Aku mendengar Ed muntah-muntah di kamar mandi. Kutunggu saja dia sampai selesai tanpa keinginan untuk membantunya. Sakit hatiku dengan kelakuannya itu. Bisa-bisanya dia malah bermain gila dengan perempuan penggoda saat aku sedang hamil begini.“Kau tega sekali padaku, Ed,” keluhku ketika dia sudah keluar dari kamar mandi. Ed hanya bertelanjang dada, dan wajahnya nampak kusut sekali. Mengusik pikirku bahwa sepanjang bersamaku, Ed tidak pernah semenyedihkan ini. “Ada apa?” tanyanya menatapku tanpa rasa berdosa.“Semalam tidak pulang, lalu pulang-pulang dalam keadan mabuk berat, diantar pelacur lagi. Kau menjijikan sekali, Ed. Bagaimana kalau anak-anak melihatmu seperti itu?”“Aku mabuk, Kamila. Dalam pengaruh alkohol. Jangan perhitungan soal itu.”“Kau tidak akan melakukannya kalau kau masih menghormatiku sebagi istrimu, Ed.”Aku bangkit untuk keluar. Rasanya aku butuh waktu dan ruang untuk menghempaskan rasa kesal dan kecewaku ini. Bagaimana bisa suami yang kupercaya selama ini
“Mama…, Papa…!” suara Gala dan Meida terdengar sebelum lebih jauh pikiranku bercelaru.Bibir yang sudah tidak tahan untuk mempertanyakan itu akhirnya terbungkam karena merasa bukanlah saat yang tepat mempertanyakannya.Untuk sesaat pikiraku teralihkan oleh kehadiran dua buah hatiku itu.Badai topanpun akan kuredam demi malaikat-malaikat kecil yang tidak bersayap itu.“Ma…” Lagi teriakan mereka.“Iya, Sayang?” teriakku balik.Ed langsung mengambil kaus untuk dipakainya dan merapikan penampilannya, sementara aku melangkah membuka pintu.“Anak-anak mama sudah pulang?” Kusambut dua bocah itu dengan memeluk mereka dalam satu rengkuhan sembari terus meredamkan kericuhan di benakku agar tetap bisa menampakan senyum terindahku untuk mereka. “Sudah, Ma. Ini hari pertama, masih pulang cepat. Tapi kata Sir Fey, besok kita sudah mulai full day. Makan siang di sekolah, tidur siang di sekolah, sholat juga di sekolah.” Meida yang memang suka sekali bercerita langsung menjejalkan semua informasi y
Jemariku gemetar membolak-balikan halaman buku catatan itu untuk menemukan barang kali saja ada catatan lainnya di sana.Namun, kosong. Hanya itu yang ditulis Ramzi. Teringat saat hari peresmian resort itu, bahwa bukan hanya Ramzi yang katanya datang memberiku buket bunga itu. Tapi, sebelumnya aku juga sudah bertemu seseorang yang instingku mengatakan bahwa itu adalah Erik.Sayangnya saat kuminta Sam melihatnya, pria itu sudah tidak ada.Aku jadi ingat Tika, langsung kuraih ponselku dan mencoba menghubunginya.Sialnya nomor Tika tidak bisa dihubungi. Entah karena hanya ponselnya yang tidak diaktifkan, atau karena sudah berganti nomor.Kuharap Tika tidak mengganti nomornya.Beberapa hari sebelum Ramzi meninggal, Tika yang merawatnya. Jadi pikirku, mudah-mudahan Tika bisa sedikit memberikan petunjuk tentang bagaimana Ramzi menuliskan pesan ini padaku.“Oh, Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?”Pekikku sendiri begitu panik dan bingung dengan keadaan ini.Terlebih cemas memikirkan di
Aku sampai harus meremas ujung gaunku di bawah meja itu saat menghadapi orang-orang yang mulai terlihat kemunafikannya di pandanganku itu.Jantungku sudah tak karuaan berdetak antara sedih, resah, dan takut. Namun aku terpaksa harus menjadi tegar demi suami dan anak-anakku.“Kenapa kau tampak setegang itu, Kamila?” Om Danio sedikit memperlihatkan keherananya karena sikapku berubah sekali saat ini dengan sebelumnya.Ini berarti, pria ini jeli sekali dengan segala perubahan sikapku dan pasti sedang membuat banyak dugaan. Termasuk tertangkap kecurigaannya bahwa aku sudah mengetahui sesuatu.Untungnya, Erik berkata…“Biasa Om, kami barusan bertengkar untuk perkara wanita tadi pagi.” Dan kata-kata itu sukses membuat pria itu tergelak.“Haha, jangan kuatirkan itu, Nak. Edward hanya mencintaimu. Dia tidak akan berani macam-macam padamu karena saat ini seluruh asetnya ada di tanganmu.”Oh. Karena itu pria ini langsung melempem tadi saat aku berbicara perceraian?Lalu kulihat beberapa doku
