Ceklik!Bunyi pintu ruangan Ed yang barusan menutup. Membuat kedua insan itu serentak menoleh ke arah pintu. Di mana aku masih berdiri di sana dengan tidak menentu.“Mila?!” Ed sungguh tampak terkejut melihatku. Dan wanita itu bergegas bangkit dari tempat duduknya lalu keduanya sebentar berpandangan dan terlihat salah tingkah.Ed melangkah menghampiriku dan aku segera menyampaikan akan keluar saja, “Maaf, tadi aku pikir kau belum datang. Aku tidak tahu kalau ada orang. Maaf...” ujarku yang kini langsung tenggelam dengan mental yang jatuh. Seolah bukan wanita itu yang harus keluar dari tempat itu, tapi aku.Ari datang tepat waktu jadi tidak harus ada drama, lagipula aku sudah tidak tahu bagaimana bersikap dalam perasaan sakit dan kecewa begini.“Nyonya?” Ari masuk dan baru melihat bahwa tidak hanya ada aku di sana. Tapi juga Ed dan—wanita itu.“Kenapa kau malah mengantar Mila ke kantor, Arik? Kau tahu dia sedang sakit ‘kan?” Ed tampak marah pada Ari. Dan kurasa itu lebih dari sebuah ke
Aku terusik ketika lenganku terasa menegang. Kubuka mata perlahan dan tahu ada perawat yang sedang mengukur tensiku, seorang perawat yang lain mengganti kantong infuse yang sudah habis, dan sementara seorang lagi mencatat hasil pemeriksaan.Lalu sudut mataku menangkap pria yang kini bangkit dari duduknya. Mungkin melihatku terbangun dia menghampiriku.“Bagaimana, apa semua baik-baik saja?” tanyanya pada perawat yang mengukur tensiku.“Masih tinggi sekali, Tuan. Saya akan laporkan pada Dokter Miguel agar dapat menentukan tindakan apa yang akan diambil.”“Tanyakan segera, kalau memang perlu sebuah tindakan, lakukan sekarang juga. Aku tidak mau memgambil banyak resiko.” Ed berkata dengan tegas dan terdengar sangat cemas.Hal apakah yang menimpaku hingga Ed terlihat sepanik itu?“Baik, Tuan. Segera saya laporkan.” Tukas perawat itu kemudian mereka berlalu dari ruanganku.Aku yang jadi penasaran dan takut ada hal buruk yang akan menimpa buah hatiku, manatap Ed lemah untuk memintanya membe
“Kenapa?” tanyaku mendengar hal itu.Tante berbalik badan dan menghampiriku.“Tidak apa, Mila. Seandainya bayimu sampai dilahirkan, kau akan punya bayi perempuan yang cantik sepertimu dan Meida. Tadi suamimu sudah memakamkannya. Sudah, ikhlaskan, ya?”Oh. Bayi perempuan? Meida pasti bahagia sekali punya adik perempuan. Tidak bisa membayangkan bagaimana sedihnya anak-anakku kalau mendengar adiknya gagal lahir kedunia?“Ed kenapa, Tante?” tanyaku karena tadi mendengarnya sampai di rawat. Meski kesal dan marah dengannya, mendengarnya sakit pun aku masih juga mencemaskannya.“Hanya diberikan oksigen, lelah mungkin Mila. Tadi saja dia masih membujuk si kembar agar tidak usah ikut. Tapi mereka merengek ikut. Dan hanya suamimu yang bisa membujuk mereka.”“Ikut ke pemakaman?” tanyaku terkejut. Ternyata Gala dan Meida sudah diberitahu. Tentu saja, mereka selalu ingin tahu. Apalagi Gala.Kubayangkan Ed yang pastinya sangat kerepotan menengkan mereka. Belum lagi harus memenuhi kewajibanya me
“Ada urusan apa waktu sama Indah di kantor?” tanyaku pada Ed.Ini adalah kata pertama yang aku ucapkan padanya, setelah operasi cesar tiga hari yang lalu.Sedihku mulai memudar dan kuharap aku bisa menyikapi apapun dengan lebih dewasa dan bijak.Aku menanyakan tentang wanita itu bukan karena ingin bertengkar dengannya, tapi hanya penasaran saja mengapa Ed sampai bersikap sebegitunya dengan wanita itu?“Indah saksi penting, bukti bahwa Danio berusaha menghabisiku, Sayang. Dia yang menemukanku di tepi sungai dan meminta tolong warga membawaku ke puskesmas.” Ed juga tidak bertele-tele, dia langsung menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.“Aku mendapat laporan bahwa anak buah Danio berusaha menyingkirkannya agar di persidangan dia tidak bisa hadir, karenanya aku meminta orang untuk melindunginya.”Aku terdiam mendengar penjelasan Ed. Kali ini aku harus mengakui sudah salah mengira tentangnya.Tapi, aku masih terganggu dengan sedikit hal. Dan aku tidak berniat untuk menyimpannya saja.“Ma
