Terima kasih, jangan lupa selalu dukung cerita ini. Happy and enjoy reading... Love you 💕💕💕
“Ada urusan apa waktu sama Indah di kantor?” tanyaku pada Ed.Ini adalah kata pertama yang aku ucapkan padanya, setelah operasi cesar tiga hari yang lalu.Sedihku mulai memudar dan kuharap aku bisa menyikapi apapun dengan lebih dewasa dan bijak.Aku menanyakan tentang wanita itu bukan karena ingin bertengkar dengannya, tapi hanya penasaran saja mengapa Ed sampai bersikap sebegitunya dengan wanita itu?“Indah saksi penting, bukti bahwa Danio berusaha menghabisiku, Sayang. Dia yang menemukanku di tepi sungai dan meminta tolong warga membawaku ke puskesmas.” Ed juga tidak bertele-tele, dia langsung menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.“Aku mendapat laporan bahwa anak buah Danio berusaha menyingkirkannya agar di persidangan dia tidak bisa hadir, karenanya aku meminta orang untuk melindunginya.”Aku terdiam mendengar penjelasan Ed. Kali ini aku harus mengakui sudah salah mengira tentangnya.Tapi, aku masih terganggu dengan sedikit hal. Dan aku tidak berniat untuk menyimpannya saja.“Ma
“Sudah dibilangi suruh masuk, tambeng amat sih, Mila?” Ibu ngomel-ngomel setelah aku diperiksa dokter.“Sudah, jangan panik. Tadi hanya sedikit darah bekas jahitan yang masih belum kering. Itu karena Mila pakai gaun tipis dan putih lagi, jadi sedikit noktah sudah ketara.” Tante Atika yang tadi juga di hubungi ibu langsung datang.“Dokter juga bilang tidak apa-apa, kok, Bu. Mila baik-baik saja.” Ed yang awalnya juga panik kini sudah tenang dan mencoba membuat ibu tidak cemas.“Ya Allah, ini bayangan di kepalaku sudah yang enggak-enggak saja. Bagaimana kalau jahitan itu robek terus lukanya mengangga terbuka begitu?” Ibu dengan polosnya mengatakan apa yang ada di kepalanya.Tante Atika tergelak mendengarnya.“Ada-ada saja sih, Narti. Kau pikir jahitnya juga seperti jahit kain gitu pakai mesin jahit? Enggak begitu juga. Aman, kok. Apalagi aku lihat rumah sakitnya bagus. Menerapkan standar internasional dalam menangani pasien.” Komentar Tante Atika yang tentu banyak tahu karena dia juga
“Sebentar,” tukasnya kudengar.Kupikir untukku, jadi aku bilang saja, “Oh, ya sudah, maaf, nanti aku telpon lagi deh.” Lalu kututup panggilanku.Aku baru hendak berpikir yang bukan-bukan, Ed sudah menghubungiku dengan cepat.“Kok ditutup?” tanyanya.“Aku pikir kau tadi memintaku menunggu?”“Bukan kamulah, Istriku sayang.” Ed menyahut dengan cepat.“Uhm, itu Indah, kah?” tanyaku.“Iya.” Jawab Ed singkat.“Wah, apa dia suka sekali mengganggu suamiku saat di kantor?”“haha, aku juga baru datang ini, Sayang. Lebih sering meeting di luar juga, sekarang. Kapan ada yang bisa ganggu suamimu ini?”“Boleh aku ke kantor, Sayang?” pintaku tiba-tiba.“Hei, mau apa? Di rumah saja. Udah sore juga. Habis ini aku pulang, kok!”“Bilang habis ini, tapi sampe malam baru nyampe. Pokoknya aku ke kantor, ya? Boring...” rengekku manja. Ed tidak bisa menolakku. Dia pun menghubungi Ari untuk menjemputku.Aku sudah berdandan cantik dan wangi. Merasa tubuhku sudah fit, rasanya tidak sabar pengen keluar dan me
