Arya yang baru saja melihat istrinya pulang langsung memarahinya, dia tidak suka Hana terlalu iku campur urusannya. "Apa maksud kamu datang ke kantor Rina seperti itu, Hana? Apa kamu tidak sadar kalau apa yang kamu lakukan itu bisa merusak rencanaku?" bentak Arya, wajahnya memerah oleh amarah yang tak bisa ia tahan. Hana mendengus, lalu membalas dengan nada tinggi, "Memangnya kenapa kalau kesana? Aku hanya ingin memperingatkan wanita itu agar tidak lagi menggoda suamiku! Ternyata, aku salah, suamikulah yang menggodanya. Dia bahkan bilang kalau dia sudah tidak mau lagi denganmu. Kenapa kamu tetap ngotot untuk mengejarnya?" Arya mengepalkan kedua tangannya, mencoba meredam amarahnya yang semakin menggelegak. "Kamu tidak mengerti, Hana. Ini masalahku dengan Rina. Ini bukan urusanmu." Hana tertawa sinis, "Bukan urusanku? Aku ini istrimu, Arya. Apa yang kamu lakukan dengan Rina, tentu saja urusanku. Kamu selalu berdalih soal masa lalu kalian, tapi kamu lupa kalau sekarang kamu punya is
Dering telepon membuyarkan lamunan Rina yang tengah memikirkan masalah di perusahaannya. Wanita itu pun segera mengangkatnya tanpa melihat nama peneleponnya."Rina," suara Arya terdengar lembut namun tegas, "bisakah kau menemaniku datang ke acara anniversary pernikahan salah satu kolega bisnisku? Aku butuh pendamping, dan kehadiranmu sangat penting untuk membangun kerja sama ini." Rina terdiam, merasa ragu. "Kenapa harus aku? Kenapa bukan Hana? Bulankah saat ini, dialah yang menjadi istrimu? Aku rasa ini bukan ide yang bagus, Arya. Jika publik tahu kamu telah menikah lagi sebelum kamu menceraikanku secara resmi, tentu, itu tidak baik untuk perkembangan perusahaan kita." Arya terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Selama diantara kita tidak ada yang membuka suara, publik tidak akan pernah tahu. Disana, aku akan menemui beberapa kolega yang akan bekerja sama dengan perusahaanku. Maka dari itu, aku mengajakmu. Jika aku mengajak Hana, tentunya skandal ini akan terendus oleh media. Please
Robert pun membisikkan sesuatu di telinga Rina. "Saya tahu, Nona sudah bercerai dengan Arya karena Arya telah berselingkuh dari Nona. "Rina tertegun mendengar bisikan Robert. Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar hati kecilnya. Lelaki itu kembali berbisik,"Namun, sekarang Arya mengejar-ngejar Nona bukan? Padahal, baru beberapa minggu yang lalu dia menceraikan Nona. Anda ingin tahu, kenapa alasannya""Apa?" tanya Rina mulai tertarik dengan pembicaraan ini."Arya kembali mendekatinya demi keuntungan pribadi. Bukan karena perusahaannya sedang bermasalah, tapi lebih pada perkembangan bisnisnya. Menyandang suami dari seorang pebisnis sukses seperti Nona tentu memudahkan dia untuk mendapatkan proyek besar. Tak hanya itu, banyak investor yang mulai ingin menanamkan modal pada perusahaannya. Maka dari itu, dia mengajak Nona kemari, bukan istri keduanya."Rina menatap wajah Robert, berusaha mencari kebohongan disana. Namun yang terlihat hanyalah ketulusan dan kejujuran. "Tuan Robert,
