Meski aku ikut tertawa senang terbawa suasana, namun, air mataku masih juga tak terbendung.Bersyukur, mendapati hidupku begitu penuh keberkahan memiliki dua anak lucu seperti Gala dan Meida. Malaikat kecil tak bersayapku. “Kok malah nangis?” tanya Ed.“Bisa saja kamu mengeksploitasi Gala menjadi jubirmu,” Kutinju bahu Ed dengan lemah. Dan kami tertawa bersama, tak segan lagi menampakkan keharmonisan di depan banyak pasang mata yang memperhatikan kami.Masih heran saja, bagaimana memberikan pengertian sesimpel itu pada Gala, yang ditirukannya di depan umum dalam situasi yang begitu tepat.Kami jadi tidak perlu sampai harus membongkar privasi di depan umum hanya demi menjelaskan pada mereka tentang hubungan ini.Biar mereka menafsirkan sendiri sesuai kapasitas isi kepala mereka. Kami juga tidak memaksa kalau pada ahirnya penilaian mereka tetaplah buruk.“Aku juga mau ngomong!” Meida tiba-tiba merasa tidak adil kalau hanya Gala yang diberikan microphon itu. Dia jadinya naik ke kurs
“Lepaskan dia, Sam. Dia hanya ingin berterima kasih!” kataku karena melihatnya mengacungkan tiket doorprize yang di dapatnya.Setelah dilepas pria itu baru berujar dengan haru dan bahagia, “Lihat-lihat, aku dapat paket umroh sekeluarga! Sudah lama kami menabung tapi belum terkumpul juga uangnya. Terima kasih, Tuan, Terima kasih, Nyonya!” Sampai membungkuk-bungkuk pria itu berterima kasih.“Semoga sehat selalu, keluarga bahagia, dan barokah rezekinya!” ucapan-ucapan itu terus mengalir di setiap sudut tempat.Ketika seorang pelayan bertanya pada Sam bahwa masih ada sisi sovenir yang belum terbagi, aku kemudian meminta Sam memberikannya saja pada para pelayan itu.“Buat kalian saja, terima kasih ya sudah bekerja keras menyiapkan tempat dan makanan di acara ini,” ujarku yang seketika melebarkan senyum mereka.Senyum itu berubah menjadi teriakan histeris ketika salah satu sovenir pelayan itu dibuka dan isinya adalah, tulisan sebuah unit mobil .“Allahuakabar! Beneran ini, Nyonya? Saya
“Mila, selamat ulang tahun, ya?” Tika datang menghampiri, kulihat tatapannya berkaca-kaca.“Terima kasih, Tik.” Kupeluk dia dan Tika malah menangis.“Hey, ada apa?” tanyaku.“Aku ikut bahagia mendengar kenyataan bahwa Tuan Edward adalah papanya si kembar. Kenapa kamu enggak cerita sih, Mil?”Tika melepas pelukannya dan menatapku dengan protes, “Apa karena sudah menjadi Nyonya Permana kau tidak lagi mau menganggapku teman?”“Astaga, Tika! Apa-apaan sih, kamu?” kucubit lengan Tika yang bisa juga merajuk hanya karena aku tidak menceritakan tentang Ed. “Aku enggak enak saja menceritakannya, apalagi kita ketemunya pas di kantor saja ‘kan? Takut kalau ada yang dengar jadi heboh.”“Lagian kupikir kau sudah menerkanya karena Gala mirip sekali dengan papanya.”“Sebenarnya sudah ada pemikiran begitu sih, kalau Gala dan Meida memang mirip dengan Tuan Edward. Tapi aku pikir hanya sebatas jodoh saja. Lagian mana bisa banding-bandingin wajah Tuan Edward sama anak-anakmu. Lihatin beliau lama saja
Ketika aku perlahan membuka mata, kurasakan pening di kepalaku sudah mulai menghilang. Ed yang mengetahui itu langsung menghampiri dan mengambilkan minuman hangat yang sepertinya belum terlalu lama dibuat karena asapnya masih mengepul di permukaannya.“Ed, bagaimana dengan…?” aku tidak melanjutkan ucapanku karena melihat pakaianku sudah berganti.“Minum dulu.” Ed menyodorkan cangkir yang dipegangnya itu padaku.Kerongkonganku memang terasa kering, jadi kuambil cangkir itu dan meminum barang seteguk dua teguk untuk membasahinya. Aroma rempah dan mint yang melegakan membuatku sedikit tenang.“Sayang?” panggilku pada Ed agar dia mau mengatakan sesuatu padaku. Meski melihat wajahnya tenang, namun aku tidak bisa mengusir risauku.“Tenanglah, Tante Atika tadi sudah memeriksanya. Sepertinya kau memang hanya kelelahan. Jadi kau butuh bed rest beberapa hari ini.”“Oh, benarkah? Aku hanya kelelahan?” kuulangi pertanyaanku untuk memastikan.“Kata tante, besok dilihat dulu, kalau masih ngeflek k
