Tidak sampai dua jam perjalanan dengan pesawat terbang aku bersama sepupu Sella sudah menginjakan kaki di bandara Soekarno-Hatta.Pria yang bernama Dendi itu dengan sopan menanyakan apakah aku ambil rehat atau langsung ke tempat tujuan.Karena kabarnya jenazah nenek Ed akan segera dimakamkan, aku inginnya langsung saja sekalian mengikuti proses pemakaman nenek Ed.“Sepertinya pemakaman nyonya besar bersifat tertutup dengan pengawalan yang ketat. Saya tidak bisa memastikan apakah kita bisa masuk ke area makam keluarga itu.”“Oh, benarkah?” ujarku sedikit kecewa.“Kita lihat nanti saja, Nyonya. Biar saya hubungi Pak Sam untuk menanyakannya.” Dendi segera mengambil ponselnya. Selesai menghubungi seseorang, tiba-tiba Dendi menyampaikan kabar tentang Sella yang baru didapatnya.Dia mengatakan bahwa orang-orang Ramzi mendatangi rumah Sella karena mencariku. Mereka hampir berbuat onar karena S
“Aku sedih saat mendengar Ed dilaporkan tentang Tania yang bunuh diri itu.”Mengingat tentang Tania aku jadi sekalian ingin membahasnya. Mumpung mobil jemputan kami belum datang.Dendi yang mendengar pertanyaanku hanya mengedikan pundaknya.“Mungkin tuan punya rencana sendiri menggapa tidak bertindak saat Ramzi melaporkannya sebagai penyebab wanita itu bunuh diri.”Oh, jadi berita Ed dilaporkan tentang dugaan terlibatnya atas kasus Tania yang bunuh diri itu benar?Apa itu artinya Ed sudah mengenal Tania sejak awal?Aku sungguh mulai merasa sangat bodoh karena tidak tahu apa-apa tentang semua orang di sekitarku. Padahal mereka adalah orang-orang yang dekat denganku.Sudahlah. Aku tidak ingin banyak menduga lagi. Tujuanku datang ke sini untuk menemui suamiku. Aku tidak mau hanya karena sedikit hal yang
“Nyonya?” suara itu mengusik lamunan indahku.Aku berbalik badan dan melihat Sam sudah berdiri di sana.Tidak salah, pria itu memang sopir yang pernah mengantar jemput ibuku.Dia juga sopir yang pagi-pagi datang ke rumah dengan alasan mengambil kekurangan upah menyupirnya padahal Ed yang memintanya mengechek keadaanku.Sekilas memori itu membuatku merasa sedikit lucu. Dalam ketidak tahuanku, Ed sudah melibatkan banyak orang untuk ikut berdrama demi bisa bersamaku. Membuatku semakin tidak tahan untuk bertemu dengannya. “Di mana suamiku?” Aku langsung menanyakan tentang Ed.“Mohon maaf, Tuan Edward begitu lelah dan masih dalam perasaan berduka yang dalam. Jadi belum bisa menemui Anda saat ini.”Mendengar kata-kata itu hatiku yang sudah berbunga-bunga tadi seketika mencelos dan tertarik jatuh.Tidak ada yang salah dengan kata-kata itu. Bahwa Ed sedang lelah dan sangat berduka. Tapi entahlah, mengapa aku yang mendengarnya bisa merasa terluka begini.Yang kutangkap dari kata itu seolah
“Terus terang saya tidak tahu apa maksud Anda yang tiba-tiba datang lagi pada Tuan Edward. Saya tidak tahu bagaimana perasaan Tuan Edward setelah semua ini. Tapi saya sudah sangat tidak mempercayai Anda lagi.”Sam mengatakannya dengan sangat tegas tentang pemikirannya itu terhadapku.Hati siapa yang tidak pilu harus di pojokkan dalam sebuah kesalahpahaman. Padahal sebelum ini aku begitu ingin menemui Ed dan kembali padanya.Rasanya ini adalah balasan karena aku sempat tidak mempercayai suamiku itu.Tapi rasa tidak terima muncul atas sikap Sam padaku.Bukan dia yang memiliki hak atas perasaan ini. Mau dia percaya atau tidak, bukanlah jadi soal bagiku, asalkan setelah ini aku dan Ed akan saling menyelesaikan keslahapahaman ini dan kami kembali bersama.Aku tidak peduli penilaiannya. Pun aku juga tidak punya kewajiban untuk menjelaskan pada pria ini bahwa aku tidak seperti yang dia sangkakan. Tahu apa dia tentang hubungan kami. “Terima kasih atas penilaianmu terhadapku, Sam. Aku tidak
