"Sungguh mama ada di rumah nenek kan?" tanya Bella sedikit keluar dari belakang tubuh satpam.
Aksa sempat menyeringai saat Bella menyebut Stella dengan nenek. Padahal Bella sangat dibenci hanya karena lahir dari rahim Elina. Melihat Aksa yang seperti itu membuat Bella memundurkan langkah."Ada apa? Katanya Bella mau bertemu sama mama? Kok mundur lagi," komen Aksa.Kepala Bella menggeleng keras. "Om bohong! Semenjak diculik, mama tidak boleh pergi sama papa!"Mendengar seruan dari Bella, membuat Aksa menempelkan telunjuk pada mulut. "Jangan keras-keras. Telinga om bisa rusak nanti."Satpam ikut memundurkan langkah, kemudian nampak membuka buku dan mengeluarkan ponsel. Wajah Aksa menegas dan mata menyorot tajam. Melihat apa yang akan dilakukan oleh satpam."Apa yang sedang kau lakukan Pak tua?" tanya Aksa dingin.Satpam hanya menatap sebentar, kemudian sibuk mengetik nomor seseorang dan melakukan panggilan. Bella hanya diam saja meski wajah menunjukkan keceSeperti yang Jihan duga. Ada sesuatu di antara mereka berdua. Sampai Yohan mau duduk di hadapan mereka dan menunjukkan ekspresi serius."Aku mendengar dari anak buahku, katanya pak Aksa membeli barang selundupan dari luar negeri. Kami berniat menggagalkannya dan melaporkan pada polisi," ujar Yohan membuat Jihan terkejut."Barang selundupan? Apa itu semacam obat terlarang?" tanya Jihan.Mata Darren meliriknya. "Aku harap seperti itu Jihan. Maka dengan begitu, kita punya cara untuk memenjarakannya, setidaknya selama beberapa tahun saja."Melihat suaminya yang tidak begitu yakin dengan apa yang dibeli oleh Aksa. Membuat Jihan terdiam dan mata menatap pada Yohan. Sejujurnya ia merasa curiga dengan kedatangan Yohan yang tiba-tiba membahas masalah Aksa pada suaminya.Hingga waktunya tidur, di kamar Jihan menatap lekat pada Darren yang sedang mengancing baju tidur. Hal itu membuat tubuh Darren berbalik padanya dan tersenyum. Suaminya nampak sengaja tak mengancing lagi dan berjalan mendekat p
Sementara Akio dan Yohan melirik terkejut. Dengan membunyikan klakson di sepanjang jalan, tentunya akan memperingati musuh. Namun, mereka berdua memilih membisu hingga telepon dari Jihan terputus. Barulah Akio memprotes."Tuan Darren sudah tidak waras ya? Menyuruh semuanya membunyikan klakson?""Ya, bukankah itu akan membuat pak Aksa waspada?" protes Yohan juga.Namun, Darren mengedikan bahu. "Aku tidak peduli, aku hanya ingin membuat Jihan tenang saja. Perasaannya lebih penting dari segala hal."Yohan menarik napas. Karena merasa Darren telah berlebihan dalam memperlakukan Jihan. Tak peduli dengan rencana yang bakal gagal atau keselamatan diri sendiri yang terancam. Namun, begitu melirik ke arah Akio yang mengacungkan jempol serta mengangguk antusias. Berakhir membuat Yohan menggelengkan kepala."Dua manusia bucin," celetuk Yohan pelan.Sementara di rumah. Jihan yang merasa sudah lega, memutuskan untuk kembali ke kamar. Susan pun membantunya menaiki anak tangga dengan perlahan, apala
Mata Darren langsung menyorot tajam. "Jangan mimpi. Aku tidak akan menempatkan istri dan anakku pada keadaan berbahaya."Aksa tersenyum dan menunjuk kotak di belakang. "Bahaya apanya? Itu hanya bom, Darren. Aku membelinya juga hanya untuk bermain saja kok.""Lagi pula, aku akan meletakkan bomnya di rumahmu saja kok. Ketika kau pergi, barulah aku bom!" seru Aksa kemudian tertawa, "kau pasti akan senang ketika kembali nanti."Darren benar-benar terpancing emosi. Hingga menjauh dari Akio dan mendekati Aksa hanya untuk mencengkram kerah baju sang kakak. Sementara Aksa begitu santai menatap Darren, bahkan masih bisa tersenyum."Aku sudah memperingatkanmu kan! Jika kau berani menyentuh orangku, maka aku tidak akan segan menyakiti orangmu itu!"Tangan Aksa menggenggam pundak Darren. "Memangnya aku punya siapa? Selain kau, ibu dan Luna. Memangnya kau tega menyakiti ibu atau dirimu sendiri?"Mendengar hal itu, Darren langsung menyeringai. "Jangan kau kira aku tidak tahu. Remaja yang hingga har
