Mendengar ucapan suaminya. Jihan merasa kalau Darren sedikit keterlaluan. Sementara Stella menggelengkan kepala, nampak bukan itu tujuan sebenarnya mendatangi Darren. Tangan Stella mengelus dahi Darren pelan, tapi suaminya justru langsung menghindar atas perlakuan yang dirasa tidak terbiasa itu.Raut sendu di mata Stella begitu kentara. "Aku ke sini hanya untuk menjenguk Darren, tak ada niatan lainnya."Mata Darren menatap langit-langit rumah sakit, yang seolah lebih menarik ketimbang ibu sendiri. "Dengan tertusuk seperti ini, aku masih merasa sedikit beruntung.""Hst! Apa yang kau ucapkan Darren? Tidak ada yang beruntung soal terluka," sergah Stella.Mulut Darren menarik napas berat. "Aku hanya merasa ini beruntung. Karena semalam kak Aksa membeli beberapa bom dari--"Ucapan Darren terhenti. Pasalnya telah menyadari sesuatu hingga kepala langsung menoleh, dengan mata menunjukkan keterkejutan ke arah Jihan. Padahal diri sendiri yang melarang siapa pun memberi tahu, pada kenyatannya Da
Meski sudah diusir. Tapi baik Akio mau pun Abian tetap duduk di kursi masing-masing. Karena kesal, Darren benar-benar tak menyahut semua pertanyaan yang dilontarkan oleh Abian. Bahkan ketika Akio dan Abian saling bicara satu sama lain, Darren hanya mendelik kesal."Jadi, pak Aksa kali ini akan benar-benar dihukum? Dia tidak akan dibebaskan lagi kan?" tanya Abian dengan penasaran."Ya begitulah. Atas persetujuan dari nyonya Stella, untuk tidak ikut campur. Maka, tuan Aksa akan tetap dihukum," sahut Akio."Tapi, aku tidak mendengar pemberitaan mengenai penangkapan pak Aksa?" Dahi Abian mengerut karena heran."Tuan Aksa memang tidak dipenjara. Tapi, dia dikirim ke negara New York."Abian menunjukkan wajah terkejut. Bahkan tubuh ikut bereaksi dengan langsung berdiri dari duduk. Di mana-mana pelaku penusukan, juga membeli bom untuk kepentingan pribadi tentunya akan dihukum seberat-beratnya. Tapi, Aksa justru tetap hidup bergelimang harta di negara orang."Kenapa pak Aksa malah dibiarkan be
Sekiranya siang hari telah menyapa. Rumah sakit sedikit sepi, karena hanya dihuni oleh Jihan saja. Abian dan Yuna memutuskan untuk pulang setelah berulang kali diusir oleh Darren. Sementara Akio katanya mengurus masalah Aksa, menggantikan Darren.Sekarang. Jihan sedang menyenderkan punggung pada kursi. Sementara Darren membaringkan kepala di atas pangkuannya, membenamkan wajah pada perutnya. Sesekali Darren tersenyum karena merasakan adanya pergerakan di dalam perut Jihan, meski itu terasa seperti jantung yang berdenyut.Jemari Jihan mengelus rambut suaminya. "Sesenang itu Mas? Padahal nanti di bulan keenam, gerakannya semakin terlihat loh."Senyum di wajah Darren perlahan luntur. "Meski Bella sampai sebesar itu, ini kali pertama aku menyaksikan perkembangan janin."Jihan pun tak menyahut. Ia bisa bayangkan bagaimana dulu Elina saat mengandung. Cinta saja tidak, begitu Bella lahir justru dibenci ibu sendiri. Jadi, tentunya ketika hamil, pasti Elina menghindar dari Darren."Kalau begit
"Papa!"Darren mengerutkan dahi melihat Bella yang nampak antusias ketika membuka pintu. Bahkan, Bella juga langsung berlari dan melompat-lompat di hadapan sang ayah. Jihan merasa gemas dan mengelus pipi Bella yang otomatis berhenti melompat."Ada apa ini? Kenapa happy sekali?" Ya, Darren tentunya penasaran.Senyum di bibir Bella pun luntur dan tergantikan dengan wajah masam. "Aku senang karena Papa benar-benar sehat. Kenapa reaksi Papa sedingin itu?"Darren tersenyum dan mengelus kepala Bella. "Bukan begitu Sayang. Papa hanya heran melihatmu tidak biasanya senang melihat papa.""Soal itu," jeda Bella dan tangan menggaruk leher, "aku hanya rindu dengan Papa."Bella nampak malu-malu, hingga bicara bergumam. Meski begitu, masih bisa didengar oleh Darren. Perlahan Darren duduk di sisi ranjang hanya untuk menarik Bella dan memeluk tubuh sang anak."Papa juga rindu sama Bella," ujar Darren pelan sembari mengelus kepala Bella.***Kediaman Gerald menjadi sunyi tiba-tiba setelah pembantu mem
