Marla tidak bisa menahan senyum sekembalinya dari kantor Arjuna. Wanita itu kembali mendapatkan kecupan manis yang membuat paras ayunya jadi lebih cerah. Begitu Marla menaiki mobil, dia ingin sekali berjalan-jalan mengelilingi kota, berhubung belakangan ini dia kerap berada di rumah secara terus menerus.Melewati satu jalanan yang tidak asing, wanita itu teringat akan toko roti tempatnya bekerja dulu."Ah, Bu Sani? Bagaimana kabarnya sekarang ya? Apakah dia baik-baik saja? Kalau tidak salah, saat itu dia berkata jika anaknya berada di rumah sakit selama sepuluh tahun kan? Astaga, sekarang bagaimana dengan kabarnya ya?"Secara perlahan, Marla menepikan mobilnya tepat di depan Toko Roti Salsa. Berbeda saat dia bekerja dulu, kini terlihat ramai. Bahkan, bisa dilihat jika terdapat etalase baru yang bingkainya seragam dengan cat dinding toko tersebut.Tanpa sadar, Marla tersenyum simpul. Sejahat apa pun Bu Sani terhadap dirinya dulu, wanita itu sebetulnya masih cukup baik. Mau memperkerjak
"Mas Arjuna melakukannya setelah hari itu, Bu Sani?"Marla menyimak penjelasan Bu Sani selepas ketiadaan Yudha. Bu Sani bercerita bahwa sebenarnya, diam-diam Arjuna telah membantu biaya pengobatan anak satu-satunya itu, menanam investasi serta beberapa perbaikan yang menjadikan toko roti beliau jadi seramai sekarang ini.Masih terkejut akan kenyataan yang diberitahukan, tahu-tahu saja Bu Sani meraih kedua tangannya. Menggenggam tangan Marla begitu erat, seolah-olah tengah melihat malaikat penyelamat."Maaf, Marla. Maafkan saya yang selama ini selalu berlaku buruk terhadap kamu setiap kamu bekerja di sini. Bahkan, pada waktu itu saja saya hampir mempermalukan kamu dengan tidak tahu dirinya di depan wanita licik itu."Setetes air mata Bu Sani terjatuh begitu saja, mengungkapkan betapa menyesalnya beliau atas sikapnya di masa lalu. Marla terhenyak. Sejujurnya, dia sendiri sudah tidak memikirkan hal tersebut. Dia hanya ingin mencari cara supaya kehidupannya jadi lebih berarti di mata san
Marla membelalak. Dia tahu betul apa yang sedang dimaksud oleh sang suami pada detik tersebut. Arjuna mengulum senyum, gemas sekali melihat roman Marla yang terkejut dan makin merona itu. Pria itu sengaja mempersempit jarak di antara keduanya.Bila mau, Arjuna bisa saja langsung mengecup bibir Marla—atau bahkan lebih dari sekadar kecupan. Hanya saja, Arjuna masih ingin melihat tampang Marla yang kelewat salah tingkah itu."M-mas ....""Kenapa, hm? Kenapa wajahmu memerah?"Marla mau memerotes, lantaran sang suami sendiri yang membuat pipinya jadi memerah selayaknya tomat itu. Namun, wanita itu malah tidak mampu mengatakan apa-apa.Arjuna kian mengeratkan tangannya yang melingkari pinggang Marla, membuat tubuh keduanya saling bersinggungan. Tubuh Marla yang masih membeku, dapat merasakan kehangatan dari sang suami yang mendadak dipenuhi sensualitas.Tatapan mata Arjuna kini beralih pada bibir Marla yang terbuka sedikit. Sadar akan ke mana tatapan sang suami mengarah, Marla bergegas mend