Darren mengelus wajahnya, membuat Jihan menatap suaminya lekat. Bibir Darren mengulas senyum, bukannya ikut tersenyum. Jihan malah memeluk tubuh Darren cukup erat. Sementara Akio menatap iri, melihat kemesraan dari Jihan juga Darren."Meski aku tidak apa-apa. Tapi, maukah bersandiwara Sayang?" tanya Darren.Kepala Jihan terangkat. "Bersandiwara apa Mas?"Darren kini menggenggam tangan Bella. "Tolong bersandiwara, seolah aku dalam keadaan tidak baik saja. Bella juga bisa bantu kan?"Jihan mengerutkan dahi. "Kenapa? Kenapa kami berdua harus berbohong? Padahal kondisimu baik-baik saja Mas."Jemari Darren mengelus pinggangnya. "Ini caraku demi menjerat kak Aksa untuk semakin dihukum berat. Kalau aku baik-baik saja, kemungkinan dia bisa lolos lagi."Begitu mendengar hal itu. Membuat Jihan sempat terdiam dan menatap suaminya. Sementara Bella nampak begitu antusias dan mengangguk. Mata Darren langsung menatapnya, meminta persetujuan bersandiwara darinya juga.Jihan pun menghela napas. "Baikl
Mendengar ucapan suaminya. Jihan merasa kalau Darren sedikit keterlaluan. Sementara Stella menggelengkan kepala, nampak bukan itu tujuan sebenarnya mendatangi Darren. Tangan Stella mengelus dahi Darren pelan, tapi suaminya justru langsung menghindar atas perlakuan yang dirasa tidak terbiasa itu.Raut sendu di mata Stella begitu kentara. "Aku ke sini hanya untuk menjenguk Darren, tak ada niatan lainnya."Mata Darren menatap langit-langit rumah sakit, yang seolah lebih menarik ketimbang ibu sendiri. "Dengan tertusuk seperti ini, aku masih merasa sedikit beruntung.""Hst! Apa yang kau ucapkan Darren? Tidak ada yang beruntung soal terluka," sergah Stella.Mulut Darren menarik napas berat. "Aku hanya merasa ini beruntung. Karena semalam kak Aksa membeli beberapa bom dari--"Ucapan Darren terhenti. Pasalnya telah menyadari sesuatu hingga kepala langsung menoleh, dengan mata menunjukkan keterkejutan ke arah Jihan. Padahal diri sendiri yang melarang siapa pun memberi tahu, pada kenyatannya Da
Meski sudah diusir. Tapi baik Akio mau pun Abian tetap duduk di kursi masing-masing. Karena kesal, Darren benar-benar tak menyahut semua pertanyaan yang dilontarkan oleh Abian. Bahkan ketika Akio dan Abian saling bicara satu sama lain, Darren hanya mendelik kesal."Jadi, pak Aksa kali ini akan benar-benar dihukum? Dia tidak akan dibebaskan lagi kan?" tanya Abian dengan penasaran."Ya begitulah. Atas persetujuan dari nyonya Stella, untuk tidak ikut campur. Maka, tuan Aksa akan tetap dihukum," sahut Akio."Tapi, aku tidak mendengar pemberitaan mengenai penangkapan pak Aksa?" Dahi Abian mengerut karena heran."Tuan Aksa memang tidak dipenjara. Tapi, dia dikirim ke negara New York."Abian menunjukkan wajah terkejut. Bahkan tubuh ikut bereaksi dengan langsung berdiri dari duduk. Di mana-mana pelaku penusukan, juga membeli bom untuk kepentingan pribadi tentunya akan dihukum seberat-beratnya. Tapi, Aksa justru tetap hidup bergelimang harta di negara orang."Kenapa pak Aksa malah dibiarkan be
