Keesokan harinya, Marla terbangun lebih lambat dari biasanya. Begitu menilik kasur lipat milik sang suami yang berada di bawahnya, Arjuna sudah tidak ada di sana. Entah ke mana perginya, suaminya tidak meninggalkan pesan apa pun.
Akan tetapi, Marla juga tidak bisa bersantai. Dia harus pergi bekerja ke toko roti tempatnya bekerja dulu. Iya, diam-diam sudah meminta tolong pada sang pemilik untuk memberikan cuti menikah selama sepekan. Sekarang, waktu berliburnya sudah habis dan dia harus bekerja lagi. Sebelum meninggalkan rumah, Marla sempat memasak sebentar sebisanya. Kemudian, wanita itu bergegas menaiki kendaraan umum menuju Toko Roti Sunny. "Aduh! Lihatlah! Jam berapa ini, La?!" Datang-datang, Marla langsung mendapatkan omelan dari sang pemilik—Bu Sani. "Maaf, Bu. Kebetulan sa—" "Halah! Saya tidak terima alasan apa pun ya?! Ingat! Kamu yang memaksa untuk meminta diterima bekerja di sini dengan gaji yang sudah disepakati. Kalau kamu mau gaji yang kamu inginkan itu tidak melayang, mulai sekarang kamu harus datang lebih awal dari biasanya!" "Tapi—" "Cepat! Perlihatkan album kue yang sebelumnya kamu simpan itu!" titah Bu Sani. Merasa harus lekas mengambil langkah pasti, Marla bergegas menyimpan tasnya di balik meja kasir. Dari dulu sampai sekarang, Toko Roti Sunny tidak banyak berubah. Terkadang sepi, terkadang ramai. "Sebentar lagi, akan ada orang yang memesan kue dalam jumlah banyak, Marla. Sebagai senior di sini, tunjukkan kepada dua juniormu bagaimana caranya meladeni pelanggan. Saya tidak mau ada kekeliruan sedikitpun! Jangan sampai ikan yang satu ini lepas! Mengerti?" "Mengerti, Bu." Selagi merapikan penampilan, Marla mempersiapkan album foto yang berisikan bermacam-macam kue buatan Toko Roti Sunny yang pernah dibuat pada waktu-waktu sebelumnya. "Oh, selamat datang, Mbak! Mari, masuk!" Tadinya wanita itu bertekad untuk melayani pelanggan yang sangat dinanti-nanti oleh Bu Sani dengan sepenuh hati. Namun, saat melihat siapa yang disapa oleh Bu Sani barusan, senyum Marla memudar. Kamilia. Mantan sahabat, pelakor, serta kini menjadi calon istri dari Yudha, sengaja datang ke tempatnya bekerja. Tentu saja, siapa pun bisa mengetahui motif utama Kamilia datang ke tempat tersebut. Membeli kue dalam jumlah banyak hanyalah kedok. Kamilia memang enggan membiarkannya hidup tenang. "Kenapa kamu ke sini?" tanya Marla dengan tatapan tajamnya. "Oh?" Kamilia terkekeh. "Beginikah caramu bekerja, Marla? Pelayanan macam apa ini? Kenapa bisa orang rendahan sepertimu bertanya seperti itu padaku, Marla?" "Marla!" Bu Sani melotot, yang mana membuat Marla gusar. Marla mendengkus kasar. "Baiklah, mau beli apa?" "Duh! Tidak sopan sekali! Aku jadi malas membeli kue di sini, padahal rencananya aku mau membeli sepuluh buah kue untuk dibagikan kepada seluruh keluarga besar di hari pernikahanku nanti." Celetuk Kamilia, sengaja mengundang kekesalan. "Marla! Bersikaplah yang baik!" desak Bu Sani. Kedua tangan Marla mengepal. Sepertinya dia harus mencari kerja di tempat lain saja. Persetan dengan kebaikan kecil yang mungkin dilayangkan Bu Sani padanya suatu hari nanti. Dia hanya menginginkan kedamaian. 