Dua manusia tanpa hubungan itu tiba di sebuah desa yang masih asri. Tepat di pinggiran dua kota setelah Kota Mays.Gadis berambut panjang itu masih bungkam, dia tidak memberikan tanggapan apa pun tentang pembicaraan mereka sebelumnya. Ia hanya menatap datar wajah Aaron, kemudian mengajaknya untuk melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan pun seolah suasana menjadi canggung. Dara hanya terus menatap ke luar jendela. Menikmati seluruh ciptaan Tuhan yang sungguh mengagumkan.“Seperti di surga, Aaron.”“Jauh lebih baik dari bar bukan?” dara mengarahkan wajahnya menatap Aaron,lantas ia menggerakkan kepala tanda setuju.Udara di desa itu masih sangat sejuk. Banyak pohon teh di sana. Dataran tinggi yang selalu memiliki kabut saat sore datang. Dingin dan menusuk tulang. Terlebih jika hujan, udaranya sudah seperti berada di benua Eropa yang tengah turun salju.Di sanalah tempat tinggal nenek dan kakek Aaron. Mereka juga memiliki kebun teh yang sangat luas. Beribu kali kedua orang tua Aaron menga
Gadis itu mengintip di balik jendela. Dua pria berbeda usia itu duduk di bawah pohon mangga dengan ayunan jaring di sana. Kemungkinan besar itu adalah milik Aaron cilik dulu."Nak? Kenapa?" Lestari menepuk bahu Dara, kemudian melihat ke arah di mana Dara menatap. Dia tersenyum, ketika mengetahui apa yang dilihat oleh gadis itu."Kamu teman kantor Aaron, ya?" Dara menggeleng, dia membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Lestari."Bukan, Nek. Dara bukan siapa-siapa, Dara hanya bertemu secara tidak sengaja. Aaron pria yang baik," ungkap Dara."Sepertinya Aaron tertarik sama kamu," kata Lestari.Dara hanya tersenyum tipis. Apa yang harus Dara katakan? Jujur jauh lebih baik, bukan? Terlebih Dara juga sudah tahu akan perasaan pria itu pada dirinya."Saran Dara, sebaiknya jangan, Nek. Dara juga berharap kalau Aaron tidak pernah menyukai Dara. Saya bukan orang baik, saya bukan wanita yang baik. Saya miskin dan— saya sudah bersuami, Nek," lirih Dara.Lestari menatap wajah Dara dengan lekat. Menca
Aaron mencekal pinggang Dara dengan tatapan mata yang tidak lepas dari dua bola mata berwarna hitam tersebut dan— ia menggunakan cekalan di pinggang Dara sebagai beban agar dia bisa kembali pada posisi berdiri. Kemudian, secara perlahan ia bangkit dari atas permukaan tanah. Bersamaan dengan Aaron, Dara juga merubah posisinya dari menunduk pada posisi tegap. Namun, kedua tangan Aaron belum juga mau terlepas.“Kita jalan?” bisik Aaron tepat di depan wajah gadis itu.Dara gugup, benar-benar seperti tersengat listrik dengan tegangan yang besar. Kemudian, ia mengerjapkan mata dengan sangat cepat agar tidak terlihat kikuk di depan laki-laki itu.“Kamu cantik kalau gugup seperti ini Dara,” puji Aaron kemudian ia berbalik badan dengan mengulum senyum.Gadis itu membulatkan mata. Kenapa mendengar pujian dari laki-laki itu semakin membuat Dara sangat bahagia. Dia sudah sangat menjaga hati agar tidak besar kepala, juga tidak terlalu berharap pada pria itu. Dara memang mengakui kalau Aaron adalah
