Merenung, meratap, dan berbenah diri. Padahal, kesalahan bukan ada padanya, kekeliruan murni karena ketololan yang dimiliki oleh laki-laki tidak pandai bersyukur itu.
Dara berjalan dengan lunglai mendekati lemari. Kemudian membukanya dan menarik pakaian dengan asal. Yang serba rapi, yang serba berhati-hati kini gadis itu melakukan di dengan ceroboh. Menarik baju yang berakibat fatal. Semua baju terjatuh di atas lantai. Lagi-lagi, Dara melakukan kebodohan seperti yang dia lakukan beberapa waktu lalu. Namun, setiap dia menjatuhkan barang-barang, ia selalu menemukan hal baru yang aneh. Kali ini, dia bisa mengecek tanpa takut ketahuan oleh sang suami.
"Buku tabungan? Bank Rich? Sejak kapan, Mas Raka jadi nasabah Rich?" gumam Dara.
Sejauh yang dia ketahui, Raka tidak pernah menggunakan atau menyimpan uangnya di bank manapun kecuali LaIndo. Dara sedikit terkejut dan merasa bangga, karena diam-diam pria itu menyiapkan dan menyimpan uang. Dara berpikir jika Raka melakuk
Segera Dara meraihnya dan ambil. Isinya lengkap. Satu set perhiasan. Bahkan ada gelang kaki. Mata Dara berbinar, entah sedih atau bahagia. Akan tetapi dia ingin menangis. Ada surat perhiasan di sana. Tanggal pembelian yang mana itu sudah hampir tiga bulan yang lalu."Ini untuk siapa, Mas? Bagaimana bisa kamu letakkan di sini tapi aku tidak tahu? Apa karena aku diam, kamu terus membodohiku? Kamu selingkuh atau gay?" lirihnya.Dara melepaskan cengkeraman tangannya pada kotak beludru merah besar itu. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Rasa dalam diri bercampur baur. Curiga, kecewa, merasa tidak dianggap. Jika itu untuk Dara, lalu kenapa tidak diberikan sejak tiga bulan yang lalu juga?Kekayaan yang seharusnya tidak membuat hidup Dara tersiksa. Kekayaan yang seharusnya bisa membuat kehidupan mereka jauh dari pertengkaran hanya masalah hal kerja. Apa pekerjaan Raka? Dia memang anak orang kaya, tapi dia pergi dari rumah, bukan? Dara kira, Raka benar-ben
Dara menendang meja hingga bergeser beberapa sentimeter. Sungguh, dia kesal dan sangat marah saat ini.Aaron sampai membelalakkan mata tidak percaya bahwa Dara bisa semarah itu. Ia tatap semua benda itu. Dia bingung dengan kotak perhiasannya."Dia membelinya tiga bulan yang lalu. Aku ada di sini, dia juga setiap hari pulang walau telat. Apakah tidak sempat memberikan itu padaku? Kecuali itu untuk orang lain, kemudian dia lupa saking banyaknya uang yang dia miliki," jelas Dara dengan wajah datar. Suara yang dingin tanpa intonasi.Aaron segera membuka buku tabungan bersampul emas tersebut. Namanya benar Raeka Sasongko. Jumlah yang tertera membuat Aaron terbelalak. Sekaya apa Raka saat ini? Apa yang ada dalam buku tabungan memang bukan apa-apa ketimbang omset penjualan usaha Aaron selama sebulan. Itu dari berbagai cabang, juga keuntungan menanam saham. Namun, untuk sekelas karyawan itu menakjubkan. Aaron yakin, Raka hanya menyamar sebagai karyawan. Tetapi kenapa? H
Dara menoleh ia tatap mimik muka Aaron, entah apa yang dia pikirkan, tetapi jelas itu wajah yang memelas dan mencari pembenaran akan tindakannya.“Apakah aku salah jika memutuskan untuk mengikuti ajakanmu pergi Aaron? Bagaimana kalau ketika aku pergi, Mas Raka kembali?”Hatinya tidak bisa berbohong, sekalipun rasa sakit ia rasakan tetapi Dara masih punya kewajiban yang harus dipenuhi untuk suaminya. Bodoh bukan? Ya! Dara memang bodoh, tetapi dia sudah berjanji di hadapan Tuhan bukan? Bahwa dia akan menerima semua kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh pria itu. Lalu apa sekarang? Dia pergi dari rumah bersama pria lain? Yakin, hanya ingin refreshing dan tidak akan terjadi apa pun pada mereka? Yakin?“Dara, dia pergi tanpa pamit. Aku rasa kamu sudah cukup bersabar dengan menantinya, memberinya kabar, mencoba meneleponnya, tapi apa yang kamu dapat? Hanya kecewa ‘kan? Maaf, untuk saat ini aku terkesan menjelekkan suamimu. Karena kamu berhak bahagia, kamu berhak menikmati hidup dan se
Gadis itu menggeleng dan kembali membuang mukanya. Namun, lagi-lagi Aaron menarik dagu, Dara agar gadis itu menghadap padanya dan menatap manik matanya. Degup jantung Dara kini kian terpacu lebih cepat dan terasa sangat menakutkan untuk Dara. “Aku tidak pernah menatap mata seseorang lebih dari tiga detik, Aaron.” “Karena?” Aaron terus beruasaha agar gadis itu tetap melirik kearahnya, hanya dia— bukan tempat lain atau pepohonan yang bentuknya akan tetap sama, daunnya tetap akan hijau walau Dara tidak menatapnya seintens itu. “Karena— karena aku takut,” lirih Dara. Dia berusaha menyingirkan tangan Aaron, tetapi justru kedua tangannya digenggam lembut oleh Aaron. Telapak tangan Dara tidak selembut wanita kebanyakan, di mana mereka bisa melakukan manicure, pedicure, layaknya kebanyakan gadis yang ada dalam benak Aaron. Kehidupan seperti apa yang sudah kamu lalui, Dara. Kamu juga berhak bahagia, kamu berhak mendapatkan kasih sayang, bukan hanya memberi tetapi juga menerima, batin Aaron