“Ada apa, Nyonya?” tanya Nur melihatku menghampirinya dengan raut bertanya-tanya.Sayangnya kehadiran Gala dengan hoverboardnya membuatku menelan dulu pertanyaanku.“Kok belum mandi, Sayang?” ujarku pada anak lelakiku.“Gala belum mau mandi, Nyonya.” Nur mengadukan anak itu karena tidak mau menghentikan bermainnya. “Oh, jadi enggak mau pulang ke rumah kita, nih? Meida sudah cantik dan sudah mau pergi, lho. Kamu main saja di sini. Enggak usah ikut pulang, ya?” kataku pada anak itu. Gala memang sejak dulu sulit sekali kalau di suruh mandi. Ada saja alasannya.“Baiklah, Mama. Gala mau mandi!”Akhirnya mau juga dia menurut.Gala menarik lengan pengasuhnya untuk meminta dimandikan. Namun, kutahan.“Gala mandi sama Mbak saja, ya? Mama mau minta tolong sama Sus.” Kuminta pelayan di rumah menggantikan Nur memandikan Gala.Nur kembali menanyakan hal apa yang membuatku menahannya. Tapi, belum apa-apa aku sudah dibuat semakin tidak nyaman karena wanita itu menunjukan gelagat yang aneh.“Kau ki
Kulihat sekali lagi foto itu barangkali aku mengenalnya walau hanya dari postur tubuhnya. Tapi aku memang tidak mengenalinya.Kubalas pesan Tika, [Kalau kau tidak kenal, mengapa kau membiarkan dia menumpang di rumahmu?]Aku pikir Tika sudah tobat dan tidak mau lagi bermain-main dengan laki-laki yang tidak jelas. Ternyata dia malah membolehkan ada pria asing yang menginap di rumahnya, padahal dia hanya tinggal sendirian di rumah itu.[Kasihan, Mila. Dia kurus kering dan tampak pucat. Kucing liar saja aku bawa pulang untuk aku kasih makan, ini orang masa enggak aku tolong?] Aku hanya memutar bola mataku. Sekarang malah menjadi bingung karena Tika menampung orang yang kata Ed tidak perlu aku pikirkan itu.[Kenal tidak?] pesan dari Tika kembali mengusikku.[Bagaimana bisa kenal? Kau hanya mengambil gambar punggungnya]Saat itu teriakan Gala mengalihkanku. Segera kumasukan ponsel itu di tasku saja agar tidak menjadi masalah kalau Ed mengetahui hal ini.“Mama sarapan dulu, lalu minum obat
“Jadi, aku tidak…?”Tanyaku pada dokter kandungan yang saat ini sedang menggeser-geser transduser di atas perutku yang belum terlalu membuncit itu.Anak-anak tadi mendesak ikut masuk, dan kini mereka seperti orang bingung yang melihat perutku ditempel stik probe untuk memindai gelombang dari rahimku ke layar USG itu.“Kok gelap, Ma?” Meida menatap layar itu dan terlihat frustasi karena tidak melihat apapun di sana. “Mana adik bayinya?” “Meida, tadi kita sudah janji tidak berisik saat mama diperiksa. Biar bresok kita dibolehin ikut lagi.” Saudaranya mengingatkan. Ed yang juga mendampingiku hanya tersenyum mengelus rambut Gala.“Kalian mau lihat adek bayi?” Dokter itu melempar senyum pada Meida. Dia sudah selesai pemeriksaan dan menanggapi kedua si kembar yang lucu itu."Nanti ya, kalau mesin USG 4D-nya sudah datang. Duh, jaman begini kenapa juga rumah sakit ini belum sediakan alat yang lebih canggih?"Aku dan Ed tidak terlalu menanggapi masalah internal rumah sakit. Kami sudah ta
[Dia bilang tidak ingin apa-apa kecuali meminta maaf] pesan Tika di bawah gambar yang dikirimkannya itu.Aku bahkan sampai harus membesarkan foto itu untuk memperjelas gambarnya.Deg! Jantungku sesaat terpompa kencang dan bayangan masa lalu menguak kembali. Membuat tanganku sedikit bergetar hingga melempar ponsel itu ke sembarang tempat.Astaga. Bagaimana pria itu bisa muncul kembali dalam hidupku?Penampilannya sudah berbeda jauh. Pria itu tampak kurus pucat dan tak terawat. Bahkan kalau aku tidak berkali-kali memperhatikannya, aku tidak akan bisa mengenalinya. “Ada apa?” Ed yang kebetulan masuk melihatku melempar ponsel. Terlambat ketika aku hendak mengambil benda itu lagi, karena Ed lebih dulu meraihnya.Jantungku kembali berdegup lagi karena takut Ed malah akan menjadikan hal ini perkara.“A-aku tidak tahu soal itu, Ed,” ujarku yang seketika menjadi panas dingin teringat karena pria ini hubungan kami kacau. Ed menghela napas lalu mengutak-atik ponselku. Aku tidak tahu apa