Aaron justru terdiam dan tergeletak begitu saja. “Aaron! Aaron! Jangan bercanda! Bangunlah! Bangun, Aaron!” Dara berkaca-kaca antara takut dan panik. Tidak mungkin dia menangis di tengah perkebunan itu, bagaimana kalau orang mengira bahwa Dara adalah arwah? Pikiran yang konyol, tetapi itu ada dalam benak Dara saat ini.“Aaron! Bangunlah, aku mohon,” isak Dara. Padahal baru saja dia bilang kalau dia tidak boleh menangis karena akan membuat panik orang lain. Namun pada akhirnya dia menangis sembari memeluk tubuh Aaron. Menumpukan kepalanya pada dada Aaron. Sungguh dia takut jika terjadi sesuatu pada pria itu.“Aaron! Bangun, kumohon,” lirih Dara. Ia membasahi dada Aaron dengan air matanya. Berteriak meminta tolong juga seolah tidak ada yang mendengar mereka telah melakukan rehat sejenak. Sampai tepat pukul satu nanti. Bagi mereka yang baru dari kota, tepat pukul dua belas siang sekalipun itu tidak akan terasa panas. Terlebih suasana di sana sudah mulai mendung. Musim penghujan akan sege
Lestari menatap dengan bingung, dia ingin tahu apa yang dilakukan oleh gadis itu. Perlahan dia mendekati jendela dan mengintip tepat di belakang posisi Aaron duduk dengan santainya. Sungguh, Lestari ingin tertawa melihat tingkah laku cucunya yang sotoy. Bagaimana tidak, Dara terlihat sangat panik, tetapi dia justru seolah tidak terjadi apa-pada padanya.“Dasar bocah kurang ajar,” gerutunya dengan cengiran senyum tuanya.Dara melepaskan ikatan kain pada kaki Aaron kemudian membasuhnya terlebih dulu secara hati-hati untuk membersihkan kotoran yang ada di sekitar luka. Lantas ia mencelupkan kaki pria itu ketika nodanya tidak terlalu membandel. Aaron tidak memakai sendal atau pelindung apa pun, wajar jika tanah liat mengotori kakinya.Secara pelahan dan pasti, gadis itu terus menyapu dan dia bisa melihat kulit telapak kaki Aaron yang terbuka, cukup dalam dan itu membuat Dara ngeri.“Di mana nenek menyimpan salep untuk luka seperti ini?” tanya Dara tanpa menatap wajah Aaron. Dia hanya teru
Tatapan mata Dara beralih ke arah Aaron. Semburat wajah yang menatap dengan penuh ketakutan dan juga rasa penyesalan yang dalam."Mas Raka sudah pulang, Aaron. Apa yang aku takutkan terjadi. Kini dia berada di rumah dan aku tidak ada di sana. Aku takut," terang Dara. Suaranya tidak terdengar dengan jelas. Dara benar-benar ketakutan. Sama seperti dia takut saat mendapati Aaron terluka tadi."Dara, tapi kakiku—" Aaron sangat menyesal. Seharusnya sore ini memang Aaron berencana untuk kembali pulang. Akan tetapi musibah datang tanpa terduga."Aku akan pulang menggunakan bis, Aaron. Kamu harus tetap di sini. Kakek dan nenekmu masih sangat merindukanmu," papar Dara."Tidak! Aku tidak akan biarkan kamu pulang sendiri," sergah Aaron. Wajahnya tegas dan itu menandakan kalau dia serius."Dan aku menolak untuk kau antarkan. Jika kamu pulang bersamaku, apa penilaian Mas Raka padaku? Kamu mau semakin membuatku dalam masalah? Kita berniat liburan dan mengh
Tepat pukul lima sore, Dara tiba di rumah. Kedua tangannya penuh dengan oleh-oleh yang dibawakan oleh Lestari. Ia membuka pintu dan mendapati Raka duduk di kursi panjang dan melipat tangan di depan dada. Matanya melirik tajam pada keberadaan Dara saat ini."Mas? Kamu sudah pulang? Maaf, aku tidak ada di rumah," sapa Dara. Dia mendekati suaminya.Namun, belum sempat dia melangkah lebih dekat. Raka sudah melangkah dengan cepat dan merebut barang bawaan gadis itu. Menyahutnya dengan kasar membuat Dara tersentak, hingga tubuhnya limbung. Kemudian laki-laki itu membuang barang-barang yang dibawa Dara sebelumnya dengan asal.Mata Dara membelalak dan kaget. "Kenapa, sih, Mas?" Bukan dia tidak sadar akan kesalahannya, akan tetapi harus begitu kah memperlakukan istrinya? Serta barang-barang yang pasti mereka butuhkan nantinya.Mendengar pemberontakan dan ketidakterimaan yang dilakukan oleh Dara, pria itu menekan rahang Dara. Hingga wajah gadis itu terangkat dengan
