Kulihat tatapan Paman Prabowo padaku. Sepertinya dia mulai menencurigai sesuatu. Jadi aku berharap saja dia bisa membantuku.Bahkan ketika dia meminta waktu untuk berbicara denganku, Erik menolak. Hal ini sungguh sangat membantuku memberitahunya, betapa Ed tidak akan bersikap begini padaku. Paman yang mengenal Ed akan menyadarinya.“Tuan Edward?” suara serak dan berat Danio terdengar ketika suasana mulai sedikit tegang karena penolakan Erik pada Paman Prabowo.“Ya, Om?”“Kau ditunggu untuk membahas pertemuan dewan direksi tahunan besok, pergilah!” titah Danio pada Erik.“Oh, benar. Aku melupakan ada meeting hari ini,” tukasnya bangkit.Kutatap kepergiannya dan aku merasa bahwa Danio memang sengaja membiarkan aku sendiri tanpa Erik.“Rafael!”“Baik, Tuan?” sekarang giliran Rafael yang langsung bangkit mendengar panggilan Danio.“Antar nyonya ke ruangan tuan, mungkin beliau merasa lebih nyaman di sana.” Rafael mengangguk dan beralih menatapku.Aku dengan pasrah bangkit dan mengikuti
“Mama tidak tidur dengan Papa?” Bocah itu jadi protes setelah seminggu ini aku tidur bersamanya.“Meida tidak suka mama tidur bersama Meida? Ini adik bayinya yang mau tidur bersama kakak Meida.”Seminggu ini pula kubuat alasan itu agar anak perempuanku itu tidak mengherankan kenapa aku tidur bersamanya.“Mama tidur sama Gala saja kalau Meida tidak mau!” sahut Gala mendengar saudarinya memprotesku.Aku memilih tidur di tempat tidur Meida bukan tanpa alasan. Gala kalau tidur tidak bisa tenang. Kakinya tiba-tiba menandang ke sana dan kemari. Takutnya tanpa sadar bocah itu melukai adik di dalam perutku ini. Meida jauh lebih anteng kalau tidur. Jadi aku memilih tidur dengannya saja.“Bukan begitu Gala, kau ingat apa kata Andin? Dia bilang mama dan papanya tidak tidur bersama karena mereka sudah bercerai. Aku tidak mau mama dan papa bercerai!” Meida berteriak pada gala karena menyalahpahami sikapnya.Gadis kecilku itu pasti suka kalau aku tidur menemaninya. Hanya saja kenyataan tentang tema
“Brengsek kamu, Erik!”Selalu itu yang ada di otak kotornya. Dan lihatlah pria itu hanya tertawa melihatku kesal.“Ya sudah. Pergilah. Kau tidak akan mendapatkan apa yang kamu inginkan kalau kau tidak mau tidur bersamaku. Aroma tubuhmu membuatku menegang, Mila. Kau benar-benar menyiksaku…”Aku tentu tidak ingin berlama-lama di kamar dengan pria ini. Jijik aku harus mendengar setiap kata-kata yang tidak bermoral itu.Kubanting pintu kamar dan kembali merasa meradang jika keesokan harinya harus mendengar anak-anak menagih ucapanku.Ya Allah, Ed. Cepatlah pulang. Anak-anak merindukanmu…Kembali aku ke kamar anak-anak untuk beristirahat saja. Besok biar aku pikir lagi bagaimana menyampaikan pada mereka tentang papanya.Pria itu pasti belum bangun di jam anak-anak berangkat sekolah. Dan itu lebih baik daripada Gala dan Meida menemuinya namun Erik tidak bersikap sebagai papanya.Baru hendak merebahkan tubuhku di samping Meida, aku mendengar anak itu mengigau.“Papa… Papa…”Astaga, Meida.
