"Marla babu! Bawain air hangat buat Yudha mandi!"
Teriakan seorang wanita paruh baya terdengar nyaring dari ruang tamu, membuat Marla yang saat itu sedang menyetrika pakaian terpaksa harus menghentikan aktivitasnya dan bergegas. “Lelet banget sih! Kalau dipanggil tuh langsung datang, jangan leha-leha!” “Maaf, Nyonya.” Makian dari ibu mertuanya hanya bisa membuatnya menganggukkan kepalanya. Marla tahu, tak peduli seberapa keras Marla memberikan pembelaan diri, ibu dari suaminya itu tetap akan menyalahkannya, dan akan semakin marah jika Marla melawan. Marla akhirnya bergegas, tergopoh-gopoh membawa air hangat menuju kamar mandi yang ada di lantai atas. Namun, belum sempat Marla masuk ke kamar mandi, Marla terpaksa menghentikan langkah kakinya kala tak sengaja mendengar suara aneh yang berselingan dengan suara percikan air dari kamar mandi. “Ah … Mas Yudha ….” Orang bodoh juga tahu, bahwa suara aneh itu adalah sebuah suara desahan wanita yang sedang berada di puncak kenikmatan. Tak hanya itu, Marla juga sadar, jika pintu kamar mandi sedikit terbuka, membuat Marla melihat terang-terangan perbuatan intim antara suaminya dan juga selingkuhannya. Detik itu juga, Marla amat terkejut, hingga dirinya tak sengaja menjatuhkan teko air panas ke lantai. Teko yang jatuh ke lantai menciptakan suara dentingan yang cukup keras, sehingga tak lama, ibu mertuanya dengan cepat menghampiri Marla yang masih menangisi apa yang baru saja dia saksikan. “Heh, dasar bodoh! Kerja gitu saja tidak becus! Diminta bawain air hangat buat Yudha, kamu malah jatuhin begitu aja!?” Makian dari ibu mertuanya seolah hanya menyebar ke udara, karena saat ini, Marla tak bisa berpikir atau menerima apapun, selain fakta bahwa suaminya sendiri, bersetubuh dengan wanita lain. “Ma-maaf, Nyonya, tapi .…” jawab Marla perlahan sembari tetap berusaha menahan tangis. “Tapi apa?!” “Mas Yudha .…” ucap Marla, jarinya menunjuk ke arah celah pintu kamar mandi di sampingnya. Tepat saat itu, Yudha dan selingkuhannya keluar dari pintu kamar mandi. Sang wanita dengan handuk kimono, sedangkan Yudha dengan handuk yang melekat di pinggangnya. Keduanya berjalan sembar tertawa kecil, seolah memamerkan kebahagiaan setelah apa yang mereka lakukan di kamar mandi. “Loh, Ma, kenapa ada di depan pintu?” tanya Yudha tak sedikitpun menunjukkan rasa bersalah. Pria itu justru menampilkan wajah berseri, seolah baru saja mendapatkan lotre hari itu. “Oooh, jadi bukannya nganter air hangat ke Yudha, kamu malah mengintip Yudha dan Kamilia? Dasar tidak tahu malu kamu, ya!” Mendengar ucapan dari ibu mertuanya, Marla kini sudah tak bisa menahan emosi yang membuncah di dadanya. Yudha adalah suaminya. Mengapa ibu mertuanya bertingkah seolah Yudha yang baru saja berselingkuh, bahkan bersetubuh dengan wanita lain, adalah hal yang normal? “Kamu jahat, Mas Yudha!” teriak Marla, mendorong bahu polos sang suami dengan sekuat tenaga. Marla merasakan amarah, kecewa, dan juga sedih yang bercampur menjadi satu. Dia tak percaya, suaminya bisa semudah itu selingkuh darinya. Marla juga merasa kecewa karena kepercayaannya kepada Yudha dan juga Kamilia disia-siakan begitu saja. “Dan kamu, Kamilia. Sebegitu mudahnya kamu menghancurkan pertemanan kita selama bertahun-tahun? Aku tak percaya kamu serendah itu.” Manik Marla kini menatap