Sayangnya aku sudah tidak berdaya, dan kehadiran pria itu membuatku berpikir tidak perlu lagi berpura-pura kuat.Aku memang lemah dan nyaris putus harapan. Jadi tak lagi kutahan tubuhku jatuh limbung karena ketegangan selama ini yang begitu menyiksaku.“Mila?” masih kudengar panggilannya sebelum akhirnya aku tak ingat apapun.***Lamat-lamat aku membuka mataku dan merasa sedikit nyeri di tangan. Ternyata ada jarum infuse di lenganku. Sejenak mengumpulkan serpihan ingatanku lalu aku berjingkat,“Ed?!” panggilku melihat sekeliling.“Mila kau sudah sadar?” suara Tante Atika yang mendekatiku.Kutatap wanita itu dengan masih bingung. Adakah apa yang kulewati hanyalah mimpi?“Ada apa, Mila?” wanita itu mengelus pundakku.“Ed di mana, Tante? Meida bagaimana?” Kutanyakan dengan cemas untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi.“Suamimu harus menenangkan Meida di ruang sebelah. Sejak melihat papanya tadi anak itu tidak mau lepas. Tapi jangan kuatir, dia sudah mau makan dan minum. Sudah
“Bagaimana hari-harimu di sana?” tanyaku saat Ed sudah berbaring di sampingku. Dan kami masih berpelukan. Tidak mau lagi terpisah.Meida sudah tidur bersama Gala, ada Nur dan Tante Atika yang menunggu. Mereka seolah kompak tidak ingin menganggu kebersamaan kami yang masih ingin kangen-kangenan.“Tidak perlu ditanyakan, hari-hariku terpisah denganmu sungguh seperti di neraka, Mila. Aku benar-benar tidak sabar untuk balik hanya saja kondisiku masih lemah.” Ed mengelus rambut kepalaku dan tampak begitu tidak berdaya.“Pak Prabowo sudah menceritakan tentangmu. Maaf, ya? Kau harus mengalami hal-hal yang begitu menekanmu sejak datang di Jakarta.”“Yang penting kau sudah balik, Ed. Jangan tinggalkan aku dan anak-anak lagi.” kupeluk tubuh Ed dan aku menikmati bersandar di dadanya, mendengarkan irama detak jantungnya, dan membalut tubuhku dengan kehangatannya.“Erik macam-macam denganmu?” tanya Ed kemudian.Entah, pertanyaan itu tiba-tiba membuatku reflek mendorong dadanya. Bayangan tentang
“Jangan bawa aku ke rumah itu lagi, Sayang!” tukasku dengan begitu tertekan ketika kami sudah diperbolehkan pulang.Mengingat tentang rumah itu saja aku sudah sangat terusik. Setiap sudut rumah membuatku meremang karena terbayang hari-hari yang sama sekali tidak mengenakkan.Sungguh, jiwaku benar-benar menolak untuk kembali ke tempat itu apapun yang terjadi.Ed hanya mengangguk. Dia akan menuruti apapun keinginanku.Hanya saja kulihat raut wajahnya resah dan sedih melihat sikapku yang sebegitunya. Pasti sedih memikirkan apa yang sudah dilakukan saudaranya itu padaku.“Kau mau tinggal di mana?” tanyanya lembut.“Terserah, Ed. Pokoknya jangan di rumah itu,” ucapku menandaskan.“Oke, biar aku minta anak buah Sam mencarikan rumah di pinggiran kota yang nyaman untukmu dan anak-anak,” ujarnya langsung mengangkat ponsel dan menghubungi seseorang.Tidak lama dari itu anak-anak sudah masuk bersama Nur, Tante Atika dan Paman Prabowo.Setelah kejadian di kantor aku belum bertemu dengan Paman Prab
