegak mengenakan setelan jas hitam. Sedangkan Emiliana 51 tahun. Ia mengenakan gaun panjang berwarna biru pastel. Aurora tersenyum, ada rasa yang begitu akrab dalam hatinya. Ia mengangguk pelan. "Aku merasa jauh lebih baik." "Syukurlah sayang. Kemarin kami sangat khawatir saat Julian menceritakan semuanya kepada kami. Maaf karena kami baru datang." kata Emiliana dengan suara yang gemetaran. Aurora menatap kedua orang tuanya dengan canggung. "Kami kehilangan kamu saat kamu berusia tiga tahun. Kami sudah mencari mu kemana-mana, tapi tidak juga ketemu. Akhirnya, kami mendapatkan kabar kalau kamu di temukan oleh seorang wanita paruh baya di pinggiran kota. Tapi, saat kami mendapatkan kabar itu, dia sudah meninggal. Ibu menyesal karena ibu tidak bisa bersama mu selama ini. Maafkan ibu Jasmine!"kata Emiliana sambil meneteskan mata. Aurora ikut meneteskan air mata mendengar cerita Emiliana. Ia bisa merasakan sakitnya kehilangan seorang anak. Tapi sekarang, merasa bahagia karena ia masih memiliki orang tua kandung yang terlihat sangat menyayanginya. Armand dan Emiliana memeluk Aurora dengan erat. Melepaskan segala kerinduan yang sudah lama mereka pendam. Tepat saat itu, Julian masuk ke kamar Aurora. Ia menunjukkan video Jonny yang sedang melakukan konferensi pers. Ia mengumumkan kalau ia dan Clara akan segera menikah. Video itu menjadi viral. Semua netizen memenuhi kolom komentar, mengucapkan selamat kepada Clara yang merupakan model papan atas di Indonesia itu. Hati Aurora semakin sakit. Ia yang sudah menikah selama empat tahun tapi tidak pernah di perkenalkan ke media, sedangkan Clara, belum jadi istri saja sudah di perkenalkan ke semua orang. Emiliana mengerti perasaan Aurora. Ia memeluk putrinya tanpa mengatakan apapun. Armand dan Julian memilih keluar karena mereka harus mengurus sesuatu. "Jika kamu mau, Ibu bisa membantumu untuk balas dendam," Aurora menggelengkan kepalanya."Untuk saat ini, aku hanya ingin fokus pada anakku." Emeliana mengerutkan keningnya."Kata Julian, kamu sudah keguguran?" Aurora tersenyum sambil mengelus-elus perutnya."Aku memiliki anak kembar. Yang gugur cuma satu dan yang satunya masih bertahan. " Emeliana merasa sangat bahagia mendengar kabar itu. Ia akan segera menjadi nenek. Awalnya, Aurora merasa takut dan bingung. Bagaimana ia bisa membesarkan seorang anak tanpa bantuan ekonomi dari Jonny. Tapi, sekarang ia lebih percaya diri untuk membesarkan anaknya tanpa Jonny. "Apakah kamu akan memberitahu keluarga Smith?" tanya Emiliana. Aurora menggeleng. "Awalnya aku ingin memberitahu Jonny, tapi ia keburu berselingkuh sehingga aku memilih untuk menyembunyikan keberadaan anak ini. Aku tidak ingin dia menderita seperti aku." Emeliana menghargai keputusan Aurora, lalu mengajaknya pindah ke Inggris untuk memulai hidup baru. Aurora juga bisa melanjutkan kuliahnya disana, dan ia tidak perlu khawatir pada anaknya, karena ia akan di bantu oleh ibunya dan seorang pengasuh.Lima tahun kemudian, Aurora kembali ke Jakarta dengan penampilan baru yang memukau. Rambut panjangnya kini telah dipotong sebahu, memberikan kesan yang lebih segar. Matanya berbinar, langkahnya lebih mantap dan percaya diri.Aurora menurunkan kaca mobilnya sedikit, ia menghirup udara malam dan sambil menatap kota yang sudah lama ia tinggalkan itu. Ia merasa Jakarta, kota yang pernah membuatnya merasa sakit, kini terasa seperti kanvas kosong yang siap ia lukis dengan warna-warna hidupnya yang baru."Nona, Jasmine. Kenapa kita belum sampai juga? Di mana kita sekarang?"Aurora menoleh ke arah bocah laki-laki berusia 5 tahun itu. Namanya Ethan. Ia duduk di kursi belakang mobil. Ethan adalah anak Aurora dan Jonny.Rambut Ethan yang keemasan terlihat lebih panjang dan mata birunya semakin bersinar. Ethan mewarisi gen neneknya yaitu Emiliana yang merupakan orang Inggris. Aurora menggelengkan kepala. Karena Ethan lebih sering memanggil namanya daripada memanggilnya ibu."Sebentar lagi sayan
