“Kenapa kau di sana?” suara dingin itu membuat kakiku sampai gemetaran.Apa mereka mengetahui keberadaanku?Bagaimana ini?“Tu-tuan, maaf, bukan saya yang menjatuhkan vas bunga ini.”Suara Lina membuatku bisa bernapas sedikit lega.“Jangan banyak bicara, cepat bersihkan!” Erik yang bicara.Lalu tak kudengar lagi suara mereka kecuali suara pecahan kaca yang sedang dibersihkan.Mudah-mudahan Lina pun tidak melihatku tadi.Ketika kurasa semua sudah sepi, aku perlahan membuka pintu itu dan kupastikan dulu adakah orang di sana?Sepertinya aman. Jadi aku mulai melebarkan daun pintu untuk keluar.Tiba-tiba suara dari balik punggungku itu kembali membuat kakiku membeku tak bergerak.“Sudah berapa lama kau di dalam sana?”Deg!Aku tidak menyangka Erik mengetahuiku ada di dalam kamar kecil itu.Kutata napas, lalu baru aku membalikan badan. Langsung kuserbu netranya dengan tatapan yang dingin untuk mencoba meminta sebuah klarifikasi atas semuanya.“Kamila?”Erik mulai merasakan tatapanku yang a
Kalau aku tetap di rumah ini, Erik akan bisa melakukan apapun yang dia mau.Tidak!Aku tidak bisa tetap tinggal di sini. Tidak mau saja saudara kembar suamiku itu memanfaatkan keadaan.Sepertinya aku harus meminta bantuan Tante Atika. Sudah kukirimkan pesan pada Paman Prabowo dan mudah-mudahan dia paham apa maksudku.Kusampaikan sedikit hal tentang Danio yang tadi pagi memintaku menanda tangani tiga berkas sekaligus. Meski tidak kubaca apa isinya, Paman Prabowo pasti sudah tahu apa tujuannya. “Kalau ada masalah bicarakan baik-baik, Mila. Jangan langsung memutuskan keluar dari rumah suamimu.” Nasihat Tante Atika ketika dengan terburu aku menyampaikan ingin mencari kontrakan atau apalah. Yang penting aku tidak tinggal di rumah yang sama dengan pria laknat itu.“Nanti aku ceritakan, Tante. Tapi tolong aku dan anak-anak. Bisakah malam ini kami sementara tinggal di rumah Tante?”Wanita itu tidak tahu masalah apa yang sedang membelitku. Tapi tidak bisa juga kuungkapkan melalui telpon sa
‘Tenang dan berpikirlah dengan baik, Mila!’Aku harus meredam emosiku walau kata-kata Erik begitu menganggu harga diriku.Bagaimana pria ini memintaku menganggapnya suami? Sinting memang dia!Tapi apa aku punya pilihan?Setidaknya saat ini Erik masih mau melindungiku dan anak-anak, entah apapun tujuannya.Sementara aku akan berusaha dengan cepat berpikir meminta bantuan. Kalau perlu aku akan laporkan ke pihak polisi.Ah. Aku tidak akan berani senekat itu sebelum punya dukungan yang kuat. Pada Ed yang berkuasa saja mereka mampu menyingkirkannya, apa kabar denganku dan anak-anak?“Baik Erik, aku harap kau punya belas kasihan padaku dan keponakanmu itu.” Tatapku menghiba padanya. Kumanfaatkan sedikit perasaan tertariknya padaku untuk meminta simpatinya.“Kau minta kasih seluas samudra pun akan kuberi, Mila. Anak-anak Edward juga anak-anakku. Kulihat wajahku di wajah mereka. Mana mungkin aku akan melukai mereka.”Ucapan Erik membuatku sedikit lega. Semoga saja ucapan pria ini tidak beruba
Setiba di kantor, Danio dengan sok kuasanya sudah menungguku di sebuah ruangan.Dia duduk memangku satu kakinya di atas lutut dan tidak menghentikan merokoknya. Padahal ada wanita yang sedang mengandung di sini.Baru ketika melihatku terbatuk-batuk, Danio dengan terpaksa menghentikan rokoknya.Apa ketika ada Ed di kantor ini, pria itu masih bisa seberkuasa itu? Mungkin tidak bisa. Karenanya dia menyingkirkan suamiku dengan cara liciknya. Dadaku sebenarnya bergejolak melihat pria yang sudah merencanakan hal busuk pada suamiku itu. Tapi aku tidak punya nyali untuk menunjukannya. “Sudah siap menjadi presiden direktur baru, Nyonya?” tukas Danio sembari tertawa. Sepertinya itu sebuah tawa meledek dan sangat menyebalkan.“Masih ada Tuan Edward, mana bisa aku menggantikannya?” Aku ikuti drama mereka saja.“Benar. Kau tidak akan pernah bisa menggantikannya. Jadi, kumohon kebesaran hatimu memberikan kembali kuasa pada kami agar perusahaan ini tidak kalang kabut karena sistem menolak semua l