Marla tidak bisa mengelak. Ciuman yang Arjuna layangkan berhasil melelehkannya hanya dalam dua detik saja. Mengikuti nuansa yang telah sepenuhnya berubah, kedua tangan Marla saling bertaut melingkari leher sang suami, memperdalam ciuman yang ada.Tanpa sadar, keduanya mulai terbawa arus dibersamai embusan napas yang meningkat bersama tiap detik penuh gairah. Marla merasakan seluruh kesadarannya menguap seiring kehangatan yang memenuhi seluruh tubuhnya. Namun, sebelum dia bereaksi lebih, tahu-tahu saja suaminya itu menarik diri.Marla terpaku seraya menyambar udara sebanyak mungkin. Namun, wanita itu kebingungan. Kenapa tiba-tiba saja suaminya itu tidak melangkah lebih jauh?Eh? Kenapa jadi Marla yang merasa bernafsu sekali?Arjuna memiringkan kepala, menyeringai seraya membawa ibu jari tangan kanannya untuk mengelus bibir sang istri. "Kenapa, hm? Kamu mau melanjutkannya, Marla?"Kenapa suaminya harus bertanya seperti itu sih? Apakah Arjuna mengharapkan anggukan atau jawaban pemuh se
Arjuna memasuki kantor. Seperti biasa, dia mendapatkan sapaan serta anggukan hormat dari para pegawainya yang semula meragukan kredibilitas pria itu lantaran baru saja muncul setelah menghilang sekian lamanya.Menuju ruang kerja pribadi di lantai terantas, Arjuna mendapatkan pesan dari nomor yang tak dikenal. Berisi;[Mau makan siang dengan saya, Tuan Muda Arjuna? Setelah makan siang, saya pastikan Tuan Muda Arjuna akan merasakan kepuasan yang berlebih dari yang pernah istrimu itu berikan.]Kening Arjuna berkerut dalam. Isi pesannya tidak menyenangkan sekali. Terlebih pada bagian yang menyinggung perkara Marla. Siapa pun si pengirim pesan, tentunya mengetahui bagaimana situasinya saat ini. Belum genap kembali menyimpan ponsel, Arjuna mendapatkan pesan susulan lagi dengan keterangan siapa si pengirim.[Trik licik yang Marla gunakan untuk Tuan Muda Arjuna sangatlah tidak bermoral. Saya yakin, pastinya orang seperti Tuan Muda Arjuna sangat menginginkan kenikmatan tak terhingga yang bena
Marla nyaris menjatuhkan ponselnya. Apa yang sedang dilihatnya itu? Tidak salah lagi, foto setelan yang terkirim padanya itu memang yang sedang dikenakan oleh sang suami pagi tadi. Namun, ada sesuatu yang janggal.Foto tersebut hanya memperlihatkan setelan yang sama dengan milik sang suami saja. Tidak mencangkup rupa Arjuna yang seharusnya bisa menjadi bukti konkret atas apa yang Kamilia kirimkan."Sebentar ...."Marla memiringkan kepala, memindai foto tampak depan seseorang tanpa memperlihatkan wajah sosoknya. "Bisa saja, ini cuma akal-akalan Kamilia saja kan? Tapi, bagaimana bisa dia mengetahui pakaian yang dikenakan oleh Mas Arjuna? Jangan-jangan ... mereka memang bertemu?"Cepat-cepat menggeleng, Marla merutuki dirinya sendiri. "Tidak seharusnya aku berpikir seperti itu. Sejak dulu, Kamilia memang begitu kan? Tapi, artinya ... dia menempatkan seseorang untuk mengintai kami?"Marla mendecih, tidak habis pikir dengan jalan pikiran sang mantan sahabat yang telah berhasil menipunya s
"Dan apa yang mau kamu beli di pelelangan lusa besok, Mas?" tanya Marla selagi menyajikan lauk makan malam untuk sang suami.Arjuna mengembuskan napas perlahan, menilik daftar yang tengah dibacanya. "Ayah menginginkan guci antik dan lukisan karya Bernafouldi."Marla mengernyit, "pastinya kalian akan mengeluarkan uang secara besar-besaran kan, Mas? Sedikit yang aku tahu, lukisan Bernafouldi yang tiruan persis saja harganya nyaris mencapai miliaran. Apalagi kalau yang asli, apakah bisa sampai triliun?""Iya, kamu benar, Marla." Arjuna tersenyum simpul, menyadari sesuatu. "Rupanya kamu cukup lihai dalam bidang seni ya? Kenapa tidak pernah bilang? Ah, lebih baik kamu menemaniku saja di pelelangan besok. Sepertinya itu lebih baik.""Menemani Mas Arjuna? Untuk agenda penting semacam itu? Bagaimana kalau yang ada, aku malah mengacau, Mas?" tanya Marla tidak percaya diri.Tadinya, wanita itu cuma sekadar basa-basi saja. Dia memang mengetahui beberapa hal perkara lukisan-lukisan langka yang be