Memang dasarnya Stella orang yang cukup licik. Ketika Bella terbangun dan Jihan membawa putrinya untuk makan bersama dengan Akio juga Susan. Stella nampak duduk di hadapan Darren dengan menunjukkan raut serius."Bukankah lebih baik kau kirim lagi pak Akio ke negaranya?" Stella mulai bicara pada intinya."Kenapa tiba-tiba membahasnya?" Darren malah balik bertanya.Biasanya Darren paling menggebu kalau urusan mengusir Akio dari Indonesia. Namun, kini Darren nampak tak setuju, padahal sang ibu hanya berbasa-basi. Mungkin, Darren mempertimbangkan begitu banyak hal yang sudah Akio lakukan dalam membantu Darren."Coba kau pikirkan," ujar Stella terlihat serius, "aku bisa melihat dari cara pak Akio memandang ke arah Jihan. Dia terlihat sangat menyukai Jihan. Apa kau sebagai suaminya tidak melihatnya?"Darren menatap Stella lebih serius. "Soal itu, ya tentu aku tahu. Terus kenapa?""Kok tanya kenapa? Kau tidak takut nanti Jihan bakal direbut dari tanganmu." Dan Stella mulai menakut-nakuti.Me
Jihan berusaha mengalihkan pandangannya dari ibu mertuanya. Alangkah baiknya memang Jihan berpura tidak tahu apa pun. Hanya perlu ikut menatap dalam diam perdebatan antara suaminya dengan Akio."Kenapa langsung nuduh tanpa bukti sih? Serius, aku mendengar kalau Ibumu berkata seperti itu," ujar Akio penuh semangat, kemudian mata melirik pada Stella, "bukankah begitu Nyonya Stella?"Lagi, Akio bertanya. Namun, kali tersebut Stella menatap pada Darren sekilas. Kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Akio soal kebohongan Darren sudah diketahui sejak awal. "Serius?" tanya Darren dengan wajah kaget.Kepala Stella mengangguk lagi. "Ya, ibu sudah tahu."Dan Stella pun menggunakan ibu untuk menyebut diri sendiri. Sorot mata Stella nampak sedih, begitu saling bertukar mata dengan sang anak. Darren sendiri hanya diam saja, sementara Jihan yang merasa pundak ibu mertuanya sedikit bergetar dan tak kuasa menahan emosi hingga berakhir dengan terisak. Jihan langsung mendekat dan memeluk pelan pun
Sementara Jihan menemani Bella belajar di kamar. Bella sudah tak perlu tidur ditemani Susan lagi, pasalnya Jihan tak harus bersandiwara dan menemani Darren di rumah sakit lagi."Ma," sebut Bella membuatnya menatap."Ya Sayang, ada apa?""Wali kelas memberi tugas, untuk membuat karangan ketika jalan-jalan. Tapi, kita kan tidak pernah pergi bersama-sama seharian penuh ya Ma?" tanya Bella.Jika dipikir kembali. Memang benar, selama menikah. Darren hampir tak pernah mengajaknya mau pun Bella pergi jalan-jalan seharian penuh. Jihan pun tersenyum karena sepertinya mendapat kesempatan untuk menghirup udara segar. Bosan juga rasanya dikurung di rumah karena masalah Aksa dan Luna."Kapan tugasnya harus dikumpulkan?" tanya Jihan sembari mengelus kepala putrinya."Lusa.""Ya sudah, nanti malam mama bilang sama papa ya. Biar besoknya kita jalan-jalan dan pulangnya Bella bisa langsung mengerjakan tugas untuk diserahkan besoknya," ujarnya sembari tersenyum."Benar ya Ma? Yeay!"Sesuai permintaan Be
Jihan menggeliat dalam tidurnya, ketika jemari Darren memainkan bulu matanya. Jihan yang merasa tidurnya terganggu, langsung menyingkirkan tangan suaminya kemudian berbalik memunggungi. Darren terkekeh melihat Jihan yang masih ingin tidur.Tak berhenti sampai disitu. Jemari Darren mulai iseng dan meraba punggungnya, tanpa permisi tiba-tiba saja selimut disibak. Tentu Jihan menolehkan kepala dengan mata yang masih mengantuk berusaha dibuka untuk menatap tajam. Sementara tangan meraih selimut lagi untuk menutupi tubuh polosnya."Mas!" keluhnya.Darren tersenyum. "Masih ngantuk?""Masih."Jihan berbalik lagi. Mendekati Darren kemudian memeluk suaminya yang juga tak berbusana. Darren tersenyum dan tangan mulai berhenti menjahilinya. Jihan pun akhirnya bisa memulai tidurnya lagi."Meski kelihatan kecil perutnya, tapi ketika bertemu kerasa ganjel Jihan," gumam suaminya.Jihan malas meladeni suaminya dan hanya menjawab singkat, "iya."Darren mengerutkan dahi mendengar nada suara malasnya. "B