“Sungguh aku tadi melihat Sam menggerakkan jemarinya, Ed.” kusampaikan itu pada Ed yang menjemputku di rumah sakit.“Iya, biar dokter yang memeriksanya, Sayang.” Ed terlihat tegang mungkin karena tidak sabar menunggu kabar dari dokter yang saat ini sedang memeriksa Sam di dalam.Kuusap dadanya dan tersenyum padanya, “Jangan cemas, Ed. Yakin saja Sam akan baik-baik saja. Dia pria baik, semoga selalu dilindungi Allah.”“Amin,” tukasnya mencoba mengulas senyum.“Setidaknya kau tidak terlalu sibuk lagi mengurus semua sendirian. Sam yang selama ini kau andalkan bisa membatumu lagi.”Ed tersenyum kecil menanggapi ucapanku. “Sembuh pun tidak langsung kerja, Mila. Masa pemulihannya juga butuh waktu.”“Ahaha, kau benar,” tawaku menampakkan kelegaan.Ketika dokter itu keluar dengan beberapa asistennya, tampak raut kecewa di wajahnya. Menghampiri kami dengan menggelengkan kepala.“Bagaimana?” tanyaku penasaran.“Mungkin tadi hanya sekedar reflek tidak berarti. Kami sudah memeriksa ulang dan kon
Kulihat nominal yang harus aku transfer. Kemudian berpikir, untuk apa tiba-tiba Ed malah meminta ditransfer?Tentu saja aku merasa heran karena baru kali ini seorang Edward memintaku mentransfer uang padanya.Apa mungkin saat ini Ed sedang keluar ke suatu tempat, lupa membawa kartunya, dan sedang membutuhkan uang?Ya sudahlah…Lagi pula, ada banyak uang yang diberikan Ed direkeningku. Aku tidak mungkin menolak kalau dia meminta sedikit nominal untuk kutransfer padanya.Saat kuketikan nomor rekening di aplikasi bank mobile ponselku, itu bukan rekening Ed. Melainkan atas nama orang lain.“SHERIN JOYS?” kubaca lagi nama itu sembari mengernyitkan dahiku.Siapa wanita itu? Tapi, ya sudahlah. Nanti aku tanyakan padanya. Bisa jadi rekan atau teman.[Kau tidak pulang, Ed?] kutulis pesan itu setelah mentransfer uang padanya.Dan aku tidak mendapat balasan sampai pagi harinya. Pikiranku sudah teralihkan dengan urusan anak-anak yang hari ini pertama masuk sekolah.Aku menyiapkan apa saja
Setelah menguasai diriku dan mengusap air mata di pipi, aku bangkit membuka pintu.“Tuan Danio, Nyonya. Beliau ingin menemui Anda saat ini.” Neni menyampaikan lagi tentang kedatangan pria itu.“A-apa yang dia mau, Neni? Suamiku belum bangun,” ujarku meminta pendapat.Aku belum pernah bertemu dengan pria itu. Mendengar semua orang takut padanya, secara tidak langsung aku jadi waspada. Apalagi Ed sedang mabuk dan belum sadarkan diri.Apa yang ingin dibicarakan pria itu?“Saya kurang paham, Nyonya. Tuan Danio menyampaikan ingin bertemu dengan Anda bukan Tuan Edward. Jadi lebih baik Anda temui dan tanyakan langsung apa yang diinginkan beliau.” Saran Neni. “B-baik, Neni. Tolong katakan aku akan menemuinya sebentar lagi,” tukasku pada Neni dan menutup pintu itu untuk mempersiapkan diriku.“Mudah-mudahan pria itu tidak mempersulitku,” ujarku pada diriku sendiri. Lalu kutekadkan melangkahkan kaki keluar kamar dan menemuinya.Melihat seorang pria besar berdiri membelakangi dengan kedua ta
Aku mendengar Ed muntah-muntah di kamar mandi. Kutunggu saja dia sampai selesai tanpa keinginan untuk membantunya. Sakit hatiku dengan kelakuannya itu. Bisa-bisanya dia malah bermain gila dengan perempuan penggoda saat aku sedang hamil begini.“Kau tega sekali padaku, Ed,” keluhku ketika dia sudah keluar dari kamar mandi. Ed hanya bertelanjang dada, dan wajahnya nampak kusut sekali. Mengusik pikirku bahwa sepanjang bersamaku, Ed tidak pernah semenyedihkan ini. “Ada apa?” tanyanya menatapku tanpa rasa berdosa.“Semalam tidak pulang, lalu pulang-pulang dalam keadan mabuk berat, diantar pelacur lagi. Kau menjijikan sekali, Ed. Bagaimana kalau anak-anak melihatmu seperti itu?”“Aku mabuk, Kamila. Dalam pengaruh alkohol. Jangan perhitungan soal itu.”“Kau tidak akan melakukannya kalau kau masih menghormatiku sebagi istrimu, Ed.”Aku bangkit untuk keluar. Rasanya aku butuh waktu dan ruang untuk menghempaskan rasa kesal dan kecewaku ini. Bagaimana bisa suami yang kupercaya selama ini
