Setelah makan malam, Gala dan Meida mencariku ke dalam kamar. Mereka berebut ingin menceritakan apapun kejadian di sekolahnya. Apalagi katanya ada salah satu teman mereka yang tadi kejang di sekolah karena mengidap epilepsi.“Tiba-tiba jatuh begitu, Ma di depan Meida. Meida kan takut, jadi Meida teriak-teriak sampai semua teman-teman dan Sir Feyhan kaget dan berlari melihat,” ujar anak perempuanku itu dengan begitu bersemangat menceritakan apa yang dilihatnya.“Meida memang gitu, Ma. Lihat teman jatuh malah teriak-teriak. Bantu kek. Tidak punya rasa kasihan kamu!” Gala menyahut.“Lho kan gitu, jatuhnya sampai kejang-kejang dan mulutnya sampai keluar air liurnya. Mana berani aku menolong. Coba jatuhnya di depanmu?” Meida membela dirinya.“Iya, tapi lain kali tidak perlu teriak-teriak sampai kencang begitu. Gedung sekolah sampai mau roboh mendengar suaramu!” Gala masih menyalahkan adiknya.Meida ingin membantah lalu aku dengan cepat merangkul keduanya untuk menengahi.“Iya, sudah. Tema
“Mau ke mana sepagi ini?” tanyaku pada Ed yang sudah rapi. Bahkan anak-anak saja belum bersiap untuk berangkat ke sekolah.“Ada yang harus aku urus dulu, biar nanti tidak menunda meeting penting di kantor.” Ed menyentuh kepalaku dan mencium keningku, terlihat sangat tergesa untuk keluar.“Ke mana?” masih tanyaku saat dia hendak memutar knop pintu kamar.Semalam mendengarnya membahas tentang nama wanita itu, aku sebenarnya ingin membesarkan hatiku barangkali memang ada sesuatu hal yang terjadi.Kemudian, untuk tidak membuatku menjadi salah paham dan malah berpikir yang bukan-bukan, kuputuskan untuk bertanya ke mana Ed pergi kali ini. Karena jika dia akan pergi menemui Indah, aku pun ingin sebuah penejelasan. Cukup sekedar tidak salah paham saja.Ini, hanya untuk melindungi hatiku yang belum juga sembuh dari hal-hal buruk yang terus menderanya. “Ke mana?” sekali lagi aku bertanya padanya.“Ada urusan, Sayang. Kamu di rumah saja, tidak perlu ke kantor. Biar nanti orang kantor yang data
Ceklik!Bunyi pintu ruangan Ed yang barusan menutup. Membuat kedua insan itu serentak menoleh ke arah pintu. Di mana aku masih berdiri di sana dengan tidak menentu.“Mila?!” Ed sungguh tampak terkejut melihatku. Dan wanita itu bergegas bangkit dari tempat duduknya lalu keduanya sebentar berpandangan dan terlihat salah tingkah.Ed melangkah menghampiriku dan aku segera menyampaikan akan keluar saja, “Maaf, tadi aku pikir kau belum datang. Aku tidak tahu kalau ada orang. Maaf...” ujarku yang kini langsung tenggelam dengan mental yang jatuh. Seolah bukan wanita itu yang harus keluar dari tempat itu, tapi aku.Ari datang tepat waktu jadi tidak harus ada drama, lagipula aku sudah tidak tahu bagaimana bersikap dalam perasaan sakit dan kecewa begini.“Nyonya?” Ari masuk dan baru melihat bahwa tidak hanya ada aku di sana. Tapi juga Ed dan—wanita itu.“Kenapa kau malah mengantar Mila ke kantor, Arik? Kau tahu dia sedang sakit ‘kan?” Ed tampak marah pada Ari. Dan kurasa itu lebih dari sebuah ke
