Happy Reading, Love you all 💕💕💕
“Apa Om Danio sering datang, Neni?” tanyaku saat pelayan itu menaruh nampan berisi minuman yang kupesan padanya tadi.“Tidak, Nyonya. Hanya akhir-akhir ini saja dan itu pun dapat dihitung jari.” Neni menjawab seperti apa yang diketahuinya.“Dia tidak tinggal di sini?”Neni menggeleng. “Ini rumah keluarga Permana, Nyonya. Tuan Danio sejak dulu tidak tinggal di sini.”Mendengar penuturan itu, aku jadi punya sesuatu hal yang perlu dipertanyakan.“Bukankah beliau juga keluarga?”Neni mencuri tatap padaku namun tidak berani berlama-lama. Mungkin hanya untuk memastikan apakah aku sama sekali tidak mengerti tentang pria itu?Kalau Neni sudah bekerja lama di rumah ini, seharusnya dia tahu aku dan Ed tidak bersama dalam waktu yang lama. Jadi aku merasa tidak ada salahnya kalau harus bertanya tentang apa yang tidak kuketahui di rumah ini.“Saya kurang mengerti, Nyonya. Yang saya tahu, Rumah ini tidak ditempati siapapun karena Nyonya besar Melisa hanya mempercayakan pada Tuan Edward sebagai a
Anak-anak sedang bermain di taman bersama pengasuh mereka dan aku hanya duduk di dalam melihat mereka dari jendela kaca besar yang hampir mengisi dinding dari atas sampai lantai.Sedikit bosan, akhirnya aku memutuskan melemaskan kakiku dengan berjalan-jalan di rumah besar suamiku ini. Padahal belum juga perutku membesar, tapi kaki ini juga akan ikut membengkak kalau kelamaan duduk.Rumah sebesar ini, Neni bilang hanya ditempati Ed?Apa tidak ada potret keluarga satupun yang bisa membuatku mengenal keluarga suamiku ini?Paling tidak nanti bisa kusampaikan pada anak-anak kami tentang bagaimana rupa neneknya, kakeknya, pamannya, dan buyutnya. Biasanya pajangan foto ada di di ruang keluarga, dan aku sudah berada di sana sekarang.Di salah satu sisi dinding, kulihat jam besar dengan lonceng yang terus berayun. Di sampingnya ada lukisan besar yang epik. Menggambarkan situasi berperang ala kustum jawa dengan kuda yang jumpalitan di rerumputan. Di sudut kanan bawah lukisan itu ada ta
Ed duduk di sofa. Dari bajunya yang sudah berganti dan rambutnya yang masih sedikit basah, pasti dia sudah selesai membersihkan dirinya.Kulirik botol air minum yang di nakas, airnya masih penuh.Ed kalau pulang dari manapun masuk kamar, yang pertama dilakukannya adalah meminum air putih. Itu kebiasaannya sejak dulu.Hal ini menambah tinggi rasa heranku akan keanehannya.“Ed, minumnya?” kusodorkan botol itu padanya sekalian berusaha mencari tahu apa dia tidak tahu atau hanya sekedar lupa karena kesibukannya.“Oh, terima kasih, Sayang.” Ed mengambil botol itu lalu meminumnya.“Aku terburu-buru ke kamar mandi tadi sampai tidak mengambil minum dulu,” ujarnya menambahi setelah menghabiskan setengah botol air itu. Mulai menyurutkan lagi rasa yang berbeda itu.Tidak enak mendapat tatapan Ed, akhirnya kutanyakan hal yang sekiranya bisa kutanyakan.Aku tidak membahas pekerjaan karena urusan pekerjaan yang di Jakarta sama sekali tidak kumengerti.“Apa ada kabar dari rumah sakit tentang kon
“Kenapa, Ed?” tanyaku saat dia kembali lagi ke ke dalam kamar dengan raut wajah yang kecewa.“Maaf, Mila. Om Danio memintaku datang. Ada hal penting katanya,”Akhir-akhir ini Ed memang sibuk dengan banyak hal. Pasti ada sesuatu yang mendesak sampai harus memintanya mendadak begitu.“Iya, hati-hati, Ed,” kataku sembari mengulurkan kedua tangan untuk memeluknya.Namun, kedua tanganku hanya melayang di udara karena sepertinya Ed tidak paham. Dia langsung melangkah pergi untuk membuka pintu.Ketika tangannya siap memutar knop pintu, baru dia menyadari sesuatu. Ed membalikan tubuh dan merasa bersalah menatapku mengulurkan tangan kosong yang tak bersambut. Sembari tersenyum kecil, Ed kembali melangkah padaku.“Astaga, aku pelupa sekali. Maaf, ya?” ujarnya memeluk dan mencium puncak kepalaku.Tadinya sudah mau kesal dan berpikir aneh-aneh lagi, namun melihatnya meminta maaf dan memelukku, sudah kembali menerbitkan senyumku padanya.“Iya, tidak apa. Besok kita periksakan benturan di kepal