Dua manusia tanpa hubungan itu tiba di sebuah desa yang masih asri. Tepat di pinggiran dua kota setelah Kota Mays.Gadis berambut panjang itu masih bungkam, dia tidak memberikan tanggapan apa pun tentang pembicaraan mereka sebelumnya. Ia hanya menatap datar wajah Aaron, kemudian mengajaknya untuk melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan pun seolah suasana menjadi canggung. Dara hanya terus menatap ke luar jendela. Menikmati seluruh ciptaan Tuhan yang sungguh mengagumkan.“Seperti di surga, Aaron.”“Jauh lebih baik dari bar bukan?” dara mengarahkan wajahnya menatap Aaron,lantas ia menggerakkan kepala tanda setuju.Udara di desa itu masih sangat sejuk. Banyak pohon teh di sana. Dataran tinggi yang selalu memiliki kabut saat sore datang. Dingin dan menusuk tulang. Terlebih jika hujan, udaranya sudah seperti berada di benua Eropa yang tengah turun salju.Di sanalah tempat tinggal nenek dan kakek Aaron. Mereka juga memiliki kebun teh yang sangat luas. Beribu kali kedua orang tua Aaron menga
Gadis itu mengintip di balik jendela. Dua pria berbeda usia itu duduk di bawah pohon mangga dengan ayunan jaring di sana. Kemungkinan besar itu adalah milik Aaron cilik dulu."Nak? Kenapa?" Lestari menepuk bahu Dara, kemudian melihat ke arah di mana Dara menatap. Dia tersenyum, ketika mengetahui apa yang dilihat oleh gadis itu."Kamu teman kantor Aaron, ya?" Dara menggeleng, dia membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Lestari."Bukan, Nek. Dara bukan siapa-siapa, Dara hanya bertemu secara tidak sengaja. Aaron pria yang baik," ungkap Dara."Sepertinya Aaron tertarik sama kamu," kata Lestari.Dara hanya tersenyum tipis. Apa yang harus Dara katakan? Jujur jauh lebih baik, bukan? Terlebih Dara juga sudah tahu akan perasaan pria itu pada dirinya."Saran Dara, sebaiknya jangan, Nek. Dara juga berharap kalau Aaron tidak pernah menyukai Dara. Saya bukan orang baik, saya bukan wanita yang baik. Saya miskin dan— saya sudah bersuami, Nek," lirih Dara.Lestari menatap wajah Dara dengan lekat. Menca
Aaron mencekal pinggang Dara dengan tatapan mata yang tidak lepas dari dua bola mata berwarna hitam tersebut dan— ia menggunakan cekalan di pinggang Dara sebagai beban agar dia bisa kembali pada posisi berdiri. Kemudian, secara perlahan ia bangkit dari atas permukaan tanah. Bersamaan dengan Aaron, Dara juga merubah posisinya dari menunduk pada posisi tegap. Namun, kedua tangan Aaron belum juga mau terlepas.“Kita jalan?” bisik Aaron tepat di depan wajah gadis itu.Dara gugup, benar-benar seperti tersengat listrik dengan tegangan yang besar. Kemudian, ia mengerjapkan mata dengan sangat cepat agar tidak terlihat kikuk di depan laki-laki itu.“Kamu cantik kalau gugup seperti ini Dara,” puji Aaron kemudian ia berbalik badan dengan mengulum senyum.Gadis itu membulatkan mata. Kenapa mendengar pujian dari laki-laki itu semakin membuat Dara sangat bahagia. Dia sudah sangat menjaga hati agar tidak besar kepala, juga tidak terlalu berharap pada pria itu. Dara memang mengakui kalau Aaron adalah
Aaron justru terdiam dan tergeletak begitu saja. “Aaron! Aaron! Jangan bercanda! Bangunlah! Bangun, Aaron!” Dara berkaca-kaca antara takut dan panik. Tidak mungkin dia menangis di tengah perkebunan itu, bagaimana kalau orang mengira bahwa Dara adalah arwah? Pikiran yang konyol, tetapi itu ada dalam benak Dara saat ini.“Aaron! Bangunlah, aku mohon,” isak Dara. Padahal baru saja dia bilang kalau dia tidak boleh menangis karena akan membuat panik orang lain. Namun pada akhirnya dia menangis sembari memeluk tubuh Aaron. Menumpukan kepalanya pada dada Aaron. Sungguh dia takut jika terjadi sesuatu pada pria itu.“Aaron! Bangun, kumohon,” lirih Dara. Ia membasahi dada Aaron dengan air matanya. Berteriak meminta tolong juga seolah tidak ada yang mendengar mereka telah melakukan rehat sejenak. Sampai tepat pukul satu nanti. Bagi mereka yang baru dari kota, tepat pukul dua belas siang sekalipun itu tidak akan terasa panas. Terlebih suasana di sana sudah mulai mendung. Musim penghujan akan sege