Marla mencengkeram dress-nya erat-erat, sedangkan, Arjuna terdiam disertai dengkusan napas berat. Tentu saja. Bagi keluarga Wirajaya yang memiliki segalanya, mencari informasi mengenai dirinya sangatlah mudah. Apalagi bagi seorang yatim piatu seperti Marla. Tidak heran bila mereka mengetahui Marla yang pernah menikah dengan Yudha. "Memangnya kenapa kalau istri saya pernah menikah dengan laki-laki lain? Lagi pula, saya tidak mempermasalahkannya," timpal Arjuna tegas, seperti seorang suami yang menyayangi istrinya dengan segenap hati.Untuk sesaat, Marla terpaku sekaligus merasa bersalah. Arjuna harus bekerja ekstra untuk 'melindunginya'. Yang mana makin memperlihatkan jika Marla tidak bisa melakukan apa-apa.Ajeng yang baru beberapa menit terdiam, lantas mendecih, "aneh saja, Jun. Kamu itu pewaris keluarga ini yang bisa mendapatkan wanita mana saja. Mau yang perawan juga banyak, malahan banyak yang lebih bertalenta dan lebih cantik. Tapi, kamu malah memilih untuk menikahi 'bekasnya' o
Deg!Marla akui, dia memang tidak menjual tubuhnya terhadap Arjuna. Namun, ingatan mengenai malam panas yang sempat mereka langsungkan secara tak sadar itu membuat pipi Marla memerah dengan sendirinya.Gawat!Jangan sampai Revan melihatnya dan malah memikirkan yang tidak-tidak! Kenyataannya, dia bukan perempuan murahan seperti itu.Berdeham, Marla kembali menyuguhkan senyum simpulnya. Memberanikan diri bertemu tatap dengan iris abu-abu Revan. "Tentu tidak. Meskipun saya bukan perempuan yang lahir dari keluarga kaya raya, tapi saya tidak sefrustrasi itu untuk menjual diri terhadap orang lain; mau yang kaya atau bukan."Revan mengambil dua langkah mundur ditemani seringai yang memperlihatkan bahwa pria muda itu cukup tertarik dengan jawaban Marla. "Yah, boleh juga," Revan mengangguk-angguk, "pasti Bang Arjuna punya 'alasan' kenapa dia memilih kamu, Nona Marla."Marla berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan raut bersahabatnya. Dia tidak bisa terlihat lemah di saat-saat seperti ini,
Semua kontrak kerja sama yang seharusnya berjalan lancar, hancur total dikarenakan rumor tidak menyenangkan tersiar pada kalangan pebisnis saat pernikahan Yudha dan Kamilia.Belum lagi, kedatangan keluarga Wirajaya yang terkenal itu. Bukannya menambah pamor, tetapi malah mengembuskan segalanya."Argh! Semua gara-gara Marla!"Yudha melempar berkas pembatalan yang baru saja dibacanya, kemudian berkacak pinggang. Dipandanginya foto pernikahan dirinya dan Kamilia yang baru saja dipasang di ruang kerja.Entah kenapa, melihatnya saja sudah membuat Yudha muak sendiri.Bertepatan saat itu, Kamilia memasuki ruang kerja sang suami seraya menenteng tas belanjaan yang tiada terhingga."Yudha? Lihatlah! Aku mendapatkan heels baru yang sangat kuidam—""Diam!"Kamilia tersentak. Seketika wanita itu berhenti melangkah, membeku setelah menyadari atmosfer ruang kerja sang suami yang mendadak jadi tak bersahabat."Yudha? Kamu kenapa?""Masih ditanya suamimu ini kenapa?" Yudha berbalik, menghadap Kamilia
