Kulihat sekali lagi foto itu barangkali aku mengenalnya walau hanya dari postur tubuhnya. Tapi aku memang tidak mengenalinya.Kubalas pesan Tika, [Kalau kau tidak kenal, mengapa kau membiarkan dia menumpang di rumahmu?]Aku pikir Tika sudah tobat dan tidak mau lagi bermain-main dengan laki-laki yang tidak jelas. Ternyata dia malah membolehkan ada pria asing yang menginap di rumahnya, padahal dia hanya tinggal sendirian di rumah itu.[Kasihan, Mila. Dia kurus kering dan tampak pucat. Kucing liar saja aku bawa pulang untuk aku kasih makan, ini orang masa enggak aku tolong?] Aku hanya memutar bola mataku. Sekarang malah menjadi bingung karena Tika menampung orang yang kata Ed tidak perlu aku pikirkan itu.[Kenal tidak?] pesan dari Tika kembali mengusikku.[Bagaimana bisa kenal? Kau hanya mengambil gambar punggungnya]Saat itu teriakan Gala mengalihkanku. Segera kumasukan ponsel itu di tasku saja agar tidak menjadi masalah kalau Ed mengetahui hal ini.“Mama sarapan dulu, lalu minum obat
“Jadi, aku tidak…?”Tanyaku pada dokter kandungan yang saat ini sedang menggeser-geser transduser di atas perutku yang belum terlalu membuncit itu.Anak-anak tadi mendesak ikut masuk, dan kini mereka seperti orang bingung yang melihat perutku ditempel stik probe untuk memindai gelombang dari rahimku ke layar USG itu.“Kok gelap, Ma?” Meida menatap layar itu dan terlihat frustasi karena tidak melihat apapun di sana. “Mana adik bayinya?” “Meida, tadi kita sudah janji tidak berisik saat mama diperiksa. Biar bresok kita dibolehin ikut lagi.” Saudaranya mengingatkan. Ed yang juga mendampingiku hanya tersenyum mengelus rambut Gala.“Kalian mau lihat adek bayi?” Dokter itu melempar senyum pada Meida. Dia sudah selesai pemeriksaan dan menanggapi kedua si kembar yang lucu itu."Nanti ya, kalau mesin USG 4D-nya sudah datang. Duh, jaman begini kenapa juga rumah sakit ini belum sediakan alat yang lebih canggih?"Aku dan Ed tidak terlalu menanggapi masalah internal rumah sakit. Kami sudah ta
[Dia bilang tidak ingin apa-apa kecuali meminta maaf] pesan Tika di bawah gambar yang dikirimkannya itu.Aku bahkan sampai harus membesarkan foto itu untuk memperjelas gambarnya.Deg! Jantungku sesaat terpompa kencang dan bayangan masa lalu menguak kembali. Membuat tanganku sedikit bergetar hingga melempar ponsel itu ke sembarang tempat.Astaga. Bagaimana pria itu bisa muncul kembali dalam hidupku?Penampilannya sudah berbeda jauh. Pria itu tampak kurus pucat dan tak terawat. Bahkan kalau aku tidak berkali-kali memperhatikannya, aku tidak akan bisa mengenalinya. “Ada apa?” Ed yang kebetulan masuk melihatku melempar ponsel. Terlambat ketika aku hendak mengambil benda itu lagi, karena Ed lebih dulu meraihnya.Jantungku kembali berdegup lagi karena takut Ed malah akan menjadikan hal ini perkara.“A-aku tidak tahu soal itu, Ed,” ujarku yang seketika menjadi panas dingin teringat karena pria ini hubungan kami kacau. Ed menghela napas lalu mengutak-atik ponselku. Aku tidak tahu apa
Aku masih harus ke rumah Tika, jadi kuminta Kang Parto mengantar anak-anak pulang karena mereka sudah merengek. Sore hari waktu menonton serial kartun kesukaan mereka. “Nanti kalau sudah selesai, Mila akan hubungi Kang Parto,” ujarku pada Kang Parto sebelum berlalu dari halaman rumah Tika.Ketika masuk dalam rumah, aku tidak hanya melihat Tika di sana tapi beberapa anggota keluarganya juga hadir.Jadi keheranan saja, padahal yang meninggal bukanlah siapa-siapa mereka, namun keluarganya tetap datang memberi penghormatan. Termasuk Riko, sang dokter gadungan yang dulu pernah membohongiku tentang penyakit Jessica.“Jangan heran begitu, mereka tentu terkejut ada berita duka dariku. Kusampaikan saja kalau pria itu calon suamiku yang dulu meninggalkanku. Jadinya mereka datang.” jelas Tika sambil menyeretku ke kamarnya.“Sampai sebegitunya kamu sama Ramzi, Tik? padahal kamu belum tahu juga seperti apa dia.”Tika tidak mendengarku. Dia lalu mengambil sesuatu yang terbungkus kertas sampul dan