"Maafkan Ibu sayang, tapi kamu harus bersama Tante Silvia dulu."Ethan menghela nafas panjang, ia menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Aku akan melaporkan Nona muda Jasmine kepada Nona tua. Kalau Nona sudah mengabaikan anak Nona. Sekarang, aku tidak mau bicara denganmu lagi." Ethan sangat kesal sehingga ia mematikan panggilan itu secara sepihak lalu melempar ponselnya ke bawah. Silvia hanya bisa menarik nafas sembari mengambil ponsel Ethan dengan hati-hati. Mall megah di pusat kota Jakarta bergema dengan suara tawa anak-anak, alunan musik lembut, dan deru langkah para pengunjung. Ethan, yang baru berusia lima tahun itu, berjalan pelan dengan tas merah di punggungnya diikuti oleh Silvia."Ethan, apa kamu mau ke tempat permainan dulu?" tanya Silvia dengan hati-hati.Ethan meliriknya dengan tajam. "Astaga, Tante Silvia, aku ini bukan anak kecil yang lebih suka bermain.""Oke. Jadi, kamu mau ke mana dulu?" tanya Silvia lagi sembari menahan tawanya."Nona Jasmine akan ulang tahun mi
Aurora tersenyum sinis, hatinya dipenuhi rasa jijik mendengar pertanyaan Jonny. Ia sekarang merasa menyesal pernah memberikan cinta dan hatinya sepenuhnya untuk Jonny."Nama saya Jasmine bukan Aurora. Jadi, Anda salah orang, Tuan," jawab Aurora dengan tenang.Jonny tersenyum mengejek, yakin bahwa di hadapannya adalah Aurora."Kita pernah hidup bersama selama dua tahun. Kamu tidak bisa menipuku. Aku tahu betul kamu adalah Aurora," kata Jonny dengan percaya diri.Aurora mengepal tangan dengan erat, berusaha menahan emosinya. Ia tidak ingin mengungkapkan identitasnya terlalu cepat."Akui saja bahwa kamu adalah Aurora, mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk kembali bersamamu," kata Jonny sambil meraih tangan Aurora. Aurora tercengang. Ia tidak percaya Jonny adalah pria yang tidak tahu malu, sangat menjijikkan."Lepaskan saya, Tuan!" Aurora berusaha melepaskan diri. "Saya bukan wanita yang kamu maksud. Selain itu, saya sudah menikah dan memiliki seorang anak."Aurora menatap Jonny dengan
"Jasmine, sepertinya ada acara di dalam. Banyak mobil mewah parkir di sini," kata Silvia setelah mengamati restoran itu dari dalam mobil.Aurora tersadar dari lamunannya."Kamu benar. Sebaiknya kita cari tempat makan yang lain. Aku ingat, ada restaurant seafood yang enak di dekat perumahan kita. Bagaimana kalau kita makan disana saja?"Walaupun merasa sangat lapar, tapi Ethan tetap mengangguk karena dia tidak suka makan di tempat yang ramai."Oke," ucap Ethan.Setelah itu, mereka segera meninggalkan restoran itu. Di sepanjang jalan, Aurora merasa tidak nyaman. Ia masih ingat pertemuannya dengan Jonny yang secara tiba-tiba. Lain kali, ia harus berhati-hati agar Jonny dan Ethan tidak bertemu lagi.Keesokan harinya, Aurora tiba di kantor Maverick Group. Dulu, saat kuliah, ia bercita-cita menjadi desainer utama di perusahaan bergengsi ini. Namun, mimpinya kandas setelah ia berhenti kuliah dan menikah.Kini, ia adalah desainer terkenal di Inggris dengan nama Jasmine Santoso. Namun, kali ini