Bohong jika Marla tidak berpikir mengenai pesan aneh yang menyambangi ponselnya. Bahkan, wanita itu kepayahan terlelap meski tetap berada dalam pelukan Arjuna. 'Tidak heran. Sebagai pewaris pertama keluarga Wirajaya, pastinya banyak yang ingin menikahi Arjuna. Apalagi, jika orang-orang tahu aku hanyalah seorang yatim piatu yang tidak mempunyai apa-apa selain bergantung kepada suami baruku ini.'Helaan napas wanita itu terdengar berat, berusaha meredam gundah. Seolah-olah menyadari jika sang istri tidak bisa tertidur, Arjuna membuka mata, ditiliknya sosok Marla yang seakan-akan menyimpan cukup banyak pikiran.Arjuna berinisiatif untuk mengeratkan pelukannya, membawa Marla pada kehangatan serta kenyamanan yang membuat wanita itu mendongak."Mas? Kamu terbangun? Maaf, sepertinya aku sudah membuat tidurmu terganggu ya?" tanya Marla tak enak hati.Arjuna menggeleng pelan, "tidak bisa tidur, Marla?"Marla mengangguk singkat."Kenapa?"Wanita itu tak kunjung menjawab. Tidak mungkin dia memb
Marla terhenyak. Suara itu—suara familier yang mampu mendidihkan darahnya. Menarik napas perlahan, wanita itu berbalik. Dilihatnya sosok Kamilia yang melangkah dengan percaya diri dalam balutan blus kerja ketat. Dia tidak kaget lagi. Cara berpakaian Kamilia memang sudah seperti itu, jauh sebelum dia bersahabat dengannya sejak kuliah dulu. Kamilia bersedekap, menghampiri Marla dengan senyum meremehkan, lalu memindai penampilan mantan sahabatnya itu diiringi decihan ringan."Ada apa ini? Berkunjung ke kantor Wirajaya dengan penampilan seperti ini? Pantas saja resepsionis itu tidak percaya kalau kamu itu suaminya Arjuna," celetuk Kamilia.Marla mengernyit, lantas melirik dirinya sendiri. Dia tampil normal; dalam balutan dress hijau selutut, rapi pula. Memang dasarnya si resepsionis saja yang tidak punya sopan santun saat menyambut tamu."Kenapa kamu ke sini? Kamu tidak bekerja di sini, Kamilia." Tanyanya memberanikan diri.Jika dulu dia merupakan wanita yang kebanyakan iya-iya saja dan
Sedari tadi, Julie telah berada di ruangan Arjuna. Duduk manis di sofa sembari memindai beberapa berkas perbandingan yang semalam mereka bahas melalui telepon. Marla pikir, dia dan sang suami hanya akan makan siang berdua. Namun, rupanya terdapat orang tambahan. Mau tidak mau, Marla harus bersikap seramah mungkin. Tidak mungkin dia memberengut hanya karena masalah sepele seperti ini kan? Yang ada sang suami akan makin kecewa karena sebagai istri dari seorang Arjuna Wirajaya, dia masih terlalu kekanak-kanakan."Selamat siang, Nyonya Muda!" sapa Julie ramah, menunduk hormat ke arahnya sebelum meneruskan mengamati beberapa berkas."Selamat siang, Mbak Julie." Marla mendekat, duduk di samping wanita berparas serius itu, sedangkan Arjuna baru saja mendapatkan telepon."Sudah waktunya makan siang, kamu tidak mau beristirahat dulu, Mbak Julie?" tanya Marla ramah, yang sebetulnya penasaran; sudah berapa lama Julie berada di ruangan suaminya.Julie menoleh, tersenyum kalem ke arahnya. "Iya,
Marla tidak bisa menahan senyum sekembalinya dari kantor Arjuna. Wanita itu kembali mendapatkan kecupan manis yang membuat paras ayunya jadi lebih cerah. Begitu Marla menaiki mobil, dia ingin sekali berjalan-jalan mengelilingi kota, berhubung belakangan ini dia kerap berada di rumah secara terus menerus.Melewati satu jalanan yang tidak asing, wanita itu teringat akan toko roti tempatnya bekerja dulu."Ah, Bu Sani? Bagaimana kabarnya sekarang ya? Apakah dia baik-baik saja? Kalau tidak salah, saat itu dia berkata jika anaknya berada di rumah sakit selama sepuluh tahun kan? Astaga, sekarang bagaimana dengan kabarnya ya?"Secara perlahan, Marla menepikan mobilnya tepat di depan Toko Roti Salsa. Berbeda saat dia bekerja dulu, kini terlihat ramai. Bahkan, bisa dilihat jika terdapat etalase baru yang bingkainya seragam dengan cat dinding toko tersebut.Tanpa sadar, Marla tersenyum simpul. Sejahat apa pun Bu Sani terhadap dirinya dulu, wanita itu sebetulnya masih cukup baik. Mau memperkerjak