Kulihat tatapan Paman Prabowo padaku. Sepertinya dia mulai menencurigai sesuatu. Jadi aku berharap saja dia bisa membantuku.Bahkan ketika dia meminta waktu untuk berbicara denganku, Erik menolak. Hal ini sungguh sangat membantuku memberitahunya, betapa Ed tidak akan bersikap begini padaku. Paman yang mengenal Ed akan menyadarinya.“Tuan Edward?” suara serak dan berat Danio terdengar ketika suasana mulai sedikit tegang karena penolakan Erik pada Paman Prabowo.“Ya, Om?”“Kau ditunggu untuk membahas pertemuan dewan direksi tahunan besok, pergilah!” titah Danio pada Erik.“Oh, benar. Aku melupakan ada meeting hari ini,” tukasnya bangkit.Kutatap kepergiannya dan aku merasa bahwa Danio memang sengaja membiarkan aku sendiri tanpa Erik.“Rafael!”“Baik, Tuan?” sekarang giliran Rafael yang langsung bangkit mendengar panggilan Danio.“Antar nyonya ke ruangan tuan, mungkin beliau merasa lebih nyaman di sana.” Rafael mengangguk dan beralih menatapku.Aku dengan pasrah bangkit dan mengikuti
“Mama tidak tidur dengan Papa?” Bocah itu jadi protes setelah seminggu ini aku tidur bersamanya.“Meida tidak suka mama tidur bersama Meida? Ini adik bayinya yang mau tidur bersama kakak Meida.”Seminggu ini pula kubuat alasan itu agar anak perempuanku itu tidak mengherankan kenapa aku tidur bersamanya.“Mama tidur sama Gala saja kalau Meida tidak mau!” sahut Gala mendengar saudarinya memprotesku.Aku memilih tidur di tempat tidur Meida bukan tanpa alasan. Gala kalau tidur tidak bisa tenang. Kakinya tiba-tiba menandang ke sana dan kemari. Takutnya tanpa sadar bocah itu melukai adik di dalam perutku ini. Meida jauh lebih anteng kalau tidur. Jadi aku memilih tidur dengannya saja.“Bukan begitu Gala, kau ingat apa kata Andin? Dia bilang mama dan papanya tidak tidur bersama karena mereka sudah bercerai. Aku tidak mau mama dan papa bercerai!” Meida berteriak pada gala karena menyalahpahami sikapnya.Gadis kecilku itu pasti suka kalau aku tidur menemaninya. Hanya saja kenyataan tentang tema
“Brengsek kamu, Erik!”Selalu itu yang ada di otak kotornya. Dan lihatlah pria itu hanya tertawa melihatku kesal.“Ya sudah. Pergilah. Kau tidak akan mendapatkan apa yang kamu inginkan kalau kau tidak mau tidur bersamaku. Aroma tubuhmu membuatku menegang, Mila. Kau benar-benar menyiksaku…”Aku tentu tidak ingin berlama-lama di kamar dengan pria ini. Jijik aku harus mendengar setiap kata-kata yang tidak bermoral itu.Kubanting pintu kamar dan kembali merasa meradang jika keesokan harinya harus mendengar anak-anak menagih ucapanku.Ya Allah, Ed. Cepatlah pulang. Anak-anak merindukanmu…Kembali aku ke kamar anak-anak untuk beristirahat saja. Besok biar aku pikir lagi bagaimana menyampaikan pada mereka tentang papanya.Pria itu pasti belum bangun di jam anak-anak berangkat sekolah. Dan itu lebih baik daripada Gala dan Meida menemuinya namun Erik tidak bersikap sebagai papanya.Baru hendak merebahkan tubuhku di samping Meida, aku mendengar anak itu mengigau.“Papa… Papa…”Astaga, Meida.
Pintu kubuka dengan mendesak, membuat semua yang ada di dalam seketika menoleh ke arahku bersamaan.“Di mana Ed?” tukasku membuat mereka terheran.“Tuan Edward di rumah, Nyonya.” Lina menyampaikan.“Tidak aku tadi melihatnya, di mana dia?” tanyaku masuh begitu percaya diri, bahkan sampai membuka pintu kamar mandi barang kali saja Ed di dalam sana. “Nyonya, Meida memanggilmu.” Nur menyentuhku dan seketika aku disadarkan. Harapan bahwa suamiku sudah datang, terbanting begitu saja. Kakiku seketika melemas menyadari kenyataan Ed tidak ada di antara kami. Hanya saja rengekan Meida yang memanggilku, membuatku harus kembali tegar. Kupaksakan tetap berjalan menghampiri putri kecilku sembari menyembunyikan perasaan yang meradang.“Iya, cantiknya, Mama. Meida istirahat ya, Nak. Sudah malam.” hiburku mengelus kepalanya.Dokter dan perawat sudah menyelesaikan tugasnya. Setelah berpesan sesuatu pada Nur, mereka keluar.“Papa besok datang ya, Ma?” tanyanya lagi dengan suara parau. Habis kar