nyalang Kamilia, sahabatnya sejak ia tinggal di panti asuhan karena kehancuran perusahaan, dan kepergian keluarganya. Selama ini, Marla memang percaya begitu saja pada Kamilia yang berkali-kali datang ke kediaman mereka, dengan alasan Yudha yang selalu mengatakan ada urusan pekerjaan yang tak bisa dikerjakan di kantor. Tapi ternyata, semua hanya omong kosong. Keduanya berselingkuh, tepat di depan mata Marla. “Apa katamu?” Plak! Belum sempat Marla menjawab, tiba-tiba telapak tangan sudah mendarat di pipinya yang seketika memerah. “Beraninya kamu berucap seperti itu kepada Kamilia. Yang rendahan itu kamu, Marla!” Saat itu juga, Marla sudah tak mampu membendung air matanya yang sedari tadi ia tahan. Dia tidak peduli dengan rasa perih di pipinya, karena dia merasakan sakit di hatinya yang seakan dihancurkan berkeping-keping. ••••• "Mas Yudha?" Marla membuka mata, setengah sadar ketika merasakan beban di atas tubuhnya. Wanita itu mencoba mengingat memori beberapa jam sebelumnya, saat dia beragumen dengan sang suami, hingga menerima tamparan keras di pipi kanannya. Setelah itu, Marla lari, menangis sekeras mungkin hingga ia lelah dan tertidur. Kegelapan adalah satu-satunya hal yang menyapa penglihatannya di bawah deru nikmat yang perlahan merayap. Marla mengembuskan napas perlahan, mempertanyakan apakah mungkin sang suami menyesal? Hingga kini pria itu datang dan menginginkan hatinya kembali? "Mas? Apakah kamu akhirnya menginginkanku?" tanya Marla senada bisikan. Namun, tetap tak ada suara yang keluar dari bibir lawan bicaranya. Yang terdengar hanyalah suara kecupan bibir sang suami di leher, dan tubuh Marla. “Mas .…” Marla menahan desahannya agar tidak lolos. Dia takut apabila mengganggu tidur sang mertua yang kamarnya tak jauh dari kamar miliknya. Tak lama, Yudha langsung melucuti seluruh pakaian yang Marla kenakan. Bibir wanita itu dibungkam oleh ciuman panas yang memabukkan. Marla tidak mampu menolak, dia bergabung dalam permainan yang pria itu inginkan. Malam itu, Marla serasa berada di atas angin. Dia tidak pernah bercinta dengan Yudha hingga semenggairahkan ini. Dalam diam, Marla mengharapkan lebih. Akan tetapi, selepas satu permainan hebat, pria yang semula menindihnya itu terbaring lemah. "Mas Yudha, sebetulnya kamu masih mencintaiku kan?" Marla menambatkan pelukannya pada tubuh sang suami. Ciuman susulan kembali menghantam bibir manis Marla. Berlangsung selama lima degup jantung, pangutan tersebut terlepas dengan sendirinya. "Mas Yudha ...." Malam itu, merupakan malam paling indah yang sangat langka dalam hidup Marla. Dia berpikir, akhirnya pria itu luluh dan mau berhubungan dengannya lagi setelah sekian lama. Akan tetapi, Marla tidak menyadari bahwa dia akan bertemu dengan ombak paling ganas pada keesokan harinya.Byur!!! "Oh! Jadi serendah ini ya kamu, Marla? Karena putus asa ingin dimasuki, kamu malah berzina dengan pria lain!" Marla gelagapan. Secepat kilat menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya yang tak berlindungkan sehelai benang pun. Tangannya menggapai tubuh suami untuk membangunkannya, namun, Marla bingung, mengapa hanya ada dirinya di atas ranjang?Marla semakin panik kala melihat bahwa suaminya sendiri justru telah berdiri di ambang pintu kamar dengan tatapan dingin, membuat Marla tak mampu