Ed,Maafkan aku,Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku,Tapi, aku mencintaimu.Hiduplah dengan baik dan lupakan saja aku.Semoga kau bahagia...Kutulis kata-kata itu di layar ponselku yang baru kuaktifkan. Dengan berlinang air mata kutekan tombol kirim ke nomor Ed.Meski statusnya tidak aktif, mudah-mudahan kapan hari dia berkenan mengechek ponselnya dan melihat pesanku.Kalau tidak pun, tidak masalah...Mungkin Tuhan sudah menghendaki semua berakhir seperti ini.Kupaksakan kakiku tetap melangkah meski badanku sudah sangat payah.Seharian rela tidak makan dan minum hanya karena tidak sabar ingin bertemu dengan suamiku itu. Ternyata semua tidaklah seindah yang kubayangkan.Aku kembali tersadar, siapalah aku ini. Hanya gadis kampung dengan nasib yang malang. Yang kini duduk di pinggir trotoar dan tidak tahu harus ke mana.Bingung dan tertekan di rumah Ed, aku memaksakan diri menyelinap pergi di tengah malam dari rumah itu, karena tidak tahan dengan semua keadaan yang membelenggu
Tidak menyangka, akhirnya bisa lagi menginjakkan kakiku di tanah kelahiran ayahku. Suasana damai sudah menyeruak yang pasti membuatku betah tinggal di tempat ini kembali.Sebenarnya ini tidaklah dengan mudah sampai di sini. Aku terjaring razia sosial hingga membuatku sempat tinggal di dinas siosial selama beberapa hari.Namun, kuanggap itu sebuah pertolongan terselubung dari Tuhanku saja.Bagaimana tidak, aku yang tidak punya uang dan tak tahu harus bagaimana tiba-tiba saja di angkut di mobil Satpol PP. Di tempat itu diberi makan dan diberi tempat tinggal dengan gratis, jadinya aku malah bersyukur. Di sana aku bertemu dengan wanita yang mengalami penyakit kepikunan dini meski usianya belum terlalu tua. Kutemani dia dengan baik dan saat keluarganya menjemput, mereka juga menawarkan untuk mengantarku ke kampung halaman.Kupilih kampung ayahku saja karena niatku memang ingin menyendiri. Ayah masih punya rumah peninggalan keluarganya dan dua tahun yang lalu aku masih sering datang unt
“Mila, kau kenapa?” Ibu jadi panik melihatku yang lemas.Dia segera bangkit untuk membantuku duduk di kursi. Sekarang ibu malah yang mondar-mandir mencari sesuatu untuk membuatku lebih baik.“Punya minyak kayu putih atau apa biasanya, Mila?” tanyanya sembari memeriksa laci“Tidak apa, Bu. Mila baik-baik saja.” Aku malah bingung melihat ibu sepanik itu.“Kita ke Puskesmas ya, Nak?” Ibu kembali dan membujukku.Aku pun mengangguk.Sejak kemarin aku mulai sering merasa pusing dan mual. Kuanggap biasa saja karena aku tahu saat ini sedang hamil. Dan hal -hal seperti itu sudah wajar.Tapi karena tidak mau kenapa-kenapa juga dengan bayiku, kusanggupi saat ibu mengajakku periksa ke Puskesmas. Lagipula sejak di periksa Dokter Hartono, aku belum sempat memeriksakan kandunganku lagi.Kami berjalan sebentar keluar gang dan memanggil becak motor di pangkalan untuk mengantar kami ke Puskesmas.Di kampung juga ada Polindes, tapi biasanya sore begini sudah tutup. Jadi kami pergi ke Puskesmas saja yan
Kami tidak langsung kembali ke rumah karena Ibu mengajakku ke Pasar Sore tidak jauh dari Puskesmas itu untuk menjual kalung emasnya.Dia bilang ingin mengadakan syukuran kecil-kecilan di rumah. Jadinya setelah menjual kalung emasnya itu kami sibuk belanja beberapa keperluan.“Jangan berlebihan Bu, ini masih 3 bulan, nanti biaya lahiran dan merawat bayi lebih gede. Mending ditabung saja buat nanti,” ujarku yang malah menasihati ibuku itu.Kondisi yang prihatin dengan hanya mengandalkan membuat kue basah dan menitipkannya di warung-warung dekat rumah, membuatku selalu berpikir hemat. “Jangan dipikir yang belum, Mila. Kita harus banyak bersyukur. Di dalam perutmu ini ada cucu, Ibu. Nanti ibu juga akan bantu-bantu biaya merawat anak-anakmu. Yang penting cucu ibu sehat dan lahir baik-baik saja, tidak kurang apapun.”Ibu mengelus perutku dan kembali tampak berkaca-kaca. Sepertinya dia sangat bahagia akan punya cucu. Aku ingat, ibu sangat penyayang anak-anak.Akhirya kubiarkan saja ibu men