"Mas Arjuna melakukannya setelah hari itu, Bu Sani?"Marla menyimak penjelasan Bu Sani selepas ketiadaan Yudha. Bu Sani bercerita bahwa sebenarnya, diam-diam Arjuna telah membantu biaya pengobatan anak satu-satunya itu, menanam investasi serta beberapa perbaikan yang menjadikan toko roti beliau jadi seramai sekarang ini.Masih terkejut akan kenyataan yang diberitahukan, tahu-tahu saja Bu Sani meraih kedua tangannya. Menggenggam tangan Marla begitu erat, seolah-olah tengah melihat malaikat penyelamat."Maaf, Marla. Maafkan saya yang selama ini selalu berlaku buruk terhadap kamu setiap kamu bekerja di sini. Bahkan, pada waktu itu saja saya hampir mempermalukan kamu dengan tidak tahu dirinya di depan wanita licik itu."Setetes air mata Bu Sani terjatuh begitu saja, mengungkapkan betapa menyesalnya beliau atas sikapnya di masa lalu. Marla terhenyak. Sejujurnya, dia sendiri sudah tidak memikirkan hal tersebut. Dia hanya ingin mencari cara supaya kehidupannya jadi lebih berarti di mata san
"Jadi, kapan kalian akan membayarnya? Setidaknya cicil sedikit, sebagai jaminan bahwa kalian akan benar-benar membayar utang yang sudah kalian perbuat itu."Yudha menggigit pipi dalamnya cemas, kemudian berkata sambil memasang senyum yang diramah-ramahkan. Sedangkan Kamilia, duduk di sampingnya dengan dagu terangkat tinggi, seakan-akan pembicaraan mereka tidak perkara utang dua pulih lima miliar yang tak kunjung lunas itu."Tunggu sebentar, Tuan Matthew," Yudha melirik putra sulung keluarga Mahagana itu dengan harapan mau mendengar kilahnya, "tenggat waktunya masih tersisa beberapa hari lagi sebelum menginjak satu bulan penuh."Matthew bersandar pada punggung kursi empuk kafe yang didatanginya, lantas memberi tanda bagi Yudha untuk meneruskan."Jadi, begini, kenapa kami harus repot-repot menyicil kalau tepat di akhir bulan nanti, kami bisa membayarnya tepat waktu? Dan sebetulnya kami cukup terkejut karena Tuan Matthew sendiri yang datang untuk menemui saya seperti ini. Seharusnya Tuan
Mendengar ucapan Arjuna, membuat Revan meninggikan salah satu alisnya. Namun, dalam dua detik pertama, pria itu tampak terkejut lantaran saudara tirinya membawa topik tersebut."Tidak biasanya kamu membahas soal Ayah, Bang. Ada apa ini? Apakah kamu mulai takut, kalau Ayah tiba-tiba saja berakhir di tangan seorang musuh?" timpal Revan, berupaya agar tetap tenang.Arjuna mendesah lelah, bersandar pada punggung kursi plastik yang dia dapat dari Bu Sani. Di sampingnya, Julie duduk dengan telinga terpasang lebar-lebar. "Bukan takut lagi," Arjuna memandang sosok Marla yang masih sibuk dengan para penikmat festival untuk beberapa saat sebelum melanjutkan, "tapi kenyataannya memang begitu. Tidak heran kalau tiba-tiba saja Ayah meninggal di tahan musuh dalam selimut."Revan tersenyum timpang, "sepertinya kamu mulai paranoid, Bang. Apakah itu hasil setelah lama menjadi montir biasa yang mampunya mengamati dari kejauhan, beberapa tahun ini?""Kamu tidak paham apa-apa, Revan. Dan satu lagi, kamu
