Kenapa?Kenapa permintaan Arjuna seperti itu?Apakah Arjuna mempunyai perasaan terhadapnya sehingga permintaannya berupa balasan cinta dari seorang istri kepada suaminya?Menyadari jika Marla masih belum bisa menerima semuanya—termasuk dengan permintaan mendadak tadi, Arjuna memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah lamanya itu."Mas, sebentar," Marla mencekal lengan sang suami. "Utang.""Hm?"Marla melirik sekitar, para tetangga telah berdiri di depan rumah masing-masing sejak dia keluar dari rumah tadi. Tentunya, mereka penasaran dengan mobil yang Arjuna kendarai saat ini."U-utang, katanya kamu sering utang di warung. Apa kamu sudah membayarnya?"Genap tiga detik, Arjuna terdiam lalu melayangkan tawa kecilnya. Tangan kanan pria itu terulur untuk mengacak puncak kepala Marla, merasa gemas."Tenang saja, Julie sudah membayarnya. Tapi, terima kasih sudah mengingatkan suamimu ini. Sekarang, ayo! Kita pergi!"Genggaman tangan Arjuna yang menarik Marla untuk memasuki mobil, membuat darah
Marla berdiri di ambang pintu kamar mandi, mengamati Arjuna yang telah terlelap di sisi lain ranjang terlebih dahulu selepas makan malam. Mungkin, suaminya itu memang kelewat lelah. Perlahan-lahan, sepasang tungkainya mendekat dengan napas tertahan. Dia tidak ingin membangunkan Arjuna barang sedetikpun. Terlebih, dia akan menempatkan diri di sisi pria itu. Walaupun Marla menyadari bila Arjuna sudah menempatkan sebuah guling sebagai pembatas di antara mereka saat tidur nanti.Wanita itu mengembuskan napas begitu berbaring di samping sang suami. Menutup mata, dia berharap bisa lekas pergi ke alam mimpi. Namun, suara Arjuna mengejutkannya hingga nyaris jatuh berguling."Akh!"Kini, posisi keduanya kian dekat. Lengan kiri Arjuna melingkari perut Marla, menahannya supaya tidak terjatuh. Lalu, tatapan pria itu menusuk tetapi penuh kelembutan.Marla menelan ludah susah payah. 'Jantung, tolong jangan kelewatan!'"Ma-maaf, kamu terkejut ya?" Arjuna melepaskan lingkaran lengan kirinya pada Mar
"Marla babu! Bawain air hangat buat Yudha mandi!" Teriakan seorang wanita paruh baya terdengar nyaring dari ruang tamu, membuat Marla yang saat itu sedang menyetrika pakaian terpaksa harus menghentikan aktivitasnya dan bergegas. “Lelet banget sih! Kalau dipanggil tuh langsung datang, jangan leha-leha!” “Maaf, Nyonya.” Makian dari ibu mertuanya hanya bisa membuatnya menganggukkan kepalanya. Marla tahu, tak peduli seberapa keras Marla memberikan pembelaan diri, ibu dari suaminya itu tetap akan menyalahkannya, dan akan semakin marah jika Marla melawan. Marla akhirnya bergegas, tergopoh-gopoh membawa air hangat menuju kamar mandi yang ada di lantai atas. Namun, belum sempat Marla masuk ke kamar mandi, Marla terpaksa menghentikan langkah kakinya kala tak sengaja mendengar suara aneh yang berselingan dengan suara percikan air dari kamar mandi. “Ah … Mas Yudha ….” Orang bodoh juga tahu, bahwa suara aneh itu adalah sebuah suara desahan wanita yang sedang berada di puncak kenikma
Byur!!! "Oh! Jadi serendah ini ya kamu, Marla? Karena putus asa ingin dimasuki, kamu malah berzina dengan pria lain!" Marla gelagapan. Secepat kilat menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya yang tak berlindungkan sehelai benang pun. Tangannya menggapai tubuh suami untuk membangunkannya, namun, Marla bingung, mengapa hanya ada dirinya di atas ranjang?Marla semakin panik kala melihat bahwa suaminya sendiri justru telah berdiri di ambang pintu kamar dengan tatapan dingin, membuat Marla tak mampu berkata-kata. Dia sendiri masih kepayahan mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Kamilia meninggikan dagu, berdiri di belakang Yudha dengan tatapan meremehkan. "Ternyata kamu tidak sepolos itu ya, Marla? Kemarin kamu yang menghina aku sebagai wanita rendahan, sekarang bagaimana?" Nyonya Besar tidak mau kalah, "Yudha? Lihat! Babu yang kamu pertahankan ini, sudah dikasih makan sama tempat tinggal, eh malah menjajakan dirinya ke pria lain.""Kamu membuktikan ucapanku kemarin, Marla. Ternyat
