Vivi balik badan sesampainya di atas tangga.
Almira.
Almira tersenyum. "Apa kamu masih punya hak berada disini?"
Vivi tersenyum, berusaha tidak gentar dengan serangan Almira. "Kenapa aku tidak memiliki hak? meskipun aku menyerahkan posisi istri pertama, tetap saja aku masih tunangannya."
Almira menyentuh anting berliannya untuk menunjukan cincin lamaran Krisna. "Tunangan tidak bisa dibandingkan dengan istri sah, dan kamu seharusnya tahu itu."
Vivi tidak mengubah senyumnya, meski hati dongkol dan sedih. Dia sudah belajar menahan emosi sejak kecil, dalam kondisi apapun harus tersenyum. "Terima kasih sudah mengingatkan dan selamat."
"Krisna memohon padaku untuk menjadikanmu sebagai istri kedua," kata Almira.
Vivi mengangguk. "Dia sudah menceritakannya padaku, kalian berdua memiliki masa depan di dunia politik dan tentu saja posisi saya tidak bisa dibandingkan dengan keluarga anda yang agung."Almira mengerutkan dahinya. "Kamu tidak kecewa? sayang sekali."
"Buat apa?"
"Ck. Tidak menarik! harusnya kamu marah atau menangis tapi kamu diam saja menerima semua ini. Pantas saja Krisna bosan dengan kamu."
Vivi menghela napas panjang. "Semalam saya sudah menangis di pesta bukan? bahkan kalian menganggap saya menghancurkan pesta itu."
"Ah, sekarang aku ingat!" Almira tertawa licik.
Vivi hendak balik badan.
"Semalam kamu tidak di rumah sakitkan?"
Vivi berusaha menelan emosinya. Tidak di rumah sakit? itu berarti wanita ini memang sengaja meracuninya!
"Atau- kamu bertemu dengan seorang pria?"
Apa dia mengikutiku?
"Benar bukan? bagaimana pria itu? dia lebih tampan dari Krisna?"
"Anda mengancam saya sekarang?"
Almira tersenyum licik. Vivi tidak berminat melihat belakang punggungnya, ia tidak tertarik dan lebih memilih jalan ke kamarnya.
"Apa-apaan anak itu, benar-benar tidak sopan," ujar Erika sambil memeluk tangan Almira.
"Dia masih muda, masih belum mengontrol emosinya." Jantung Almira berdetak keras. Dia berdoa semoga Erika tidak mendengar percakapan mereka.
"Tapi tetap saja meninggalkan senior tidak sopan. Kenapa sih kakak dan ibu mempertahankan perempuan itu? diakan yatim piatu dan tidak punya latar belakang apapun yang menguntungkan keluarga kita."
"Jangan begitu."
"Ah, kak Almira gak tahu sih- peristiwa dua tahun lalu."
"Ya?"
"Saat itu kakak-"
"Erika!"
Almira dan Erika menoleh ke sumber suara, Krisna sudah berdiri di belakang mereka.
"Kita semua sudah sepakat untuk tidak membicarakannya!" bentak Krisna.
Erina mendecak kesal sambil melepas pelukannya di Almira.
"Sayang-" Almira menyentuh tangan Krisna.
Krisna memberi tatapan peringatan ke Erika lalu menatap sayang Almira. "Itu aib masa lalu, tidak usah dibahas."
"Apa ini berhubungan dengan Vivi? biar bagaimanapun aku akan menjadi istri pertama kamu dan dia menjadi istri kedua kamu jadi-"
"Tidak perlu," potong Krisna.
Almira terdiam.
Sementara itu di kamar, Vivi menikmati makan mienya sambil mengecek website rekanan hotel. sekaligus video call dengan marketing.
"Aku sudah mendengar kejadian semalam, para manajer tidak bisa berbuat apapun. Keluarga Aditama tidak pernah bertindak seperti itu sebelumnya."
Vivi menyeruput mienya dengan santai.
"Bagaimana dengan punggungmu? dipukul dengan rotan pasti sakit sekali."
"Nanti aku ke rumah sakit."