Ana menunduk, jantungnya berdebar kencang. Jari-jarinya memainkan ujung bajunya dengan gemetar, menunjukkan rasa gugup yang tak tertahankan. Ia tak berani menatap mata Archen, pria yang sudah terkenal kejam dan tak kenal ampun di perusahaan ini."Manager Mona yang membuat keputusan, Bos," jawab Ana lirih, suaranya bergetar seperti daun kering ditiup angin.Archen mengerutkan kening. Sorot matanya tajam, seperti pisau yang siap menusuk. Ia tidak menyangka kalau Manager Disain perusahannya sangat tidak kompeten. "Mona tidak berhak menolak pelamar yang memiliki kemampuan," ucapnya, nada suaranya dingin dan penuh penolakan. Tepat saat itu, Roni, asisten Archen, muncul di belakangnya, wajahnya dipenuhi keringat dingin. "Ada apa, Bos?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar, ia menyadari ketegangan yang mencekam di udara."Katakan pada pelamar ini, kalau besok dia boleh bekerja!" kata Archen, suaranya tegas, seraya menyerahkan dokumen pelamar yang dimaksud.Roni tercengang. Matanya terbela
"Sayang, aku sangat mencintaimu. Aku akan segera menceraikan wanita jelek itu!" Di rumah mewahnya, Aurora berdiri di pintu kamar tidur sambil memegang perutnya yang masih terasa ngilu setelah keguguran kemarin. Aurora mendengar suara seorang lelaki dan seorang perempuan dari balik pintu. Suara itu membuat Aurora menghentikan langkahnya. Suara yang sangat ia kenal. Suara Jonny, suami yang sangat ia cintai. "Keputusanmu untuk menceraikannya adalah tepat. Lagi pula, dia tidak bisa memberi kamu anak," suara lembut penuh bujuk rayu itu masuk ke telinga Aurora. Aurora berdiri di pintu, seluruh tubuhnya bergetar. Kemarahan hampir membuatnya kehilangan pikirannya. "Brak," Dengan mata yang memerah, Aurora mendorong pintu dengan kedua tangannya. Di kamar itu, ia menemukan suaminya sedang bersama wanita yang ia kenak. Clara, teman kuliahnya dulu, sekaligus Disainer utama di perusahaan Jonny. Bukannya terkejut saat melihat Aurora datang, perempuan itu malah bersandar di bahu Jonny samb
Clara semakin bersemangat melihat Aurora meringis, ia semakin berani saat melihat Jonny yang tidak memperdulikan apa yang dia lakukan pada Aurora. "Sungguh kasihan, baru kehilangan anak kemarin, sekarang sudah kehilangan suami. Sebaiknya kamu segera pergi jika kamu masih punya malu!" kata Clara.Aurora yang lemah secara fisik, tidak sepadan dengan Clara. Rasa sakit yang intens di perutnya hampir membuat Aurora tidak bisa berdiri. Clara melepaskan Aurora, ia membersihkan tangannya dengan tisu karena merasa jijik sudah memegang rambut Aurora."Cepat keluar dari kamarku!" teriak Jonny dengan tidak sabar.Aurora tidak tahu harus kemana setelah ini. Ia tidak memiliki keluarga dan rumah neneknya pun sudah di jual."Jonny, kamu akan menyesal," gumam Aurora dengan dingin.Aurora menghapus darah dari sudut mulutnya, setelah itu ia keluar dari kamar itu. Langkahnya sempoyongan karena kehilangan tenaga, namun ia tetap berusaha tegar.Tepat saat ia sampai di depan pintu keluar, ia kebetulan b
Ana menunduk, jantungnya berdebar kencang. Jari-jarinya memainkan ujung bajunya dengan gemetar, menunjukkan rasa gugup yang tak tertahankan. Ia tak berani menatap mata Archen, pria yang sudah terkenal kejam dan tak kenal ampun di perusahaan ini."Manager Mona yang membuat keputusan, Bos," jawab Ana lirih, suaranya bergetar seperti daun kering ditiup angin.Archen mengerutkan kening. Sorot matanya tajam, seperti pisau yang siap menusuk. Ia tidak menyangka kalau Manager Disain perusahannya sangat tidak kompeten. "Mona tidak berhak menolak pelamar yang memiliki kemampuan," ucapnya, nada suaranya dingin dan penuh penolakan. Tepat saat itu, Roni, asisten Archen, muncul di belakangnya, wajahnya dipenuhi keringat dingin. "Ada apa, Bos?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar, ia menyadari ketegangan yang mencekam di udara."Katakan pada pelamar ini, kalau besok dia boleh bekerja!" kata Archen, suaranya tegas, seraya menyerahkan dokumen pelamar yang dimaksud.Roni tercengang. Matanya terbela