Kembali, Dara meneteskan air mata tanpa suara. Sakit, sungguh sangat sakit dan berdesir perih. Sakit yang tidak ada wujud dan darahnya, tetapi rasanya sangat luar bisa menyesakkan."Terserah kamu. Salahkan saja aku tanpa menjelaskan kesalahanmu yang sebenarnya. Jika semua ini memang salahku, lantas kenapa kamu tidak menegurku ataupun menjelaskan di mana letak kesalahanku," ucap Dara dengan pelan.Dia tidak lagi memiliki kekuatan untuk berteriak dan adu argumentasi dengan laki-laki itu. Dara tidak mengira bahwa Raka justru menyalahkan dirinya. Padahal, semua yang dilakukan Dara juga karena laki-laki itu yang tidak pernah sedikitpun memberikan waktu untuknya.Dara butuh dia, Dara ingin menjadi seperti layaknya wanita lain yang telah berkeluarga. Bermesraan, curhat, membagi setiap suka, duka, dan lara bersama dengan pasangan. Seberat apa pun masalah tetap akan selesai jika keduanya mau berbagi.Dara ingin— tetapi dia tidak memiliki kesempatan. Dia tida
Selama ini dia hidup serba ada, serba bisa tetapi, siapa yang sangka bahwa anaknya berjuang mati-matian untuk bertahan hidup dan mempertahankan kehidupan. Berjuang menemukan sebuah kebahagiaan."Bisakah kita membuat janji dengannya? Aku tidak sabar bertemu dengan Prilly, Wisnu," lirih Veily."Bersabarlah, Sayang. Panggil dia Dara sampai kita berhasil meyakinkan kenyataan ini. Sepertinya kita butuh bantuan Abby untuk ini, aku yakin saat ini mereka bersama," tutur Wisnu."Sebaiknya jangan beritahu Abby sebelum kalian memberitahukannya pada Dara. Kalian bisa bayangkan kalau Dara tahu lebih lama ketimbang Abby? Ayolah, kalian pasti bisa merasakannya," sela Faiz. Apa yang dikatakannya bukankah benar, memang seharusnya mereka memberitahu Dara baru Abby, bukan terbalik, jika tidak ingin Dara kian kecewa.Entah bagaimana tanggapan wanita itu nanti, Wisnu dan Veily hanya berharap bahwa Dara menerima juga memaafkan keduanya.**Sebuah mobil silver ber
[Aku kirim sesuatu ke rumah, pakai untuk malam nanti, ya. Aku akan jemput pukul tujuh] begitulah isi pesan yang diketik oleh Abby pada Dara. Kini wanita yang tengah beristirahat di ruang guru tersebut hanya mampu cengar-cengir membayangkan pertemuan mereka setelah tiga hari. Dara selayaknya seorang remaja yang jatuh cinta, astaga memalukan! Namun, adakah kata memalukan untuk sebuah cinta? Bahkan cinta itu menuntun pada hal gila, bukankah begitu?Dara hanya membalasnya dengan satu kata, okay' kemudian dia kembali mempersiapkan materi yang akan dia berikan untuk anak didiknya di pelajaran yang akan datang. Dara juga perlu mempelajari banyak hal di sekolah itu. Mengenal seluk-beluk, apa yang diizinkan juga tidak diizinkan. Mengenal pada guru dan juga mengenal murid yang ada di sana.Sementara di sisi lain kota yang jauh dari hiruk-pikuk suara kendaraan, Wisnu dan Veily melongo hampir tidak percaya dengan yang dia lihat. Veily tidak henti-hentinya menitikan air ma