“Jangan sembarangan, Mila. Siapa pria itu?” Ibu menggandeng lenganku masuk setelah mengusir Riko. Dia tadi mau sambang rumah depan, tapi malah memergokiku yang di matanyaseperti sedang berpelukan.“Bu, itu Riko. Adiknya Tika, temanku. Dia hanya mengantarku pulang, kok. Tadi tidak sengaja aku hampir terjatuh, jadi dia reflek menolong.” Kukatakan itu sembari melangkah masuk ke dalam. Ibu hanya membuntut.“Lain kali hati-hati, dijaga pergaulannya. Tidak baik wanita yang sudah beristri keluar sembarangan dengan pria lain.” Ibu masih menyinggung hal itu.Kepalaku yang sedikit pusing dan ibu yang terus menyinggung tentang kejadian itu, padahal sudah kujelaskan duduk perkaranya, sunguh terasa menyebalkan.Kuhentikan langkah dan berbalik untuk memprotesnya, “Mila enggak seperti itu, Bu. Kenapa Ibu tidak percaya padaku? Apa pernah Mila begitu b
Saat tadi Tante Atika menyampaikan Ed megalami kecelakaan, jantungku hampir copot.Semenjak semalam aku tidak tenang dan selalu kepikiran Ed. Untungnya wanita ini dengan cepat menambahi bahwa Ed tidak apa-apa.“Kecelakaan apa, Tante?”“Mobil, Mila. Mungkin sedikit terburu ke suatu tempat jadi hampir celaka.”Aku tahu Ed kalau terburu-buru selalu melajukan mobilnya dengan mengebut. Apa karena beberapa bulan ini tinggal di kotaku yang tidak terlalu ramai, dia jadi lupa bahwa sudah ada di Jakarta?Ah, kuharap suamiku baik-baik saja. Sebentar lagi aku akan menemuinya dan kami akan bersama lagi di Jakarta.Kami menempuh perjalanan satu jam setengah hingga sampai bandara Soetta. Sebuah mobil jemputan terlihat dan aku mengenal pria yang sedang menjemput kami. Kalau tidak salah, itu Dandi. Dulu dia juga yang mengantarku ke Ja
“Tuh kan, Ma. Papa tadi juga pakai baju biru ini. Jadi yang tadi itu papa, kan?”Meida masih perhitungan hanya karena melihat papanya yang masuk tidak menyambutnya di depan.Ed menatap putrinya dan mengelus kepala bocah kecil itu. “Kau lihat papa, tadi?”“Iya, dan kenapa papa tidak menyambut kami di depan?” Meida menghakimi sang papa.“Meida Sayang, yang penting kita sudah ketemu papa, kan?” kubujuk agar Meida tidak terus bawel. Bukankah Ed juga tadi pagi barusan mengalami kecelakaan, pasti dia juga masih belum benar-benar fit.“Maafkan papa, ya?” tukas Ed pada putrinya yang bawel itu. Pasti ada sesuatu yang membuatnya harus masuk ke dalam saat melihat kami datang tadi. Anak-anak memang suka berlebihan saja.Melepas mereka bersama pengasuhnya melihat-lihat rumah, aku memilih ke kamar saja
“Tante akan tinggal di Jakarta juga?”Aku tentu merasa senang mendengar Tante Atika memutuskan untuk ikut suaminya tinggal di Jakarta.“Yah, gimana lagi? Paman kamu kan sudah teken kerja bareng suamimu. Dia harus kembali tinggal ke Jakarta.”Senang sekali mendengar Tante Atika akan tinggal di Jakarta juga. Berada di kota besar jauh dari sanak kerabat itu merana sekali. Apalagi dalam keadaan hamil yag nanti akan semakin membesar, aku pasti membutuhkan orang yang bisa membantu.Walau tak kurang pelayan di rumah ini, akan lebih nyaman kalau bersama keluarga sendiri.Jauh lebih nyaman lagi seandainya ibu juga mau tinggal di Jakarta bersamaku dan cucu-cucunya.Tapi, aku tidak boleh egois. Lima tahun ini ibu sudah jumpalitan yang merawat anak-anak saat aku bekerja.Jika kali ini dia kembali aktif di beberapa