berkata-kata. Dia sendiri masih kepayahan mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Kamilia meninggikan dagu, berdiri di belakang Yudha dengan tatapan meremehkan. "Ternyata kamu tidak sepolos itu ya, Marla? Kemarin kamu yang menghina aku sebagai wanita rendahan, sekarang bagaimana?" Nyonya Besar tidak mau kalah, "Yudha? Lihat! Babu yang kamu pertahankan ini, sudah dikasih makan sama tempat tinggal, eh malah menjajakan dirinya ke pria lain.""Kamu membuktikan ucapanku kemarin, Marla. Ternyat
Melewati hari-hari dalam bayang-bayang dunia, akhirnya perpisahan itu tiba. Palu diketuk senyaring mungkin, seolah-olah mengabarkan kepada semut sekalipun jika Marla telah resmi bercerai dengan Yudha. Menggenggam erat pakaian yang dikenakan, Marla menahan diri agar tidak terlihat cengeng. Tidak! Dia sudah terlalu lama meratapi nasib demi mengharapkan kembali cinta mantan suaminya itu, padahal semua sangatlah tak berharga di mata Yudha. Keluar dari ruang persidangan, seseorang menjegalnya sehingga Marla jatuh tersungkur di hadapan banyak orang. Terdengar tawa angkuh yang berasal dari belakangnya. Tanpa perlu mendongak, Marla mengetahui siapa si pemilik suara. Kamilia bersedekap, mendengkus kasar melihat tampang menyedihkan Marla. "Lihatlah wajahmu sekarang ini, Marla! Kamu terlihat seperti babu yang kehilangannya tuannya." "Biarlah, Kamilia," Nyonya Besar datang dengan tatapan merendahkan yang senantiasa Marla dapatkan sejak dulu, "dia manusia lemah dan rendah. Wajar saja ka
"Apa-apaan!?" Pria di hadapannya itu tak kunjung menjawab pertanyaan Yudha. Justru, dia menghampiri Marla dan membantunya untuk berdiri. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya. Marla mengangguk tanpa suara, terpaku atas kedatangan pria tersebut. Namun, wanita itu bertanya-tanya dalam hati, siapa pria yang telah datang membantunya itu? Mengapa postur tubuhnya terlihat tidak asing? Memastikan Marla tidak kenapa-kenapa, pria itu berbalik menghadap Yudha beserta dua wanita di belakangnya. Dengan tatapannya yang dingin dan tajam, membuat orang di sekitar segan untuk mendekatinya. “Jangan main tangan pada wanita, terlebih wanita saya. Anda bukan siapa-siapanya sekarang, dan jika Anda melukainya, saya tak akan tinggal diam.”Suara bariton dan tegas itu seolah berhasil menyihir semua orang. Bahkan, Marla yang baru saja mendengar ucapan tak berdasar sang pria tak mampu mengatakan apapun. Namun, beberapa detik berikutnya, satu kata berputar di pikiran Marla. "Wanitaku?" Memangnya siapa pria
"Tidur ... seranjang ...." Marla menggigit bibir bawahnya gelisah. Masih menggenggam tas jinjing berisikan beberapa lembar pakaian yang ada, wanita itu melirik sisi lain ruangan yang menampilkan sang suami tengah sibuk melepas setelan kelabunya yang dipakai seharian ini. Dia memang sudah pernah melewati malam panas bersama Arjuna. Akan tetapi, waktu itu mereka seolah-olah saling tak sadarkan diri. Sekarang, dia telah resmi menjadi istri dari montir bernama Arjuna itu. Seharusnya, tidak masalah bila mereka tidur bersama. "Tenang saja," Arjuna membuka suara, "kamu bisa tidur di kamar, aku akan tidur di bawah.” Meski tak enak hati saat melihat Arjuna tertidur di bawah, setidaknya Marla mengetahui bahwa pria yang baru dinikahinya itu enggan berbuat macam-macam padanya. Diam-diam, Marla tidak bisa tertidur. Dia masih kewalahan untuk memercayai kenyataan baru yang dipikulnya sekarang ini. Padahal, dulu dia sempat berharap akan merajut masa depan yang indah bersama Yudha. Namun, kin