Sekiranya siang hari telah menyapa. Rumah sakit sedikit sepi, karena hanya dihuni oleh Jihan saja. Abian dan Yuna memutuskan untuk pulang setelah berulang kali diusir oleh Darren. Sementara Akio katanya mengurus masalah Aksa, menggantikan Darren.Sekarang. Jihan sedang menyenderkan punggung pada kursi. Sementara Darren membaringkan kepala di atas pangkuannya, membenamkan wajah pada perutnya. Sesekali Darren tersenyum karena merasakan adanya pergerakan di dalam perut Jihan, meski itu terasa seperti jantung yang berdenyut.Jemari Jihan mengelus rambut suaminya. "Sesenang itu Mas? Padahal nanti di bulan keenam, gerakannya semakin terlihat loh."Senyum di wajah Darren perlahan luntur. "Meski Bella sampai sebesar itu, ini kali pertama aku menyaksikan perkembangan janin."Jihan pun tak menyahut. Ia bisa bayangkan bagaimana dulu Elina saat mengandung. Cinta saja tidak, begitu Bella lahir justru dibenci ibu sendiri. Jadi, tentunya ketika hamil, pasti Elina menghindar dari Darren."Kalau begit
"Papa!"Darren mengerutkan dahi melihat Bella yang nampak antusias ketika membuka pintu. Bahkan, Bella juga langsung berlari dan melompat-lompat di hadapan sang ayah. Jihan merasa gemas dan mengelus pipi Bella yang otomatis berhenti melompat."Ada apa ini? Kenapa happy sekali?" Ya, Darren tentunya penasaran.Senyum di bibir Bella pun luntur dan tergantikan dengan wajah masam. "Aku senang karena Papa benar-benar sehat. Kenapa reaksi Papa sedingin itu?"Darren tersenyum dan mengelus kepala Bella. "Bukan begitu Sayang. Papa hanya heran melihatmu tidak biasanya senang melihat papa.""Soal itu," jeda Bella dan tangan menggaruk leher, "aku hanya rindu dengan Papa."Bella nampak malu-malu, hingga bicara bergumam. Meski begitu, masih bisa didengar oleh Darren. Perlahan Darren duduk di sisi ranjang hanya untuk menarik Bella dan memeluk tubuh sang anak."Papa juga rindu sama Bella," ujar Darren pelan sembari mengelus kepala Bella.***Kediaman Gerald menjadi sunyi tiba-tiba setelah pembantu mem
Darren pikir, kalau sang putra yang terlihat jarang menangis itu akan tetap tertidur seperti siang hari. Ternyata tidak. Di tengah malam, Jihan sibuk membuka kancing baju untuk menyusui Bilal."Ternyata begini rasanya jadi ayah," gumam Darren di tengah mata yang mengantuk.Jihan tersenyum. Mungkin sewaktu bayi, Bella benar-benar diurus oleh pembantu. Darren yang sibuk mengejar cinta Elina atau bekerja, sedikit melupakan sang putri. Jemari Darren mengusap kepala Bilal lembut. "Kapan selesainya Nak? Papa juga kan mau gantian."Jihan menatap suaminya kesal. "Apa sih Mas? Kalau masih masa nifas, istri itu tidak boleh disentuh."Darren menatap Jihan dengan dahi mengerut. "Apanya Sayang?"Tapi, kemudian bibir mengulas senyum. "Aku tak ada membahas masalah ranjang sama sekali padahal.""Terus yang gantian itu apa? Ingin ikut menyusu kan?"Darren terkekeh dan mengusap hidungnya. "Mana tega aku melakukannya padamu Jihan. Aku bermaksud untuk gantian menggendong Bilal saja."Mendengarnya. Jihan
"Yohan," panggil Luna.Suara itu begitu bergetar. Sedang mata yang bengkak itu kembali meneteskan air mata. Kesedihan telah hinggap dalam diri Luna setelah mengetahui fakta terjangkit penyakit ganas itu."Aku akan mati," lanjut Luna.Yohan terburu mendekat dan duduk di kursi. Memegang tangan Luna yang tidak diinfus. Yohan berusaha untuk tidak menunjukkan wajah sedih dan mengelus kepala Luna amat lembut."Tidak Luna. Jangan katakan hal bodoh macam itu, karena kau akan sembuh." Yohan mencium tangan Luna."Tapi tak ada yang bertahan lama, kalau punya penyakit dalam," ujar Luna nampak takut.Yohan menggeleng. "Itu kata orang lain. Tapi kata Allah beda Luna. Selama kita mau berusaha, pasti ada jalan. Yuk semangat, aku akan membantumu menjalani kemoterapi."Luna menatap Yohan nanar. Dokter telah menyampaikan, bahwa kanker stadium 4 tidak bisa disembuhkan, namun tetap harus menjalani pengobatan. Guna memperlambat penyebaran sel kanker juga meningkatkan kualitas hidup pasien.***Waktu terus