“Kenapa kau di sana?” suara dingin itu membuat kakiku sampai gemetaran.Apa mereka mengetahui keberadaanku?Bagaimana ini?“Tu-tuan, maaf, bukan saya yang menjatuhkan vas bunga ini.”Suara Lina membuatku bisa bernapas sedikit lega.“Jangan banyak bicara, cepat bersihkan!” Erik yang bicara.Lalu tak kudengar lagi suara mereka kecuali suara pecahan kaca yang sedang dibersihkan.Mudah-mudahan Lina pun tidak melihatku tadi.Ketika kurasa semua sudah sepi, aku perlahan membuka pintu itu dan kupastikan dulu adakah orang di sana?Sepertinya aman. Jadi aku mulai melebarkan daun pintu untuk keluar.Tiba-tiba suara dari balik punggungku itu kembali membuat kakiku membeku tak bergerak.“Sudah berapa lama kau di dalam sana?”Deg!Aku tidak menyangka Erik mengetahuiku ada di dalam kamar kecil itu.Kutata napas, lalu baru aku membalikan badan. Langsung kuserbu netranya dengan tatapan yang dingin untuk mencoba meminta sebuah klarifikasi atas semuanya.“Kamila?”Erik mulai merasakan tatapanku yang a
Kalau aku tetap di rumah ini, Erik akan bisa melakukan apapun yang dia mau.Tidak!Aku tidak bisa tetap tinggal di sini. Tidak mau saja saudara kembar suamiku itu memanfaatkan keadaan.Sepertinya aku harus meminta bantuan Tante Atika. Sudah kukirimkan pesan pada Paman Prabowo dan mudah-mudahan dia paham apa maksudku.Kusampaikan sedikit hal tentang Danio yang tadi pagi memintaku menanda tangani tiga berkas sekaligus. Meski tidak kubaca apa isinya, Paman Prabowo pasti sudah tahu apa tujuannya. “Kalau ada masalah bicarakan baik-baik, Mila. Jangan langsung memutuskan keluar dari rumah suamimu.” Nasihat Tante Atika ketika dengan terburu aku menyampaikan ingin mencari kontrakan atau apalah. Yang penting aku tidak tinggal di rumah yang sama dengan pria laknat itu.“Nanti aku ceritakan, Tante. Tapi tolong aku dan anak-anak. Bisakah malam ini kami sementara tinggal di rumah Tante?”Wanita itu tidak tahu masalah apa yang sedang membelitku. Tapi tidak bisa juga kuungkapkan melalui telpon sa
‘Tenang dan berpikirlah dengan baik, Mila!’Aku harus meredam emosiku walau kata-kata Erik begitu menganggu harga diriku.Bagaimana pria ini memintaku menganggapnya suami? Sinting memang dia!Tapi apa aku punya pilihan?Setidaknya saat ini Erik masih mau melindungiku dan anak-anak, entah apapun tujuannya.Sementara aku akan berusaha dengan cepat berpikir meminta bantuan. Kalau perlu aku akan laporkan ke pihak polisi.Ah. Aku tidak akan berani senekat itu sebelum punya dukungan yang kuat. Pada Ed yang berkuasa saja mereka mampu menyingkirkannya, apa kabar denganku dan anak-anak?“Baik Erik, aku harap kau punya belas kasihan padaku dan keponakanmu itu.” Tatapku menghiba padanya. Kumanfaatkan sedikit perasaan tertariknya padaku untuk meminta simpatinya.“Kau minta kasih seluas samudra pun akan kuberi, Mila. Anak-anak Edward juga anak-anakku. Kulihat wajahku di wajah mereka. Mana mungkin aku akan melukai mereka.”Ucapan Erik membuatku sedikit lega. Semoga saja ucapan pria ini tidak beruba
Setiba di kantor, Danio dengan sok kuasanya sudah menungguku di sebuah ruangan.Dia duduk memangku satu kakinya di atas lutut dan tidak menghentikan merokoknya. Padahal ada wanita yang sedang mengandung di sini.Baru ketika melihatku terbatuk-batuk, Danio dengan terpaksa menghentikan rokoknya.Apa ketika ada Ed di kantor ini, pria itu masih bisa seberkuasa itu? Mungkin tidak bisa. Karenanya dia menyingkirkan suamiku dengan cara liciknya. Dadaku sebenarnya bergejolak melihat pria yang sudah merencanakan hal busuk pada suamiku itu. Tapi aku tidak punya nyali untuk menunjukannya. “Sudah siap menjadi presiden direktur baru, Nyonya?” tukas Danio sembari tertawa. Sepertinya itu sebuah tawa meledek dan sangat menyebalkan.“Masih ada Tuan Edward, mana bisa aku menggantikannya?” Aku ikuti drama mereka saja.“Benar. Kau tidak akan pernah bisa menggantikannya. Jadi, kumohon kebesaran hatimu memberikan kembali kuasa pada kami agar perusahaan ini tidak kalang kabut karena sistem menolak semua l