“Tidak perlu saja, Ed. Aku takut,” kutahan lengan Ed saat hendak mengantarku ke ruang psikiater.Aku benar-benar masih enggan untuk membicarakan apapun tentang masalahku ini. Untuk mengingatnya saja badanku sudah panas dingin.Melihatku yang malah ketakutan begitu, Ed pun tidak memaksa. “Baiklah, kalau kau memang merasa tidak nyaman aku akan membatalkannya.”Sebelum kami keluar dari rumah sakit, Ed mengajakku menjenguk Sam. Dari percakapannya dengan dokter yang menangani Sam, aku tahu, bahwa selama ini Danio sudah berulah dengan meminta oknum rumah sakit agar membuat Sam tidak lekas sadar namun juga tidak membuatnya mati dengan cepat.Aku jadi ingat, saat pernah melihat reaksi jemari Sam bergerak ketika aku mengunjunginya, pantas saja Erik yang saat itu masih kuanggap sebagai Ed, terlihat gugup dan resah.Bagaimana kabar mereka? Hukuman apa yang sudah suamiku berikan untuk mereka?Oh, astaga! Jangan lagi deh mengingat mereka. Perutku mual saking kesalnya dengan mereka.“Apa Sam akan se
Hari-hari berlalu dengan lebih baik. Anak-anak pulang dan pergi sekolah. Di rumah ada ibu dan Mbak Lilis yang selalu membersamaiku. Kami banyak bercerita dan mengobrol. Hal ini membuatku merasa sedikit terbuka.Aku juga tidak tahu apakah Ibu dan Mbak Lilis tahu tentang apa yang sudah aku hadapi sebulan kebelakang itu? Mungkinkah Tante Atika menceritakan pada mereka?Tapi selama itu juga, baik ibu maupun Mbak Lilis tidak menyinggung apapun. Hingga suatu kesempatan ibu mengajakku berbicara di kamar.“Ada apa, Bu?” tanyaku sambil merapikan bantal di tempat tidur.Kulihat di tangannya sebuah bantal yang dibawanya dari depan. Kalau dari sarung batalnya, sepertinya itu bantal dari kamar ini.“Suamimu kalau tengah malam sering pindah ke sofa tengah. Ada apa, Mila?” tanya ibu tampak cemas. “Jangan bilang kalian ada masalah. Tolong pikirkan perasaan anak-anakmu kalau kalian mau bertengkar.”Aku menatap ibu dengan heran. Ed selalu tidur bersamaku. Aku tidak pernah tahu kalau di tengah malam d
“Biar saja, itu karma buat dia yang suka menggosipkan orang. Sekarang aibnya tersebar di komplek.” Tawa Mbak Lilis membahana, membuatku hanya pura-pura tersenyum padahal sedikit terluka mendengarnya. Kabarnya memang wanita itu memilih pria berduit namun tidak terlalu goodlooking apalagi sudah tua. Wajar saja kalau selama dua bulan menikah Rosita menolak melayaninya. Lalu pria yang seperti itu saja merasa tersinggung karena istrinya tidak mau melayaninya, bagaimana pria yang sempurna seperti suamiku? Ganteng, kaya, dan masih di usia bergairah-bergairahnya. Suasana hatiku tiba-tiba mencelos dan kembali mengingat yang bukan-bukan. Sesampai di kantor aku yang sudah dua kali ke tempat ini tentu tahu di mana ruang suamiku. Jadi aku langsung mengajak Mbak Lilis menuju lift dan naik ke lantai atas. Di dalam sana juga sudah ada dua orang wanita berhijab. Sepertinya ibu dan anak. “Ke lantai berapa, Bu?” tanyaku sopan. “Mbak tadi bilang ruangan Mas Edward ada di lantai 35 ya, Ma?” tanya seo
Aku baru menyadari sudah berada di dalam taksi namun tidak tahu harus pergi ke mana? Ketika sopir itu menanayakan, tentu saja aku bingung menjawabnya.“Nyonya, jadi turun di mana?” tanyanya sembari melirik spion tengah melihatku yang sedang melamun.Aku baru menyadari sopir taksi itu seorang wanita. Dan dia sepertinya mengetahui kondisiku yang bimbang.“Apa Anda ada masalah?” tanyanya lagi setelah beberapa kali bertanya padaku dan tak kujawab.“Eng, aku…”Sejenak kuhela napas panjang menenangkan diriku sendiri. Dan rasanya aku memang sangat butuh psikiater.“Bisa antarkan aku ke psikiater?” ujarku yang tentu saja membuat sopir taksi itu kembali melirikku dan tak langsung menjawab. Ada jeda mungkin sampai dua menit dalam diam wanita itu baru menyahut.“Baik, Nyonya. Berikan saya alamat rumah Anda atau orang yang bisa dihubungi, nanti saya antar ke tempat yang anda tuju.”“Eng, biar nanti aku hubungi sendiri,” ujarku yang heran, untuk apa wanita itu meminta alamat rumahku atau nomor y