Aku terusik ketika lenganku terasa menegang. Kubuka mata perlahan dan tahu ada perawat yang sedang mengukur tensiku, seorang perawat yang lain mengganti kantong infuse yang sudah habis, dan sementara seorang lagi mencatat hasil pemeriksaan.Lalu sudut mataku menangkap pria yang kini bangkit dari duduknya. Mungkin melihatku terbangun dia menghampiriku.“Bagaimana, apa semua baik-baik saja?” tanyanya pada perawat yang mengukur tensiku.“Masih tinggi sekali, Tuan. Saya akan laporkan pada Dokter Miguel agar dapat menentukan tindakan apa yang akan diambil.”“Tanyakan segera, kalau memang perlu sebuah tindakan, lakukan sekarang juga. Aku tidak mau memgambil banyak resiko.” Ed berkata dengan tegas dan terdengar sangat cemas.Hal apakah yang menimpaku hingga Ed terlihat sepanik itu?“Baik, Tuan. Segera saya laporkan.” Tukas perawat itu kemudian mereka berlalu dari ruanganku.Aku yang jadi penasaran dan takut ada hal buruk yang akan menimpa buah hatiku, manatap Ed lemah untuk memintanya membe
“Kenapa?” tanyaku mendengar hal itu.Tante berbalik badan dan menghampiriku.“Tidak apa, Mila. Seandainya bayimu sampai dilahirkan, kau akan punya bayi perempuan yang cantik sepertimu dan Meida. Tadi suamimu sudah memakamkannya. Sudah, ikhlaskan, ya?”Oh. Bayi perempuan? Meida pasti bahagia sekali punya adik perempuan. Tidak bisa membayangkan bagaimana sedihnya anak-anakku kalau mendengar adiknya gagal lahir kedunia?“Ed kenapa, Tante?” tanyaku karena tadi mendengarnya sampai di rawat. Meski kesal dan marah dengannya, mendengarnya sakit pun aku masih juga mencemaskannya.“Hanya diberikan oksigen, lelah mungkin Mila. Tadi saja dia masih membujuk si kembar agar tidak usah ikut. Tapi mereka merengek ikut. Dan hanya suamimu yang bisa membujuk mereka.”“Ikut ke pemakaman?” tanyaku terkejut. Ternyata Gala dan Meida sudah diberitahu. Tentu saja, mereka selalu ingin tahu. Apalagi Gala.Kubayangkan Ed yang pastinya sangat kerepotan menengkan mereka. Belum lagi harus memenuhi kewajibanya me
“Ada urusan apa waktu sama Indah di kantor?” tanyaku pada Ed.Ini adalah kata pertama yang aku ucapkan padanya, setelah operasi cesar tiga hari yang lalu.Sedihku mulai memudar dan kuharap aku bisa menyikapi apapun dengan lebih dewasa dan bijak.Aku menanyakan tentang wanita itu bukan karena ingin bertengkar dengannya, tapi hanya penasaran saja mengapa Ed sampai bersikap sebegitunya dengan wanita itu?“Indah saksi penting, bukti bahwa Danio berusaha menghabisiku, Sayang. Dia yang menemukanku di tepi sungai dan meminta tolong warga membawaku ke puskesmas.” Ed juga tidak bertele-tele, dia langsung menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.“Aku mendapat laporan bahwa anak buah Danio berusaha menyingkirkannya agar di persidangan dia tidak bisa hadir, karenanya aku meminta orang untuk melindunginya.”Aku terdiam mendengar penjelasan Ed. Kali ini aku harus mengakui sudah salah mengira tentangnya.Tapi, aku masih terganggu dengan sedikit hal. Dan aku tidak berniat untuk menyimpannya saja.“Ma
“Sudah dibilangi suruh masuk, tambeng amat sih, Mila?” Ibu ngomel-ngomel setelah aku diperiksa dokter.“Sudah, jangan panik. Tadi hanya sedikit darah bekas jahitan yang masih belum kering. Itu karena Mila pakai gaun tipis dan putih lagi, jadi sedikit noktah sudah ketara.” Tante Atika yang tadi juga di hubungi ibu langsung datang.“Dokter juga bilang tidak apa-apa, kok, Bu. Mila baik-baik saja.” Ed yang awalnya juga panik kini sudah tenang dan mencoba membuat ibu tidak cemas.“Ya Allah, ini bayangan di kepalaku sudah yang enggak-enggak saja. Bagaimana kalau jahitan itu robek terus lukanya mengangga terbuka begitu?” Ibu dengan polosnya mengatakan apa yang ada di kepalanya.Tante Atika tergelak mendengarnya.“Ada-ada saja sih, Narti. Kau pikir jahitnya juga seperti jahit kain gitu pakai mesin jahit? Enggak begitu juga. Aman, kok. Apalagi aku lihat rumah sakitnya bagus. Menerapkan standar internasional dalam menangani pasien.” Komentar Tante Atika yang tentu banyak tahu karena dia juga
