Share

07. Toko Roti

Keesokan harinya, Marla terbangun lebih lambat dari biasanya. Begitu menilik kasur lipat milik sang suami yang berada di bawahnya, Arjuna sudah tidak ada di sana. Entah ke mana perginya, suaminya tidak meninggalkan pesan apa pun.

Akan tetapi, Marla juga tidak bisa bersantai. Dia harus pergi bekerja ke toko roti tempatnya bekerja dulu. Iya, diam-diam sudah meminta tolong pada sang pemilik untuk memberikan cuti menikah selama sepekan. Sekarang, waktu berliburnya sudah habis dan dia harus bekerja lagi.

Sebelum meninggalkan rumah, Marla sempat memasak sebentar sebisanya. Kemudian, wanita itu bergegas menaiki kendaraan umum menuju Toko Roti Sunny.

"Aduh! Lihatlah! Jam berapa ini, La?!"

Datang-datang, Marla langsung mendapatkan omelan dari sang pemilik—Bu Sani.

"Maaf, Bu. Kebetulan sa—"

"Halah! Saya tidak terima alasan apa pun ya?! Ingat! Kamu yang memaksa untuk meminta diterima bekerja di sini dengan gaji yang sudah disepakati. Kalau kamu mau gaji yang kamu inginkan itu tidak melayang, mulai sekarang kamu harus datang lebih awal dari biasanya!"

"Tapi—"

"Cepat! Perlihatkan album kue yang sebelumnya kamu simpan itu!" titah Bu Sani.

Merasa harus lekas mengambil langkah pasti, Marla bergegas menyimpan tasnya di balik meja kasir. Dari dulu sampai sekarang, Toko Roti Sunny tidak banyak berubah. Terkadang sepi, terkadang ramai.

"Sebentar lagi, akan ada orang yang memesan kue dalam jumlah banyak, Marla. Sebagai senior di sini, tunjukkan kepada dua juniormu bagaimana caranya meladeni pelanggan. Saya tidak mau ada kekeliruan sedikitpun! Jangan sampai ikan yang satu ini lepas! Mengerti?"

"Mengerti, Bu."

Selagi merapikan penampilan, Marla mempersiapkan album foto yang berisikan bermacam-macam kue buatan Toko Roti Sunny yang pernah dibuat pada waktu-waktu sebelumnya.

"Oh, selamat datang, Mbak! Mari, masuk!"

Tadinya wanita itu bertekad untuk melayani pelanggan yang sangat dinanti-nanti oleh Bu Sani dengan sepenuh hati. Namun, saat melihat siapa yang disapa oleh Bu Sani barusan, senyum Marla memudar.

Kamilia.

Mantan sahabat, pelakor, serta kini menjadi calon istri dari Yudha, sengaja datang ke tempatnya bekerja. Tentu saja, siapa pun bisa mengetahui motif utama Kamilia datang ke tempat tersebut.

Membeli kue dalam jumlah banyak hanyalah kedok. Kamilia memang enggan membiarkannya hidup tenang.

"Kenapa kamu ke sini?" tanya Marla dengan tatapan tajamnya.

"Oh?" Kamilia terkekeh. "Beginikah caramu bekerja, Marla? Pelayanan macam apa ini? Kenapa bisa orang rendahan sepertimu bertanya seperti itu padaku, Marla?"

"Marla!" Bu Sani melotot, yang mana membuat Marla gusar.

Marla mendengkus kasar. "Baiklah, mau beli apa?"

"Duh! Tidak sopan sekali! Aku jadi malas membeli kue di sini, padahal rencananya aku mau membeli sepuluh buah kue untuk dibagikan kepada seluruh keluarga besar di hari pernikahanku nanti." Celetuk Kamilia, sengaja mengundang kekesalan.

"Marla! Bersikaplah yang baik!" desak Bu Sani.

Kedua tangan Marla mengepal. Sepertinya dia harus mencari kerja di tempat lain saja. Persetan dengan kebaikan kecil yang mungkin dilayangkan Bu Sani padanya suatu hari nanti. Dia hanya menginginkan kedamaian.

