Hari-hari berlalu dengan lebih baik. Anak-anak pulang dan pergi sekolah. Di rumah ada ibu dan Mbak Lilis yang selalu membersamaiku. Kami banyak bercerita dan mengobrol. Hal ini membuatku merasa sedikit terbuka.Aku juga tidak tahu apakah Ibu dan Mbak Lilis tahu tentang apa yang sudah aku hadapi sebulan kebelakang itu? Mungkinkah Tante Atika menceritakan pada mereka?Tapi selama itu juga, baik ibu maupun Mbak Lilis tidak menyinggung apapun. Hingga suatu kesempatan ibu mengajakku berbicara di kamar.“Ada apa, Bu?” tanyaku sambil merapikan bantal di tempat tidur.Kulihat di tangannya sebuah bantal yang dibawanya dari depan. Kalau dari sarung batalnya, sepertinya itu bantal dari kamar ini.“Suamimu kalau tengah malam sering pindah ke sofa tengah. Ada apa, Mila?” tanya ibu tampak cemas. “Jangan bilang kalian ada masalah. Tolong pikirkan perasaan anak-anakmu kalau kalian mau bertengkar.”Aku menatap ibu dengan heran. Ed selalu tidur bersamaku. Aku tidak pernah tahu kalau di tengah malam d
“Biar saja, itu karma buat dia yang suka menggosipkan orang. Sekarang aibnya tersebar di komplek.” Tawa Mbak Lilis membahana, membuatku hanya pura-pura tersenyum padahal sedikit terluka mendengarnya. Kabarnya memang wanita itu memilih pria berduit namun tidak terlalu goodlooking apalagi sudah tua. Wajar saja kalau selama dua bulan menikah Rosita menolak melayaninya. Lalu pria yang seperti itu saja merasa tersinggung karena istrinya tidak mau melayaninya, bagaimana pria yang sempurna seperti suamiku? Ganteng, kaya, dan masih di usia bergairah-bergairahnya. Suasana hatiku tiba-tiba mencelos dan kembali mengingat yang bukan-bukan. Sesampai di kantor aku yang sudah dua kali ke tempat ini tentu tahu di mana ruang suamiku. Jadi aku langsung mengajak Mbak Lilis menuju lift dan naik ke lantai atas. Di dalam sana juga sudah ada dua orang wanita berhijab. Sepertinya ibu dan anak. “Ke lantai berapa, Bu?” tanyaku sopan. “Mbak tadi bilang ruangan Mas Edward ada di lantai 35 ya, Ma?” tanya seo
Aku baru menyadari sudah berada di dalam taksi namun tidak tahu harus pergi ke mana? Ketika sopir itu menanayakan, tentu saja aku bingung menjawabnya.“Nyonya, jadi turun di mana?” tanyanya sembari melirik spion tengah melihatku yang sedang melamun.Aku baru menyadari sopir taksi itu seorang wanita. Dan dia sepertinya mengetahui kondisiku yang bimbang.“Apa Anda ada masalah?” tanyanya lagi setelah beberapa kali bertanya padaku dan tak kujawab.“Eng, aku…”Sejenak kuhela napas panjang menenangkan diriku sendiri. Dan rasanya aku memang sangat butuh psikiater.“Bisa antarkan aku ke psikiater?” ujarku yang tentu saja membuat sopir taksi itu kembali melirikku dan tak langsung menjawab. Ada jeda mungkin sampai dua menit dalam diam wanita itu baru menyahut.“Baik, Nyonya. Berikan saya alamat rumah Anda atau orang yang bisa dihubungi, nanti saya antar ke tempat yang anda tuju.”“Eng, biar nanti aku hubungi sendiri,” ujarku yang heran, untuk apa wanita itu meminta alamat rumahku atau nomor y
“Itu tadi sopir taksi, ternyata dia seorang psikiater. Jadi sekalian dia mengajakku untuk berkonsultasi di rumahnya.” Kuceritakan tentang Dewanti pada Ed sebelum dia bertanya macam-macam.Tadi saat datang Ed terlihat begitu cemas. Di belakangnya juga ada sebuah mobil yang mengikuti. Tapi begitu melihatku baik-baik saja Ed tampak lega. Dia meminta mobil itu berlalu saja. Ed pasti berjaga-jaga kalau ternyata ada hal buruk terjadi padaku.“Oh, yah? Aku bisa lihat kau tampak lebih baik sekarang,” tukas Ed melihatku mulai tersenyum lepas. Dia juga terlihat senang. Sejak awal Ed yang memintaku menemui psikiater, jadi sangat mendukungku kalau sekarang aku menemui psikater.“Mau bantu aku ikutin sarannya tidak, Sayang?” tanyaku padanya yang masih menyetir. Suaraku kubuat manja seperti biasanya kalau aku sedang merayunya. Padahal aku belum tahu apakah nanti bisa berhasil atau tidak?“Hmm, boleh. Apa itu?”“Kita cari tempat untuk menghabiskan waktu berdua saja, boleh?”Ed menoleh ke arahku