"Aku tahu… tapi biarkan aku, hanya malam ini, Rina." Sebelum Rina sempat menjawab, Arya perlahan mendekat. Rina berusaha mundur, tapi Arya keburu menariknya dalam pelukan. Lelaki itu pun menyatukan bibir mereka sebelum Rina menghindar. Untuk pertama kalinya, Arya mencium Rina penuh kelembutan. Arya juga menekan kepala Rina agar wanita itu tidak bisa bergerak. Untuk sesaat, Rina pun terbuai. Keduanya hanyut dalam ciuman penuh kasih yang baru pertama kali mereka lakukan. Barulah saat Rina kehabisan napas, Arya melepaskan ciumannya "Arya." Rina berbisik pelan, namun tegas. "Kita sudah bercerai. Aku tidak bisa terus mengulangi kesalahan yang sama." Arya terdiam, sedikit kecewa dengan penolakan Rina. Dengan berat hati, Arya pun mengurai pelukan mereka. "Maaf, Rina. Aku... aku terlalu terbawa suasana." Rina mengangguk dan membuka pintu mobil, berusaha mengatur perasaannya. Sebelum benar-benar turun, dia menoleh kembali pada Arya, memberikan senyum kecil yang penuh arti. "Aku harap k
Keesokan harinya, Hana bertemu dengan seseorang di sebuah kafe. Orang tersebut adalah pria bayaran yang akan dia suruh untuk menjalankan rencananya yang ternyata, dia juga sudah mengenal RIna. Hana sudah menunggunya di meja paling ujung. Begitu melihat Hana, pria itu langsung duduk di hadapannya. “Aku pikir, kamu tidak akan datang,” ujar Hana dengan wajah serius. Pria itu duduk dan menatap Hana dengan tatapan serius. “Kamu beneran ingin membalas dendam pada Rina? Aku bisa membantumu. Namun, tentu saja, semua itu tidak gratis,” katanya tanpa basa-basi. Hana mengangguk. Dia memang sudah lelah menghadapi Rina yang masih saja menempel pada suaminya. Padahal, dia sudah memperingatkan Rina, tetapi, wanita itu, tak mengindahkan peringatannya. “Aku tak akan biarkan Rina terus mendekati suamiku. Dia harus tahu posisinya saat ini.” Pria itu menyeringai. “Baiklah. Aku punya rencana. Kita akan membuat hidup mereka sedikit kacau.” --- Di tempat lain, Arya tengah bekerja di kantor saat ponsel
Drrrt drrrt Suara getaran ponsel Arya mengagetkan Hana yang sedang membaringkan tubuhnya di ranjang. Karena tak kunjung berhenti, Hana pun bangkit dan mengambil handphone itu. Matanya memicing saat melihat nama Rina di layar. "Ngapain dia nelepon suami gue? Pasti ngajak ketemuan! Dasar kegatelan. Sudah pisah juga masih aja ngejar-ngejar laki orang." gerutu Hana. Senyum licik pun terbit di bibirnya. Dia lalu mengangkatnya sejenak, kemudian mematikannya. Setelah itu, Hana langsung meng-off kan handphone Arya. "Rasakan itu! Emang enak." Belum sempat Hana mengembalikan ponsel itu, Arya sudah keluar dari kamar mandi. Ekspresi lelaki itu langsung berubah saat melihat Hana tengah memegang ponselnya. "Ngapain kamu pegang-pegang handphone gue?" teriak Arya sambil merebut handphone itu dengan kasar. Hana tampak canggung dan tertawa kecil. "Aku hanya ingin memastikan kamu tidak berhubungan lagi dengan Rina. Lagipula, kalian sudah berpisah kan, untuk apa lagi kalian masih berhubungan?" Ary
Di dalam ruang rawat inap yang sunyi, Rina perlahan membuka matanya, matanya masih berat dan pandangan sedikit buram. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Ketika akhirnya matanya fokus, Rina merasa bingung. Di samping ranjangnya berdiri Rian, bukan Arya. Padahal, seingat dia, Arya lah yang menolongnya. “Rian?” suara Rina serak dan pelan, hampir seperti bisikan. “Kamu? Bukannya… bukannya Arya yang menolongku tadi malam?” Rian tersenyum lembut, namun ada gurat ketegangan di wajahnya. “Iya, Arya memang yang membawa kamu ke rumah sakit, Rina. Tapi setelah itu dia pergi, dan aku yang menunggu sampai kamu sadar.” Rina tampak ragu, matanya menatap Rian seakan mencari kebenaran dalam ucapannya. “Tapi… aku ingat betul, dia yang membantuku… Dia yang memelukku saat aku kedinginan…” Rina menunduk, mencoba mengingat dengan jelas apa yang terjadi. “Sudahlah, Rina,” Rian berusaha menenangkannya, menepuk lembut tangannya. “Yang penting sekarang kamu sudah aman. Kamu butu