'Kenapa Kamilia sengaja datang ke sini sekarang? Kenapa bukan kemarin saja? Astaga, dia niat sekali tidak mau melepaskanku sama sekali.' "Kok diam?" Kamilia memiringkan kepala. "Apakah kamu mendadak jadi bisu, Marla?" Marla mendongak perlahan-lahan. "Oh iya, aku lupa bertanya. Bagaimana dengan pernikahan barumu bersama montir rendahan itu? Kamu pikir aku tidak tahu? Dia itu montir yang biasanya memperbaiki mobilnya Yudha kan? Oh, ternyata memang benar, kamu sudah berselingkuh dengannya jauh-jauh hari," cetus Kamilia. "Jaga mulutmu, Kamilia! Yang rendahan itu kamu! Selama ini menjadi sahabatku, tapi ternyata mengincar Mas Yudha. Pelacur!" Plak! "Marla! Apa-apaan kamu ini?! Kenapa sikapmu tidak sopan sama sekali, hah?! Seharusnya kamu berterimakasih karena saya masih mau menerima kamu bekerja di sini. Tapi inikah balasannya?!" Marla memegang pipinya yang terasa perih akibat tamparan dari Bu Sani. Sementara itu, Kamilia bergeming dengan rahang mengeras. Tentu wanita itu tidak terima, serta ingin sekali membalas ucapan Marla. Namun, Kamilia harus menahannya. Setidaknya, Bu Sani sudah menampar Marla tanpa harus diperintah. Tiba-tiba saja, terlintas satu ide dalam benak Kamilia. "Cih! Toko macam apa ini? Maaf, Bu, sepertinya saya tidak jadi memesan kue di sini. Pelayanannya mengerikan sekali, malahan berani mengata-ngatai pelanggan pula," ujar Kamilia, hendak berbalik pergi. "Aduh, Mbak! Saya mohon dengan sangat, mewakili pegawai saya yang satu ini, saya minta maaf dengan sebesar-besarnya, Mbak. Dan tolong ... pesanannya tidak jadi dibatalkan ya?" pinta Bu Sani memelas. "Tidak jadi dibatalkan? Hm, boleh, tapi dengan satu syarat!" "Apa syaratnya, Mbak? Saya akan melakukannya!" "Bukan Bu Sani yang melakukannya, tapi Marla—" Kamilia menyeringai, menampilkan tatapan bengisnya kepada Marla. "—harus dia yang melakukannya." Firasat Marla sudah tidak baik. "Oh, baik, Mbak. Kalau begitu, Marla harus melakukan apa supaya Mbak Kamilia tidak jadi membatalkan pesanan di sini?" tanya Bu Sani penuh semangat. Kamilia mengedar pandang, kemudian mengambil sebuah roti yang telah terpajang rapi di salah satu rak. Tanpa perasaan, roti tersebut dilempar ke tanah, lalu heels setinggi sepuluh sentimeter itu turut menginjak-injaknya. "Makan!" "Ha? A-apa?" Bu Sani turut kebingungan. Namun, tatapan kejam Kamilia masih terpaku pada sosok Marla. "Kamu tidak mendengarnya, Marla? Makan! Makan roti ini, maka aku akan mengampunimu dan memesan kue dua kali lipat di toko ini." Bu Sani terperangah. Tidak peduli dengan perasaan Marla, justru memberi tanda untuk mendekat dan memakan roti berisi selai stroberi yang hancur lebur di samping kaki Kamilia itu. Marla menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Dia benci menjadi selemah ini. Namun, dia memang tak memiliki kekuasaan apa pun. Kalau dia menuruti perintah Kamilia, tentunya Bu Sani akan sangat senang. Bisa saja, dia mendapatkan tambahan dari aksi menggelikannya itu. Hanya saja, haruskah dia memakannya? "Ayo! Tunggu apa lagi? Makan!" Marla menarik napas dalam-dalam. Tungkainya hendak bergerak untuk melakukan apa yang Kamilia mau. "Cepat makan! Waktuku tidak banyak!" Dengan mata berkaca-kaca, Marla berhadapan dengan Kamilia. "Ck! Ayo cepat! Ma—" "Jangan!" •••••"Jangan!"Belum genap berjongkok, tahu-tahu saja sebuah tangan menarik Marla untuk berdiri. Wanita itu tersentak, lantas terperangah saat mendapati sang suami telah berdiri di sampingnya. "Apa yang Anda lakukan? Bukankah sudah saya bilang, siapa saja yang berani bermacam-macam dengan saya atau dengan Marla akan merasakan akibatnya?" tukas Arjuna.Masih dengan seragam montir yang melekat, tatapan tegas Arjuna menghunjami sosok Kamilia dan Bu Sani secara bergantian.Kamilia mendecih, "Konyol sekali! Memangnya apa yang akan kamu lakukan? Kamu tidak melihat apa yang kamu pakai ini, hah? Kamu itu hanya seorang montir! Montir rendahan sepertimu tidak berhak berkata seperti itu!""Oh, jadi kamu suaminya Marla?" Bu Sani berseru tak senang. "Apa yang kamu lakukan, hah? Tidak tahukah kalau toko ini kekurangan pelanggan? Kedatangan Mbak Kamilia ini adalah satu-satunya jalan keluar supaya toko ini bisa mendapat pemasukan. Lalu, dengan seenaknya kamu mau mengancam Mbak Kamilia?""Maaf, Bu, tapi p