Melewati hari-hari dalam bayang-bayang dunia, akhirnya perpisahan itu tiba. Palu diketuk senyaring mungkin, seolah-olah mengabarkan kepada semut sekalipun jika Marla telah resmi bercerai dengan Yudha. Menggenggam erat pakaian yang dikenakan, Marla menahan diri agar tidak terlihat cengeng. Tidak! Dia sudah terlalu lama meratapi nasib demi mengharapkan kembali cinta mantan suaminya itu, padahal semua sangatlah tak berharga di mata Yudha. Keluar dari ruang persidangan, seseorang menjegalnya sehingga Marla jatuh tersungkur di hadapan banyak orang. Terdengar tawa angkuh yang berasal dari belakangnya. Tanpa perlu mendongak, Marla mengetahui siapa si pemilik suara. Kamilia bersedekap, mendengkus kasar melihat tampang menyedihkan Marla. "Lihatlah wajahmu sekarang ini, Marla! Kamu terlihat seperti babu yang kehilangannya tuannya." "Biarlah, Kamilia," Nyonya Besar datang dengan tatapan merendahkan yang senantiasa Marla dapatkan sejak dulu, "dia manusia lemah dan rendah. Wajar saja ka
"Apa-apaan!?" Pria di hadapannya itu tak kunjung menjawab pertanyaan Yudha. Justru, dia menghampiri Marla dan membantunya untuk berdiri. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya. Marla mengangguk tanpa suara, terpaku atas kedatangan pria tersebut. Namun, wanita itu bertanya-tanya dalam hati, siapa pria yang telah datang membantunya itu? Mengapa postur tubuhnya terlihat tidak asing? Memastikan Marla tidak kenapa-kenapa, pria itu berbalik menghadap Yudha beserta dua wanita di belakangnya. Dengan tatapannya yang dingin dan tajam, membuat orang di sekitar segan untuk mendekatinya. “Jangan main tangan pada wanita, terlebih wanita saya. Anda bukan siapa-siapanya sekarang, dan jika Anda melukainya, saya tak akan tinggal diam.”Suara bariton dan tegas itu seolah berhasil menyihir semua orang. Bahkan, Marla yang baru saja mendengar ucapan tak berdasar sang pria tak mampu mengatakan apapun. Namun, beberapa detik berikutnya, satu kata berputar di pikiran Marla. "Wanitaku?" Memangnya siapa pria
"Tidur ... seranjang ...." Marla menggigit bibir bawahnya gelisah. Masih menggenggam tas jinjing berisikan beberapa lembar pakaian yang ada, wanita itu melirik sisi lain ruangan yang menampilkan sang suami tengah sibuk melepas setelan kelabunya yang dipakai seharian ini. Dia memang sudah pernah melewati malam panas bersama Arjuna. Akan tetapi, waktu itu mereka seolah-olah saling tak sadarkan diri. Sekarang, dia telah resmi menjadi istri dari montir bernama Arjuna itu. Seharusnya, tidak masalah bila mereka tidur bersama. "Tenang saja," Arjuna membuka suara, "kamu bisa tidur di kamar, aku akan tidur di bawah.” Meski tak enak hati saat melihat Arjuna tertidur di bawah, setidaknya Marla mengetahui bahwa pria yang baru dinikahinya itu enggan berbuat macam-macam padanya. Diam-diam, Marla tidak bisa tertidur. Dia masih kewalahan untuk memercayai kenyataan baru yang dipikulnya sekarang ini. Padahal, dulu dia sempat berharap akan merajut masa depan yang indah bersama Yudha. Namun, kin
"Eh? Apa-apaan ini?! Siapa kalian?!"Bukan hanya Yudha dan Kamilia saja yang bingung. Bahkan, Marla menggapai tangan suaminya dengan penuh tanda tanya. Mengapa orang-orang bersetelan itu memanggil Arjuna dengan sebutan 'Tuan'?Marla memicingkan mata, menyadari jika orang-orang itu merupakan para saksi yang datang ke akad nikahnya kemarin. Dia ingin bertanya kepada Arjuna mengenai apa yang sedang terjadi. Meski sekelebatan, akad nikah yang berlangsung di KUA itu masih teringat jelas di kepala Marla.Akan tetapi, saat menoleh dia sempat memergoki Arjuna menggeleng ke arah empat pria bersetelan itu. Empat pria tersebut melempar pandang untuk beberapa saat, tetapi pada akhirnya mundur selangkah. "Nah! Saya mau tanya, apa maksud kalian tadi, hah?! Kenapa kalian malah mengelilingi saya dan suami saya seperti kami ini seorang kriminal?!" Kamilia masih meneruskan ocehannya, sedangkan diam-diam Yudha mengamati tautan tangan Arjuna dan Marla yang begitu erat. Terdapat setitik kekesalan yang b