"Kamu dimana Arya, kenapa sampai jam segini belum pulang?"Waktu sudah menunjukkan angka 11. Sejak mereka bertengkar tentang telepon dari Rina, Arya belum kembali hingga saat ini.Khawatir akan keadaan sang suami, Hana pun mengambil ponselnya. Dia lalu mencari nomor sang suami dan menekan tombol berwarna hijau. Dering pertama hingga dering ketiga, tak ada satupun panggilannya yang dijawab oleh Arya. Hana pun menghempaskan ponselnya ke sofa dengan kesal. Hana tidak dapat lagi berpikir jernih. Pikirannya dipenuhi dengan Arya dan Rina. Jujur, dia cemburu, dia juga khawatir kalau sampai Arya tidur di tempat Rina. Namun, dia mencoba menghilangkan pikiran itu, berusaha berpikir positif terhadap suaminya. Akan tetapi, tak bisa, bayangan Arya menghabiskan malam bersama Rina terus menari-nari di pikirannya. “Apa dia sekarang sedang tidur bersama Rina?” gumam Hana sambil meremas jemarinya dengan gelisah. Hana kembali mencoba menghubungi Arya sekali lagi, berharap kali ini teleponnya dijawa
"Kau milikku, Keisha! Kau harus bersamaku! Jangan tinggalkan aku!"Keisha mencoba melepaskan diri, tetapi genggaman Rendy semakin kuat. Seorang perawat segera masuk dan menarik Rendy menjauh darinya."Tuan Rendy, Anda harus kembali ke tempat tidur!"Rendy meronta-ronta. "Keisha! Aku mencintaimu! Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku lagi!"Keisha menatap pemandangan di depannya dengan perasaan kacau."Sekarang kau mengerti?" ujar ibu Rendy dengan nada penuh kemenangan. "Anakku mencintaimu. Kau satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan pikirannya! Jika kau menolak, dia akan semakin hancur!"Keisha memejamkan matanya sejenak. Semua ini terlalu gila.Apa yang harus dia lakukan sekarang?---"Aku akan membantumu, Ren," Keisha berbisik, suaranya penuh keteguhan.Ibu Rendy yang berdiri di sudut ruangan menatapnya curiga. "Maksudmu apa? Kalau kau tidak mau menikahinya, lebih baik kau pergi!"Keisha menghela napas dan berdiri. "Saya tidak akan menikahinya, Bu. Tapi saya akan membantu Rendy pul
"Keisha Mahendra, kau harus bertanggung jawab atas apa yang telah kau lakukan pada putraku!"Keisha mengerutkan kening. "Apa maksud Anda, Bu? Saya tidak mengerti."Wanita itu mengepalkan tangannya. "Kau menabrak anakku dua tahun lalu. Dia lumpuh! Kau pikir kami hanya akan diam saja? Hari ini, aku datang untuk meminta keadilan!"Jantung Keisha berdegup kencang. Ingatannya beralih pada kejadian dua tahun lalu. Karena mengantuk, dia tak fokus berkendara dan menabrak seorang pengendara motor. Seingat Keisha, dia sudah bertanggung jawab dengan mengobati lelaki itu sampai sembuh. Lalu, kenapa ibunya masih meminta pertanggung jawabannya. "Saya sudah memberikan kompensasi sesuai yang diminta. Bahkan biaya pengobatan dan perawatan putra Anda sudah saya tanggung sepenuhnya," ujar Keisha dengan suara yang tetap tegas.Wanita itu tertawa sinis. "Uang tidak bisa mengembalikan masa depan anakku! Dia kehilangan segalanya. Impiannya hancur! Dia kehilangan pekerjaannya, kekasihnya juga meninggalkanny
