Gadis itu menggeleng dan kembali membuang mukanya. Namun, lagi-lagi Aaron menarik dagu, Dara agar gadis itu menghadap padanya dan menatap manik matanya. Degup jantung Dara kini kian terpacu lebih cepat dan terasa sangat menakutkan untuk Dara. “Aku tidak pernah menatap mata seseorang lebih dari tiga detik, Aaron.” “Karena?” Aaron terus beruasaha agar gadis itu tetap melirik kearahnya, hanya dia— bukan tempat lain atau pepohonan yang bentuknya akan tetap sama, daunnya tetap akan hijau walau Dara tidak menatapnya seintens itu. “Karena— karena aku takut,” lirih Dara. Dia berusaha menyingirkan tangan Aaron, tetapi justru kedua tangannya digenggam lembut oleh Aaron. Telapak tangan Dara tidak selembut wanita kebanyakan, di mana mereka bisa melakukan manicure, pedicure, layaknya kebanyakan gadis yang ada dalam benak Aaron. Kehidupan seperti apa yang sudah kamu lalui, Dara. Kamu juga berhak bahagia, kamu berhak mendapatkan kasih sayang, bukan hanya memberi tetapi juga menerima, batin Aaron
Dua manusia tanpa hubungan itu tiba di sebuah desa yang masih asri. Tepat di pinggiran dua kota setelah Kota Mays.Gadis berambut panjang itu masih bungkam, dia tidak memberikan tanggapan apa pun tentang pembicaraan mereka sebelumnya. Ia hanya menatap datar wajah Aaron, kemudian mengajaknya untuk melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan pun seolah suasana menjadi canggung. Dara hanya terus menatap ke luar jendela. Menikmati seluruh ciptaan Tuhan yang sungguh mengagumkan.“Seperti di surga, Aaron.”“Jauh lebih baik dari bar bukan?” dara mengarahkan wajahnya menatap Aaron,lantas ia menggerakkan kepala tanda setuju.Udara di desa itu masih sangat sejuk. Banyak pohon teh di sana. Dataran tinggi yang selalu memiliki kabut saat sore datang. Dingin dan menusuk tulang. Terlebih jika hujan, udaranya sudah seperti berada di benua Eropa yang tengah turun salju.Di sanalah tempat tinggal nenek dan kakek Aaron. Mereka juga memiliki kebun teh yang sangat luas. Beribu kali kedua orang tua Aaron menga
Gadis itu mengintip di balik jendela. Dua pria berbeda usia itu duduk di bawah pohon mangga dengan ayunan jaring di sana. Kemungkinan besar itu adalah milik Aaron cilik dulu."Nak? Kenapa?" Lestari menepuk bahu Dara, kemudian melihat ke arah di mana Dara menatap. Dia tersenyum, ketika mengetahui apa yang dilihat oleh gadis itu."Kamu teman kantor Aaron, ya?" Dara menggeleng, dia membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Lestari."Bukan, Nek. Dara bukan siapa-siapa, Dara hanya bertemu secara tidak sengaja. Aaron pria yang baik," ungkap Dara."Sepertinya Aaron tertarik sama kamu," kata Lestari.Dara hanya tersenyum tipis. Apa yang harus Dara katakan? Jujur jauh lebih baik, bukan? Terlebih Dara juga sudah tahu akan perasaan pria itu pada dirinya."Saran Dara, sebaiknya jangan, Nek. Dara juga berharap kalau Aaron tidak pernah menyukai Dara. Saya bukan orang baik, saya bukan wanita yang baik. Saya miskin dan— saya sudah bersuami, Nek," lirih Dara.Lestari menatap wajah Dara dengan lekat. Menca
Aaron mencekal pinggang Dara dengan tatapan mata yang tidak lepas dari dua bola mata berwarna hitam tersebut dan— ia menggunakan cekalan di pinggang Dara sebagai beban agar dia bisa kembali pada posisi berdiri. Kemudian, secara perlahan ia bangkit dari atas permukaan tanah. Bersamaan dengan Aaron, Dara juga merubah posisinya dari menunduk pada posisi tegap. Namun, kedua tangan Aaron belum juga mau terlepas.“Kita jalan?” bisik Aaron tepat di depan wajah gadis itu.Dara gugup, benar-benar seperti tersengat listrik dengan tegangan yang besar. Kemudian, ia mengerjapkan mata dengan sangat cepat agar tidak terlihat kikuk di depan laki-laki itu.“Kamu cantik kalau gugup seperti ini Dara,” puji Aaron kemudian ia berbalik badan dengan mengulum senyum.Gadis itu membulatkan mata. Kenapa mendengar pujian dari laki-laki itu semakin membuat Dara sangat bahagia. Dia sudah sangat menjaga hati agar tidak besar kepala, juga tidak terlalu berharap pada pria itu. Dara memang mengakui kalau Aaron adalah