Pintu kubuka dengan mendesak, membuat semua yang ada di dalam seketika menoleh ke arahku bersamaan.“Di mana Ed?” tukasku membuat mereka terheran.“Tuan Edward di rumah, Nyonya.” Lina menyampaikan.“Tidak aku tadi melihatnya, di mana dia?” tanyaku masuh begitu percaya diri, bahkan sampai membuka pintu kamar mandi barang kali saja Ed di dalam sana. “Nyonya, Meida memanggilmu.” Nur menyentuhku dan seketika aku disadarkan. Harapan bahwa suamiku sudah datang, terbanting begitu saja. Kakiku seketika melemas menyadari kenyataan Ed tidak ada di antara kami. Hanya saja rengekan Meida yang memanggilku, membuatku harus kembali tegar. Kupaksakan tetap berjalan menghampiri putri kecilku sembari menyembunyikan perasaan yang meradang.“Iya, cantiknya, Mama. Meida istirahat ya, Nak. Sudah malam.” hiburku mengelus kepalanya.Dokter dan perawat sudah menyelesaikan tugasnya. Setelah berpesan sesuatu pada Nur, mereka keluar.“Papa besok datang ya, Ma?” tanyanya lagi dengan suara parau. Habis kar
Masih kugenggam beribu harapan agar bisa meyakinkan Erik untuk kasihan padaku. Aku tahu pria itu tidak sekejam Danio. Erik tidak menyentuhku saat aku mengatakan tidak padanya. Dan seperti kali ini, dia masih berusaha memintaku datang dengan kerelaan hatiku sendiri untuk melayaninya.Lihat saja nanti, apakah semesta menghendakiku berlumur dalam kehinaan ini?“Kau datang, Sayang?” Erik hanya menggunakan bathrobe dengan dada yang terbuka duduk di sofa tengah sambil menghisap rokoknya memandangku yang berdiri mematung itu.“Sudah putus urat kemanusiaanmu?” kataku menatapnya penuh rasa muak.Membayangkan Meida yang terus mengigau mengharapkan kehadiran papanya, sementara pria ini malah memanfaatkan keadaan saja.“Duduklah dulu, Sayang. Mintalah baik-baik dan rayulah aku. Gampang kok!”Erik menepuk sofa di sisinya sembari tersenyum miring padaku. Hatiku menjerit atas sikap pria yang tidak berhati nurani itu. Entah nasib buruk apa yang menjadi kutukan keluarga suamiku ini hingga memiliki p
Sayangnya aku sudah tidak berdaya, dan kehadiran pria itu membuatku berpikir tidak perlu lagi berpura-pura kuat.Aku memang lemah dan nyaris putus harapan. Jadi tak lagi kutahan tubuhku jatuh limbung karena ketegangan selama ini yang begitu menyiksaku.“Mila?” masih kudengar panggilannya sebelum akhirnya aku tak ingat apapun.***Lamat-lamat aku membuka mataku dan merasa sedikit nyeri di tangan. Ternyata ada jarum infuse di lenganku. Sejenak mengumpulkan serpihan ingatanku lalu aku berjingkat,“Ed?!” panggilku melihat sekeliling.“Mila kau sudah sadar?” suara Tante Atika yang mendekatiku.Kutatap wanita itu dengan masih bingung. Adakah apa yang kulewati hanyalah mimpi?“Ada apa, Mila?” wanita itu mengelus pundakku.“Ed di mana, Tante? Meida bagaimana?” Kutanyakan dengan cemas untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi.“Suamimu harus menenangkan Meida di ruang sebelah. Sejak melihat papanya tadi anak itu tidak mau lepas. Tapi jangan kuatir, dia sudah mau makan dan minum. Sudah
“Bagaimana hari-harimu di sana?” tanyaku saat Ed sudah berbaring di sampingku. Dan kami masih berpelukan. Tidak mau lagi terpisah.Meida sudah tidur bersama Gala, ada Nur dan Tante Atika yang menunggu. Mereka seolah kompak tidak ingin menganggu kebersamaan kami yang masih ingin kangen-kangenan.“Tidak perlu ditanyakan, hari-hariku terpisah denganmu sungguh seperti di neraka, Mila. Aku benar-benar tidak sabar untuk balik hanya saja kondisiku masih lemah.” Ed mengelus rambut kepalaku dan tampak begitu tidak berdaya.“Pak Prabowo sudah menceritakan tentangmu. Maaf, ya? Kau harus mengalami hal-hal yang begitu menekanmu sejak datang di Jakarta.”“Yang penting kau sudah balik, Ed. Jangan tinggalkan aku dan anak-anak lagi.” kupeluk tubuh Ed dan aku menikmati bersandar di dadanya, mendengarkan irama detak jantungnya, dan membalut tubuhku dengan kehangatannya.“Erik macam-macam denganmu?” tanya Ed kemudian.Entah, pertanyaan itu tiba-tiba membuatku reflek mendorong dadanya. Bayangan tentang
“Jangan bawa aku ke rumah itu lagi, Sayang!” tukasku dengan begitu tertekan ketika kami sudah diperbolehkan pulang.Mengingat tentang rumah itu saja aku sudah sangat terusik. Setiap sudut rumah membuatku meremang karena terbayang hari-hari yang sama sekali tidak mengenakkan.Sungguh, jiwaku benar-benar menolak untuk kembali ke tempat itu apapun yang terjadi.Ed hanya mengangguk. Dia akan menuruti apapun keinginanku.Hanya saja kulihat raut wajahnya resah dan sedih melihat sikapku yang sebegitunya. Pasti sedih memikirkan apa yang sudah dilakukan saudaranya itu padaku.“Kau mau tinggal di mana?” tanyanya lembut.“Terserah, Ed. Pokoknya jangan di rumah itu,” ucapku menandaskan.“Oke, biar aku minta anak buah Sam mencarikan rumah di pinggiran kota yang nyaman untukmu dan anak-anak,” ujarnya langsung mengangkat ponsel dan menghubungi seseorang.Tidak lama dari itu anak-anak sudah masuk bersama Nur, Tante Atika dan Paman Prabowo.Setelah kejadian di kantor aku belum bertemu dengan Paman Prab