Marla merasa bahwa penglihatannya masih baik-baik saja. Serta, tidak mungkin dia berhalusinasi di siang bolong begini. Terlebih, saat Arjuna dan Julie bersitatap dengannya. Tercantum segaris keterkejutan pada raut keduanya, tetapi dengan cepat tertutup oleh wajah datar yang minim ekspresi. Tidak mau terlihat menyedihkan, Marla tersenyum simpul—sangat terpaksa dan menyesakkan. Begitu Arjuna dan Julie berhenti tepat di depannya dengan penuh kecanggungan, Marla menyodorkan dua lembar brosur. Mau tidak mau, dia harus tetap bersikap profesional. Bukan hanya Marla yang terkejut, tetapi dari stand Toko Roti Salsa pun, Revan mengerutkan kening tidak paham. Begitu pula dengan Bu Sani yang tampak khawatir sehingga meminta Lily untuk melayani pembeli lainnya. "Ini, Mas Arjuna, Julie, silakan dicoba! Rasanya lezat kok! Langsung saja ke stand ya? Jangan menghalangi di tengah jalan begini. Banyak yang mau lewat dan mampir." Katanya terbersit sindiran halus. Arjuna terhenyak. Pria itu terlihat i
"Tidak perlu, ada banyak pekerjaan yang harus diurus untuk hari ini dengan Julie. Aku harap kamu bisa mengerti, Marla."Marla meneguk ludah susah payah, lantas mengangguk pelan. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain menuruti perkataan sang suami. Nyaris lebih dari dua pekan, Arjuna setia membentangkan jarak yang membuat Marla makin bertanya-tanya dalam hati.Pagi ini, Marla menawarkan Arjuna untuk membawa beberapa cupcake buatannya sebelum menuju ke Sweetness Festival yang akan berlangsung di alun-alun kota.Sejak semalam, dia telah mempersiapkan apa pun yang dibutuhkan untuk hari ini. Bahkan, kembali membuat cupcake untuk memastikan rasa serta tekstur. Memastikan ada atau tidaknya kekurangan tambahan.Akan tetapi, reaksi Arjuna kelewat datar, seolah-olah mereka tidak pernah dekat—bahkan tidak pernah tidur bersama. Benar-benar terasa begitu asing dan menyesakkan.Selagi merapikan barang bawaannya sebelum menjemput Bu Sani, Marla berusaha mengabaikan nyeri hatinya yang kian bertambah
"Mas Arjuna?""Iya, ini aku, Marla."Marla mengembuskan napas, kemudian membuka pintu kamar hotel dari dalam. Begitu terbuka, terlihat raut lelah sang suami yang membuat Marla tidak enak hati.Sepertinya, apa pun yang tengah pria itu kerjakan sejak malam sebelumnya, sangatlah menguras emosi dan tenaga. Mendadak dia merasa bersalah lantaran telah berpikir yang tidak-tidak."Mari, masuk, Mas. Sepertinya kamu sangat kelelahan," Marla menyambut lengan Arjuna, memijatnya perlahan. Arjuna menurut, hanya tersenyum tipis. Alis kanan Marla meninggi, tetapi memutuskan untuk tetap diam dan menuntun Arjuna ke tepi ranjang. Kedua tangan wanita itu meneruskan pijatan hingga ke bahu Arjuna, yang terasa penuh tekanan dan beban."Mas, ada apa? Mas sudah makan? Kalau belum, apa perlu aku membeli beberapa makanan yang ada di pinggir jalan depan hotel? Mau mencobanya bersama?" tawar Marla, setelah memikirkan beberapa rumah makan sederhana yang masih buka menjelang tengah malam.Akan tetapi, suaminya itu
Marla tidak mendapatkan pesan susulan lagi seharian itu. Berulang kali memastikan layar ponsel, dia tak mendapatkan apa pun yang diinginkan. Setidaknya, dia ingin tahu apa yang sedang Arjuna lakukan. Atau, apakah suaminya itu baik-baik saja dan tidak terlibat perselisihan serius.Tidak mengherankan, para konglomerat sering mendapatkan ancaman dari para musuh mereka—baik yang secara terang-terangan, atau yang berada di dalam selimut.Pesan dari Julie sebelumnya telah dibalas dengan menanyakan kabar sang suami saat ini. Namun, dia tidak mendapatkan jawaban apa pun atas pertanyaannya tersebut bahkan sampai matahari terbenam."Mungkin mereka memang sibuk, sampai Julie juga tidak sempat memberi tahu bagaimana keadaan Mas Arjuna sekarang," Marla menghela napas, lalu memindai beberapa lembar pakaian yang baru dibelinya dari salah satu toko wisata terdekat.Dia sempat berjalan-jalan sebentar, berusaha mengabaikan kekalutan yang membuatnya kewalahan. Perkerjaan Arjuna yang rumit dan memakan ba