“Itu tadi sopir taksi, ternyata dia seorang psikiater. Jadi sekalian dia mengajakku untuk berkonsultasi di rumahnya.” Kuceritakan tentang Dewanti pada Ed sebelum dia bertanya macam-macam.Tadi saat datang Ed terlihat begitu cemas. Di belakangnya juga ada sebuah mobil yang mengikuti. Tapi begitu melihatku baik-baik saja Ed tampak lega. Dia meminta mobil itu berlalu saja. Ed pasti berjaga-jaga kalau ternyata ada hal buruk terjadi padaku.“Oh, yah? Aku bisa lihat kau tampak lebih baik sekarang,” tukas Ed melihatku mulai tersenyum lepas. Dia juga terlihat senang. Sejak awal Ed yang memintaku menemui psikiater, jadi sangat mendukungku kalau sekarang aku menemui psikater.“Mau bantu aku ikutin sarannya tidak, Sayang?” tanyaku padanya yang masih menyetir. Suaraku kubuat manja seperti biasanya kalau aku sedang merayunya. Padahal aku belum tahu apakah nanti bisa berhasil atau tidak?“Hmm, boleh. Apa itu?”“Kita cari tempat untuk menghabiskan waktu berdua saja, boleh?”Ed menoleh ke arahku
“Sayang kau dari mana?” tanyaku melihatnya datang bersama beberapa perawat.Padahal sudah ada tombol darurat yang bisa dipencet untuk memanggil mereka. Bagaimana pria ini malah keluar untuk memanggil mereka secara manual? Pasti saking paniknya tadi.Dan lagi sekarang dia malah terlihat memarahi perawat itu.“Harusnya kalian memberinya obat anti nyeri. Apa tidak tahu istri saya sampai kesakitan begitu?”“Pemberian injection anti nyeri juga harus sesuai perintah dokter, Tuan. Kami tidak berani memberikannya lagi pada Nyonya karena tadi sudah kami berikan. Nanti ada waktunya lagi,” jelas salah seorang perawat pada Ed. “Tapi istri saya kesakitan, lho!” Ed masih terlihat kukuh.Kutarik lengannya agar dia bersikap lebih santai.Ada apa dengannya? Biasanya dia cuek dan santai-santai saja. Melihatku sedikit meringis saja sudah panik begitu. “Ah maaf, Sus. Tadi hanya sensasi rasa perih di area jahitan. Tapi sekarang sudah tidak, kok. Maaf, ya? Suami saya sedikit berlebihan tadi.”***Dua har
“Sayang?” suara Ed kudengar dan aku membuka mataku menatapnya yang terlihat cemas.“Ed? Kapan selesai operasinya? Aku sudah tidak sabar ingin tahu anak-anakku,” tukasku menggenggam balik tangan yang menggenggamku itu. Ed tersenyum meski pias wajahnya tampak lelah sekali. Dia membelai rambutku dan mencium keningku.“Operasinya sudah selesai sejak tadi, Sayang. Dokter bilang kau hanya tidak tahan dengan efek obat bius yang disuntikkan padamu.”“Ya Allah, Ed. Kasihan anak-anakku tidak bisa inisiasi menyusu dini.” Aku mencoba bangkit tapi Ed menahanku.“Tenanglah, Mila. Kau baru saja dipindah dari ruang pemulihan. Jangan banyak bergerak dulu.”“Tapi bayi-bayiku?”“Kata dokter tidak apa-apa, kok. Yang penting pulihkan dulu keadaanmu.”“Iya, tapi bayi-bayiku mana, Sayang?”Aku tentu ingin melihat mereka.Bagaimana bisa aku terlelap dengan damainya, bahkan tidak bisa mendengar suara jeritan pertama buah hatiku?Padahal, bisa mendengar suara mereka pertama saat terlahir ke dunia ini adala