"Tidak perlu, di dekat sini ada klinik. Kamu bisa memeriksakannya, kalau ke rumah sakit pakai uang apa?"
"Ada asuransi kesehatan pemerintah."
"Ah, serius! bagaimana keluarga kaya itu memperlakukan kamu secara tidak manusiawi seperti ini, kamu memang tunangannya tapi-"
Vivi tersenyum sedih. "Tapi aku mencintainya, aku yakin Krisna pasti akan berubah."
"Yah, semoga saja."
"Bagaimana dengan tamu?" Vivi mengalihkan pembicaraan dengan sengaja.
"Oh, saran yang kamu berikan sangat bagus. Semenjak kita bekerja sama dengan aplikasi web travel dan memakai model, tamu mulai berdatangan."
"Ada kabar tentang pengajuan proposal spa?"
"Ah, spa terkenal itu- mungkin sulit-"
"Kenapa?"
"Aku sudah dua bulan masukan proposal tapi sampai sekarang belum ada jawaban."
"Apa aku perlu maju?"
"Tidak, tidak. Mereka mungkin akan mengusir kita lebih dulu! jangan tersinggung, tapi biar bagaimanapun melihat anak yang terlihat masih kecil, orang akan kehilangan minat kerja sama dan menganggap proposal kita mainan meskipun kerjamu memang bagus disini."
Vivi tersenyum kecut.
"Aku akan berusaha keras mendapatkan kerja samanya," janji marketing.
"Kita tidak boleh melepasnya. Proyek kerja sama ini sangat penting, spa itu termasuk terkenal di kalangan menengah dan atas."
"Yah, aku sudah pernah kesana sekali. Tidak ada penyesalan mengeluarkan uang banyak," tawa marketing.
"Hotel kita dikerahkan khusus untuk tamu yang bepergian, mereka pasti lelah dan membutuhkan perawatan tubuh. Kita tidak bisa asal-asalan mendirikan spa, karena kita tidak memiliki pengalaman, mau tidak mau harus kerja sama dengan tempat itu. kalau gagal, kita harus putar otak lagi."
"Aku tahu."
Vivi menghabiskan sisa kuah dengan rakus. "Jangan lupa juga untuk mendapatkan chef bagus."
"Kalau ini sebaiknya kamu bicarakan bagian dapur."
Vivi mengangguk. "Nanti malam aku kesana."
"Apa tidak masalah kamu kesini di malam hari? pesta semalam membahas soal kamu masuk hotel di malam harikan?"
Vivi memijat keningnya.
"Aku bingung dengan keluarga Aditama, mereka sudah lama memiliki hotel inikan? jadi mereka pastinya harus paham soal night auditor. Closing mereka di malam hari bukan?"
Sebelumnya, hotel tempat belajar Vivi menarik tamu lokal atau luar kota saja tapi bagi Vivi tidak cukup mengingat hotel dan cabangnya harus menyetor uang untuk dana kampanye ibu Krisna dan Krisna, bahkan mereka harus mengadakan kegiatan sosial hampir setiap minggu.
Ini membuat beban pengeluaran hotel lebih banyak daripada pendapatan. Vivi menyadarinya setelah bagian accounting mengeluh, bahkan fee dari tamu untuk karyawan wajib diserahkan pihak hotel dengan alasan untuk menghindari makar.
Vivi tertawa saat mendengar alasan konyol itu. Siapa yang membuat kebijakan itu? tidak usah dijawab mereka pun Vivi sudah mengetahuinya. Ibu Krisna.
Kenapa tidak ada yang mengadukannya ke pemerintah? tentu saja para pegawai disini tidak mau kehilangan pekerjaan. Sebagian besar adalah pegawai lama berumur yang bisa dibilang tidak akan mudah mendapatkan pekerjaan baru.Akhirnya Vivi berusaha belajar manajemen dalam waktu singkat untuk mencari celah keuntungan. Ya, dengan mencari tamu asing.
Tentu saja dengan hal itu, mereka harus bekerja extra keras dan melakukan closing di waktu tidak tentu. Kalau tamu terakhir datang sebelum jam 12 malam, night audit akan menutup transaksi tepat jam 12 malam tapi kalau tamu datang sebelum jam 3 pagi, mereka akan closing di jam 3 pagi.
