Aku masih harus ke rumah Tika, jadi kuminta Kang Parto mengantar anak-anak pulang karena mereka sudah merengek. Sore hari waktu menonton serial kartun kesukaan mereka. “Nanti kalau sudah selesai, Mila akan hubungi Kang Parto,” ujarku pada Kang Parto sebelum berlalu dari halaman rumah Tika.Ketika masuk dalam rumah, aku tidak hanya melihat Tika di sana tapi beberapa anggota keluarganya juga hadir.Jadi keheranan saja, padahal yang meninggal bukanlah siapa-siapa mereka, namun keluarganya tetap datang memberi penghormatan. Termasuk Riko, sang dokter gadungan yang dulu pernah membohongiku tentang penyakit Jessica.“Jangan heran begitu, mereka tentu terkejut ada berita duka dariku. Kusampaikan saja kalau pria itu calon suamiku yang dulu meninggalkanku. Jadinya mereka datang.” jelas Tika sambil menyeretku ke kamarnya.“Sampai sebegitunya kamu sama Ramzi, Tik? padahal kamu belum tahu juga seperti apa dia.”Tika tidak mendengarku. Dia lalu mengambil sesuatu yang terbungkus kertas sampul dan
“Jangan sembarangan, Mila. Siapa pria itu?” Ibu menggandeng lenganku masuk setelah mengusir Riko. Dia tadi mau sambang rumah depan, tapi malah memergokiku yang di matanyaseperti sedang berpelukan.“Bu, itu Riko. Adiknya Tika, temanku. Dia hanya mengantarku pulang, kok. Tadi tidak sengaja aku hampir terjatuh, jadi dia reflek menolong.” Kukatakan itu sembari melangkah masuk ke dalam. Ibu hanya membuntut.“Lain kali hati-hati, dijaga pergaulannya. Tidak baik wanita yang sudah beristri keluar sembarangan dengan pria lain.” Ibu masih menyinggung hal itu.Kepalaku yang sedikit pusing dan ibu yang terus menyinggung tentang kejadian itu, padahal sudah kujelaskan duduk perkaranya, sunguh terasa menyebalkan.Kuhentikan langkah dan berbalik untuk memprotesnya, “Mila enggak seperti itu, Bu. Kenapa Ibu tidak percaya padaku? Apa pernah Mila begitu b
Saat tadi Tante Atika menyampaikan Ed megalami kecelakaan, jantungku hampir copot.Semenjak semalam aku tidak tenang dan selalu kepikiran Ed. Untungnya wanita ini dengan cepat menambahi bahwa Ed tidak apa-apa.“Kecelakaan apa, Tante?”“Mobil, Mila. Mungkin sedikit terburu ke suatu tempat jadi hampir celaka.”Aku tahu Ed kalau terburu-buru selalu melajukan mobilnya dengan mengebut. Apa karena beberapa bulan ini tinggal di kotaku yang tidak terlalu ramai, dia jadi lupa bahwa sudah ada di Jakarta?Ah, kuharap suamiku baik-baik saja. Sebentar lagi aku akan menemuinya dan kami akan bersama lagi di Jakarta.Kami menempuh perjalanan satu jam setengah hingga sampai bandara Soetta. Sebuah mobil jemputan terlihat dan aku mengenal pria yang sedang menjemput kami. Kalau tidak salah, itu Dandi. Dulu dia juga yang mengantarku ke Ja
“Tuh kan, Ma. Papa tadi juga pakai baju biru ini. Jadi yang tadi itu papa, kan?”Meida masih perhitungan hanya karena melihat papanya yang masuk tidak menyambutnya di depan.Ed menatap putrinya dan mengelus kepala bocah kecil itu. “Kau lihat papa, tadi?”“Iya, dan kenapa papa tidak menyambut kami di depan?” Meida menghakimi sang papa.“Meida Sayang, yang penting kita sudah ketemu papa, kan?” kubujuk agar Meida tidak terus bawel. Bukankah Ed juga tadi pagi barusan mengalami kecelakaan, pasti dia juga masih belum benar-benar fit.“Maafkan papa, ya?” tukas Ed pada putrinya yang bawel itu. Pasti ada sesuatu yang membuatnya harus masuk ke dalam saat melihat kami datang tadi. Anak-anak memang suka berlebihan saja.Melepas mereka bersama pengasuhnya melihat-lihat rumah, aku memilih ke kamar saja
