“Tante akan tinggal di Jakarta juga?”
Aku tentu merasa senang mendengar Tante Atika memutuskan untuk ikut suaminya tinggal di Jakarta.
“Yah, gimana lagi? Paman kamu kan sudah teken kerja bareng suamimu. Dia harus kembali tinggal ke Jakarta.”
Senang sekali mendengar Tante Atika akan tinggal di Jakarta juga. Berada di kota besar jauh dari sanak kerabat itu merana sekali. Apalagi dalam keadaan hamil yag nanti akan semakin membesar, aku pasti membutuhkan orang yang bisa membantu.
Walau tak kurang pelayan di rumah ini, akan lebih nyaman kalau bersama keluarga sendiri.
Jauh lebih nyaman lagi seandainya ibu juga mau tinggal di Jakarta bersamaku dan cucu-cucunya.
Tapi, aku tidak boleh egois. Lima tahun ini ibu sudah jumpalitan yang merawat anak-anak saat aku bekerja.
Jika kali ini dia kembali aktif di beberapa
Pria ini, bagaimana malah aku yang dimintanya mengajari cara kami berciuman?“Kau dulu yang mengajariku, lho!” tukasku mengingatkannya.“Oh, ya? Bagaimana? Aku tiba-tiba amnesia?” desaknya, dan aku baru menyadari pria ini sedang menggodaku.Aku hanya tertawa kecil karena tahu pria ini memang suka ada-ada saja hanya ingin agar aku yang memulai duluan.Tidak masalah juga, sih. Untuk suamiku apapun kulakukan.Lagi pula, perasaan rinduku jadi terbit saat berada di dekatnya. Kulihat Ed juga menatapku dengan perasaan berkobar. Yang bisa kuartikan sebagai menahan kerinduannya.Bisa jadi dia memang menghindariku beberapa hari ini karena masih takut mengajakku berhubungan demi alasan kandunganku yang pernah bermasalah. Kubelai wajahnya dengan lembut lalu mulai mencium bibir Ed dari tempo lambat hingga perlahan menjadi lebih intens dan memanas.Aku bisa merasakan dari gestur tubuhnya, Ed begitu terhanyut dan justru menggendongku ke tempat tidur.Tangannya mulai menelusup kebawah kausku me
Nada panggilan dari ponselnya membuat ciuman kami harus diakhiri. Ed nampak sangat tidak terima dan melenguh kesal karena benda pipih penganggu itu.“Ya sudah, kau berangkatlah ke kantor, Sayang. Aku akan menunggumu di rumah.” Kuhibur Ed dan dia tidak menolak saranku.Mengantarnya sampai depan rumah dan menatapnya pergi, aku selalu berdoa untuk kebaikan suamiku, dimanapun dia berada kuharap Ed selalu dilindungi dan dimudahkan urusannya.Saat hendak berbalik dan masuk ke dalam rumah, aku melihat seseorang yang berbincang dengan seorang pelayan. Aku tidak lupa kalau pria itu adalah suami temanku. Saat kupanggil dia, pria itu mengangguk penuh hormat dan segera datang.“Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanyanya dengan sikap yang formal.“Indra, aku tidak salah ‘kan kau Indra?” tanyaku balik padanya.Pria yang kupanggil dengan nama Indra hanya mengulas senyum dan mengangguk. Namun aku kecewa karena pria itu menjaga jarak sekali denganku. Dia pasti segan karena saat ini posisiku adalah ny
“Apa Om Danio sering datang, Neni?” tanyaku saat pelayan itu menaruh nampan berisi minuman yang kupesan padanya tadi.“Tidak, Nyonya. Hanya akhir-akhir ini saja dan itu pun dapat dihitung jari.” Neni menjawab seperti apa yang diketahuinya.“Dia tidak tinggal di sini?”Neni menggeleng. “Ini rumah keluarga Permana, Nyonya. Tuan Danio sejak dulu tidak tinggal di sini.”Mendengar penuturan itu, aku jadi punya sesuatu hal yang perlu dipertanyakan.“Bukankah beliau juga keluarga?”Neni mencuri tatap padaku namun tidak berani berlama-lama. Mungkin hanya untuk memastikan apakah aku sama sekali tidak mengerti tentang pria itu?Kalau Neni sudah bekerja lama di rumah ini, seharusnya dia tahu aku dan Ed tidak bersama dalam waktu yang lama. Jadi aku merasa tidak ada salahnya kalau harus bertanya tentang apa yang tidak kuketahui di rumah ini.“Saya kurang mengerti, Nyonya. Yang saya tahu, Rumah ini tidak ditempati siapapun karena Nyonya besar Melisa hanya mempercayakan pada Tuan Edward sebagai a
Anak-anak sedang bermain di taman bersama pengasuh mereka dan aku hanya duduk di dalam melihat mereka dari jendela kaca besar yang hampir mengisi dinding dari atas sampai lantai.Sedikit bosan, akhirnya aku memutuskan melemaskan kakiku dengan berjalan-jalan di rumah besar suamiku ini. Padahal belum juga perutku membesar, tapi kaki ini juga akan ikut membengkak kalau kelamaan duduk.Rumah sebesar ini, Neni bilang hanya ditempati Ed?Apa tidak ada potret keluarga satupun yang bisa membuatku mengenal keluarga suamiku ini?Paling tidak nanti bisa kusampaikan pada anak-anak kami tentang bagaimana rupa neneknya, kakeknya, pamannya, dan buyutnya. Biasanya pajangan foto ada di di ruang keluarga, dan aku sudah berada di sana sekarang.Di salah satu sisi dinding, kulihat jam besar dengan lonceng yang terus berayun. Di sampingnya ada lukisan besar yang epik. Menggambarkan situasi berperang ala kustum jawa dengan kuda yang jumpalitan di rerumputan. Di sudut kanan bawah lukisan itu ada ta