Hal inilah yang menjadi pemicu kemarahan di pesta semalam. Bagi orang awam, anak perempuan belum menikah yang keluar masuk hotel di malam hari akan menimbulkan pemikiran negatif.
Mereka tidak mau tahu kerja keras Vivi dan orang-orang hotel untuk meningkatkan pendapatan hotel. Untungnya manajer hotel memberi pengetahuan Vivi soal manajemen dasar sehingga mereka menemukan celah kebijakan yang dibuat ibu Krisna.
Para pegawai tidak akan mendapatkan fee dari tamu tapi mereka bisa mendapatkan fee dari keuntungan hotel. Sebelum ibu Krisna dan Krisna menyadari hal ini, mereka mengajukan proposal terlebih dahulu dan tentu saja mereka harus bertindak licik. Proposal harus diberikan sebelum ada kenaikan pendapatan hotel.
Tentu saja tebakan mereka benar, keluarga Aditama menyetujuinya dengan mudah. Semua pegawai hotel bersorak kegirangan, kerja sama memang dibutuhkan disini dan Vivi mencintai kerja sama itu serta orang-orangnya yang baik.
Saat melaporkan pendapatan bulanan pun keluarga Aditama tidak banyak berkomentar, mereka tidak bisa melarang ataupun marah karena pendapatan hotel meningkat tajam.
Sepertinya mereka memperhatikan reputasi di luar meski entah kenapa tidak mempertimbangkan kebijakan fee tamu untuk karyawan hotel.
Biar bagaimana pun selamanya kita tidak hanya bisa mempertahankan reputasi, tim kerja yang bagus juga dibutuhkan.
Setelah puas dengan laporan marketing dan cek tamu reservasi, Vivi membereskan peralatan makan dan bersiap-siap pergi ke hotel, sebelum menemui nenek.
Erika tiba-tiba membuka pintu kamar Vivi dan bertanya. "Apakah kamu akan ke rumah utama?"
Vivi yang terkejut, sontak membalas. "Ya."
Erika mengancam Vivi. "Jangan bertindak macam-macam apalagi mengadukan sesuatu ke nenek, beliau sedang sakit."
Vivi tersenyum untuk menenangkan Erika. "Tenang saja, aku di sana memang merawat nenek dan aku juga tidak berani mengganggunya dengan urusan lain."
"Baguslah, kalau kamu mengerti."
BRAK!
Erika membanting pintu dengan keras, Vivi menutup mata dan berusaha menelan perasaan pahit yang menyerang.
Sesampainya di hotel, Vivi disambut hangat front office, bellboy. Vivi menyapa mereka lalu mendengarkan curhatan sekilas mengenai tamu, Vivi merasa bisa tertawa lepas jika bersama mereka."Anda tahu, saya bertemu tamu dari ibu kota. Beuh, sombongnya minta ampun. Saya kasih senyuman malah dikasih cemberutan terus komplain kalau botol airnya kurang tapi merasa bayar mahal kamar."Vivi pernah mendengar ini dari supervisor house keeping. Rata-rata hotel hanya menyediakan satu atau dua botol minum gratis, mengenai ukuran atau jumlah tergantung kebijakan hotel sementara jika tamu mengambil lebih dari batas ketentuan maka harus dibayar. Kadangkala ada tamu yang komplain mengenai jumlah botol gratis."Mereka kan memang bayar kamar paling mahal.""Iya, tapi gak mau rugi.""Ah, aku ingat! mereka suruh-suruh kita tapi tidak memberikan tip. Yah, kalau gak bisa kasih tip setidaknya ramah kek, murah senyum kek."Vivi tersenyum saat mendengarkan sambil geleng-geleng kepala.Evi yang keluar dari rua