“Mila, anak-anak sudah lelah. Mereka mau pulang saja. Kau di mana?” Tante Atika menelponku karena aku belum juga balik dari toilet tadi.“I-iya, tante ini aku akan ke sana,” jawabku dan mengembalikan ponsel ke dalam tasku lalu melangkah menuju tempat permainan anak-anak tadi.Setelah ini aku akan menelpon Ed dan menanyakan apa benar yang kulihat barusan itu adalah dirinya?Pasalnya semalam dia menyampaikan harus ke Bandung hingga tidak pulang ke rumah. Apa urusannya di Bandung sudah selesai dan dia langsung ke tempat ini untuk urusan lainnya.Oh, sesibuk ituah suamiku sampai tidak sempat pulang dulu? Hanya saja, Suasana hatiku menjadi buruk karena melihatnya bersama seorang wanita.Ah. Bisa saja itu klien atau hanya urusan pekerjaan. Aku tidak boleh cepat menyimpulkan sesuatu. Lagi pula, suamiku tidak seperti itu.Saat mobil kami sudah keluar dari area Mall itu, masih sempat kulirik nama tempat itu yang ternyata lantai atasnya adalah perhotelan.Lagi-lagi masih kupegang hatiku
“Jangan sekarang, Sayang.” kutolak cumbuan Ed saat kami memutuskan untuk tidur setelah sedikit berdebat tentang secarik kertas itu.Aku kalah telak ketika Ed mengatakan bahwa dia memang datang ke tempat itu untuk urusan pekerjaan. Tidak ada hal lain yang membuatku pantas mencurigainya. Toh hanya melihatnya memasuki lift bersama seorang wanita. Itu sepele sekali untuk dijadikan perkara kami harus bertengkar. “Kita sama sekali belum melakukannya sejak kau datang ke Jakarta, Mila.” Ed terus mendesak. Tangannya sudah bergerak lancang menyusuri bagian tubuhku, namun aku sekali lagi memintanya mengerti.Kondisiku masih lemah dan itu akan sangat tidak nyaman kalau harus melayaninya. Ed seharusnya bisa memahaminya.“Maaf, Sayang.” sekali lagi kukatakan itu karena melihatnya bangkit dengan kekecewaan.“Its oke, aku akan tidur bersama anak-anak saja. Kau istirahatlah,” tukasnya mengambil piyamanya.“Kenapa harus tidur di kamar anak-anak, Ed?” walau tidak berkenan melayaninya, aku juga ing
Aku baru tahu sebelum ini Ed pernah punya tunangan. Artinya dia juga pernah hampir menikah tapi tidak jadi karena saudara kembarnya itu malah membawanya kabur.Laknat sekali laki-laki itu. Pantas Ed tidak mau mempertemukan aku dengannya.Sam juga pernah bercerita, Ed pernah patah hati karena dihianati. Hal yang membuat neneknya sangat bersedih ketika untuk kedua kalinya mengira aku juga menghianatinya.Bahkan wanita itu sampai meminta Jessica berusaha mengambil hati Ed karena takut cucu kesayangannya itu memutuskan tidak lagi menikah.Aku tahu sekarang, kenapa dulu Ed pernah meminta maaf padaku karena tidak berdaya dengan sebuah penghianatan. Ed menyerah begitu saja tidak mencoba mencariku karena mengiraku tidak mencintainya.Aku jadi penasaran, wanita yang seperti apa yang membuatnya sepatah hati itu. “Tentang Om Danio, Paman juga tahu banyak tentangnya?” sekalian saja kutanyakan. Biar aku tidak merasa asing di keluarga suamiku yang tidak banyak kukenal itu.“Tahulah, tapi ha
“Sungguh aku tadi melihat Sam menggerakkan jemarinya, Ed.” kusampaikan itu pada Ed yang menjemputku di rumah sakit.“Iya, biar dokter yang memeriksanya, Sayang.” Ed terlihat tegang mungkin karena tidak sabar menunggu kabar dari dokter yang saat ini sedang memeriksa Sam di dalam.Kuusap dadanya dan tersenyum padanya, “Jangan cemas, Ed. Yakin saja Sam akan baik-baik saja. Dia pria baik, semoga selalu dilindungi Allah.”“Amin,” tukasnya mencoba mengulas senyum.“Setidaknya kau tidak terlalu sibuk lagi mengurus semua sendirian. Sam yang selama ini kau andalkan bisa membatumu lagi.”Ed tersenyum kecil menanggapi ucapanku. “Sembuh pun tidak langsung kerja, Mila. Masa pemulihannya juga butuh waktu.”“Ahaha, kau benar,” tawaku menampakkan kelegaan.Ketika dokter itu keluar dengan beberapa asistennya, tampak raut kecewa di wajahnya. Menghampiri kami dengan menggelengkan kepala.“Bagaimana?” tanyaku penasaran.“Mungkin tadi hanya sekedar reflek tidak berarti. Kami sudah memeriksa ulang dan kon