Ed duduk di sofa. Dari bajunya yang sudah berganti dan rambutnya yang masih sedikit basah, pasti dia sudah selesai membersihkan dirinya.Kulirik botol air minum yang di nakas, airnya masih penuh.Ed kalau pulang dari manapun masuk kamar, yang pertama dilakukannya adalah meminum air putih. Itu kebiasaannya sejak dulu.Hal ini menambah tinggi rasa heranku akan keanehannya.“Ed, minumnya?” kusodorkan botol itu padanya sekalian berusaha mencari tahu apa dia tidak tahu atau hanya sekedar lupa karena kesibukannya.“Oh, terima kasih, Sayang.” Ed mengambil botol itu lalu meminumnya.“Aku terburu-buru ke kamar mandi tadi sampai tidak mengambil minum dulu,” ujarnya menambahi setelah menghabiskan setengah botol air itu. Mulai menyurutkan lagi rasa yang berbeda itu.Tidak enak mendapat tatapan Ed, akhirnya kutanyakan hal yang sekiranya bisa kutanyakan.Aku tidak membahas pekerjaan karena urusan pekerjaan yang di Jakarta sama sekali tidak kumengerti.“Apa ada kabar dari rumah sakit tentang kon
“Kenapa, Ed?” tanyaku saat dia kembali lagi ke ke dalam kamar dengan raut wajah yang kecewa.“Maaf, Mila. Om Danio memintaku datang. Ada hal penting katanya,”Akhir-akhir ini Ed memang sibuk dengan banyak hal. Pasti ada sesuatu yang mendesak sampai harus memintanya mendadak begitu.“Iya, hati-hati, Ed,” kataku sembari mengulurkan kedua tangan untuk memeluknya.Namun, kedua tanganku hanya melayang di udara karena sepertinya Ed tidak paham. Dia langsung melangkah pergi untuk membuka pintu.Ketika tangannya siap memutar knop pintu, baru dia menyadari sesuatu. Ed membalikan tubuh dan merasa bersalah menatapku mengulurkan tangan kosong yang tak bersambut. Sembari tersenyum kecil, Ed kembali melangkah padaku.“Astaga, aku pelupa sekali. Maaf, ya?” ujarnya memeluk dan mencium puncak kepalaku.Tadinya sudah mau kesal dan berpikir aneh-aneh lagi, namun melihatnya meminta maaf dan memelukku, sudah kembali menerbitkan senyumku padanya.“Iya, tidak apa. Besok kita periksakan benturan di kepal
“Mila, anak-anak sudah lelah. Mereka mau pulang saja. Kau di mana?” Tante Atika menelponku karena aku belum juga balik dari toilet tadi.“I-iya, tante ini aku akan ke sana,” jawabku dan mengembalikan ponsel ke dalam tasku lalu melangkah menuju tempat permainan anak-anak tadi.Setelah ini aku akan menelpon Ed dan menanyakan apa benar yang kulihat barusan itu adalah dirinya?Pasalnya semalam dia menyampaikan harus ke Bandung hingga tidak pulang ke rumah. Apa urusannya di Bandung sudah selesai dan dia langsung ke tempat ini untuk urusan lainnya.Oh, sesibuk ituah suamiku sampai tidak sempat pulang dulu? Hanya saja, Suasana hatiku menjadi buruk karena melihatnya bersama seorang wanita.Ah. Bisa saja itu klien atau hanya urusan pekerjaan. Aku tidak boleh cepat menyimpulkan sesuatu. Lagi pula, suamiku tidak seperti itu.Saat mobil kami sudah keluar dari area Mall itu, masih sempat kulirik nama tempat itu yang ternyata lantai atasnya adalah perhotelan.Lagi-lagi masih kupegang hatiku
“Jangan sekarang, Sayang.” kutolak cumbuan Ed saat kami memutuskan untuk tidur setelah sedikit berdebat tentang secarik kertas itu.Aku kalah telak ketika Ed mengatakan bahwa dia memang datang ke tempat itu untuk urusan pekerjaan. Tidak ada hal lain yang membuatku pantas mencurigainya. Toh hanya melihatnya memasuki lift bersama seorang wanita. Itu sepele sekali untuk dijadikan perkara kami harus bertengkar. “Kita sama sekali belum melakukannya sejak kau datang ke Jakarta, Mila.” Ed terus mendesak. Tangannya sudah bergerak lancang menyusuri bagian tubuhku, namun aku sekali lagi memintanya mengerti.Kondisiku masih lemah dan itu akan sangat tidak nyaman kalau harus melayaninya. Ed seharusnya bisa memahaminya.“Maaf, Sayang.” sekali lagi kukatakan itu karena melihatnya bangkit dengan kekecewaan.“Its oke, aku akan tidur bersama anak-anak saja. Kau istirahatlah,” tukasnya mengambil piyamanya.“Kenapa harus tidur di kamar anak-anak, Ed?” walau tidak berkenan melayaninya, aku juga ing