“Sebentar,” tukasnya kudengar.Kupikir untukku, jadi aku bilang saja, “Oh, ya sudah, maaf, nanti aku telpon lagi deh.” Lalu kututup panggilanku.Aku baru hendak berpikir yang bukan-bukan, Ed sudah menghubungiku dengan cepat.“Kok ditutup?” tanyanya.“Aku pikir kau tadi memintaku menunggu?”“Bukan kamulah, Istriku sayang.” Ed menyahut dengan cepat.“Uhm, itu Indah, kah?” tanyaku.“Iya.” Jawab Ed singkat.“Wah, apa dia suka sekali mengganggu suamiku saat di kantor?”“haha, aku juga baru datang ini, Sayang. Lebih sering meeting di luar juga, sekarang. Kapan ada yang bisa ganggu suamimu ini?”“Boleh aku ke kantor, Sayang?” pintaku tiba-tiba.“Hei, mau apa? Di rumah saja. Udah sore juga. Habis ini aku pulang, kok!”“Bilang habis ini, tapi sampe malam baru nyampe. Pokoknya aku ke kantor, ya? Boring...” rengekku manja. Ed tidak bisa menolakku. Dia pun menghubungi Ari untuk menjemputku.Aku sudah berdandan cantik dan wangi. Merasa tubuhku sudah fit, rasanya tidak sabar pengen keluar dan me
“Sayang kau dari mana?” tanyaku melihatnya datang bersama beberapa perawat.Padahal sudah ada tombol darurat yang bisa dipencet untuk memanggil mereka. Bagaimana pria ini malah keluar untuk memanggil mereka secara manual? Pasti saking paniknya tadi.Dan lagi sekarang dia malah terlihat memarahi perawat itu.“Harusnya kalian memberinya obat anti nyeri. Apa tidak tahu istri saya sampai kesakitan begitu?”“Pemberian injection anti nyeri juga harus sesuai perintah dokter, Tuan. Kami tidak berani memberikannya lagi pada Nyonya karena tadi sudah kami berikan. Nanti ada waktunya lagi,” jelas salah seorang perawat pada Ed. “Tapi istri saya kesakitan, lho!” Ed masih terlihat kukuh.Kutarik lengannya agar dia bersikap lebih santai.Ada apa dengannya? Biasanya dia cuek dan santai-santai saja. Melihatku sedikit meringis saja sudah panik begitu. “Ah maaf, Sus. Tadi hanya sensasi rasa perih di area jahitan. Tapi sekarang sudah tidak, kok. Maaf, ya? Suami saya sedikit berlebihan tadi.”***Dua har
“Sayang?” suara Ed kudengar dan aku membuka mataku menatapnya yang terlihat cemas.“Ed? Kapan selesai operasinya? Aku sudah tidak sabar ingin tahu anak-anakku,” tukasku menggenggam balik tangan yang menggenggamku itu. Ed tersenyum meski pias wajahnya tampak lelah sekali. Dia membelai rambutku dan mencium keningku.“Operasinya sudah selesai sejak tadi, Sayang. Dokter bilang kau hanya tidak tahan dengan efek obat bius yang disuntikkan padamu.”“Ya Allah, Ed. Kasihan anak-anakku tidak bisa inisiasi menyusu dini.” Aku mencoba bangkit tapi Ed menahanku.“Tenanglah, Mila. Kau baru saja dipindah dari ruang pemulihan. Jangan banyak bergerak dulu.”“Tapi bayi-bayiku?”“Kata dokter tidak apa-apa, kok. Yang penting pulihkan dulu keadaanmu.”“Iya, tapi bayi-bayiku mana, Sayang?”Aku tentu ingin melihat mereka.Bagaimana bisa aku terlelap dengan damainya, bahkan tidak bisa mendengar suara jeritan pertama buah hatiku?Padahal, bisa mendengar suara mereka pertama saat terlahir ke dunia ini adala
