Sementara Akio dan Yohan melirik terkejut. Dengan membunyikan klakson di sepanjang jalan, tentunya akan memperingati musuh. Namun, mereka berdua memilih membisu hingga telepon dari Jihan terputus. Barulah Akio memprotes."Tuan Darren sudah tidak waras ya? Menyuruh semuanya membunyikan klakson?""Ya, bukankah itu akan membuat pak Aksa waspada?" protes Yohan juga.Namun, Darren mengedikan bahu. "Aku tidak peduli, aku hanya ingin membuat Jihan tenang saja. Perasaannya lebih penting dari segala hal."Yohan menarik napas. Karena merasa Darren telah berlebihan dalam memperlakukan Jihan. Tak peduli dengan rencana yang bakal gagal atau keselamatan diri sendiri yang terancam. Namun, begitu melirik ke arah Akio yang mengacungkan jempol serta mengangguk antusias. Berakhir membuat Yohan menggelengkan kepala."Dua manusia bucin," celetuk Yohan pelan.Sementara di rumah. Jihan yang merasa sudah lega, memutuskan untuk kembali ke kamar. Susan pun membantunya menaiki anak tangga dengan perlahan, apala
Mata Darren langsung menyorot tajam. "Jangan mimpi. Aku tidak akan menempatkan istri dan anakku pada keadaan berbahaya."Aksa tersenyum dan menunjuk kotak di belakang. "Bahaya apanya? Itu hanya bom, Darren. Aku membelinya juga hanya untuk bermain saja kok.""Lagi pula, aku akan meletakkan bomnya di rumahmu saja kok. Ketika kau pergi, barulah aku bom!" seru Aksa kemudian tertawa, "kau pasti akan senang ketika kembali nanti."Darren benar-benar terpancing emosi. Hingga menjauh dari Akio dan mendekati Aksa hanya untuk mencengkram kerah baju sang kakak. Sementara Aksa begitu santai menatap Darren, bahkan masih bisa tersenyum."Aku sudah memperingatkanmu kan! Jika kau berani menyentuh orangku, maka aku tidak akan segan menyakiti orangmu itu!"Tangan Aksa menggenggam pundak Darren. "Memangnya aku punya siapa? Selain kau, ibu dan Luna. Memangnya kau tega menyakiti ibu atau dirimu sendiri?"Mendengar hal itu, Darren langsung menyeringai. "Jangan kau kira aku tidak tahu. Remaja yang hingga har
Darren mengelus wajahnya, membuat Jihan menatap suaminya lekat. Bibir Darren mengulas senyum, bukannya ikut tersenyum. Jihan malah memeluk tubuh Darren cukup erat. Sementara Akio menatap iri, melihat kemesraan dari Jihan juga Darren."Meski aku tidak apa-apa. Tapi, maukah bersandiwara Sayang?" tanya Darren.Kepala Jihan terangkat. "Bersandiwara apa Mas?"Darren kini menggenggam tangan Bella. "Tolong bersandiwara, seolah aku dalam keadaan tidak baik saja. Bella juga bisa bantu kan?"Jihan mengerutkan dahi. "Kenapa? Kenapa kami berdua harus berbohong? Padahal kondisimu baik-baik saja Mas."Jemari Darren mengelus pinggangnya. "Ini caraku demi menjerat kak Aksa untuk semakin dihukum berat. Kalau aku baik-baik saja, kemungkinan dia bisa lolos lagi."Begitu mendengar hal itu. Membuat Jihan sempat terdiam dan menatap suaminya. Sementara Bella nampak begitu antusias dan mengangguk. Mata Darren langsung menatapnya, meminta persetujuan bersandiwara darinya juga.Jihan pun menghela napas. "Baikl
Mendengar ucapan suaminya. Jihan merasa kalau Darren sedikit keterlaluan. Sementara Stella menggelengkan kepala, nampak bukan itu tujuan sebenarnya mendatangi Darren. Tangan Stella mengelus dahi Darren pelan, tapi suaminya justru langsung menghindar atas perlakuan yang dirasa tidak terbiasa itu.Raut sendu di mata Stella begitu kentara. "Aku ke sini hanya untuk menjenguk Darren, tak ada niatan lainnya."Mata Darren menatap langit-langit rumah sakit, yang seolah lebih menarik ketimbang ibu sendiri. "Dengan tertusuk seperti ini, aku masih merasa sedikit beruntung.""Hst! Apa yang kau ucapkan Darren? Tidak ada yang beruntung soal terluka," sergah Stella.Mulut Darren menarik napas berat. "Aku hanya merasa ini beruntung. Karena semalam kak Aksa membeli beberapa bom dari--"Ucapan Darren terhenti. Pasalnya telah menyadari sesuatu hingga kepala langsung menoleh, dengan mata menunjukkan keterkejutan ke arah Jihan. Padahal diri sendiri yang melarang siapa pun memberi tahu, pada kenyatannya Da