“Sudah dibilangi suruh masuk, tambeng amat sih, Mila?” Ibu ngomel-ngomel setelah aku diperiksa dokter.“Sudah, jangan panik. Tadi hanya sedikit darah bekas jahitan yang masih belum kering. Itu karena Mila pakai gaun tipis dan putih lagi, jadi sedikit noktah sudah ketara.” Tante Atika yang tadi juga di hubungi ibu langsung datang.“Dokter juga bilang tidak apa-apa, kok, Bu. Mila baik-baik saja.” Ed yang awalnya juga panik kini sudah tenang dan mencoba membuat ibu tidak cemas.“Ya Allah, ini bayangan di kepalaku sudah yang enggak-enggak saja. Bagaimana kalau jahitan itu robek terus lukanya mengangga terbuka begitu?” Ibu dengan polosnya mengatakan apa yang ada di kepalanya.Tante Atika tergelak mendengarnya.“Ada-ada saja sih, Narti. Kau pikir jahitnya juga seperti jahit kain gitu pakai mesin jahit? Enggak begitu juga. Aman, kok. Apalagi aku lihat rumah sakitnya bagus. Menerapkan standar internasional dalam menangani pasien.” Komentar Tante Atika yang tentu banyak tahu karena dia juga
“Sebentar,” tukasnya kudengar.Kupikir untukku, jadi aku bilang saja, “Oh, ya sudah, maaf, nanti aku telpon lagi deh.” Lalu kututup panggilanku.Aku baru hendak berpikir yang bukan-bukan, Ed sudah menghubungiku dengan cepat.“Kok ditutup?” tanyanya.“Aku pikir kau tadi memintaku menunggu?”“Bukan kamulah, Istriku sayang.” Ed menyahut dengan cepat.“Uhm, itu Indah, kah?” tanyaku.“Iya.” Jawab Ed singkat.“Wah, apa dia suka sekali mengganggu suamiku saat di kantor?”“haha, aku juga baru datang ini, Sayang. Lebih sering meeting di luar juga, sekarang. Kapan ada yang bisa ganggu suamimu ini?”“Boleh aku ke kantor, Sayang?” pintaku tiba-tiba.“Hei, mau apa? Di rumah saja. Udah sore juga. Habis ini aku pulang, kok!”“Bilang habis ini, tapi sampe malam baru nyampe. Pokoknya aku ke kantor, ya? Boring...” rengekku manja. Ed tidak bisa menolakku. Dia pun menghubungi Ari untuk menjemputku.Aku sudah berdandan cantik dan wangi. Merasa tubuhku sudah fit, rasanya tidak sabar pengen keluar dan me
Kami memutuskan mencari makan di luar sekalian mau jalan-jalan. Mumpung anak-anak juga ada acara sendiri.Sayang, Ed tertahan lagi karena Sam menyampaikan ada yang ingin dibicarakannya dan itu urgent. Ed pun meminta pertimbanganku.“Enggak apa-apa kok, Sayang, aku bisa tunggu,” ujarku padanya.Sembari menunggunya aku gunakan kesempatan ini untuk melihat-lihat.Di kantor ini tidak banyak yang tahu tentangku yang merupakan istri big bos mereka. Bahkan Ed pun jarang berinteraksi langsung dengan para pegawainya, kecuali di lantai tempatnya berkantor, bersama para sekretaris, asisten dan beberapa dewan direksinya.Hanya gadis yang bernama Indah itu, pasti merasa bangga punya kedekatan khusus dengan big bos di perusahaan ini ketika pegawai dan karyawan yang lain jarang melihat sang big bos.Kini aku melihatnya sedang menunggu lift terbuka. Kuputuskan untuk menghampirinya dan mengajaknya mengobrol. “Mau pulang?” sapaku pada gadis itu.Dia melirikku dan baru menyapa, “Oh, Kakak istrinya
“Boleh tidak, Kak aku ikut sekalian?” Indah bertanya padaku karena Ed tidak menjawabnya.“Boleh, baru juga mau nawarin,” ujarku dan gadis itu sudah terlihat senang saja.Kami turun dari lantai 35 dan langsung menuju mobil. Padahal tadi rencannya Ed akan membawaku ke sebuah kafe yang katanya rekomended banget. Tapi harus terjeda karena harus mengantar Indah ke apartemen.Selesai mengantarnya, kami pun baru memutar arah. Di perjalanan aku menyinggung tentang apartemen itu.“Kau memberikan Indah apartemen milikmu? Tadi dia cerita,” tanyaku padanya.“Bukan apartemenku, Mila. Untuk apa aku punya apartemen di Jakarta kalau rumahku ada di sekitar sini.” Ed menjelaskan sesekali melirik adakah aku merasa keberatan atau tidak sepakat.“Iya. Aku sudah tahu alasannya. Dia juga pantas kau berikan apertemen karena sudah menyelamatkanmu.”“Ya sudah, jadi kita mampir ke kafe ya?” Ed menarik jemariku dan tidak ingin lagi membicarakan Indah.Aku hanya mengangguk lalu kami segera menuju tempat itu.Aku