Marla segera menggeleng, melempar senyum kalemnya kepada Mariana seraya mengangguk. Hanya karena hari ulang tahunnya sama dengan Mariana, Marla jadi sentimental begini. Padahal, tentunya ada banyak orang yang lahir di hari yang sama selain dirinya dan Mariana pula."Baik, saya catat ya, Nona Mariana. Untuk ke depannya, akan saya hubungi dua minggu sebelum harinya." Kata Marla, yang membuat Mariana tersenyum senang diikuti oleh pasangan paruh baya Purnama.Melihat tatapan Soni dan Almira Purnama yang dipenuhi kehangatan terhadap sosok manis Mariana, membuat Marla tak mampu menyembunyikan senyumnya. 'Ah, mungkin karena ini. Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya diperhatikan oleh orang tua kandungku. Jadi, melihat kehangatan yang ada di keluarga sederhana Purnama ini membuatku jadi sentimental sendiri.'Selagi pasangan Purnama beserta Mariana bercengkerama dengan suasana yang hangat dan nyaman, Marla hanya bisa tersenyum. Sesekali menanggapi dengan anggukan singkat sebagai pendukung a
"Mas? Kenapa—""Marla, maaf, tapi sekarang aku posisinya sudah berada di tempat lain. Dan karena sesuatu hal, ponselku terjatuh, tidak bisa digunakan. Maka dari itu, aku menghubungimu lewat ponselnya Julie.""A-ah ... begitu ...."Marla gelagapan, tetapi sebisa mungkin tidak terdengar kikuk. "Lalu, sekarang Mas Arjuna ada di mana?"Arjuna tidak langsung menjawab. Pria itu membiarkan keheningan mengisi sambungan telepon mereka untuk beberapa detik, sebelum kembali bersuara dengan tujuan mengalihkan pembicaraan."Nanti aku akan kembali ke hotel tepat sebelum makan siang, Marla. Aku sudah berbicara pada Sherry untuk menambah waktu bermalam kita di hotel. Tapi, kalau ada sesuatu yang mendesak, kamu boleh menghubungi—ah! Telepon saja ke nomornya Julie, oke?"Marla mencerna perkataan Arjuna sembari menggigit pipi dalamnya. Entah urusan macam apa yang membuat keduanya bersama pada waktu sepagi ini. Namun, seperti biasa Marla tidak bisa menyuarakan protesnya."Baik, Mas. Kalau begitu, di mana
Datang lagi.Sosok Julie datang lagi di saat yang tidak tepat—atau itu hanya firasat Marla saja?Marla tahu apa yang hendak Arjuna katakan, tetapi terhenti akibat kedatangan Julie. Menarik napas perlahan, Marla cepat-cepat menggeleng. Kenapa dia selalu mempunyai asumsi buruk di saat yang tidak tepat sih?'Mungkin saja, Julie hanya ingin berbicara terkait pekerjaan.'Segera menepis pikiran anehnya, Marla kembali merutuki diri sendiri. Lagi pula, Arjuna bukanlah orang biasa. Pria itu memiliki banyak hal yang harus diurus, meskipun sedang menghadiri resepsi pernikahan salah satu anggota keluarga besar sekaligus.Selagi Arjuna menghampiri Julie dan bercakap mengenai sesuatu yang terpampang pada layar ponsel Julie, Marla menunggu di gazebo dalam diam."Sungguh? Kamu sudah memastikannya, Julie?"Suara Arjuna yang terdengar antuasias, mengalihkan fokus Marla dalam titik keheranan. Sekiranya, apa yang membuat sang suami bersemangat. Tidak—lebih dari sekadar bersemangat di mata Marla.Arjuna s