Meski sudah diusir. Tapi baik Akio mau pun Abian tetap duduk di kursi masing-masing. Karena kesal, Darren benar-benar tak menyahut semua pertanyaan yang dilontarkan oleh Abian. Bahkan ketika Akio dan Abian saling bicara satu sama lain, Darren hanya mendelik kesal."Jadi, pak Aksa kali ini akan benar-benar dihukum? Dia tidak akan dibebaskan lagi kan?" tanya Abian dengan penasaran."Ya begitulah. Atas persetujuan dari nyonya Stella, untuk tidak ikut campur. Maka, tuan Aksa akan tetap dihukum," sahut Akio."Tapi, aku tidak mendengar pemberitaan mengenai penangkapan pak Aksa?" Dahi Abian mengerut karena heran."Tuan Aksa memang tidak dipenjara. Tapi, dia dikirim ke negara New York."Abian menunjukkan wajah terkejut. Bahkan tubuh ikut bereaksi dengan langsung berdiri dari duduk. Di mana-mana pelaku penusukan, juga membeli bom untuk kepentingan pribadi tentunya akan dihukum seberat-beratnya. Tapi, Aksa justru tetap hidup bergelimang harta di negara orang."Kenapa pak Aksa malah dibiarkan be
Sekiranya siang hari telah menyapa. Rumah sakit sedikit sepi, karena hanya dihuni oleh Jihan saja. Abian dan Yuna memutuskan untuk pulang setelah berulang kali diusir oleh Darren. Sementara Akio katanya mengurus masalah Aksa, menggantikan Darren.Sekarang. Jihan sedang menyenderkan punggung pada kursi. Sementara Darren membaringkan kepala di atas pangkuannya, membenamkan wajah pada perutnya. Sesekali Darren tersenyum karena merasakan adanya pergerakan di dalam perut Jihan, meski itu terasa seperti jantung yang berdenyut.Jemari Jihan mengelus rambut suaminya. "Sesenang itu Mas? Padahal nanti di bulan keenam, gerakannya semakin terlihat loh."Senyum di wajah Darren perlahan luntur. "Meski Bella sampai sebesar itu, ini kali pertama aku menyaksikan perkembangan janin."Jihan pun tak menyahut. Ia bisa bayangkan bagaimana dulu Elina saat mengandung. Cinta saja tidak, begitu Bella lahir justru dibenci ibu sendiri. Jadi, tentunya ketika hamil, pasti Elina menghindar dari Darren."Kalau begit
"Papa!"Darren mengerutkan dahi melihat Bella yang nampak antusias ketika membuka pintu. Bahkan, Bella juga langsung berlari dan melompat-lompat di hadapan sang ayah. Jihan merasa gemas dan mengelus pipi Bella yang otomatis berhenti melompat."Ada apa ini? Kenapa happy sekali?" Ya, Darren tentunya penasaran.Senyum di bibir Bella pun luntur dan tergantikan dengan wajah masam. "Aku senang karena Papa benar-benar sehat. Kenapa reaksi Papa sedingin itu?"Darren tersenyum dan mengelus kepala Bella. "Bukan begitu Sayang. Papa hanya heran melihatmu tidak biasanya senang melihat papa.""Soal itu," jeda Bella dan tangan menggaruk leher, "aku hanya rindu dengan Papa."Bella nampak malu-malu, hingga bicara bergumam. Meski begitu, masih bisa didengar oleh Darren. Perlahan Darren duduk di sisi ranjang hanya untuk menarik Bella dan memeluk tubuh sang anak."Papa juga rindu sama Bella," ujar Darren pelan sembari mengelus kepala Bella.***Kediaman Gerald menjadi sunyi tiba-tiba setelah pembantu mem
Memang dasarnya Stella orang yang cukup licik. Ketika Bella terbangun dan Jihan membawa putrinya untuk makan bersama dengan Akio juga Susan. Stella nampak duduk di hadapan Darren dengan menunjukkan raut serius."Bukankah lebih baik kau kirim lagi pak Akio ke negaranya?" Stella mulai bicara pada intinya."Kenapa tiba-tiba membahasnya?" Darren malah balik bertanya.Biasanya Darren paling menggebu kalau urusan mengusir Akio dari Indonesia. Namun, kini Darren nampak tak setuju, padahal sang ibu hanya berbasa-basi. Mungkin, Darren mempertimbangkan begitu banyak hal yang sudah Akio lakukan dalam membantu Darren."Coba kau pikirkan," ujar Stella terlihat serius, "aku bisa melihat dari cara pak Akio memandang ke arah Jihan. Dia terlihat sangat menyukai Jihan. Apa kau sebagai suaminya tidak melihatnya?"Darren menatap Stella lebih serius. "Soal itu, ya tentu aku tahu. Terus kenapa?""Kok tanya kenapa? Kau tidak takut nanti Jihan bakal direbut dari tanganmu." Dan Stella mulai menakut-nakuti.Me