Kami memutuskan mencari makan di luar sekalian mau jalan-jalan. Mumpung anak-anak juga ada acara sendiri.Sayang, Ed tertahan lagi karena Sam menyampaikan ada yang ingin dibicarakannya dan itu urgent. Ed pun meminta pertimbanganku.“Enggak apa-apa kok, Sayang, aku bisa tunggu,” ujarku padanya.Sembari menunggunya aku gunakan kesempatan ini untuk melihat-lihat.Di kantor ini tidak banyak yang tahu tentangku yang merupakan istri big bos mereka. Bahkan Ed pun jarang berinteraksi langsung dengan para pegawainya, kecuali di lantai tempatnya berkantor, bersama para sekretaris, asisten dan beberapa dewan direksinya.Hanya gadis yang bernama Indah itu, pasti merasa bangga punya kedekatan khusus dengan big bos di perusahaan ini ketika pegawai dan karyawan yang lain jarang melihat sang big bos.Kini aku melihatnya sedang menunggu lift terbuka. Kuputuskan untuk menghampirinya dan mengajaknya mengobrol. “Mau pulang?” sapaku pada gadis itu.Dia melirikku dan baru menyapa, “Oh, Kakak istrinya
“Boleh tidak, Kak aku ikut sekalian?” Indah bertanya padaku karena Ed tidak menjawabnya.“Boleh, baru juga mau nawarin,” ujarku dan gadis itu sudah terlihat senang saja.Kami turun dari lantai 35 dan langsung menuju mobil. Padahal tadi rencannya Ed akan membawaku ke sebuah kafe yang katanya rekomended banget. Tapi harus terjeda karena harus mengantar Indah ke apartemen.Selesai mengantarnya, kami pun baru memutar arah. Di perjalanan aku menyinggung tentang apartemen itu.“Kau memberikan Indah apartemen milikmu? Tadi dia cerita,” tanyaku padanya.“Bukan apartemenku, Mila. Untuk apa aku punya apartemen di Jakarta kalau rumahku ada di sekitar sini.” Ed menjelaskan sesekali melirik adakah aku merasa keberatan atau tidak sepakat.“Iya. Aku sudah tahu alasannya. Dia juga pantas kau berikan apertemen karena sudah menyelamatkanmu.”“Ya sudah, jadi kita mampir ke kafe ya?” Ed menarik jemariku dan tidak ingin lagi membicarakan Indah.Aku hanya mengangguk lalu kami segera menuju tempat itu.Aku
“Lepas! Lepasin aku!” teriakku sembari memukul-mukul dada pria itu.“Mila, tenanglah!” tukasnya tapi aku tetap memukulinya sampai dia melepaskanku. “Lepaaass!” masih teriakku.“Hei, ini aku. Sayang, ini aku...” tukasnya lagi yang seketika membuatku berhenti memukulinya. Kemudian kudongakan wajahku dan baru melihat wajahnya.“Ugh...” lenguhku lega terbebas dari rasa takutku.Karena begitu paniknya aku tadi sampai tidak melihat siapa pria yang kutabrak. Aku bahkan memukulinya dan mengiranya orang yang akan berniat jahat padaku.“Ed?” ujarku dan aku langsung rebah di dadanya. Kupeluk tubuhnya erat sekali karena rasa takut itu masih membayangi.“Tidak ada apa-apa, tenanglah,” tukasnya menenangkanku. Ketika kami di mobil Ed masih menyodorkan air mineral dan mengelus kepalaku.“Tidak ada apa-apa, jangan setakut itu.”“Sungguh aku tidak bohong, Ed. Tadi aku melihat sepertinya ada orang yang mengawasiku. Aku sudah berbalik untuk pergi tapi aku merasa seperti ada yang mengejarku.” S
Kubuntuti Ed yang masuk ke dalam kamar untuk segera menyampaikan apa yang dikatakan Mbak Lilis. Sepertinya Ed menyembunyikan rasa cemasnya agar aku tenang.“Baik, nanti aku periksa CCTV. Jangan terlalu dibuat panik. Biar anak-anak tidak takut,” tuturnya.Aku mengangguk patuh. Untungnya masalah demi masalah yang terjadi selama di Jakarta ini, si kembar sama sekali tidak tahu. Mereka bahkan tidak menyadari bahwa pria yang sebulan lalu dikiranya papa mereka, bukanlah papa mereka.Sama sepertiku, Gala dan Meida yang belum pernah tahu tentang Erik, tentu akan melihatnya sebagai papa mereka saja.Saat kami makan malam Ed mendapat panggilan dan dia langsung mengakhiri dengan cepat. Aku tidak bertanya di depan anak-anak kemana dia pergi, karena sudah menduga bahwa Ed sedang mengurus masalah pengantar martabak tadi.“Papa kok buru-buru, Ma?” tanya Gala melirik papanya yang berlalu pergi.“Iya, Ma. Kan baru pulang, masa papa pergi lagi?” Meida jadi cemberut papanya keluar lagi.“Dihabiskan dul