"Ma, ini udah dua tahun loh, tapi, kok si Nadin belum memulai aksinya, ya?" tanya Keisha pada sang Bunda.Rina terdiam. Dia sebenarnya juga memikirkan itu, tapi, dia mencoba berpikir positif. "Mungkin, si Nadin udah beneran tobat, Sayang. Sudahlah, kita tidak usah curiga lagi sama dia. Mendingan, kamu urusin hidup kamu yang sudah hampir kepala tiga tapi belum menikah. Apa tidak sebaiknya kamu terima saja perjodohan yang Mama tawarkan kemarin," bujuk Rina yang sebenarnya prihatin dengan nasib putrinya. "Kei pasti akan menikah, Ma. Tapi nanti, setelah anak kunyuk itu benar-benar mendapatkan istri yang baik. Dan Kei yakin, itu bukan Nadin." Wanita itu pun pergi meninggalkan ibunya.Sebenarnya, Keisha sudah muak dijodoh-jodohin sama ibunya. Entahlah, dari semua lelaki yang dijodohkan dengannya, tak ada satupun yang mengena di hatinya. Dan dia nggak mau menikah tanpa cinta.--- "Sayang, aku punya kejutan buat kamu," kata Nadin saat Arfan baru saja bangun.Lelaki itu tersenyum. "Apa?"Nad
Nadin menatap pantulan wajahnya di cermin. Wanita itu kini tampak menawan dengan riasan sederhana. Gaun warna pastel yang melekat di tubuhnya membuatnya terlihat anggun dan cantik. Sudah hampir beberapa bulan ini, dia menjalankan perannya sebagai istri yang baik untuk Arfan. Tak pernah sekalipun dia membantah ataupun melawan apa yang Arfan katakan. Dia juga selalu melayani Arfan dengan baik. Semua yang dikhawatirkan oleh Keisha tak pernah terjadi. Bahkan wanita itu, tak pernah sekalipun mencampuri urusan kantor Arfan. Dan itu membuat Keisha dan Arfan pun bingung. --- Di ruang makan rumah keluarga Mahendra, Rina, Arya, Keisha, dan Arfan tengah menikmati sarapan bersama. Keisha hanya mengaduk kopinya tanpa minat, sementara Arfan menikmati hidangan di hadapannya. Nadin datang membawa semangkuk sup hangat, lalu dengan lembut meletakkannya di depan Arfan. "Sayang, kamu harus makan yang bergizi. Kamu terlihat lelah akhir-akhir ini," ucapnya lembut. Arfan menatapnya sejenak sebelum ter
Mobil mewah berwarna hitam melaju memasuki halaman luas rumah keluarga Mahendra. Matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga. Arfan duduk di kursi pengemudi dengan rahang mengeras, sementara di sebelahnya, Nadin tersenyum tipis. “Kau yakin ingin melakukan ini?” tanya Nadin, suaranya lembut, tapi ada nada mengejek yang terselubung. Arfan menatap lurus ke depan. “Aku tidak punya pilihan.” Nadin mengangkat bahu, “Kalau begitu, ayo masuk. Aku tidak sabar melihat reaksi mereka.” Arfan mengepalkan tangannya, tapi tak berkata apa-apa. Ia keluar dari mobil, lalu berjalan ke sisi lain untuk membuka pintu bagi Nadin. Wanita itu turun dengan anggun, mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda. Matanya berbinar penuh kemenangan. Ketika pintu rumah terbuka, mereka langsung disambut oleh seorang pelayan yang terkejut melihat siapa yang datang. “Tuan Arfan…?” Namun, sebelum pelayan itu bisa mengatakan lebih jauh, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari dalam rum
"Ugghh, dimana aku?"Arfan merasa kepalanya berat. Penglihatannya masih buram saat matanya terbuka perlahan. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma parfum lembut menyengat hidungnya, bercampur dengan bau alkohol.Arfan melihat ke samping, tubuhnya menegang seketika saat melihat wanita yang polos tanla sehelai benang pun ada di sampingnya. Wanita itu sedang tertidur lelap dengan selimut yang membalut tubuhnya.Jantung Arfan berdegup kencang. Apa yang terjadi semalam?Ia mencoba mengingat, tapi kepalanya berdenyut nyeri.Lalu, ingatan samar-samar mulai muncul...Nadin mengajaknya makan malam di rumahnya. Ia menolak awalnya, tapi melihat ketulusan Nadin yang ingin meminta maaf, Arfan akhirnya setuju.Namun, setelah beberapa gigitan makanan, tubuhnya tiba-tiba terasa panas. Dadanya berdebar lebih cepat dari biasanya. Suhu tubuhnya meningkat dan pikirannya mulai kacau.Arfan memegang kepalanya yang terasa berat. Astaga… ada sesuatu dalam maka