“Mama…, Papa…!” suara Gala dan Meida terdengar sebelum lebih jauh pikiranku bercelaru.Bibir yang sudah tidak tahan untuk mempertanyakan itu akhirnya terbungkam karena merasa bukanlah saat yang tepat mempertanyakannya.Untuk sesaat pikiraku teralihkan oleh kehadiran dua buah hatiku itu.Badai topanpun akan kuredam demi malaikat-malaikat kecil yang tidak bersayap itu.“Ma…” Lagi teriakan mereka.“Iya, Sayang?” teriakku balik.Ed langsung mengambil kaus untuk dipakainya dan merapikan penampilannya, sementara aku melangkah membuka pintu.“Anak-anak mama sudah pulang?” Kusambut dua bocah itu dengan memeluk mereka dalam satu rengkuhan sembari terus meredamkan kericuhan di benakku agar tetap bisa menampakan senyum terindahku untuk mereka. “Sudah, Ma. Ini hari pertama, masih pulang cepat. Tapi kata Sir Fey, besok kita sudah mulai full day. Makan siang di sekolah, tidur siang di sekolah, sholat juga di sekolah.” Meida yang memang suka sekali bercerita langsung menjejalkan semua informasi y
Jemariku gemetar membolak-balikan halaman buku catatan itu untuk menemukan barang kali saja ada catatan lainnya di sana.Namun, kosong. Hanya itu yang ditulis Ramzi. Teringat saat hari peresmian resort itu, bahwa bukan hanya Ramzi yang katanya datang memberiku buket bunga itu. Tapi, sebelumnya aku juga sudah bertemu seseorang yang instingku mengatakan bahwa itu adalah Erik.Sayangnya saat kuminta Sam melihatnya, pria itu sudah tidak ada.Aku jadi ingat Tika, langsung kuraih ponselku dan mencoba menghubunginya.Sialnya nomor Tika tidak bisa dihubungi. Entah karena hanya ponselnya yang tidak diaktifkan, atau karena sudah berganti nomor.Kuharap Tika tidak mengganti nomornya.Beberapa hari sebelum Ramzi meninggal, Tika yang merawatnya. Jadi pikirku, mudah-mudahan Tika bisa sedikit memberikan petunjuk tentang bagaimana Ramzi menuliskan pesan ini padaku.“Oh, Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?”Pekikku sendiri begitu panik dan bingung dengan keadaan ini.Terlebih cemas memikirkan di
Aku sampai harus meremas ujung gaunku di bawah meja itu saat menghadapi orang-orang yang mulai terlihat kemunafikannya di pandanganku itu.Jantungku sudah tak karuaan berdetak antara sedih, resah, dan takut. Namun aku terpaksa harus menjadi tegar demi suami dan anak-anakku.“Kenapa kau tampak setegang itu, Kamila?” Om Danio sedikit memperlihatkan keherananya karena sikapku berubah sekali saat ini dengan sebelumnya.Ini berarti, pria ini jeli sekali dengan segala perubahan sikapku dan pasti sedang membuat banyak dugaan. Termasuk tertangkap kecurigaannya bahwa aku sudah mengetahui sesuatu.Untungnya, Erik berkata…“Biasa Om, kami barusan bertengkar untuk perkara wanita tadi pagi.” Dan kata-kata itu sukses membuat pria itu tergelak.“Haha, jangan kuatirkan itu, Nak. Edward hanya mencintaimu. Dia tidak akan berani macam-macam padamu karena saat ini seluruh asetnya ada di tanganmu.”Oh. Karena itu pria ini langsung melempem tadi saat aku berbicara perceraian?Lalu kulihat beberapa doku
“Kenapa kau di sana?” suara dingin itu membuat kakiku sampai gemetaran.Apa mereka mengetahui keberadaanku?Bagaimana ini?“Tu-tuan, maaf, bukan saya yang menjatuhkan vas bunga ini.”Suara Lina membuatku bisa bernapas sedikit lega.“Jangan banyak bicara, cepat bersihkan!” Erik yang bicara.Lalu tak kudengar lagi suara mereka kecuali suara pecahan kaca yang sedang dibersihkan.Mudah-mudahan Lina pun tidak melihatku tadi.Ketika kurasa semua sudah sepi, aku perlahan membuka pintu itu dan kupastikan dulu adakah orang di sana?Sepertinya aman. Jadi aku mulai melebarkan daun pintu untuk keluar.Tiba-tiba suara dari balik punggungku itu kembali membuat kakiku membeku tak bergerak.“Sudah berapa lama kau di dalam sana?”Deg!Aku tidak menyangka Erik mengetahuiku ada di dalam kamar kecil itu.Kutata napas, lalu baru aku membalikan badan. Langsung kuserbu netranya dengan tatapan yang dingin untuk mencoba meminta sebuah klarifikasi atas semuanya.“Kamila?”Erik mulai merasakan tatapanku yang a