“Tadi anak-anak sudah di teras, ketika pria itu memanggil mereka. Tentu saja saya juga kurang memperhatikan kalau itu bukan tuan, Nyonya.” Nur masih terlihat tegang. Namun kuminta dia tidak heboh agar anak-anak tidak terganggu.“Apa dia melakukan sesuatu yang tidak baik pada anak-anak?” tanyaku pada Nur.“Tidak, Nyonya. Dia malah menciumi Gala dan Meida, habis itu langsung buru-buru pergi. Saya pikir memang tuan yang hendak menjemput Anda di suatu tempat tapi menyempatkan mampir mengantar martabak itu.”Aku terhenyak mendengar pria itu malah menciumi Gala dan Meida. Tapi, sepengetahuanku, Erik memang menyukai anak-anakku. Dia juga bersikap baik dan lembut di depan anak-anak. Karenanya anak-anak terlihat nyaman-nyaman saja dan menganggap bahwa pria itu adalah papa mereka. Bagaimana Erik bisa tiba-tiba datang dalam momen yang pas sekali ketika anak-anak meminta martabak?Bukankah Ed pernah mengatakan sudah menahannya sendiri di suatu tenpat dan akan menghukumnya?Oh. Ya Tuhan. Mudah
Kukirim pesan pada Ed bahwa saat ini aku dan Mbak Lilis ada di pusat perbelanjaan di dekat kantornya.Ed mengirim pesan balik yang menyampaikan akan segera menyusulku.Di sana aku tidak sengaja bertemu dengan wanita yang waktu itu bersama Jessica. Seingatku namanya Sherin. Aku juga tidak lupa, dia bilang temannya Jessica.“Kau sedang berbelanja?” tanyaku basa-basi seteah dia duluan yang menyapaku.Kami duduk di resto dan mengobrol santai di sana sembari menikmati makanan yang kami pesan.“Iya, tadi aku dari kantor suamimu, mau tanya adakah lowongan pekerjaan di sana. Aku mau tinggal di Indonesia lagi saja,” ujar Sherina.Senyumnya ramah sekali. Penampilannya juga cantik dan elegan. Dia berteman dengan Jessica, pasti sedikit tahu tentangku dan Ed. Namun wanita ini masih tetap ramah. Sepertinya dia berbeda dengan Jessica.“Sebelum ini tinggal di mana?” tanyaku lagi.“Di Prancis. Aku model di sana. Tapi usia semakin tua dan kalah saing dengan para model muda. Jadi sudah seharusnya aku m
Gala dan Meida senangnya minta ampun ketika papanya bilang minggu depan akan mengajak mereka jalan-jalan ke luar negri. Padahal libur sekolah masih sebulanan. Tapi Ed tidak mempermasalahkan hal itu.“Jangan terlalu keras, mereka masih TK. Enggak masalah juga,” ujarnya saat kuingatkan tentang jadwal sekolah mereka.“Takutnya sekolah tidak memberi izin, Sayang,” ujarku memberi alasan.“Anak-anak aku sendiri, ngapain juga minta izin?” tukasnya tidak begitu memikirkan hal ini.“Astaga, Papa...!” tukasku menanggapinya. Mungkin dia tidak serius. Tapi, ya sudahlah. Biar nanti kumintakan izin pada pihak sekolah kalau anak-anak lebih dulu libur panjang. Tidak mungkin juga ‘kan kalau mereka tidak memberi izin. Seandainya sampai pihak sekolah tidak memberi izin, baru ucapan Ed bisa dibenarkan.“Ma, nanti kita belanja jaket tebal, ya? Papa bilang sekarang sedang musim dingin di Eropa?” Meida sudah bingung sendiri dan membayangkan akan kedinginan kalau tidak punya jaket tebal.“Iya nanti kita bel
