Tidak banyak bicara Ed kembali menempelkan bibirnya di bibirku dan mengunci tubuhku namun tetap berusaha membuatku nyaman dalam rengkuhannya.Tahap ini sebenarnya aku mulai sedikit resah namun kubiarkan Ed melanjutkan ciumannya. Membuatku belum bisa merasakan feel dari ciuman kami.Ed paham di bagian mana bisa membuatku terlena. Karenanya jemarinya tidak berhenti memijit lembut dua buah membusung yang kini semakin bervolume itu.“Mantap nih, Sayang. Enak banget ntar baby kita…” Mulai dia menyelingi dengan kata-kata randomnya.Kegelisahan pun memudar dan aku tak lagi memejamkan mataku. Kutatap dua bola mata yang juga menatapku dengan penuh cinta itu. Lalu kembali menghujaniku dengan ciuman-ciuman kami.Itu benar-benar ciuman kami. Bukan ciuman kasar pria keji itu, yang terkadang malah menyisakan rasa sakit. Ugh. Brengsek sekali pikiranku ini. Enyahlah dan mampuskan bayangan kejinya. Biarkan aku kembali nyaman bersama suamiku.Sayangnya sudah senyaman ini, tubuhku masih saja kaku
Setelah makan malam, Gala dan Meida mencariku ke dalam kamar. Mereka berebut ingin menceritakan apapun kejadian di sekolahnya. Apalagi katanya ada salah satu teman mereka yang tadi kejang di sekolah karena mengidap epilepsi.“Tiba-tiba jatuh begitu, Ma di depan Meida. Meida kan takut, jadi Meida teriak-teriak sampai semua teman-teman dan Sir Feyhan kaget dan berlari melihat,” ujar anak perempuanku itu dengan begitu bersemangat menceritakan apa yang dilihatnya.“Meida memang gitu, Ma. Lihat teman jatuh malah teriak-teriak. Bantu kek. Tidak punya rasa kasihan kamu!” Gala menyahut.“Lho kan gitu, jatuhnya sampai kejang-kejang dan mulutnya sampai keluar air liurnya. Mana berani aku menolong. Coba jatuhnya di depanmu?” Meida membela dirinya.“Iya, tapi lain kali tidak perlu teriak-teriak sampai kencang begitu. Gedung sekolah sampai mau roboh mendengar suaramu!” Gala masih menyalahkan adiknya.Meida ingin membantah lalu aku dengan cepat merangkul keduanya untuk menengahi.“Iya, sudah. Tema
“Mau ke mana sepagi ini?” tanyaku pada Ed yang sudah rapi. Bahkan anak-anak saja belum bersiap untuk berangkat ke sekolah.“Ada yang harus aku urus dulu, biar nanti tidak menunda meeting penting di kantor.” Ed menyentuh kepalaku dan mencium keningku, terlihat sangat tergesa untuk keluar.“Ke mana?” masih tanyaku saat dia hendak memutar knop pintu kamar.Semalam mendengarnya membahas tentang nama wanita itu, aku sebenarnya ingin membesarkan hatiku barangkali memang ada sesuatu hal yang terjadi.Kemudian, untuk tidak membuatku menjadi salah paham dan malah berpikir yang bukan-bukan, kuputuskan untuk bertanya ke mana Ed pergi kali ini. Karena jika dia akan pergi menemui Indah, aku pun ingin sebuah penejelasan. Cukup sekedar tidak salah paham saja.Ini, hanya untuk melindungi hatiku yang belum juga sembuh dari hal-hal buruk yang terus menderanya. “Ke mana?” sekali lagi aku bertanya padanya.“Ada urusan, Sayang. Kamu di rumah saja, tidak perlu ke kantor. Biar nanti orang kantor yang data
Ceklik!Bunyi pintu ruangan Ed yang barusan menutup. Membuat kedua insan itu serentak menoleh ke arah pintu. Di mana aku masih berdiri di sana dengan tidak menentu.“Mila?!” Ed sungguh tampak terkejut melihatku. Dan wanita itu bergegas bangkit dari tempat duduknya lalu keduanya sebentar berpandangan dan terlihat salah tingkah.Ed melangkah menghampiriku dan aku segera menyampaikan akan keluar saja, “Maaf, tadi aku pikir kau belum datang. Aku tidak tahu kalau ada orang. Maaf...” ujarku yang kini langsung tenggelam dengan mental yang jatuh. Seolah bukan wanita itu yang harus keluar dari tempat itu, tapi aku.Ari datang tepat waktu jadi tidak harus ada drama, lagipula aku sudah tidak tahu bagaimana bersikap dalam perasaan sakit dan kecewa begini.“Nyonya?” Ari masuk dan baru melihat bahwa tidak hanya ada aku di sana. Tapi juga Ed dan—wanita itu.“Kenapa kau malah mengantar Mila ke kantor, Arik? Kau tahu dia sedang sakit ‘kan?” Ed tampak marah pada Ari. Dan kurasa itu lebih dari sebuah ke