"Aduh."Selagi ciuman itu. Darren dikejutkan oleh Jihan yang tiba-tiba saja mengaduh, namun bibir Jihan justru tersenyum begitu menjauhkan wajah. Darren tentu saja nampak cemas dan mengelus wajahnya."Kenapa Sayang? Apa aku ada menyakitimu?"Jihan terkekeh. "Bukan. Tapi anak kita terasa menendang tadi."Kecemasan di wajah Darren pun hilang, digantikan dengan senyuman. "Sepertinya anak kita juga tak sabar ingin ditengok sama ayahnya."Jihan tersenyum. "Apa sih Mas? Bisa saja alasannya kalau lagi ingin."Perlahan Darren merebahkan dirinya di atas ranjang. Kemudian Darren menaiki tubuh Jihan amat ramah. Kancing bajunya dilepas cukup hati-hati juga."Mas, aku tidak akan hancur, meski pun kau tidak melakukannya dengan pelan," komennya.Mata Darren terangkat dan menatapnya kemudian tersenyum. "Baiklah."Bibir Jihan pun mengulas senyum saat Darren lebih bersemangat membuka bajunya. Bibir Darren mengecup kulit lehernya antusias. Jemari Jihan mengelus kepala suaminya dengan lembut.Kecupan Dar
Yohan terkekeh. "Orang? Memangnya di rumahku ada siapa Luna?"Mata Luna menjadi menyipit. "Bisa saja kan kalau kau membawa kekasihmu ke sini. Dan kalian bersenang-senang bersama."Mendengar hal itu, Yohan menarik napas. "Sejak dulu aku tak punya kekasih.""Yohan," sebut Luna kembali mendekati Yohan.Namun, sekretaris Darren itu langsung memegang kedua pundak Luna. Bukan untuk melanjutkan kegiatan ranjang, tapi mendorong tubuh Luna untuk duduk di sofa. Hal itu membuat Luna mengerutkan dahi."Yohan, kan aku meminta bantuanmu, kenapa malah menyuruhku duduk?"Yohan tersenyum miris. "Kau tahu Luna, apa yang terjadi jika sampai orang lain tahu. Tahu soal kejadian malam ini.""Aku berjanji tak akan bicara pada siapa pun. Aku hanya perlu hamil saja Yohan," ujar Luna terdengar bersikeras.Yohan menarik napas. Justru karena ada Darren dan Akio yang bersembunyi di ruang kerja. Jadi, Yohan tak bisa leluasa melakukan hal seperti itu pada Luna, ya meski hal itu terlarang."Pulanglah, aku akan menga
Mendapat pertanyaan itu, membuat Stella bergeming sejenak. Kemudian berusaha untuk tersenyum. Menjemput Aksa di negeri orang, dan menempatkan ke sisi Luna lagi. Itu artinya Stella akan benar-benar bermusuhan dengan Darren."Tentu saja, aku akan membawa Aksa kembali."Luna tersenyum. "Ya harus Bu. Karena anak ini butuh ayahnya."Stella sempat saling lirik dengan pembantu, kemudian mengajukan pertanyaan, "oh iya Nak. Cucuku ini sudah berapa minggu? Jika belum tahu, nanti aku akan memanggil dokter ke rumah."Luna nampak kaget sejenak mendengar penuturan dari Stella, kemudian Luna menjawab dengan segera, "sudah kok Bu. Aku diperiksa oleh dokter yang dipanggil dari luar. Katanya sudah 5 minggu."Stella mengulas senyum. "Begitu ya, ternyata penantian menunggu cucu lahir masih sangat lama. Butuh waktu kurang lebih 8 bulan lagi kan?"Kepala Luna mengangguk dan tersenyum ceria. Namun, begitu Stella menatap ke depan. Raut wajah Luna langsung berubah, sedikit kecemasan terlihat jelas di sana. Na