“Danio sudah mati?” tanyanya pada Ed yang duduk di sofa panjang penunggu tak jauh dari ranjangnya.“Hmm, kami baru dari pemakamannya,” jawab Ed.Keduanya kembali terdiam ketika aku keluar dari toilet. Ed memintaku duduk di sampingnya dan Erik tampak menatapku dengan perasaan bersalah.Aku jadi tidak tahu harus ngomong apa?“Aku minta antar Sam atau Ari saja untuk pulang, ya?” Aku bicara pada suamiku.“Di luar hujan deras, Sayang. Dan Sam barusan mengabarkan ada truk besar terguling dan menyebabkan jalanan macet. Mending kita tunggu saja sebentar.”Aku baru tahu hal itu. Memang saat memasuki gedung ini tadi, sudah gerimis. Bisa jadi sekarang hujan deras teringat mendungnya yang pekat membuat langit Jakarta mengabu.“Oh, baiklah!” ujarku. Aku tidak menolak. Lagi pula ada Ed di sampingku. Kenapa juga aku masih merasa tidak enak?Setelah dokter memeriksa dan memberikan injection pada jarum infus Erik, pria itu menutup matanya. Sepertinya pengaruh obatnya membuatnya lebih banyak mengant
“Ed, mama dan papa kan sudah berpisah. Tapi mengapa...?”Belum tuntas pertanyaanku, Ed sudah menerima panggilan dari rumah sakit.Aku tidak akan menganggunya dulu.Lalu kupikir, nanti akan kutanyakan saja pada Paman Prabowo. Ed selalu pelit untuk menyampaikan tentang keluarganya.Kebanyakan aku mengetahui banyak hal pun bukan darinya. Dia hanya kebagian membenarkan saja saat kukonformasi apa yang disampaikan orang lain.Lagipula sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Tante Atika. Nanti sekalian mengajak ibu dan Mbak Lilis juga anak-anak ke rumahnya.“Kau mau aku antar pulang?” tanyanya. Padahal kudengar tadi dia mau ke rumah sakit.“Ada apa di rumah sakit?” aku tidak menjawabi pertanyaannya, tapi malah balik bertanya.“Erik sudah sadar, dia mencariku.” “Oh, syukurlah, Ed. Apa kau akan ke sana?”“Ya, aku akan menengoknya sebentar. Aku antar kau pulang dulu.”“Rumah sakit lebih dekat, Ed. Jadi kita ke rumah sakit saja dan nanti baru mengantarku pulang kalau sudah selesai dari meneng
Jenazah Danio disemayamkan di rumah duka sebelum akhirnya diberangkatkan ke pemakaman keluarga.Kami baru datang ketika beberapa mobil pengantar jenazah sudah berjalan keluar dari rumah duka. Sam menghampiri mobil dan Ed membuka kaca jendela. Aku tidak tahu apa maksud percakapan mereka yang hanya sepotong-sepotong itu. Apapun itu pasti hanya mengenai prosesi pemakaman Danio.“Siap, Tuan!” Sam melaporkan.“Datang?”“Datang, Tuan.”“Oke, kita langsung ke sana!”Dan kami kembali meluncur ke pemakaman keluarga. Ed memberitahu bahwa meski dalam satu arah dan berdekatan, tapi makam keluarga Ed dan Danio berbeda tempat.Padahal kalau Danio itu masih adik neneknya Ed, seharusnya masih dalam satu keluarga dan dimakamkan di tempat yang sama, kan? Tapi mungkin akulah di sini yang kurang mengerti. Nantilah aku menanyakan pada Ed. Aku menggandeng lengan Ed dengan sedikit erat ketika memasuki areal pemakaman yang sepi dan sedikit rimbun dengan bunga kamboja itu.Untungnya sepanjang jalan setapak
“Ahaha, Papa kalau tidur memang suka begitu, Meida. Sama kan kayak Gala. Suka jatuh dari tempat tidur,” aku menyahuti pertanyaan bocah itu. Padahal Ed sudah melirikku seolah mengatakan tidak perlu menjawabnya agar tidak terlihat bohongnya.“Tapi kok baju mama dan papa di lepas. Meida lihat kok baju mama dan papa di lantai?”Tuh kan? Bocah itu akan terus bertanya karena merasa tidak puas dengan jawabanku sebelumnya.Kali ini Ed bukannya membantuku, tapi malah memakai headseatnya dan bangkit pura-pura menerima panggilan.Entahlah, apa itu beneran ada panggilan atau hanya kamuflasenya saja agar terhindar dari pertanyaan Meida?Kulihat Nur dengan sopan tidak bereaksi apapun mendegar celoteh bocah asuannya itu. Dia langsung memakaikan Meida bathrobe kecil lalu mengendongnya duduk di sebelahku dan ganti mengurus gala yang belum mau mentas dari kolam renang.Kuambil kesempatan itu untuk mengajak putriku masuk ke dalam kamar dengan alasan memandikannya dan mengganti bajunya. Setelah itu ak