"Tinggal diberikan salep dan rutin dibersihkan saja, jangan kena air dulu untuk sementara."Eve dan Evi akhirnya memutuskan membawa Vivi ke klinik begitu melihat luka di punggungnya parah, bahkan sepertinya ada luka lama."Nanti membekas gak dok?" tanya Eve yang khawatir.Dokter mengangguk miris. "Pasti ada bekasnya."Evi menepuk kepala Vivi yang menunduk. "Tidak apa, dengan keuangan keluarga Aditama pasti bisa membawamu ke dokter bedah kecantikan."Vivi mengangkat kepalanya dan mengerutkan kening. Ia sering mendengar soal bedah kecantikan di wajah, tapi bedah kecantikan di punggung? memang ada?Eve menggeleng miris seolah perkataan Eva tidak pernah terjadi. "Aku ambilkan obatnya dulu.""Bayarnya-""Aku masukan ke tagihan hotel saja, kamukan juga pegawai hotel," kata Eve sambil menepuk kepala Vivi.Vivi dan Eva keluar dari ruangan lalu duduk di ruang tunggu.Evi yang melihat Vivi duduk perlahan tidak tahan untuk berkomentar. "Kamu sudah cerita ke orang rumah?"Vivi menggeleng pelan.Ev
"Bagaimana makanannya?" tanya ibu Reza.Reza memakan makanannya dengan lahap sementara Vivi hanya menundukan kepala dengan tegang."Lumayan," komentar Reza.Ibu Reza memegang tangan Vivi. Ia duduk di tengah sementara Reza dan Vivi duduk di sebelah kanan dan kirinya. "Syukurlah, ya."Vivi tersenyum canggung.Reza menatap Vivi dengan tajam. "Sepertinya kamu lupa siapa saya.""Y- ya?" Vivi menaikan kepalanya untuk menatap Reza."Apa kamu lupa kalau saya yang membawamu ke villa karena keracunan?"Vivi mencoba mengingat."Keracunan? apa yang terjadi?" tanya ibu Reza dengan nada khawatir ke putranya.Reza tidak menjawab, ia hanya melanjutkan makanannya.Vivi mengingatnya lalu menundukan kepalanya untuk mengucapkan terima kasih. "Yang waktu itu terima kasih dan saya minta maaf karena tidak langsung mengenali anda."Ibu Reza menatap Vivi dan Reza bergantian."Kamu tunangan Krisna, sudah sewajarnya," balas Reza.Vivi masih bingung hubungan Krisna dengan pria tampan di hadapannya ini."Sepertin
"Awalnya saya bingung saat masuk kali pertama ke hotel. Saya bingung apa yang harus dikerjakan lebih dahulu, lalu saya melihat restoran ramai jadi saya membantu mereka.""Tidak ada komentar dari para pegawai?""Sebenarnya ada, tapi karena sibuk mereka tidak bertanya. Setelah semua selesai, saya memperkenalkan diri dan mereka mengajarkan saya cara menerima tamu ala restoran.""Front office dan marketing tidak mencari nona?" tanya Putra yang penasaran."Waktu itu marketing sibuk keluar hotel untuk memperkenalkan hotel, banyak uang dikeluarkan untuk membuat event diluar agar menarik minat pengunjung."Putra menganggukan kepala. Waktu itu ia sempat sakit kepala saat membaca proposal perkenalan hotel yang berlebihan, belakangan ia menyadari kalau itu juga salah satu upaya nyonya dan putranya memperkenalkan diri mereka di depan umum. Bukannya memperkenalkan hotel, mereka jadinya melakukan kegiatan tidak penting."Lalu front office dituntut bekerja sebagai reservasi sekaligus bellboy bahkan j
Choky dan Putra merinding melihat perubahan emosi bosnya."Kami tumbuh bersama, jadi saya tidak bisa langsung melupakannya begitu saja."Nona, jangan menuang minyak ke dalam api!"Bukannya Krisna sudah memiliki kekasih lain? saya dengar wanita itu sedang mengandung anaknya."Vivi terkejut. "Anda sudah mengetahuinya?"Reza menjawab singkat. "Ya."Hati Vivi mencelos. Setidaknya ada sedikit harapan jika bisa mendekati calon ayah mertua, siapa tahu bisa membantunya untuk mengubah pemikiran Krisna. Di dalam hati kecilnya, ia ingin menjadi istri pertama Krisna.Kalau kepala keluarga sudah mengetahui soal kehamilan Almira itu berarti kepala keluarga sudah menyetujuinyakan? apalagi latar belakang wanita itu lebih menguntungkan daripada dirinya."Kamu kecewa tidak hamil duluan?"Vivi menatap bingung Reza. "Hamil?""Ya."Vivi awalnya bingung lalu menggeleng panik. "Bukan begitu, saya-""Sudah sewajarnya kamu punya pemikiran begitu."Vivi kembali menundukan kepalanya. Sudah berapa kali ia menund
