Sekiranya siang hari telah menyapa. Rumah sakit sedikit sepi, karena hanya dihuni oleh Jihan saja. Abian dan Yuna memutuskan untuk pulang setelah berulang kali diusir oleh Darren. Sementara Akio katanya mengurus masalah Aksa, menggantikan Darren.Sekarang. Jihan sedang menyenderkan punggung pada kursi. Sementara Darren membaringkan kepala di atas pangkuannya, membenamkan wajah pada perutnya. Sesekali Darren tersenyum karena merasakan adanya pergerakan di dalam perut Jihan, meski itu terasa seperti jantung yang berdenyut.Jemari Jihan mengelus rambut suaminya. "Sesenang itu Mas? Padahal nanti di bulan keenam, gerakannya semakin terlihat loh."Senyum di wajah Darren perlahan luntur. "Meski Bella sampai sebesar itu, ini kali pertama aku menyaksikan perkembangan janin."Jihan pun tak menyahut. Ia bisa bayangkan bagaimana dulu Elina saat mengandung. Cinta saja tidak, begitu Bella lahir justru dibenci ibu sendiri. Jadi, tentunya ketika hamil, pasti Elina menghindar dari Darren."Kalau begit
"Papa!"Darren mengerutkan dahi melihat Bella yang nampak antusias ketika membuka pintu. Bahkan, Bella juga langsung berlari dan melompat-lompat di hadapan sang ayah. Jihan merasa gemas dan mengelus pipi Bella yang otomatis berhenti melompat."Ada apa ini? Kenapa happy sekali?" Ya, Darren tentunya penasaran.Senyum di bibir Bella pun luntur dan tergantikan dengan wajah masam. "Aku senang karena Papa benar-benar sehat. Kenapa reaksi Papa sedingin itu?"Darren tersenyum dan mengelus kepala Bella. "Bukan begitu Sayang. Papa hanya heran melihatmu tidak biasanya senang melihat papa.""Soal itu," jeda Bella dan tangan menggaruk leher, "aku hanya rindu dengan Papa."Bella nampak malu-malu, hingga bicara bergumam. Meski begitu, masih bisa didengar oleh Darren. Perlahan Darren duduk di sisi ranjang hanya untuk menarik Bella dan memeluk tubuh sang anak."Papa juga rindu sama Bella," ujar Darren pelan sembari mengelus kepala Bella.***Kediaman Gerald menjadi sunyi tiba-tiba setelah pembantu mem
Memang dasarnya Stella orang yang cukup licik. Ketika Bella terbangun dan Jihan membawa putrinya untuk makan bersama dengan Akio juga Susan. Stella nampak duduk di hadapan Darren dengan menunjukkan raut serius."Bukankah lebih baik kau kirim lagi pak Akio ke negaranya?" Stella mulai bicara pada intinya."Kenapa tiba-tiba membahasnya?" Darren malah balik bertanya.Biasanya Darren paling menggebu kalau urusan mengusir Akio dari Indonesia. Namun, kini Darren nampak tak setuju, padahal sang ibu hanya berbasa-basi. Mungkin, Darren mempertimbangkan begitu banyak hal yang sudah Akio lakukan dalam membantu Darren."Coba kau pikirkan," ujar Stella terlihat serius, "aku bisa melihat dari cara pak Akio memandang ke arah Jihan. Dia terlihat sangat menyukai Jihan. Apa kau sebagai suaminya tidak melihatnya?"Darren menatap Stella lebih serius. "Soal itu, ya tentu aku tahu. Terus kenapa?""Kok tanya kenapa? Kau tidak takut nanti Jihan bakal direbut dari tanganmu." Dan Stella mulai menakut-nakuti.Me
Jihan berusaha mengalihkan pandangannya dari ibu mertuanya. Alangkah baiknya memang Jihan berpura tidak tahu apa pun. Hanya perlu ikut menatap dalam diam perdebatan antara suaminya dengan Akio."Kenapa langsung nuduh tanpa bukti sih? Serius, aku mendengar kalau Ibumu berkata seperti itu," ujar Akio penuh semangat, kemudian mata melirik pada Stella, "bukankah begitu Nyonya Stella?"Lagi, Akio bertanya. Namun, kali tersebut Stella menatap pada Darren sekilas. Kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Akio soal kebohongan Darren sudah diketahui sejak awal. "Serius?" tanya Darren dengan wajah kaget.Kepala Stella mengangguk lagi. "Ya, ibu sudah tahu."Dan Stella pun menggunakan ibu untuk menyebut diri sendiri. Sorot mata Stella nampak sedih, begitu saling bertukar mata dengan sang anak. Darren sendiri hanya diam saja, sementara Jihan yang merasa pundak ibu mertuanya sedikit bergetar dan tak kuasa menahan emosi hingga berakhir dengan terisak. Jihan langsung mendekat dan memeluk pelan pun