'Kenapa Kamilia sengaja datang ke sini sekarang? Kenapa bukan kemarin saja? Astaga, dia niat sekali tidak mau melepaskanku sama sekali.'

"Kok diam?" Kamilia memiringkan kepala. "Apakah kamu mendadak jadi bisu, Marla?"

Marla mendongak perlahan-lahan.

"Oh iya, aku lupa bertanya. Bagaimana dengan pernikahan barumu bersama montir rendahan itu? Kamu pikir aku tidak tahu? Dia itu montir yang biasanya memperbaiki mobilnya Yudha kan? Oh, ternyata memang benar, kamu sudah berselingkuh dengannya jauh-jauh hari," cetus Kamilia.

"Jaga mulutmu, Kamilia! Yang rendahan itu kamu! Selama ini menjadi sahabatku, tapi ternyata mengincar Mas Yudha. Pelacur!"

Plak!

"Marla! Apa-apaan kamu ini?! Kenapa sikapmu tidak sopan sama sekali, hah?! Seharusnya kamu berterimakasih karena saya masih mau menerima kamu bekerja di sini. Tapi inikah balasannya?!"

Marla memegang pipinya yang terasa perih akibat tamparan dari Bu Sani. Sementara itu, Kamilia bergeming dengan rahang mengeras. Tentu wanita itu tidak terima, serta ingin sekali membalas ucapan Marla. Namun, Kamilia harus menahannya. Setidaknya, Bu Sani sudah menampar Marla tanpa harus diperintah.

Tiba-tiba saja, terlintas satu ide dalam benak Kamilia.

"Cih! Toko macam apa ini? Maaf, Bu, sepertinya saya tidak jadi memesan kue di sini. Pelayanannya mengerikan sekali, malahan berani mengata-ngatai pelanggan pula," ujar Kamilia, hendak berbalik pergi.

"Aduh, Mbak! Saya mohon dengan sangat, mewakili pegawai saya yang satu ini, saya minta maaf dengan sebesar-besarnya, Mbak. Dan tolong ... pesanannya tidak jadi dibatalkan ya?" pinta Bu Sani memelas.

"Tidak jadi dibatalkan? Hm, boleh, tapi dengan satu syarat!"

"Apa syaratnya, Mbak? Saya akan melakukannya!"

"Bukan Bu Sani yang melakukannya, tapi Marla—" Kamilia menyeringai, menampilkan tatapan bengisnya kepada Marla. "—harus dia yang melakukannya."

Firasat Marla sudah tidak baik.

"Oh, baik, Mbak. Kalau begitu, Marla harus melakukan apa supaya Mbak Kamilia tidak jadi membatalkan pesanan di sini?" tanya Bu Sani penuh semangat.

Kamilia mengedar pandang, kemudian mengambil sebuah roti yang telah terpajang rapi di salah satu rak. Tanpa perasaan, roti tersebut dilempar ke tanah, lalu heels setinggi sepuluh sentimeter itu turut menginjak-injaknya.

"Makan!"

"Ha? A-apa?" Bu Sani turut kebingungan. Namun, tatapan kejam Kamilia masih terpaku pada sosok Marla.

"Kamu tidak mendengarnya, Marla? Makan! Makan roti ini, maka aku akan mengampunimu dan memesan kue dua kali lipat di toko ini."

Bu Sani terperangah. Tidak peduli dengan perasaan Marla, justru memberi tanda untuk mendekat dan memakan roti berisi selai stroberi yang hancur lebur di samping kaki Kamilia itu.

Marla menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Dia benci menjadi selemah ini. Namun, dia memang tak memiliki kekuasaan apa pun. Kalau dia menuruti perintah Kamilia, tentunya Bu Sani akan sangat senang. Bisa saja, dia mendapatkan tambahan dari aksi menggelikannya itu.

Hanya saja, haruskah dia memakannya?

"Ayo! Tunggu apa lagi? Makan!"

Marla menarik napas dalam-dalam. Tungkainya hendak bergerak untuk melakukan apa yang Kamilia mau.

"Cepat makan! Waktuku tidak banyak!"

Dengan mata berkaca-kaca, Marla berhadapan dengan Kamilia.

"Ck! Ayo cepat! Ma—"

"Jangan!"

•••••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status