Aaron justru terdiam dan tergeletak begitu saja. “Aaron! Aaron! Jangan bercanda! Bangunlah! Bangun, Aaron!” Dara berkaca-kaca antara takut dan panik. Tidak mungkin dia menangis di tengah perkebunan itu, bagaimana kalau orang mengira bahwa Dara adalah arwah? Pikiran yang konyol, tetapi itu ada dalam benak Dara saat ini.“Aaron! Bangunlah, aku mohon,” isak Dara. Padahal baru saja dia bilang kalau dia tidak boleh menangis karena akan membuat panik orang lain. Namun pada akhirnya dia menangis sembari memeluk tubuh Aaron. Menumpukan kepalanya pada dada Aaron. Sungguh dia takut jika terjadi sesuatu pada pria itu.“Aaron! Bangun, kumohon,” lirih Dara. Ia membasahi dada Aaron dengan air matanya. Berteriak meminta tolong juga seolah tidak ada yang mendengar mereka telah melakukan rehat sejenak. Sampai tepat pukul satu nanti. Bagi mereka yang baru dari kota, tepat pukul dua belas siang sekalipun itu tidak akan terasa panas. Terlebih suasana di sana sudah mulai mendung. Musim penghujan akan sege
Lestari menatap dengan bingung, dia ingin tahu apa yang dilakukan oleh gadis itu. Perlahan dia mendekati jendela dan mengintip tepat di belakang posisi Aaron duduk dengan santainya. Sungguh, Lestari ingin tertawa melihat tingkah laku cucunya yang sotoy. Bagaimana tidak, Dara terlihat sangat panik, tetapi dia justru seolah tidak terjadi apa-pada padanya.“Dasar bocah kurang ajar,” gerutunya dengan cengiran senyum tuanya.Dara melepaskan ikatan kain pada kaki Aaron kemudian membasuhnya terlebih dulu secara hati-hati untuk membersihkan kotoran yang ada di sekitar luka. Lantas ia mencelupkan kaki pria itu ketika nodanya tidak terlalu membandel. Aaron tidak memakai sendal atau pelindung apa pun, wajar jika tanah liat mengotori kakinya.Secara pelahan dan pasti, gadis itu terus menyapu dan dia bisa melihat kulit telapak kaki Aaron yang terbuka, cukup dalam dan itu membuat Dara ngeri.“Di mana nenek menyimpan salep untuk luka seperti ini?” tanya Dara tanpa menatap wajah Aaron. Dia hanya teru
Tatapan mata Dara beralih ke arah Aaron. Semburat wajah yang menatap dengan penuh ketakutan dan juga rasa penyesalan yang dalam."Mas Raka sudah pulang, Aaron. Apa yang aku takutkan terjadi. Kini dia berada di rumah dan aku tidak ada di sana. Aku takut," terang Dara. Suaranya tidak terdengar dengan jelas. Dara benar-benar ketakutan. Sama seperti dia takut saat mendapati Aaron terluka tadi."Dara, tapi kakiku—" Aaron sangat menyesal. Seharusnya sore ini memang Aaron berencana untuk kembali pulang. Akan tetapi musibah datang tanpa terduga."Aku akan pulang menggunakan bis, Aaron. Kamu harus tetap di sini. Kakek dan nenekmu masih sangat merindukanmu," papar Dara."Tidak! Aku tidak akan biarkan kamu pulang sendiri," sergah Aaron. Wajahnya tegas dan itu menandakan kalau dia serius."Dan aku menolak untuk kau antarkan. Jika kamu pulang bersamaku, apa penilaian Mas Raka padaku? Kamu mau semakin membuatku dalam masalah? Kita berniat liburan dan mengh
Tepat pukul lima sore, Dara tiba di rumah. Kedua tangannya penuh dengan oleh-oleh yang dibawakan oleh Lestari. Ia membuka pintu dan mendapati Raka duduk di kursi panjang dan melipat tangan di depan dada. Matanya melirik tajam pada keberadaan Dara saat ini."Mas? Kamu sudah pulang? Maaf, aku tidak ada di rumah," sapa Dara. Dia mendekati suaminya.Namun, belum sempat dia melangkah lebih dekat. Raka sudah melangkah dengan cepat dan merebut barang bawaan gadis itu. Menyahutnya dengan kasar membuat Dara tersentak, hingga tubuhnya limbung. Kemudian laki-laki itu membuang barang-barang yang dibawa Dara sebelumnya dengan asal.Mata Dara membelalak dan kaget. "Kenapa, sih, Mas?" Bukan dia tidak sadar akan kesalahannya, akan tetapi harus begitu kah memperlakukan istrinya? Serta barang-barang yang pasti mereka butuhkan nantinya.Mendengar pemberontakan dan ketidakterimaan yang dilakukan oleh Dara, pria itu menekan rahang Dara. Hingga wajah gadis itu terangkat dengan