Sementara Jihan menemani Bella belajar di kamar. Bella sudah tak perlu tidur ditemani Susan lagi, pasalnya Jihan tak harus bersandiwara dan menemani Darren di rumah sakit lagi."Ma," sebut Bella membuatnya menatap."Ya Sayang, ada apa?""Wali kelas memberi tugas, untuk membuat karangan ketika jalan-jalan. Tapi, kita kan tidak pernah pergi bersama-sama seharian penuh ya Ma?" tanya Bella.Jika dipikir kembali. Memang benar, selama menikah. Darren hampir tak pernah mengajaknya mau pun Bella pergi jalan-jalan seharian penuh. Jihan pun tersenyum karena sepertinya mendapat kesempatan untuk menghirup udara segar. Bosan juga rasanya dikurung di rumah karena masalah Aksa dan Luna."Kapan tugasnya harus dikumpulkan?" tanya Jihan sembari mengelus kepala putrinya."Lusa.""Ya sudah, nanti malam mama bilang sama papa ya. Biar besoknya kita jalan-jalan dan pulangnya Bella bisa langsung mengerjakan tugas untuk diserahkan besoknya," ujarnya sembari tersenyum."Benar ya Ma? Yeay!"Sesuai permintaan Be
Jihan menggeliat dalam tidurnya, ketika jemari Darren memainkan bulu matanya. Jihan yang merasa tidurnya terganggu, langsung menyingkirkan tangan suaminya kemudian berbalik memunggungi. Darren terkekeh melihat Jihan yang masih ingin tidur.Tak berhenti sampai disitu. Jemari Darren mulai iseng dan meraba punggungnya, tanpa permisi tiba-tiba saja selimut disibak. Tentu Jihan menolehkan kepala dengan mata yang masih mengantuk berusaha dibuka untuk menatap tajam. Sementara tangan meraih selimut lagi untuk menutupi tubuh polosnya."Mas!" keluhnya.Darren tersenyum. "Masih ngantuk?""Masih."Jihan berbalik lagi. Mendekati Darren kemudian memeluk suaminya yang juga tak berbusana. Darren tersenyum dan tangan mulai berhenti menjahilinya. Jihan pun akhirnya bisa memulai tidurnya lagi."Meski kelihatan kecil perutnya, tapi ketika bertemu kerasa ganjel Jihan," gumam suaminya.Jihan malas meladeni suaminya dan hanya menjawab singkat, "iya."Darren mengerutkan dahi mendengar nada suara malasnya. "B
Luna perlahan mulai keluar dari kamar mandi. "Katakan pada mertuaku, kalau aku hamil."Petugas pun nampak mengerutkan dahi. "Sudah dipastikan memangnya? Bukankah lebih baik diperiksa dulu?"Luna berjalan pergi. "Cukup katakan saja padanya, aku akan memberimu banyak uang jika melakukannya."Petugas tersebut menarik napas mendengar Luna yang bersikeras, padahal belum tentu mengandung. Masalahnya orang yang akan diberi tahu adalah nyonya besar dari keluarga Gerald. Kalau salah informasi sedikit saja, maka kelar sudah hidup petugas itu.***Baru saja kembali ke rumah. Tapi, Darren dibuat kesal oleh Akio yang datang tiba-tiba. Dan memaksa supaya Darren serta Jihan kembali dari perjalanan. Namun, hal yang diberi tahukan oleh Akio justru membuat Darren semakin kesal."Si Luna dikabarkan mengandung," ujar Akio membuat Darren menghela napas."Bagaimana bisa hamil sih?"Jihan membantu Susan meletakkan minuman serta camilan di hadapan Akio. Sepertinya pembahasan mereka berdua cukup serius. Hingg
Mendapat pertanyaan itu, membuat Stella bergeming sejenak. Kemudian berusaha untuk tersenyum. Menjemput Aksa di negeri orang, dan menempatkan ke sisi Luna lagi. Itu artinya Stella akan benar-benar bermusuhan dengan Darren."Tentu saja, aku akan membawa Aksa kembali."Luna tersenyum. "Ya harus Bu. Karena anak ini butuh ayahnya."Stella sempat saling lirik dengan pembantu, kemudian mengajukan pertanyaan, "oh iya Nak. Cucuku ini sudah berapa minggu? Jika belum tahu, nanti aku akan memanggil dokter ke rumah."Luna nampak kaget sejenak mendengar penuturan dari Stella, kemudian Luna menjawab dengan segera, "sudah kok Bu. Aku diperiksa oleh dokter yang dipanggil dari luar. Katanya sudah 5 minggu."Stella mengulas senyum. "Begitu ya, ternyata penantian menunggu cucu lahir masih sangat lama. Butuh waktu kurang lebih 8 bulan lagi kan?"Kepala Luna mengangguk dan tersenyum ceria. Namun, begitu Stella menatap ke depan. Raut wajah Luna langsung berubah, sedikit kecemasan terlihat jelas di sana. Na