“Enggak jadi minta dipijitin dulu?” Aku masih mengingatkannya saat leherku sudah penuh gigitan lembutnya.“Tanggung, Beb. Aku saja yang sekarang pijitin kamu,” ujarnya sembari melorotkan tali lingeri yang kugenakan untuk bisa menangkupkan kedua tangan besarnya itu pada dua bagian yang katanya semakin mantap itu. Sejak dulu aku memang rajin merawat diri, apalagi untuk suamiku yang ganteng dan selalu menjadi incaran para wanita diluar sana.Ed duduk bertumpu pada kedua lututnya dan kedua kakiku melingkar di pinggangnya, sedangkan tangan besar itu sudah ayik mengadon dua benda yang membusung itu dengan remasan lembut dan nyaman. Tanpa kuperintah, bibirku sudah meloloskan suara desah manjalita yang membuat pria itu lebih tergoda. Napasku sudah naik turun menggilai kenyamanan yang diberikannya. Otot-otoku mengejang perlahan di bawah pada kenikmatan nirwana. Tahu aku sudah dimabuk kepayang, Ed berlanjut melumat dua puncak itu bergantian, sedangkan satu tangannya malah diturunkan menelu
“Berani dia pulang ke Indonesia saat status hukumnya masih sebagai narapidana?” tanyaku pada Ed yang sudah rebahan di tempat tidur.Dia sudah datang beberapa waktu yang lalu, namun karena Meida merengek memintanya menemani mereka di kamar sebelum tidur, jadinya Ed melenyapkan rasa lelahnya sementara sampai dua bocah kecil itu bersedia tidur. “Kenapa?” tanya Ed yang bisa kukatakan kurang fokus saja dengan pembicaraan tentang Jessica. Mungkin dia lelah. Karenanya, aku menunda acara pijit-pijit yang sudah kami rencanakan tadi.“Apa kasus Jessica sudah tuntas?” tanyaku.“Informasi yang aku dengar Danio meminta pengacara untuk bernegosiasi dengan pihak keluarga anak-anak yang diculik. Mereka memilih menyelesaikan dengan cara kekeluargaan.”“Hah?! Serius, Ed?” Aku jadi merasa tidak terima wanita itu bisa lolos begitu saja dari jerat hukum. Pasti Danio tidak hanya menawarkan tentang kekeluargaannya itu. Bisa jadi pria itu juga mengancam.“Ya sudahlah, bukan urusan kita juga ‘kan?”“Walau
“Innalillahi...” ucapku mendengar berita duka itu.Walau pria itu sudah kejam dan memiliki niat jahat pada kami, sebagai sesama manusia aku juga ikut prihatin.“Paman di rumah sakit, Tante?” tanyaku.“Iya, dia tentu juga harus mengurus semua perkara ini, Mila. Tadinya suamimu memintanya segera mengusut tentang pembunuhan papanya, tak dinyana, Danio sudah menghembuskan napas terakhir sebelum menerima hukumannya di pengadilan negara.”Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Danio saat pengejaran. Karena sebelumnya Danio tidak kenapa-kenapa. Dia melompat dari jendela dan berhasil melarikan diri. Lalu setelahnya aku tidak mengikuti beritanya lagi.Sorenya aku mengirim pesan pada Ed dengan alasan anak-anaknya merindukannya dan ingin melakukan video call.Ed tidak menolak dan langsung menghubungi balik anak-anak untuk melakukan vidio call.Kubiarkan saja dua bocah itu berkomunikasi dengan papanya. Aku hanya memperhatikan keduanya dari jauh saja. Sesekali melirik Ed di layar ponsel. Walau wajah