"Jasmine, sepertinya ada acara di dalam. Banyak mobil mewah parkir di sini," kata Silvia setelah mengamati restoran itu dari dalam mobil.Aurora tersadar dari lamunannya."Kamu benar. Sebaiknya kita cari tempat makan yang lain. Aku ingat, ada restaurant seafood yang enak di dekat perumahan kita. Bagaimana kalau kita makan disana saja?"Walaupun merasa sangat lapar, tapi Ethan tetap mengangguk karena dia tidak suka makan di tempat yang ramai."Oke," ucap Ethan.Setelah itu, mereka segera meninggalkan restoran itu. Di sepanjang jalan, Aurora merasa tidak nyaman. Ia masih ingat pertemuannya dengan Jonny yang secara tiba-tiba. Lain kali, ia harus berhati-hati agar Jonny dan Ethan tidak bertemu lagi.Keesokan harinya, Aurora tiba di kantor Maverick Group. Dulu, saat kuliah, ia bercita-cita menjadi desainer utama di perusahaan bergengsi ini. Namun, mimpinya kandas setelah ia berhenti kuliah dan menikah.Kini, ia adalah desainer terkenal di Inggris dengan nama Jasmine Santoso. Namun, kali ini
Aurora tersenyum sinis, hatinya dipenuhi rasa jijik mendengar pertanyaan Jonny. Ia sekarang merasa menyesal pernah memberikan cinta dan hatinya sepenuhnya untuk Jonny."Nama saya Jasmine bukan Aurora. Jadi, Anda salah orang, Tuan," jawab Aurora dengan tenang.Jonny tersenyum mengejek, yakin bahwa di hadapannya adalah Aurora."Kita pernah hidup bersama selama dua tahun. Kamu tidak bisa menipuku. Aku tahu betul kamu adalah Aurora," kata Jonny dengan percaya diri.Aurora mengepal tangan dengan erat, berusaha menahan emosinya. Ia tidak ingin mengungkapkan identitasnya terlalu cepat."Akui saja bahwa kamu adalah Aurora, mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk kembali bersamamu," kata Jonny sambil meraih tangan Aurora. Aurora tercengang. Ia tidak percaya Jonny adalah pria yang tidak tahu malu, sangat menjijikkan."Lepaskan saya, Tuan!" Aurora berusaha melepaskan diri. "Saya bukan wanita yang kamu maksud. Selain itu, saya sudah menikah dan memiliki seorang anak."Aurora menatap Jonny dengan
"Maafkan Ibu sayang, tapi kamu harus bersama Tante Silvia dulu."Ethan menghela nafas panjang, ia menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Aku akan melaporkan Nona muda Jasmine kepada Nona tua. Kalau Nona sudah mengabaikan anak Nona. Sekarang, aku tidak mau bicara denganmu lagi." Ethan sangat kesal sehingga ia mematikan panggilan itu secara sepihak lalu melempar ponselnya ke bawah. Silvia hanya bisa menarik nafas sembari mengambil ponsel Ethan dengan hati-hati. Mall megah di pusat kota Jakarta bergema dengan suara tawa anak-anak, alunan musik lembut, dan deru langkah para pengunjung. Ethan, yang baru berusia lima tahun itu, berjalan pelan dengan tas merah di punggungnya diikuti oleh Silvia."Ethan, apa kamu mau ke tempat permainan dulu?" tanya Silvia dengan hati-hati.Ethan meliriknya dengan tajam. "Astaga, Tante Silvia, aku ini bukan anak kecil yang lebih suka bermain.""Oke. Jadi, kamu mau ke mana dulu?" tanya Silvia lagi sembari menahan tawanya."Nona Jasmine akan ulang tahun mi