“Tante akan tinggal di Jakarta juga?”Aku tentu merasa senang mendengar Tante Atika memutuskan untuk ikut suaminya tinggal di Jakarta.“Yah, gimana lagi? Paman kamu kan sudah teken kerja bareng suamimu. Dia harus kembali tinggal ke Jakarta.”Senang sekali mendengar Tante Atika akan tinggal di Jakarta juga. Berada di kota besar jauh dari sanak kerabat itu merana sekali. Apalagi dalam keadaan hamil yag nanti akan semakin membesar, aku pasti membutuhkan orang yang bisa membantu.Walau tak kurang pelayan di rumah ini, akan lebih nyaman kalau bersama keluarga sendiri.Jauh lebih nyaman lagi seandainya ibu juga mau tinggal di Jakarta bersamaku dan cucu-cucunya.Tapi, aku tidak boleh egois. Lima tahun ini ibu sudah jumpalitan yang merawat anak-anak saat aku bekerja.Jika kali ini dia kembali aktif di beberapa
Pria ini, bagaimana malah aku yang dimintanya mengajari cara kami berciuman?“Kau dulu yang mengajariku, lho!” tukasku mengingatkannya.“Oh, ya? Bagaimana? Aku tiba-tiba amnesia?” desaknya, dan aku baru menyadari pria ini sedang menggodaku.Aku hanya tertawa kecil karena tahu pria ini memang suka ada-ada saja hanya ingin agar aku yang memulai duluan.Tidak masalah juga, sih. Untuk suamiku apapun kulakukan.Lagi pula, perasaan rinduku jadi terbit saat berada di dekatnya. Kulihat Ed juga menatapku dengan perasaan berkobar. Yang bisa kuartikan sebagai menahan kerinduannya.Bisa jadi dia memang menghindariku beberapa hari ini karena masih takut mengajakku berhubungan demi alasan kandunganku yang pernah bermasalah. Kubelai wajahnya dengan lembut lalu mulai mencium bibir Ed dari tempo lambat hingga perlahan menjadi lebih intens dan memanas.Aku bisa merasakan dari gestur tubuhnya, Ed begitu terhanyut dan justru menggendongku ke tempat tidur.Tangannya mulai menelusup kebawah kausku me
Nada panggilan dari ponselnya membuat ciuman kami harus diakhiri. Ed nampak sangat tidak terima dan melenguh kesal karena benda pipih penganggu itu.“Ya sudah, kau berangkatlah ke kantor, Sayang. Aku akan menunggumu di rumah.” Kuhibur Ed dan dia tidak menolak saranku.Mengantarnya sampai depan rumah dan menatapnya pergi, aku selalu berdoa untuk kebaikan suamiku, dimanapun dia berada kuharap Ed selalu dilindungi dan dimudahkan urusannya.Saat hendak berbalik dan masuk ke dalam rumah, aku melihat seseorang yang berbincang dengan seorang pelayan. Aku tidak lupa kalau pria itu adalah suami temanku. Saat kupanggil dia, pria itu mengangguk penuh hormat dan segera datang.“Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanyanya dengan sikap yang formal.“Indra, aku tidak salah ‘kan kau Indra?” tanyaku balik padanya.Pria yang kupanggil dengan nama Indra hanya mengulas senyum dan mengangguk. Namun aku kecewa karena pria itu menjaga jarak sekali denganku. Dia pasti segan karena saat ini posisiku adalah ny
“Apa Om Danio sering datang, Neni?” tanyaku saat pelayan itu menaruh nampan berisi minuman yang kupesan padanya tadi.“Tidak, Nyonya. Hanya akhir-akhir ini saja dan itu pun dapat dihitung jari.” Neni menjawab seperti apa yang diketahuinya.“Dia tidak tinggal di sini?”Neni menggeleng. “Ini rumah keluarga Permana, Nyonya. Tuan Danio sejak dulu tidak tinggal di sini.”Mendengar penuturan itu, aku jadi punya sesuatu hal yang perlu dipertanyakan.“Bukankah beliau juga keluarga?”Neni mencuri tatap padaku namun tidak berani berlama-lama. Mungkin hanya untuk memastikan apakah aku sama sekali tidak mengerti tentang pria itu?Kalau Neni sudah bekerja lama di rumah ini, seharusnya dia tahu aku dan Ed tidak bersama dalam waktu yang lama. Jadi aku merasa tidak ada salahnya kalau harus bertanya tentang apa yang tidak kuketahui di rumah ini.“Saya kurang mengerti, Nyonya. Yang saya tahu, Rumah ini tidak ditempati siapapun karena Nyonya besar Melisa hanya mempercayakan pada Tuan Edward sebagai a