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar
Aku terkejut melihat Niko yang ada di tempat yang sama dengan kami. Dia tidak sendiri tapi bersama seorang wanita dan itu bukan Ceryl. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk kami.Mau apa dia di sini? “Sopir truk? Kau yakin dia seorang sopir truk?” tanya wanita itu.Siapa juga yang percaya kalau suamiku yang tampan dan rapi dipanggil sopir truk oleh pria yang tidak tahu malu ini.Tidak tahu malu karena barusan sudah merencanakan hal buruk dengan mengirim perempuan ke suit pribadi kami dan berniat mengacaukan Ed.Untung aku yang lebih dulu sampai jadi mereka tidak punya kesempatan memanipulatif keadaan.Jangan-jangan dia di sini juga karena ingin memastikan rencananya berhasil.Sudah tahu atau belum kalau rencananya tidak berjalan dengan baik?Entahlah, dibawa ke mana dan diapakan dua wanita tadi oleh asisten suamiku.“Hallah, jaman sekarang apa yang tidak mungkin. Pemulung memakai baju mahal sudah banyak. Justru orang kaya yang sebenarnya malah berpenampilan apa adanya.” Niko me
“Sam yang akan mengurusnya,” tukasnya setelah menelpon Sam beberapa saat yang lalu.“Aku tidak mengerti?” aku masih belum puas dengan jawaban Ed. Dia tidak menjelaskan banyak hal padaku.“Temanmu itu pasti kesal karena investornya banyak yang berpindah ke perusahaan kita. Jadi, mungkin dia marah dan ingin berbuat ulah denganku. Apalagi saat ini bisnisnya mulai tersudut dengan banyaknya korban investasi yang melapor penipuan investasi bodong itu,” jelas Ed.Dan aku memang baru mendengar hal itu setelah beberapa bulan ini sama sekali tidak memikirkan tentang kejadian itu. Pasti Ed sengaja meminta Sam membuat kacau bisnis Niko karena sudah mencoba melecehkanku. Tentang investor yang banyak berpindah ke perusahaan Lavidia aku pikir hanya trik saja dan bukannya sedang membutuhkannya.Kasihan sekali kalau benar itu terjadi. Dia baru saja bisa unjuk gigi dengan julukan crazy richnya. Istrinya yang matre itu pasti sekarang sangat kecewa padanya. Sayangnya aku sudah tidak lagi ada di group
“Siapa kalian?” tanyaku pada dua wanita itu sembari berkacak pinggang. Napasku sudah naik turun dan untuk sesaat aku hampir ingin berteriak-teriak menyerang mereka. “Saya hanya disewa untuk melayani pemilik hotel ini, Anda siapa?” ujar wanita itu yang dengan berani malah bertanya balik padaku.Pria yang katanya asisten baru itu tidak berani menyela dan memilih keluar.Biarlah. Biar dia memanggil bosnya agar cepat datang ke tempat ini dan melihat bahwa aku ada di tempat di mana dia sedang menyewa dua wanita ini untuk menghiburnya.Keterlaluan dia!Apa sangat tidak tahannya hingga menyewa dua wanita ini untuk memenuhi napsunya?!“Pekerjaan kami hanya melayani pria yang sudah membayar kami. Kalaupun Anda adalah kekasih atau istrinya, tolong hargailah pekerjaan kami,” ujar wanita satunya yang malah membuat isi kepalaku bertambah semrawut.Eh. Apa dia kata?Sadar atau tidak dia ngomong seperti itu?“Mana ada seorang istri yang harus menghargai pekerjaan orang yang ingin melayani suamin