Setelah membuat kesepakatan secara manual dan kilat dengan disaksikan sekretaris dan bodyguard. Reza segera kembali ke kantor bersama kedua pegawai konyolnya sementara Vivi masuk ke dalam ruang kerja Reza."Ruangan ini hanya bisa dimasuki tuan besar dan nyonya besar."Vivi memiringkan kepalanya lalu balik badan, menatap kepala pelayan.Kepala pelayan tersenyum. "Tuan besar Reza dan nyonya besar itu ibunya tuan besar.""Bagaimana dengan kakek?""Tuan tua tidak diijinkan masuk.""Kenapa?""Tuan tua pernah melakukan kesalahan, menghilangkan dokumen penting disini jadi tidak diijinkan masuk kembali."Jantung Vivi berdebar keras. "Pasti penting sekali, kalau begitu aku-""Tuan besar sudah memberikan kepercayaan, jangan disia-siakan, nona."Vivi menatap takjub bagian dalam ruang kerja yang seperti perpustakaan kecil, di bagian tengah ada meja kerja sementara belakangnya jendela perancis yang ditutup gorden mewah."Keluarga Aditama keturunan eropa dan struktur rumah ini masih bergaya eropa u
Ibu Krisna selalu memaksa anaknya masuk ke dunia politik, karena tempat itu memiliki banyak keuntungan. Pertimbangan lainnya, ibu Krisna berharap supaya Reza bisa melihat putra satu-satunya itu.Meskipun semua orang tahu Krisna putra satu-satunya Reza, hanya suaminya yang tidak akan pernah mengakui, melihat batang hidung anaknya saja tidak mau apalagi anak keduanya.Ibu Krisna memutar otaknya sehingga menemukan jalan, Krisna harus masuk dunia politik seperti dirinya, dengan begitu nama Krisna sebagai pewaris satu-satunya dikenal luas, apalagi berdiri berdampingan dengan Almira yang keluarganya terkenal di ibukota.Dulu ibu Krisna merasa ada harapan ketika kepala pelayan rumah utama membawa pulang Vivi dan mengatakan kalau Reza ingin menjodohkannya dengan Krisna. Ibu mana yang tidak senang begitu putra kesayangan mendapat perhatian ayah kandungnya? tapi hal itu tidak berlangsung lama, setelah ia mengetahui kalau Vivi hanya seorang anak yatim piatu, kedua orang tuanya hanya meninggalkan
Vivi kembali ke ruang reservasi dan menatap kosong layar monitor. Percakapan Krisna bersama temannya masih ada di kepalanya."Non."Vivi tidak menjawab.Adit menepuk pundak Vivi.Sontak Vivi menoleh. "Hah? ya?""Non, ada supervisor f&b.""Oh, oke." Vivi bangkit dari kursi lalu menuju ke ruang depan. "Tadi saya panggil, nona jalan terus. Apa nona sakit?" Supervisor bertanya begitu Vivi menghampirinya.Vivi menggeleng pelan."Soal split bill, itu teman-teman tuan Krisna jadi saya dilarang memasukan ke dalam system atau laporan. Hanya dicatat untuk internal saja, jadi saya tidak melaporkannya tapi saya sudah minta tanda tangan sesuai saran nona kalau keluarga Aditama punya permintaan di luar manajemen."Vivi memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing. "Sudah dari jam berapa mereka disana?""Jam delapan malam."Vivi tersenyum miris. Kalau punya waktu sebanyak itu harusnya bisa mengurus hotel, bukannya kumpul gini."Non.""Saya mengerti, terima kasih. Selain itu Adit dan pak Budi, tolong pan