"Kamu dimana, Arfan?" gumam Keisha saat teleponnya tidak diangkat oleh sang adik. Keisha khawatir, karena adiknya itu tiba-tiba menghilang sejak peristiwa di restoran malam itu. Apalagi, tak satupun pesan dan teleponnya dijawab oleh Arfan membuat wanita semakin merasa cemas. Keisha duduk di ruangannya dengan wajah masam. “Arfan benar-benar bertingkah sekarang.” Rina masuk ke kantor putrinya dengan membawa dua cangkir kopi. “Berilah dia waktu, Keisha. Luka karena kebohongan itu tidak mudah disembuhkan.” Keisha menghela napas berat. “Aku tidak suka ini, Mom. Aku takut Arfan akan kembali ke Nadin dan itu akan menjadi bencana buat kita. Apalagi, jika Nadin benar-benar menuruti kemauan ibunya untuk menghancurkan kita.” Rina menatap putrinya dengan lembut. “Cinta tidak bisa dipaksakan Keisha. Jika Arfan memang mencintai Nadin, maka kita harus mempercayainya.” Keisha menatap ibunya dengan ragu. “Tapi bagaimana kalau ini jebakan Karina?” Rina menghela napas. “Itulah yang harus
Malam ini, Arfan mengajak Nadin makan malam romantis di sebuah restoran mewah. Ia berencana melamar wanita yang dicintainya itu. “Nadin, aku ingin membangun masa depan bersamamu. Aku ingin kita menikah.” Kata Arfan sambil menatap Nadin penuh harap. Nadin terdiam. Wajahnya pucat, tangannya gemetar. Namun, sebisa mungkin, dia merubah wajahnya kembali seperti semula."Aku akan bilang sama Mama, dulu," ucapnya gugup.Arfan pun mengangguk. "Sabtu besok, kita akan bicarakan masalah ini dengan kedua orang tuamu dan ibumu. Kita bertemu di resto Gama."Malam itu, di restoran mewah di pusat kota, pertemuan dua buah keluarga telah digelar. Mereka akan membahas tentang pertunangan Arfan dan Nadin.Rina dan Arya duduk berdampingan, menatap calon menantu mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Keisha, yang masih sedikit curiga pada Nadin, duduk dengan sikap waspada."Jadi, Nadin," Arya membuka percakapan, "bisakah kau ceritakan sedikit tentang keluargamu?"Nadin tersenyum tipis, tetapi tangannya ter
20 Tahun Kemudian"Kak, bagaimana Mahendra?" tanya Arya pada sang putri saat mereka sedang sarapan.Sebelum memjawab, wanita berusia 28 tahun itu melirik adiknya. "Sejauh ini aman sih, Pa. Hanya saja, Arfan selalu santai dalam mengerjakan apapun. Entah bagaimana proyek Arkana di tangannnya."Arya memang sangat memanjakan Arfan. Lelaki itu selalu meminta bantuam sang ayab saat melakukan kesalahan."Bagaimana, Dek? Apa proyek Arkana berjalan dengan lancar? Ingat, jangan sampai kamu melakukan kesalahan," Arya mengingatkan putra semata wayangnya."Beres, Pa. Papa tenang saja, proyek ini pasti berhasil," sahut pemuda berusia 24 tahun itu.Meski ada rasa iri di hatinya karena sang kakak yang hanya menaruhnya di perusahaan cabang, tetapi, Arfan tidak berani protes. Karena baik sang ayah maupun sang ibu tak pernah mengizinkan dia memegang kantor pusat.---Di Kantor Mahendra Corp.Keisha duduk di ruangannya, menatap laporan keuangan sambil menghela napas panjang. Ia lalu menekan tombol interk