"Hai! Selamat pagi!" sapa Dara, dia berjalan menuju mejanya dan meletakkan tasnya, tanpa duduk. Berdiri di samping meja yang cukup keren di matanya.Suara balasan dari mereka sungguh membuat Dara bersemangat, mereka ramah dan mungkin remaja brutal tidak akan ada di sana, kecuali kekasihnya yang selalu bersikap demikian. Dara mengulas senyumnya ketika mengingat tiga hari dia bahkan belum bertemu dengan pria itu."Okay, saya rasa kalian sudah tahu kalau saya adalah Sandara. Guru bahasa kalian, ini adalah jam pertama untuk saya jadi, ada yang mau memulai kelas?" Dara menatap mereka satu persatu. Kagum, pakaian bersih, rapi, dan berseragam lengkap. Mereka semua cantik dan rupawan."Mulai dengan perkenalan, Bu. Bagaimana jika hari ini sedikit santai, agar kami mengenal guru terbaik kami," teriak salah satu murid yang duduk di barisan tengah dari depan pun dari samping."Okay, apa perlu membuat kartu nama layaknya anak paud?" Mereka tertawa dengan pertanyaan ya
Wisnu terus membeberkan mulai dari kelahiran, penyakit Cloe dan juga sampai kejadian Cloe menikah dan meninggal. Juga permintaan maaf karena saat Cloe ada di Indonesia dalam waktu yang cukup lama mereka bahkan tidak pulang ke Indonesia. Sungguh mungkin banyak orang mengira bahwa mereka orang tua yang pilih kasih, tidak adil juga menyebalkan. Namun, keduanya terus bercerita setiap kendala yang terjadi, bagaimana Veily down dengan berita yang berurutan, penyakit Cloe yang menyita perhatian.Larasita terus mendengarkan dengan sesekali mengangguk-angguk. Dia begitu memahami semuanya, kenapa tidak? Dia sudah tua dan banyak memakan pahit manis, asin legitnya kehidupan yang begitu terkadang menguras emosi."Jadi begitu, Bu. Kamu sungguh frustasi dengan semuanya. Menantu saya juga baru saja meninggal dua Minggu yang lalu," jelasnya lagi."Saya turut berduka untuk kehilangan itu, Tuan, Nyonya. Ya! Dara… saya menemukan bayi itu tepat saat kecelakaan itu terjadi. Kejadiannya sangat cepat dan tra
"Baik, bagus sekali! Terima kasih, Pak. Terima kasih sudah mau membantu kami," katanya. Wisnu segera mengakhiri panggilan dan segera mendekati istri dan rekannya."Kabar bagus, apa yang kita cari bisa kita temukan saat ini. Kita harus bergerak, polisi sudah mengirimkan alamat padaku." Senyum Wisnu terulas sempurna, begitupun dengan Veily dan pria yang akrab dikenal sebagai Faiz itu langsung beranjak.Ketiganya menelusuri jalanan, cukup jauh dari tempat kejadian. Pantas saja mereka tidak akan menemukan informasi apa pun di sekitar lokasi, jadi orang itu ternyata membawanya hampir keluar kota."Kita mau ke mana ini, Wisnu?" gumam Veily yang tampak kebingungan dengan jalanan yang kini mulai tampak cukup sepi, berderet-deret rumah yang berjarak cukup jauh."Kita hampir tiba, Sayang. Nah! Lihat bangunan hijau itu, di sana adalah panti asuhan. menurut informasi dari pihak kepolisian, wanita dengan nama yang selalu kita jumpai di setiap artikel membawa bayi itu
Kini bahkan Abby kembali menatapnya dengan sorot mata yang begitu memperlihatkan bahwa dia begitu mendambakan dirinya."Abby… serius?" Abby mengangguk, dia menarik kursinya agar lebih dekat dengan Dara. Menarik dagu wanita itu dan tidak menghiraukan pramusaji yang tengah sibuk dengan makanan keduanya."Apakah aku pernah bermain-main denganmu? Apakah semua yang terlewat tampak seperti sebuah sandiwara?" Lagi-lagi Dara menggelengkan kepalanya. Apakah Dara gila jika menganggap semua yang dilakukan oleh Abby adalah sebuah kebohongan. Dia bahkan rela melakukan apa pun untuk wanita itu bukan? Sejak awal, ya! Sejak awal."Tidak sama sekali, By." Abby mendekatkan bibirnya pada bibir Dara, mengecupnya pelan dan melumatnya sesaat sebelum semua perhatian beralih pada mereka berdua."Tunggu sampai papa dan mamaku tenang. Terutama Mama, kamu pasti sudah tahu semuanya bukan? Sejujurnya tanggapan mereka tidak begitu berarti, tetapi aku tetap anak mereka Dara, jika usahaku tidak dihargai maka, dengan