Lagi-lagi, intimasi yang telah terbangun seiring kecapan yang melantun, ponsel Arjuna bergetar panjang. Sebuah telepon masuk membuat Arjuna menghentikan ciuman mereka dengan tampang gusar. "Astaga, siapa pula yang menelepon di saat-saat seperti ini?" gerutunya, sedangkan Marla masih kepayahan mencari pasokan oksigen setelah ciuman intens mereka tadi.Melihat siapa nama si penelepon, Arjuna mendesah lelah. "Dari Pak Broto. Maaf, Marla, tapi aku harus menyelesaikan semuanya dulu sebelum hadir di pelelangan lusa nanti. Kamu bisa tidur lebih dulu."Marla hanya mengangguk, bahkan selepas Arjuna menyempatkan kecupan manis pada puncak kepalanya. Sang suami lantas melenggang pergi, menyisakan Marla yang terdiam dengan kening berkerut. "Kenapa ... setiap mau melanjutkan ke tahap selanjutnya, selalu ada saja yang menginterupsi ya? Eh!"Wanita itu lekas menggeleng. "Ini cuma firasatku saja. Dasar! Sepertinya aku bisa gila kalau terus-terusan digoda seperti ini oleh Mas Arjuna."Biarpun berkata
"Jadi, kapan kalian akan membayarnya? Setidaknya cicil sedikit, sebagai jaminan bahwa kalian akan benar-benar membayar utang yang sudah kalian perbuat itu."Yudha menggigit pipi dalamnya cemas, kemudian berkata sambil memasang senyum yang diramah-ramahkan. Sedangkan Kamilia, duduk di sampingnya dengan dagu terangkat tinggi, seakan-akan pembicaraan mereka tidak perkara utang dua pulih lima miliar yang tak kunjung lunas itu."Tunggu sebentar, Tuan Matthew," Yudha melirik putra sulung keluarga Mahagana itu dengan harapan mau mendengar kilahnya, "tenggat waktunya masih tersisa beberapa hari lagi sebelum menginjak satu bulan penuh."Matthew bersandar pada punggung kursi empuk kafe yang didatanginya, lantas memberi tanda bagi Yudha untuk meneruskan."Jadi, begini, kenapa kami harus repot-repot menyicil kalau tepat di akhir bulan nanti, kami bisa membayarnya tepat waktu? Dan sebetulnya kami cukup terkejut karena Tuan Matthew sendiri yang datang untuk menemui saya seperti ini. Seharusnya Tuan
Mendengar ucapan Arjuna, membuat Revan meninggikan salah satu alisnya. Namun, dalam dua detik pertama, pria itu tampak terkejut lantaran saudara tirinya membawa topik tersebut."Tidak biasanya kamu membahas soal Ayah, Bang. Ada apa ini? Apakah kamu mulai takut, kalau Ayah tiba-tiba saja berakhir di tangan seorang musuh?" timpal Revan, berupaya agar tetap tenang.Arjuna mendesah lelah, bersandar pada punggung kursi plastik yang dia dapat dari Bu Sani. Di sampingnya, Julie duduk dengan telinga terpasang lebar-lebar. "Bukan takut lagi," Arjuna memandang sosok Marla yang masih sibuk dengan para penikmat festival untuk beberapa saat sebelum melanjutkan, "tapi kenyataannya memang begitu. Tidak heran kalau tiba-tiba saja Ayah meninggal di tahan musuh dalam selimut."Revan tersenyum timpang, "sepertinya kamu mulai paranoid, Bang. Apakah itu hasil setelah lama menjadi montir biasa yang mampunya mengamati dari kejauhan, beberapa tahun ini?""Kamu tidak paham apa-apa, Revan. Dan satu lagi, kamu