"Eh? Apa-apaan ini?! Siapa kalian?!"Bukan hanya Yudha dan Kamilia saja yang bingung. Bahkan, Marla menggapai tangan suaminya dengan penuh tanda tanya. Mengapa orang-orang bersetelan itu memanggil Arjuna dengan sebutan 'Tuan'?Marla memicingkan mata, menyadari jika orang-orang itu merupakan para saksi yang datang ke akad nikahnya kemarin. Dia ingin bertanya kepada Arjuna mengenai apa yang sedang terjadi. Meski sekelebatan, akad nikah yang berlangsung di KUA itu masih teringat jelas di kepala Marla.Akan tetapi, saat menoleh dia sempat memergoki Arjuna menggeleng ke arah empat pria bersetelan itu. Empat pria tersebut melempar pandang untuk beberapa saat, tetapi pada akhirnya mundur selangkah. "Nah! Saya mau tanya, apa maksud kalian tadi, hah?! Kenapa kalian malah mengelilingi saya dan suami saya seperti kami ini seorang kriminal?!" Kamilia masih meneruskan ocehannya, sedangkan diam-diam Yudha mengamati tautan tangan Arjuna dan Marla yang begitu erat. Terdapat setitik kekesalan yang b
Keesokan harinya, Marla terbangun lebih lambat dari biasanya. Begitu menilik kasur lipat milik sang suami yang berada di bawahnya, Arjuna sudah tidak ada di sana. Entah ke mana perginya, suaminya tidak meninggalkan pesan apa pun.Akan tetapi, Marla juga tidak bisa bersantai. Dia harus pergi bekerja ke toko roti tempatnya bekerja dulu. Iya, diam-diam sudah meminta tolong pada sang pemilik untuk memberikan cuti menikah selama sepekan. Sekarang, waktu berliburnya sudah habis dan dia harus bekerja lagi.Sebelum meninggalkan rumah, Marla sempat memasak sebentar sebisanya. Kemudian, wanita itu bergegas menaiki kendaraan umum menuju Toko Roti Sunny. "Aduh! Lihatlah! Jam berapa ini, La?!"Datang-datang, Marla langsung mendapatkan omelan dari sang pemilik—Bu Sani. "Maaf, Bu. Kebetulan sa—""Halah! Saya tidak terima alasan apa pun ya?! Ingat! Kamu yang memaksa untuk meminta diterima bekerja di sini dengan gaji yang sudah disepakati. Kalau kamu mau gaji yang kamu inginkan itu tidak melayang, m
"Jangan!"Belum genap berjongkok, tahu-tahu saja sebuah tangan menarik Marla untuk berdiri. Wanita itu tersentak, lantas terperangah saat mendapati sang suami telah berdiri di sampingnya. "Apa yang Anda lakukan? Bukankah sudah saya bilang, siapa saja yang berani bermacam-macam dengan saya atau dengan Marla akan merasakan akibatnya?" tukas Arjuna.Masih dengan seragam montir yang melekat, tatapan tegas Arjuna menghunjami sosok Kamilia dan Bu Sani secara bergantian.Kamilia mendecih, "Konyol sekali! Memangnya apa yang akan kamu lakukan? Kamu tidak melihat apa yang kamu pakai ini, hah? Kamu itu hanya seorang montir! Montir rendahan sepertimu tidak berhak berkata seperti itu!""Oh, jadi kamu suaminya Marla?" Bu Sani berseru tak senang. "Apa yang kamu lakukan, hah? Tidak tahukah kalau toko ini kekurangan pelanggan? Kedatangan Mbak Kamilia ini adalah satu-satunya jalan keluar supaya toko ini bisa mendapat pemasukan. Lalu, dengan seenaknya kamu mau mengancam Mbak Kamilia?""Maaf, Bu, tapi p