Meski tubuhku menegang, tapi aku tidak menolak Ed yang terus mencumbuiku.Kusimpulkan masalahnya memang di bibir. Mungkin karena aku pernah menawarkan mengajari pria kurang ajar itu tentang ciuman-ciuman kami, dan beberapa kali dia melumat bibirku dengan penuh gairah, membuatku mengalami kenangan buruk di bagian itu.Kuharap selebihnya tidak…Aku tidak mau mengingat pria itu lagi.Kunikmati saja sentuhan suamiku dengan memejam. Kurasakan punggungku dingin, sepertinya Ed sudah berhasil melorotkan gaunku.Ketika tubuhku diangkat dan didudukan di suatu tempat, fokusku buyar. Pikiranku mulai terkontaminsai dengan bayangan-bayangan buruk yang kini malah membuat napasku naik turun. Bukan karena menikmati kemestraan itu tapi karena kembali ketakutan akan hari di mana Erik mencoba memperkosaku.“Jangan! Lepaskan aku!” pekikku sembari membuat gerakan melindungi bagian depanku dengan menyilangkan kedua lenganku di sana begitu ketakutan.Ed yang menyadari itu langsung memelukku.“Hey, ini aku…
Tidak banyak bicara Ed kembali menempelkan bibirnya di bibirku dan mengunci tubuhku namun tetap berusaha membuatku nyaman dalam rengkuhannya.Tahap ini sebenarnya aku mulai sedikit resah namun kubiarkan Ed melanjutkan ciumannya. Membuatku belum bisa merasakan feel dari ciuman kami.Ed paham di bagian mana bisa membuatku terlena. Karenanya jemarinya tidak berhenti memijit lembut dua buah membusung yang kini semakin bervolume itu.“Mantap nih, Sayang. Enak banget ntar baby kita…” Mulai dia menyelingi dengan kata-kata randomnya.Kegelisahan pun memudar dan aku tak lagi memejamkan mataku. Kutatap dua bola mata yang juga menatapku dengan penuh cinta itu. Lalu kembali menghujaniku dengan ciuman-ciuman kami.Itu benar-benar ciuman kami. Bukan ciuman kasar pria keji itu, yang terkadang malah menyisakan rasa sakit. Ugh. Brengsek sekali pikiranku ini. Enyahlah dan mampuskan bayangan kejinya. Biarkan aku kembali nyaman bersama suamiku.Sayangnya sudah senyaman ini, tubuhku masih saja kaku
Setelah makan malam, Gala dan Meida mencariku ke dalam kamar. Mereka berebut ingin menceritakan apapun kejadian di sekolahnya. Apalagi katanya ada salah satu teman mereka yang tadi kejang di sekolah karena mengidap epilepsi.“Tiba-tiba jatuh begitu, Ma di depan Meida. Meida kan takut, jadi Meida teriak-teriak sampai semua teman-teman dan Sir Feyhan kaget dan berlari melihat,” ujar anak perempuanku itu dengan begitu bersemangat menceritakan apa yang dilihatnya.“Meida memang gitu, Ma. Lihat teman jatuh malah teriak-teriak. Bantu kek. Tidak punya rasa kasihan kamu!” Gala menyahut.“Lho kan gitu, jatuhnya sampai kejang-kejang dan mulutnya sampai keluar air liurnya. Mana berani aku menolong. Coba jatuhnya di depanmu?” Meida membela dirinya.“Iya, tapi lain kali tidak perlu teriak-teriak sampai kencang begitu. Gedung sekolah sampai mau roboh mendengar suaramu!” Gala masih menyalahkan adiknya.Meida ingin membantah lalu aku dengan cepat merangkul keduanya untuk menengahi.“Iya, sudah. Tema
“Mau ke mana sepagi ini?” tanyaku pada Ed yang sudah rapi. Bahkan anak-anak saja belum bersiap untuk berangkat ke sekolah.“Ada yang harus aku urus dulu, biar nanti tidak menunda meeting penting di kantor.” Ed menyentuh kepalaku dan mencium keningku, terlihat sangat tergesa untuk keluar.“Ke mana?” masih tanyaku saat dia hendak memutar knop pintu kamar.Semalam mendengarnya membahas tentang nama wanita itu, aku sebenarnya ingin membesarkan hatiku barangkali memang ada sesuatu hal yang terjadi.Kemudian, untuk tidak membuatku menjadi salah paham dan malah berpikir yang bukan-bukan, kuputuskan untuk bertanya ke mana Ed pergi kali ini. Karena jika dia akan pergi menemui Indah, aku pun ingin sebuah penejelasan. Cukup sekedar tidak salah paham saja.Ini, hanya untuk melindungi hatiku yang belum juga sembuh dari hal-hal buruk yang terus menderanya. “Ke mana?” sekali lagi aku bertanya padanya.“Ada urusan, Sayang. Kamu di rumah saja, tidak perlu ke kantor. Biar nanti orang kantor yang data