Aku terusik ketika lenganku terasa menegang. Kubuka mata perlahan dan tahu ada perawat yang sedang mengukur tensiku, seorang perawat yang lain mengganti kantong infuse yang sudah habis, dan sementara seorang lagi mencatat hasil pemeriksaan.Lalu sudut mataku menangkap pria yang kini bangkit dari duduknya. Mungkin melihatku terbangun dia menghampiriku.“Bagaimana, apa semua baik-baik saja?” tanyanya pada perawat yang mengukur tensiku.“Masih tinggi sekali, Tuan. Saya akan laporkan pada Dokter Miguel agar dapat menentukan tindakan apa yang akan diambil.”“Tanyakan segera, kalau memang perlu sebuah tindakan, lakukan sekarang juga. Aku tidak mau memgambil banyak resiko.” Ed berkata dengan tegas dan terdengar sangat cemas.Hal apakah yang menimpaku hingga Ed terlihat sepanik itu?“Baik, Tuan. Segera saya laporkan.” Tukas perawat itu kemudian mereka berlalu dari ruanganku.Aku yang jadi penasaran dan takut ada hal buruk yang akan menimpa buah hatiku, manatap Ed lemah untuk memintanya membe
“Kenapa?” tanyaku mendengar hal itu.Tante berbalik badan dan menghampiriku.“Tidak apa, Mila. Seandainya bayimu sampai dilahirkan, kau akan punya bayi perempuan yang cantik sepertimu dan Meida. Tadi suamimu sudah memakamkannya. Sudah, ikhlaskan, ya?”Oh. Bayi perempuan? Meida pasti bahagia sekali punya adik perempuan. Tidak bisa membayangkan bagaimana sedihnya anak-anakku kalau mendengar adiknya gagal lahir kedunia?“Ed kenapa, Tante?” tanyaku karena tadi mendengarnya sampai di rawat. Meski kesal dan marah dengannya, mendengarnya sakit pun aku masih juga mencemaskannya.“Hanya diberikan oksigen, lelah mungkin Mila. Tadi saja dia masih membujuk si kembar agar tidak usah ikut. Tapi mereka merengek ikut. Dan hanya suamimu yang bisa membujuk mereka.”“Ikut ke pemakaman?” tanyaku terkejut. Ternyata Gala dan Meida sudah diberitahu. Tentu saja, mereka selalu ingin tahu. Apalagi Gala.Kubayangkan Ed yang pastinya sangat kerepotan menengkan mereka. Belum lagi harus memenuhi kewajibanya me
“Ada urusan apa waktu sama Indah di kantor?” tanyaku pada Ed.Ini adalah kata pertama yang aku ucapkan padanya, setelah operasi cesar tiga hari yang lalu.Sedihku mulai memudar dan kuharap aku bisa menyikapi apapun dengan lebih dewasa dan bijak.Aku menanyakan tentang wanita itu bukan karena ingin bertengkar dengannya, tapi hanya penasaran saja mengapa Ed sampai bersikap sebegitunya dengan wanita itu?“Indah saksi penting, bukti bahwa Danio berusaha menghabisiku, Sayang. Dia yang menemukanku di tepi sungai dan meminta tolong warga membawaku ke puskesmas.” Ed juga tidak bertele-tele, dia langsung menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.“Aku mendapat laporan bahwa anak buah Danio berusaha menyingkirkannya agar di persidangan dia tidak bisa hadir, karenanya aku meminta orang untuk melindunginya.”Aku terdiam mendengar penjelasan Ed. Kali ini aku harus mengakui sudah salah mengira tentangnya.Tapi, aku masih terganggu dengan sedikit hal. Dan aku tidak berniat untuk menyimpannya saja.“Ma
“Sudah dibilangi suruh masuk, tambeng amat sih, Mila?” Ibu ngomel-ngomel setelah aku diperiksa dokter.“Sudah, jangan panik. Tadi hanya sedikit darah bekas jahitan yang masih belum kering. Itu karena Mila pakai gaun tipis dan putih lagi, jadi sedikit noktah sudah ketara.” Tante Atika yang tadi juga di hubungi ibu langsung datang.“Dokter juga bilang tidak apa-apa, kok, Bu. Mila baik-baik saja.” Ed yang awalnya juga panik kini sudah tenang dan mencoba membuat ibu tidak cemas.“Ya Allah, ini bayangan di kepalaku sudah yang enggak-enggak saja. Bagaimana kalau jahitan itu robek terus lukanya mengangga terbuka begitu?” Ibu dengan polosnya mengatakan apa yang ada di kepalanya.Tante Atika tergelak mendengarnya.“Ada-ada saja sih, Narti. Kau pikir jahitnya juga seperti jahit kain gitu pakai mesin jahit? Enggak begitu juga. Aman, kok. Apalagi aku lihat rumah sakitnya bagus. Menerapkan standar internasional dalam menangani pasien.” Komentar Tante Atika yang tentu banyak tahu karena dia juga