"Wah, lihat siapa yang datang!"Arjuna dan Marla baru saja memasuki ballroom tempat resepsi pernikahan Yudha dan Kamilia dilangsungkan. Namun, sebuah suara menghalau langkah pasangan tersebut. Tanpa perlu menoleh, siapa pun mengetahui siapa sang pemilik suara.Nyonya Besar—mantan mertuanya yang bernama Nyonya Selvi—mendekat dengan tangan terlipat di depan dada. Tatapan angkuhnya seakan-akan kembali membawa Marla pada hari-hari menyedihkan di kediaman Anugerah.Sebagai bentuk kesopanan yang tersisa, Arjuna dan Marla mengangguk sekilas. Nyonya Selvi mendecih, sebetulnya malas untuk berhadapan dengan keduanya, tetapi menyenangkan sekali mempermalukan mantan menantunya itu."Lihatlah, Marla!" titah Nyonya Selvi sembari mengarahkan dagunya ke arah pukul dua–di mana Yudha dan Kamilia sedang menyapa tamu lain. Marla menurut, menengok pelan. "Yudha dan Kamilia adalah pasangan yang cocok. Jujur saja, aku menyesal sudah memberikan Yudha izin untuk menikahimu dulu. Padahal, kalau tidak kuberikan
Perkataan Yudha membuat tiga kepala yang mengitarinya terkejut. Jangankan Arjuna ataupun Marla, bahkan Kamilia yang saat ini berstatus sebagai istri barunya pun terperanjat."Yudha! Apa-apaan kamu! Kenapa kamu ma—""Diam, Kamilia! Aku tidak membutuhkan pendapatmu."Kamilia membelalak, "apa, Yudha? Kamu tidak membutuhkan pendapatku? Aku ini istrimu! Istrimu yang sekarang! Kenapa kamu—""Diam!"Kamilia mengatupkan bibir rapat-rapat, menggeram pelan dengan kedua tangan mengepal hingga buku-buku jari wanita itu memutih.Sementara itu, Arjuna membuka suara meskipun dia juga telah berusaha untuk menahan amatah. Sebab siapa pun mengetahui bahwa yang Yudha ucapkan tadi sangatlah tidak masuk akal."Tuan Yudha, sepertinya Anda membutuhkan udara segar, karena berbicara Anda sudah tidak beraturan seperti itu." Sarkasnya, sembari menggenggam tangan Marla begitu erat—enggan melepasnya walau sedetik.Marla sendiri tidak mampu mempercayainya. Bisa-bisanya Yudha berkata demikian? Selepas seluruh sakit
Baik Arjuna maupun Marla tidak ada yang senang atas kedatangan pasangan tersebut. Bahkan, yang membuat Arjuna bertanya-tanya, mengapa Yudha dan Kamilia berani menampakkan diri di resepsi pernikahan Mahagana yang menjadi tempat pria itu untuk meminjam uang?Sepertinya ada yang tidak beres dengan jalan pikiran Yudha dan Kamilia.Kamilia dengan santainya mengambil duduk di samping Arjuna, seolah-olah mereka cukup dekat. Padahal, Yudha mengamati Kamilia dengan kening berkerut. Tadinya Yudha ingin menegur Kamilia, tetapi Arjuna telah membuka suara terlebih dahulu."Seingat saya, Sherry tidak mengundang kalian untuk datang ke sini, Tuan Yudha dan Nona Kamilia."Senyum Kamilia luntur dalam sekejap mata, sebelum berdeham dan kembali meninggikan dagu, jelas tidak mau kalah."Siapa bilang? Yang mengundang kami adalah keluarga sang mempelai pria, keluarga Mahagana." Elak Kamilia, yang tentunya cuma sekadar membual.Arjuna menggeleng lelah. Padahal, dia tahu sendiri bahwa keluarga Mahagana enggan