Bukan hanya kesedihan. Kekalutan dan juga marah menyelimuti hati Ravella, apa yang bisa dia banggakan sekarang? Mertua prianya sekarat di rumah sakit yang tidak akan pernah tahu selamat atau tidak. Kemudian mertua perempuannya pun tidak mau tahu tentang dirinya. Dulu, cucu laki-laki itu menjadi tameng untuknya bisa bertahan hidup mewah dengan semua kepemilikan Raka yang menyeret kehidupan kelam Ravella menjadi sebuah mimpi yang menjadi nyata.Namun sekarang? Bahkan untuk bangkit dari duduk yang telah dilalui beberapa jam lalu lamanya saja tidak mampu. Anak yang merengek pun tidak berhasil menyadarkan dia dari semua yang baru saja terjadi. Menerima kenyataan di mana dia akan kembali mlarat, kere, dan tidak akan ada yang mau menampung seorang janda dengan anak.Matanya menatap kosong seluruh ruangan yang sudah mulai surut dari keramaian. Vella sendirian dengan tangisan balita yang ingin sekali dia bungkam."Diamlah! Kehadiranmu bahkan tidak membantu apa pun saat ini!" Hanya bisa terus m
“Tidak masalah, Dara. Kamu tahu, Tuan dan Nyonya Wisnu adalah orang berkelas, dia selalu memberikan dukungan pada siapapun yang terkena masalah dalam rumah tangganya. Kamu beruntung bertemu dengannya. Sayangnya kamu tahu sendiri, bahkan kehidupan anaknya sendiri rumit. Aaron… jelas kamu pasti tahu banyak tentang dia bukan?” Dara mengangguk karena memang dia sudah mengetahui semua tentang pria itu.“Baiklah. Aku tunggu kamu jam sepuluh. Jangan terlambat okay, kita akan buat kejutan untuk pria itu. Biarkan dia mendekam di penjara sampai mati dan membayar seluruh rasa sakit yang kamu alami. Setelah ini kamu akan menjadi jutawan,” kelakar pria botak yang kerap menyebut dirinya dengan nama Bobby.Sepeninggalan Bobby, Dara merasa sedikit tenang, dia harus bersiap untuk mengikuti persidangan. Sungguh dia begitu merindukan bercengkerama dengan Abby, sayangnya dia sama sekali tidak membalas pesan yang dikirim oleh Dara sampai masalah Raka usai dan Dara benar-benar membantu memenjarakan Raka bu
Dara berjalan dengan gontai, dia datang bersama dengan Abby dan keluarga, tetapi harus pulang sendiri. Beginikah rasanya kembali tidak dianggap? Tanpa terasa air matanya menetes. Dara kesal harus menjadi wanita yang lemah setelah mengenal cinta lagi. Dara ingin menjadi layaknya dulu, wanita yang kuat dan terus berjuang."Jika dulu aku bisa bertahan selama dua tahun, kenapa bersama Abby, sehari sudah layaknya seabad. Beginikah rasanya dicintai tetapi mengecewakan?" Dara menghela napasnya dengan dalam.Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di dekatnya, Dara yang berada di trotoar jalan menoleh untuk melihat siapa yang berhenti untuknya."Dara? Masuklah, Nak. Kamu sendirian? Aku kira kamu pulang bersama dengan Abby," seru Veily. Benar sekali, wanita itu ternyata belum pulang hanya duduk di sebuah mobil dan melihat segala tingkah Dayyana yang tidak puas-puasnya melukai Abby. Padahal jelas pria itu sudah dewasa dan tahu apa yang dilakukan olehnya. Dia mengerti dan bisa membedakan mana yang baik