Luna perlahan mulai keluar dari kamar mandi. "Katakan pada mertuaku, kalau aku hamil."Petugas pun nampak mengerutkan dahi. "Sudah dipastikan memangnya? Bukankah lebih baik diperiksa dulu?"Luna berjalan pergi. "Cukup katakan saja padanya, aku akan memberimu banyak uang jika melakukannya."Petugas tersebut menarik napas mendengar Luna yang bersikeras, padahal belum tentu mengandung. Masalahnya orang yang akan diberi tahu adalah nyonya besar dari keluarga Gerald. Kalau salah informasi sedikit saja, maka kelar sudah hidup petugas itu.***Baru saja kembali ke rumah. Tapi, Darren dibuat kesal oleh Akio yang datang tiba-tiba. Dan memaksa supaya Darren serta Jihan kembali dari perjalanan. Namun, hal yang diberi tahukan oleh Akio justru membuat Darren semakin kesal."Si Luna dikabarkan mengandung," ujar Akio membuat Darren menghela napas."Bagaimana bisa hamil sih?"Jihan membantu Susan meletakkan minuman serta camilan di hadapan Akio. Sepertinya pembahasan mereka berdua cukup serius. Hingg
Jihan menggeliat dalam tidurnya, ketika jemari Darren memainkan bulu matanya. Jihan yang merasa tidurnya terganggu, langsung menyingkirkan tangan suaminya kemudian berbalik memunggungi. Darren terkekeh melihat Jihan yang masih ingin tidur.Tak berhenti sampai disitu. Jemari Darren mulai iseng dan meraba punggungnya, tanpa permisi tiba-tiba saja selimut disibak. Tentu Jihan menolehkan kepala dengan mata yang masih mengantuk berusaha dibuka untuk menatap tajam. Sementara tangan meraih selimut lagi untuk menutupi tubuh polosnya."Mas!" keluhnya.Darren tersenyum. "Masih ngantuk?""Masih."Jihan berbalik lagi. Mendekati Darren kemudian memeluk suaminya yang juga tak berbusana. Darren tersenyum dan tangan mulai berhenti menjahilinya. Jihan pun akhirnya bisa memulai tidurnya lagi."Meski kelihatan kecil perutnya, tapi ketika bertemu kerasa ganjel Jihan," gumam suaminya.Jihan malas meladeni suaminya dan hanya menjawab singkat, "iya."Darren mengerutkan dahi mendengar nada suara malasnya. "B
Sementara Jihan menemani Bella belajar di kamar. Bella sudah tak perlu tidur ditemani Susan lagi, pasalnya Jihan tak harus bersandiwara dan menemani Darren di rumah sakit lagi."Ma," sebut Bella membuatnya menatap."Ya Sayang, ada apa?""Wali kelas memberi tugas, untuk membuat karangan ketika jalan-jalan. Tapi, kita kan tidak pernah pergi bersama-sama seharian penuh ya Ma?" tanya Bella.Jika dipikir kembali. Memang benar, selama menikah. Darren hampir tak pernah mengajaknya mau pun Bella pergi jalan-jalan seharian penuh. Jihan pun tersenyum karena sepertinya mendapat kesempatan untuk menghirup udara segar. Bosan juga rasanya dikurung di rumah karena masalah Aksa dan Luna."Kapan tugasnya harus dikumpulkan?" tanya Jihan sembari mengelus kepala putrinya."Lusa.""Ya sudah, nanti malam mama bilang sama papa ya. Biar besoknya kita jalan-jalan dan pulangnya Bella bisa langsung mengerjakan tugas untuk diserahkan besoknya," ujarnya sembari tersenyum."Benar ya Ma? Yeay!"Sesuai permintaan Be
Jihan berusaha mengalihkan pandangannya dari ibu mertuanya. Alangkah baiknya memang Jihan berpura tidak tahu apa pun. Hanya perlu ikut menatap dalam diam perdebatan antara suaminya dengan Akio."Kenapa langsung nuduh tanpa bukti sih? Serius, aku mendengar kalau Ibumu berkata seperti itu," ujar Akio penuh semangat, kemudian mata melirik pada Stella, "bukankah begitu Nyonya Stella?"Lagi, Akio bertanya. Namun, kali tersebut Stella menatap pada Darren sekilas. Kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Akio soal kebohongan Darren sudah diketahui sejak awal. "Serius?" tanya Darren dengan wajah kaget.Kepala Stella mengangguk lagi. "Ya, ibu sudah tahu."Dan Stella pun menggunakan ibu untuk menyebut diri sendiri. Sorot mata Stella nampak sedih, begitu saling bertukar mata dengan sang anak. Darren sendiri hanya diam saja, sementara Jihan yang merasa pundak ibu mertuanya sedikit bergetar dan tak kuasa menahan emosi hingga berakhir dengan terisak. Jihan langsung mendekat dan memeluk pelan pun