Marla menoleh ke arah yang Sherry tuju. Manik mata wanita itu langsung mengenali pasangan paruh baya yang tidak asing. Mengetahui keberadaan Marla, pasangan tersebut pun tersenyum lebar ke arahnyq.Sherry menyapa pasangan tersebut, "selamat datang, Tuan Soni Purnama dan Nyonya Almira Purnama. Kalian berdua sudah jauh-jauh datang dari luar kota sampai ke sini. Silakan menikmati hidangan yang ada, Tuan dan Nyonya Purnama. Terima kasih sudah mau menyempatkan waktunya untuk datang ke resepsi pernikahan ini."Almira Purnama tersenyum kalem. Menyelamati Sherry atas pernikahan wanita itu, lalu tatapan Almira jatuh kepada sosok Marla yang berdiri tenang dengan senyum simpulnya."Suatu kebetulan, kita bertemu lagi di sini, Mbak." Almira mengulurkan tangan, yang langsung dijabat oleh Marla secepat mungkin. "Ah, iya, suatu kebetulan, Nyonya Almira Purnama. Benar? Maafkan saya kalau saya salah menyebut nama Nyonya." Kata Marla.Almira Purnama terkekeh pelan, senyum keibuannya membuat hati Marla
Menempuh dua jam perjalanan, akhirnya seluruh rombongan Wirajaya datang ke kota tujuan. Mereka langsung disambut apik oleh pihak bandara. Bahkan, Marla berusaha untuk tidak menganga saat dia mendapatkan dua lanjur barisan pengawal dalam perjalanan menuju keluar area bandara.'Astaga, sudah mengalahi para artis saja! Tapi, mengingat betapa besar kekayaan Wirajaya, sepertinya wajar-wajar saja kan?'Arjuna menoleh ke arahnya, melingkarkan salah satu lengan pria itu pada pinggang Marla. "Jangan jauh-jauh, Marla. Nanti kalau ada yang menculikmu, bagaimana? Pastinya aku tidak bisa tenang barang sedetik pun."Marla mengulum senyum. "Mas, aku bukan seorang anak kecil lagi. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagi pula, pengawal yang kelewat banyak ini pastinya juga akan melaksanakan tugas mereka dengan baik saat mengetahui ada yang aneh, 'kan?""Iya, memang benar," lanjut Arjuna, "tapi tetap saja, apakah seorang suami tidak boleh mencemaskan keselamatan istrinya sendiri? Pokoknya, kamu harus dek
Aneh.Arjuna belum pulang, bahkan ketika jarum jam menunjukkan angka sepuluh pada malam hari. Marla menggigit bibir bawahnya gelisah, mondar-mandir di ruang tamu."Apakah terjadi sesuatu terhadap Mas Arjuna? Kalau pulang telat, pastinya Mas Arjuna akan memberi tahu, mengirimiku pesan. Tapi, sudah jam segini, Mas Arjuna tidak memberi kabar apa pun."Marla mendudukkan diri di sofa, menarik napas perlahan sembari menepis berbagai asumsi yang kerap muncul di saat yang tidak tepat."Aduh! Ada apa denganku? Kenapa aku selalu berpikiran yang tidak-tidak belakangan ini?" Baru saja wanita itu menutup mata untuk menenangkan diri, tahu-tahu saja suara pintu gerbang utama terdengar tengah dibuka oleh sang satpam. Dengan sigap, Marla beranjak, melangkah ke teras rumah.Tampak lelah, Arjuna keluar dari mobil. Ketika pria itu mendongak dan bertemu tatap dengan sang istri, kening Arjuna berkerut heran. "Marla? Kamu belum tidur? Sudah jam segini."Marla menyalami sang suami, mencium punggung tangan p
"Karena Pak Hindrawan tidak bisa datang, lebih baik kita pergi saja, Julie. Bagaimana?"Pertanyaan Arjuna mengalihkan fokus Julie, yang sebelumnya terpatri pada tablet yang berada pada genggaman. Julie melirik jam tangan, lantas mengangguk pasrah."Yah, memang lebih baik kita pergi dari sini. Maaf karena sudah membawa Tuan Muda jauh-jauh ke sini, tapi tidak sampai bertemu dengan Pak Hindrawan." Julie menunduk sekilas sebagai permintaan maaf.Arjuna mengibaskan tangan, "tidak masalah. Mungkin beliau memang berhalangan hadir karena suatu hal yang lebih penting. Omong-omong, kenapa Pak Hindrawan tidak sekalian menghubungi saya saja? Pastinya terlalu berbelit-belit kalau menghubungimu terlebih dahulu, Julie.""Saya sendiri juga tidak tahu, Tuan Muda. Yang pasti, beliau membuat janji tepat sore kemarin, saat bertamu di kediaman utama. Tuan Besar menyuruh saya untuk melakukan reservasi di restoran ini. Saya mau memberi tahu Tuan Muda semalam, tetapi saya sendiri masih mengurus beberapa berk
