Masih kugenggam beribu harapan agar bisa meyakinkan Erik untuk kasihan padaku. Aku tahu pria itu tidak sekejam Danio. Erik tidak menyentuhku saat aku mengatakan tidak padanya. Dan seperti kali ini, dia masih berusaha memintaku datang dengan kerelaan hatiku sendiri untuk melayaninya.Lihat saja nanti, apakah semesta menghendakiku berlumur dalam kehinaan ini?“Kau datang, Sayang?” Erik hanya menggunakan bathrobe dengan dada yang terbuka duduk di sofa tengah sambil menghisap rokoknya memandangku yang berdiri mematung itu.“Sudah putus urat kemanusiaanmu?” kataku menatapnya penuh rasa muak.Membayangkan Meida yang terus mengigau mengharapkan kehadiran papanya, sementara pria ini malah memanfaatkan keadaan saja.“Duduklah dulu, Sayang. Mintalah baik-baik dan rayulah aku. Gampang kok!”Erik menepuk sofa di sisinya sembari tersenyum miring padaku. Hatiku menjerit atas sikap pria yang tidak berhati nurani itu. Entah nasib buruk apa yang menjadi kutukan keluarga suamiku ini hingga memiliki p
Sayangnya aku sudah tidak berdaya, dan kehadiran pria itu membuatku berpikir tidak perlu lagi berpura-pura kuat.Aku memang lemah dan nyaris putus harapan. Jadi tak lagi kutahan tubuhku jatuh limbung karena ketegangan selama ini yang begitu menyiksaku.“Mila?” masih kudengar panggilannya sebelum akhirnya aku tak ingat apapun.***Lamat-lamat aku membuka mataku dan merasa sedikit nyeri di tangan. Ternyata ada jarum infuse di lenganku. Sejenak mengumpulkan serpihan ingatanku lalu aku berjingkat,“Ed?!” panggilku melihat sekeliling.“Mila kau sudah sadar?” suara Tante Atika yang mendekatiku.Kutatap wanita itu dengan masih bingung. Adakah apa yang kulewati hanyalah mimpi?“Ada apa, Mila?” wanita itu mengelus pundakku.“Ed di mana, Tante? Meida bagaimana?” Kutanyakan dengan cemas untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi.“Suamimu harus menenangkan Meida di ruang sebelah. Sejak melihat papanya tadi anak itu tidak mau lepas. Tapi jangan kuatir, dia sudah mau makan dan minum. Sudah
“Bagaimana hari-harimu di sana?” tanyaku saat Ed sudah berbaring di sampingku. Dan kami masih berpelukan. Tidak mau lagi terpisah.Meida sudah tidur bersama Gala, ada Nur dan Tante Atika yang menunggu. Mereka seolah kompak tidak ingin menganggu kebersamaan kami yang masih ingin kangen-kangenan.“Tidak perlu ditanyakan, hari-hariku terpisah denganmu sungguh seperti di neraka, Mila. Aku benar-benar tidak sabar untuk balik hanya saja kondisiku masih lemah.” Ed mengelus rambut kepalaku dan tampak begitu tidak berdaya.“Pak Prabowo sudah menceritakan tentangmu. Maaf, ya? Kau harus mengalami hal-hal yang begitu menekanmu sejak datang di Jakarta.”“Yang penting kau sudah balik, Ed. Jangan tinggalkan aku dan anak-anak lagi.” kupeluk tubuh Ed dan aku menikmati bersandar di dadanya, mendengarkan irama detak jantungnya, dan membalut tubuhku dengan kehangatannya.“Erik macam-macam denganmu?” tanya Ed kemudian.Entah, pertanyaan itu tiba-tiba membuatku reflek mendorong dadanya. Bayangan tentang
“Jangan bawa aku ke rumah itu lagi, Sayang!” tukasku dengan begitu tertekan ketika kami sudah diperbolehkan pulang.Mengingat tentang rumah itu saja aku sudah sangat terusik. Setiap sudut rumah membuatku meremang karena terbayang hari-hari yang sama sekali tidak mengenakkan.Sungguh, jiwaku benar-benar menolak untuk kembali ke tempat itu apapun yang terjadi.Ed hanya mengangguk. Dia akan menuruti apapun keinginanku.Hanya saja kulihat raut wajahnya resah dan sedih melihat sikapku yang sebegitunya. Pasti sedih memikirkan apa yang sudah dilakukan saudaranya itu padaku.“Kau mau tinggal di mana?” tanyanya lembut.“Terserah, Ed. Pokoknya jangan di rumah itu,” ucapku menandaskan.“Oke, biar aku minta anak buah Sam mencarikan rumah di pinggiran kota yang nyaman untukmu dan anak-anak,” ujarnya langsung mengangkat ponsel dan menghubungi seseorang.Tidak lama dari itu anak-anak sudah masuk bersama Nur, Tante Atika dan Paman Prabowo.Setelah kejadian di kantor aku belum bertemu dengan Paman Prab