Lima tahun kemudian, Aurora kembali ke Jakarta dengan penampilan baru yang memukau. Rambut panjangnya kini telah dipotong sebahu, memberikan kesan yang lebih segar. Matanya berbinar, langkahnya lebih mantap dan percaya diri.Aurora menurunkan kaca mobilnya sedikit, ia menghirup udara malam dan sambil menatap kota yang sudah lama ia tinggalkan itu. Ia merasa Jakarta, kota yang pernah membuatnya merasa sakit, kini terasa seperti kanvas kosong yang siap ia lukis dengan warna-warna hidupnya yang baru."Nona, Jasmine. Kenapa kita belum sampai juga? Di mana kita sekarang?"Aurora menoleh ke arah bocah laki-laki berusia 5 tahun itu. Namanya Ethan. Ia duduk di kursi belakang mobil. Ethan adalah anak Aurora dan Jonny.Rambut Ethan yang keemasan terlihat lebih panjang dan mata birunya semakin bersinar. Ethan mewarisi gen neneknya yaitu Emiliana yang merupakan orang Inggris. Aurora menggelengkan kepala. Karena Ethan lebih sering memanggil namanya daripada memanggilnya ibu."Sebentar lagi sayan
Aurora meneteskan air mata. Ini adalah takdir baik untuknya. Ia tidak menyangka kalau dirinya benar-benar pewaris dari keluarga Santoso."Kenapa mereka baru mencari ku sekarang? Dan kenapa aku bisa diasuh oleh nenek Julia?" tanya Aurora setelah menyeka air matanya."Maaf, Nona. Saya belum bisa memberikan penjelasan lebih detail. Nona akan mendapatkan semua informasi saat kita tiba di rumah," kata Julian.Aurora terdiam sejenak, mencoba mencerna sedikit informasi yang diberikan Julian. Aurora bercampur bingung, kecewa, dan sedikit ketakutan. Ia tidak tahu harus senang atau sedih karena rasa sakitnya masih menganga hebat. Aurora terkejut saat memasuki kawanan Central Business Distric yang dijuluki segitiga emas. Harga tanah disana rata-rata Rp 60-200 juta per meter persegi.Akhirnya, Aurora sampai di rumah mewah keluarga Santoso. Julian memarkir mobilnya di depan pintu utama."Rumahnya mewah banget. Lebih mewah dua kali lipat dari rumah mewah keluarga Smith. Apakah ini rumah keluarga S
Clara semakin bersemangat melihat Aurora meringis, ia semakin berani saat melihat Jonny yang tidak memperdulikan apa yang dia lakukan pada Aurora. "Sungguh kasihan, baru kehilangan anak kemarin, sekarang sudah kehilangan suami. Sebaiknya kamu segera pergi jika kamu masih punya malu!" kata Clara.Aurora yang lemah secara fisik, tidak sepadan dengan Clara. Rasa sakit yang intens di perutnya hampir membuat Aurora tidak bisa berdiri. Clara melepaskan Aurora, ia membersihkan tangannya dengan tisu karena merasa jijik sudah memegang rambut Aurora."Cepat keluar dari kamarku!" teriak Jonny dengan tidak sabar.Aurora tidak tahu harus kemana setelah ini. Ia tidak memiliki keluarga dan rumah neneknya pun sudah di jual."Jonny, kamu akan menyesal," gumam Aurora dengan dingin.Aurora menghapus darah dari sudut mulutnya, setelah itu ia keluar dari kamar itu. Langkahnya sempoyongan karena kehilangan tenaga, namun ia tetap berusaha tegar.Tepat saat ia sampai di depan pintu keluar, ia kebetulan b
"Sayang, aku sangat mencintaimu. Aku akan segera menceraikan wanita jelek itu!" Di rumah mewahnya, Aurora berdiri di pintu kamar tidur sambil memegang perutnya yang masih terasa ngilu setelah keguguran kemarin. Aurora mendengar suara seorang lelaki dan seorang perempuan dari balik pintu. Suara itu membuat Aurora menghentikan langkahnya. Suara yang sangat ia kenal. Suara Jonny, suami yang sangat ia cintai. "Keputusanmu untuk menceraikannya adalah tepat. Lagi pula, dia tidak bisa memberi kamu anak," suara lembut penuh bujuk rayu itu masuk ke telinga Aurora. Aurora berdiri di pintu, seluruh tubuhnya bergetar. Kemarahan hampir membuatnya kehilangan pikirannya. "Brak," Dengan mata yang memerah, Aurora mendorong pintu dengan kedua tangannya. Di kamar itu, ia menemukan suaminya sedang bersama wanita yang ia kenak. Clara, teman kuliahnya dulu, sekaligus Disainer utama di perusahaan Jonny. Bukannya terkejut saat melihat Aurora datang, perempuan itu malah bersandar di bahu Jonny samb