Tidak berbeda jauh dengan Arjuna, Marla sendiri terus mengumbar senyum yang kelewat ramah pada para pembeli di Toko Roti. Bu Sani dan para junior-nya saling melempar pandang, tetapi mereka memutuskan untuk tidak mempertanyakannya secara langsung ke hadapan Marla."Marla," panggil Bu Sani pelan, "beristirahatlah! Sedari tadi kamu terus yang melayani pembeli. Bahkan, kamu tidak memberi kami kesempatan untuk melayani mereka.""Ah ...." Marla meringis.Memang benar, dia tidak berhenti melayani pembeli. Namun, dia sendiri juga tidak mengetahui alasannya. Apakah karena semalam dia dan sang suami baru saja lebih terbuka? Serta, rasanya dia tidak merasa lelah sama sekali.Mau mondar-mandir sampai tahun depan juga rasanya tidak masalah. Marla sanggup-sanggup saja. Namun, yang dikatakan Bu Sani memang benar. Dia harus beristirahat, membiarkan para junior-nya melayani pembeli yang lain, jadi tidak terkesan sebagai pajangan saja."Baiklah, Bu, saya akan—""Selamat siang, Ipar!"Marla tersentak sa
Marla mondar-mandir di depan pintu kamar mandi dalam balutan jubah mandi. Wanita itu dilanda gugup, cemas, antisipasi, semuanya bercampur aduk. Kenapa bisa setiba-tiba ini?"Seharusnya tidak ada masalah kan? Mas Arjuna itu suamiku, dan aku istrinya—tapi ... kenapa aku bertingkah seperti perawan yang baru mau melakukan malam pertama?"Wanita itu menggigit bibir bawahnya, bergerak bak setrika. Arjuna sudah menunggu di kamar mandi, mungkin telah menantinya di dalam bak mandi. Marla sudah bisa membayangkan betapa intim suasana di kamar mandi. Dengan Arjuna yang telah menantinya tanpa busana, bersandar pada dinding porselen bak mandi dengan tubuh yang kekar dan tegap.Marla merasakan pipinya memanas. Tanpa perlu bertanya lagi, dia tahu apa yang akan terjadi sesaat setelah dia memasuki kamar mandi. Tentunya bukan sekadar mandi biasa.Akan tetapi, dia tidak mungkin menghindar dan lari begitu saja dengan berbagai macam alasan. Kalau dipikir-pikir, ini memang sudah waktunya bagi mereka untuk
Secepat kilat, Marla mundur. Revan menaikkan satu alisnya, terkekeh sebelum menarik tangan kembali ke sisi tubuh pria itu."Ah, sepertinya ipar saya yang satu ini tidak menyukai kedekatan antara saudara ipar ya? Tidak masalah, saya tidak akan memaksamu, Marla."Revan menyampirkan lengannya pada pundak wanita yang bersamanya. Pria itu tersenyum timpang, kembali mengamati penampilan Marla untuk yang kedua kalinya.Tidak mau membiarkan Revan berada di sana sesiangan penuh, Marla bergegas mengemas roti yang pria itu beli—dengan setengah hati. Siapa pun bisa melihatnya. Revan hanya 'sekadar' membeli tanpa mengetahui apa yang dibelinya barusan."Ini. Pembayarannya bisa langsung di kasir, silakan! Terima kasih atas kunjungannya, Revan."Revan mengangguk singkat, kemudian berlalu ke kasir bersama wanita yang masih betah bergelayut manja padanya. Sementara itu, Kamilia bersedekap tak senang. Melihat bagaimana cara Revan berinteraksi dengan Marla barusan, kembali memunculkan rasa iri yang mengg