“Tidak perlu saja, Ed. Aku takut,” kutahan lengan Ed saat hendak mengantarku ke ruang psikiater.Aku benar-benar masih enggan untuk membicarakan apapun tentang masalahku ini. Untuk mengingatnya saja badanku sudah panas dingin.Melihatku yang malah ketakutan begitu, Ed pun tidak memaksa. “Baiklah, kalau kau memang merasa tidak nyaman aku akan membatalkannya.”Sebelum kami keluar dari rumah sakit, Ed mengajakku menjenguk Sam. Dari percakapannya dengan dokter yang menangani Sam, aku tahu, bahwa selama ini Danio sudah berulah dengan meminta oknum rumah sakit agar membuat Sam tidak lekas sadar namun juga tidak membuatnya mati dengan cepat.Aku jadi ingat, saat pernah melihat reaksi jemari Sam bergerak ketika aku mengunjunginya, pantas saja Erik yang saat itu masih kuanggap sebagai Ed, terlihat gugup dan resah.Bagaimana kabar mereka? Hukuman apa yang sudah suamiku berikan untuk mereka?Oh, astaga! Jangan lagi deh mengingat mereka. Perutku mual saking kesalnya dengan mereka.“Apa Sam akan se
Hari-hari berlalu dengan lebih baik. Anak-anak pulang dan pergi sekolah. Di rumah ada ibu dan Mbak Lilis yang selalu membersamaiku. Kami banyak bercerita dan mengobrol. Hal ini membuatku merasa sedikit terbuka.Aku juga tidak tahu apakah Ibu dan Mbak Lilis tahu tentang apa yang sudah aku hadapi sebulan kebelakang itu? Mungkinkah Tante Atika menceritakan pada mereka?Tapi selama itu juga, baik ibu maupun Mbak Lilis tidak menyinggung apapun. Hingga suatu kesempatan ibu mengajakku berbicara di kamar.“Ada apa, Bu?” tanyaku sambil merapikan bantal di tempat tidur.Kulihat di tangannya sebuah bantal yang dibawanya dari depan. Kalau dari sarung batalnya, sepertinya itu bantal dari kamar ini.“Suamimu kalau tengah malam sering pindah ke sofa tengah. Ada apa, Mila?” tanya ibu tampak cemas. “Jangan bilang kalian ada masalah. Tolong pikirkan perasaan anak-anakmu kalau kalian mau bertengkar.”Aku menatap ibu dengan heran. Ed selalu tidur bersamaku. Aku tidak pernah tahu kalau di tengah malam d
“Biar saja, itu karma buat dia yang suka menggosipkan orang. Sekarang aibnya tersebar di komplek.” Tawa Mbak Lilis membahana, membuatku hanya pura-pura tersenyum padahal sedikit terluka mendengarnya. Kabarnya memang wanita itu memilih pria berduit namun tidak terlalu goodlooking apalagi sudah tua. Wajar saja kalau selama dua bulan menikah Rosita menolak melayaninya. Lalu pria yang seperti itu saja merasa tersinggung karena istrinya tidak mau melayaninya, bagaimana pria yang sempurna seperti suamiku? Ganteng, kaya, dan masih di usia bergairah-bergairahnya. Suasana hatiku tiba-tiba mencelos dan kembali mengingat yang bukan-bukan. Sesampai di kantor aku yang sudah dua kali ke tempat ini tentu tahu di mana ruang suamiku. Jadi aku langsung mengajak Mbak Lilis menuju lift dan naik ke lantai atas. Di dalam sana juga sudah ada dua orang wanita berhijab. Sepertinya ibu dan anak. “Ke lantai berapa, Bu?” tanyaku sopan. “Mbak tadi bilang ruangan Mas Edward ada di lantai 35 ya, Ma?” tanya seo
Aku baru menyadari sudah berada di dalam taksi namun tidak tahu harus pergi ke mana? Ketika sopir itu menanayakan, tentu saja aku bingung menjawabnya.“Nyonya, jadi turun di mana?” tanyanya sembari melirik spion tengah melihatku yang sedang melamun.Aku baru menyadari sopir taksi itu seorang wanita. Dan dia sepertinya mengetahui kondisiku yang bimbang.“Apa Anda ada masalah?” tanyanya lagi setelah beberapa kali bertanya padaku dan tak kujawab.“Eng, aku…”Sejenak kuhela napas panjang menenangkan diriku sendiri. Dan rasanya aku memang sangat butuh psikiater.“Bisa antarkan aku ke psikiater?” ujarku yang tentu saja membuat sopir taksi itu kembali melirikku dan tak langsung menjawab. Ada jeda mungkin sampai dua menit dalam diam wanita itu baru menyahut.“Baik, Nyonya. Berikan saya alamat rumah Anda atau orang yang bisa dihubungi, nanti saya antar ke tempat yang anda tuju.”“Eng, biar nanti aku hubungi sendiri,” ujarku yang heran, untuk apa wanita itu meminta alamat rumahku atau nomor y