"Wah, lihat siapa yang datang!"Arjuna dan Marla baru saja memasuki ballroom tempat resepsi pernikahan Yudha dan Kamilia dilangsungkan. Namun, sebuah suara menghalau langkah pasangan tersebut. Tanpa perlu menoleh, siapa pun mengetahui siapa sang pemilik suara.Nyonya Besar—mantan mertuanya yang bernama Nyonya Selvi—mendekat dengan tangan terlipat di depan dada. Tatapan angkuhnya seakan-akan kembali membawa Marla pada hari-hari menyedihkan di kediaman Anugerah.Sebagai bentuk kesopanan yang tersisa, Arjuna dan Marla mengangguk sekilas. Nyonya Selvi mendecih, sebetulnya malas untuk berhadapan dengan keduanya, tetapi menyenangkan sekali mempermalukan mantan menantunya itu."Lihatlah, Marla!" titah Nyonya Selvi sembari mengarahkan dagunya ke arah pukul dua–di mana Yudha dan Kamilia sedang menyapa tamu lain. Marla menurut, menengok pelan. "Yudha dan Kamilia adalah pasangan yang cocok. Jujur saja, aku menyesal sudah memberikan Yudha izin untuk menikahimu dulu. Padahal, kalau tidak kuberikan
"A-ayah?"Seluruh kepala yang berada di ballroom terkejut. Kehadiran keluarga Wirajaya yang terkenal saja sudah menimbulkan kegemparan, apalagi dengan kenyataan bahwa anak pertama dari sosok Aryo Wirajaya terlihat di depan mata.Arjuna Wirajaya.Selama ini, eksistensinya masih berupa misteri lantaran tak pernah membersamai Aryo ataupun mewakili pria tua itu dalam beberapa kesempatan. Namun, sekarang orang-orang melihatnya secara langsung. Sang ibu serta saudara tirinya memberikan tatapan kesal, sebab kedatangan Arjuna juga tidak mereka prediksikan. Tapi mau tak mau, Lita menyapa anak tirinya itu dengan senyum yang dibuat-buat."Tidak Ibu sangka, kamu datang ke sini juga, Jun." Lita mendekat, turut memandangi sosok Marla yang mematung. Wanita itu masih kepayahan mencerna apa yang terjadi. "Dia istrimu? Kenapa kamu tidak pernah bercerita tentang pernikahanmu pada kami? Kalau kamu cerita, pastinya kami semua akan datang dan memeriahkan pernikahan kalian."Arjuna mendengkus malas. Ibu ti
Sementara itu, ballroom masih dihuni oleh ketegangan yang menguar akibat kedatangan keluarga Wirajaya. Yudha berusaha membujuk Aryo dengan cara menunggu selama beberapa saat, sedangkan sekretaris pria itu kelimpungan mengambil salinan kerja sama yang ditujukan terhadap PT. Wira Cahaya.Akan tetapi, diakibatkan oleh keputusan yang Arjuna canangkan tadi, Aryo jadi malas untuk bertamu dan ingin lekas pulang. Di sisi lain, Lita dan anaknya sedang dibujuk oleh Fandi Anugerah beserta sang istri—Selvi. "Nyonya Lita, saya mohon, bantu keluarga saya ya? Mungkin Tuan Aryo akan berubah pikiran setelah melihat rancangan kerja sama yang anak saya buat." Sembari menggenggam tangan Lita, Selvi berharap istri kedua dari Aryo Wirajaya itu mau membantu keluarganya.Fandi sendiri tidak bisa mengatakan apa pun, lantaran sosok Aryo Wirajaya memang mempunyai watak yang kelewat keras dan tegas. Lita mendengkus malas. "Masalahnya, saya sendiri tidak punya hak untuk membantu Mas Aryo agar mau membaca lemba