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar
Aku terkejut melihat Niko yang ada di tempat yang sama dengan kami. Dia tidak sendiri tapi bersama seorang wanita dan itu bukan Ceryl. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk kami.Mau apa dia di sini? “Sopir truk? Kau yakin dia seorang sopir truk?” tanya wanita itu.Siapa juga yang percaya kalau suamiku yang tampan dan rapi dipanggil sopir truk oleh pria yang tidak tahu malu ini.Tidak tahu malu karena barusan sudah merencanakan hal buruk dengan mengirim perempuan ke suit pribadi kami dan berniat mengacaukan Ed.Untung aku yang lebih dulu sampai jadi mereka tidak punya kesempatan memanipulatif keadaan.Jangan-jangan dia di sini juga karena ingin memastikan rencananya berhasil.Sudah tahu atau belum kalau rencananya tidak berjalan dengan baik?Entahlah, dibawa ke mana dan diapakan dua wanita tadi oleh asisten suamiku.“Hallah, jaman sekarang apa yang tidak mungkin. Pemulung memakai baju mahal sudah banyak. Justru orang kaya yang sebenarnya malah berpenampilan apa adanya.” Niko me
“Sam yang akan mengurusnya,” tukasnya setelah menelpon Sam beberapa saat yang lalu.“Aku tidak mengerti?” aku masih belum puas dengan jawaban Ed. Dia tidak menjelaskan banyak hal padaku.“Temanmu itu pasti kesal karena investornya banyak yang berpindah ke perusahaan kita. Jadi, mungkin dia marah dan ingin berbuat ulah denganku. Apalagi saat ini bisnisnya mulai tersudut dengan banyaknya korban investasi yang melapor penipuan investasi bodong itu,” jelas Ed.Dan aku memang baru mendengar hal itu setelah beberapa bulan ini sama sekali tidak memikirkan tentang kejadian itu. Pasti Ed sengaja meminta Sam membuat kacau bisnis Niko karena sudah mencoba melecehkanku. Tentang investor yang banyak berpindah ke perusahaan Lavidia aku pikir hanya trik saja dan bukannya sedang membutuhkannya.Kasihan sekali kalau benar itu terjadi. Dia baru saja bisa unjuk gigi dengan julukan crazy richnya. Istrinya yang matre itu pasti sekarang sangat kecewa padanya. Sayangnya aku sudah tidak lagi ada di group
“Siapa kalian?” tanyaku pada dua wanita itu sembari berkacak pinggang. Napasku sudah naik turun dan untuk sesaat aku hampir ingin berteriak-teriak menyerang mereka. “Saya hanya disewa untuk melayani pemilik hotel ini, Anda siapa?” ujar wanita itu yang dengan berani malah bertanya balik padaku.Pria yang katanya asisten baru itu tidak berani menyela dan memilih keluar.Biarlah. Biar dia memanggil bosnya agar cepat datang ke tempat ini dan melihat bahwa aku ada di tempat di mana dia sedang menyewa dua wanita ini untuk menghiburnya.Keterlaluan dia!Apa sangat tidak tahannya hingga menyewa dua wanita ini untuk memenuhi napsunya?!“Pekerjaan kami hanya melayani pria yang sudah membayar kami. Kalaupun Anda adalah kekasih atau istrinya, tolong hargailah pekerjaan kami,” ujar wanita satunya yang malah membuat isi kepalaku bertambah semrawut.Eh. Apa dia kata?Sadar atau tidak dia ngomong seperti itu?“Mana ada seorang istri yang harus menghargai pekerjaan orang yang ingin melayani suamin