"Kita akan pindah?"Marla bertanya dengan mata membulat sempurna. Masih berdiri di ambang pintu rumah sempit yang selama dua pekan ini telah menjadi rumah barunya. Wanita itu menganga, seolah-olah pemberitahuan Arjuna mengenai pindah rumah sama seperti mendengar meteor akan jatuh tepat di atas kepalanya.Arjuna yang melepas setelan terluarnya, menoleh dengan kening berkerut. "Kenapa? Apa ... ada yang salah?"Sebenarnya tidak ada yang salah. Hanya saja, semuanya masih terlalu menyilaukan bagi Marla untuk dicerna. Suaminya beserta keluarganya merupakan keluarga sultan. Betapa besarnya beban baru yang berada pada pundak Marla saat ini.Mengerti bahwa sang istri masih kepayahan beradaptasi, Arjuna mendekat. "Kenapa, Marla? Ada yang mau kamu bicarakan? Bicara saja, aku akan mendengarnya," tawar pria itu.Marla duduk di kursi plastik yang mereka letakkan di ruang tamu. Wanita itu memberi tanda bagi Arjuna untuk turut duduk, yang mana langsung dituruti."Kenapa kamu menyembunyikan semua ini
Kenapa?Kenapa permintaan Arjuna seperti itu?Apakah Arjuna mempunyai perasaan terhadapnya sehingga permintaannya berupa balasan cinta dari seorang istri kepada suaminya?Menyadari jika Marla masih belum bisa menerima semuanya—termasuk dengan permintaan mendadak tadi, Arjuna memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah lamanya itu."Mas, sebentar," Marla mencekal lengan sang suami. "Utang.""Hm?"Marla melirik sekitar, para tetangga telah berdiri di depan rumah masing-masing sejak dia keluar dari rumah tadi. Tentunya, mereka penasaran dengan mobil yang Arjuna kendarai saat ini."U-utang, katanya kamu sering utang di warung. Apa kamu sudah membayarnya?"Genap tiga detik, Arjuna terdiam lalu melayangkan tawa kecilnya. Tangan kanan pria itu terulur untuk mengacak puncak kepala Marla, merasa gemas."Tenang saja, Julie sudah membayarnya. Tapi, terima kasih sudah mengingatkan suamimu ini. Sekarang, ayo! Kita pergi!"Genggaman tangan Arjuna yang menarik Marla untuk memasuki mobil, membuat darah
Marla berdiri di ambang pintu kamar mandi, mengamati Arjuna yang telah terlelap di sisi lain ranjang terlebih dahulu selepas makan malam. Mungkin, suaminya itu memang kelewat lelah. Perlahan-lahan, sepasang tungkainya mendekat dengan napas tertahan. Dia tidak ingin membangunkan Arjuna barang sedetikpun. Terlebih, dia akan menempatkan diri di sisi pria itu. Walaupun Marla menyadari bila Arjuna sudah menempatkan sebuah guling sebagai pembatas di antara mereka saat tidur nanti.Wanita itu mengembuskan napas begitu berbaring di samping sang suami. Menutup mata, dia berharap bisa lekas pergi ke alam mimpi. Namun, suara Arjuna mengejutkannya hingga nyaris jatuh berguling."Akh!"Kini, posisi keduanya kian dekat. Lengan kiri Arjuna melingkari perut Marla, menahannya supaya tidak terjatuh. Lalu, tatapan pria itu menusuk tetapi penuh kelembutan.Marla menelan ludah susah payah. 'Jantung, tolong jangan kelewatan!'"Ma-maaf, kamu terkejut ya?" Arjuna melepaskan lingkaran lengan kirinya pada Mar
"Marla babu! Bawain air hangat buat Yudha mandi!" Teriakan seorang wanita paruh baya terdengar nyaring dari ruang tamu, membuat Marla yang saat itu sedang menyetrika pakaian terpaksa harus menghentikan aktivitasnya dan bergegas. “Lelet banget sih! Kalau dipanggil tuh langsung datang, jangan leha-leha!” “Maaf, Nyonya.” Makian dari ibu mertuanya hanya bisa membuatnya menganggukkan kepalanya. Marla tahu, tak peduli seberapa keras Marla memberikan pembelaan diri, ibu dari suaminya itu tetap akan menyalahkannya, dan akan semakin marah jika Marla melawan. Marla akhirnya bergegas, tergopoh-gopoh membawa air hangat menuju kamar mandi yang ada di lantai atas. Namun, belum sempat Marla masuk ke kamar mandi, Marla terpaksa menghentikan langkah kakinya kala tak sengaja mendengar suara aneh yang berselingan dengan suara percikan air dari kamar mandi. “Ah … Mas Yudha ….” Orang bodoh juga tahu, bahwa suara aneh itu adalah sebuah suara desahan wanita yang sedang berada di puncak kenikma