Marla merasa bahwa penglihatannya masih baik-baik saja. Serta, tidak mungkin dia berhalusinasi di siang bolong begini. Terlebih, saat Arjuna dan Julie bersitatap dengannya. Tercantum segaris keterkejutan pada raut keduanya, tetapi dengan cepat tertutup oleh wajah datar yang minim ekspresi. Tidak mau terlihat menyedihkan, Marla tersenyum simpul—sangat terpaksa dan menyesakkan. Begitu Arjuna dan Julie berhenti tepat di depannya dengan penuh kecanggungan, Marla menyodorkan dua lembar brosur. Mau tidak mau, dia harus tetap bersikap profesional. Bukan hanya Marla yang terkejut, tetapi dari stand Toko Roti Salsa pun, Revan mengerutkan kening tidak paham. Begitu pula dengan Bu Sani yang tampak khawatir sehingga meminta Lily untuk melayani pembeli lainnya. "Ini, Mas Arjuna, Julie, silakan dicoba! Rasanya lezat kok! Langsung saja ke stand ya? Jangan menghalangi di tengah jalan begini. Banyak yang mau lewat dan mampir." Katanya terbersit sindiran halus. Arjuna terhenyak. Pria itu terlihat i
"Tidak perlu, ada banyak pekerjaan yang harus diurus untuk hari ini dengan Julie. Aku harap kamu bisa mengerti, Marla."Marla meneguk ludah susah payah, lantas mengangguk pelan. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain menuruti perkataan sang suami. Nyaris lebih dari dua pekan, Arjuna setia membentangkan jarak yang membuat Marla makin bertanya-tanya dalam hati.Pagi ini, Marla menawarkan Arjuna untuk membawa beberapa cupcake buatannya sebelum menuju ke Sweetness Festival yang akan berlangsung di alun-alun kota.Sejak semalam, dia telah mempersiapkan apa pun yang dibutuhkan untuk hari ini. Bahkan, kembali membuat cupcake untuk memastikan rasa serta tekstur. Memastikan ada atau tidaknya kekurangan tambahan.Akan tetapi, reaksi Arjuna kelewat datar, seolah-olah mereka tidak pernah dekat—bahkan tidak pernah tidur bersama. Benar-benar terasa begitu asing dan menyesakkan.Selagi merapikan barang bawaannya sebelum menjemput Bu Sani, Marla berusaha mengabaikan nyeri hatinya yang kian bertambah
"Mas Arjuna?""Iya, ini aku, Marla."Marla mengembuskan napas, kemudian membuka pintu kamar hotel dari dalam. Begitu terbuka, terlihat raut lelah sang suami yang membuat Marla tidak enak hati.Sepertinya, apa pun yang tengah pria itu kerjakan sejak malam sebelumnya, sangatlah menguras emosi dan tenaga. Mendadak dia merasa bersalah lantaran telah berpikir yang tidak-tidak."Mari, masuk, Mas. Sepertinya kamu sangat kelelahan," Marla menyambut lengan Arjuna, memijatnya perlahan. Arjuna menurut, hanya tersenyum tipis. Alis kanan Marla meninggi, tetapi memutuskan untuk tetap diam dan menuntun Arjuna ke tepi ranjang. Kedua tangan wanita itu meneruskan pijatan hingga ke bahu Arjuna, yang terasa penuh tekanan dan beban."Mas, ada apa? Mas sudah makan? Kalau belum, apa perlu aku membeli beberapa makanan yang ada di pinggir jalan depan hotel? Mau mencobanya bersama?" tawar Marla, setelah memikirkan beberapa rumah makan sederhana yang masih buka menjelang tengah malam.Akan tetapi, suaminya itu
Marla tidak mendapatkan pesan susulan lagi seharian itu. Berulang kali memastikan layar ponsel, dia tak mendapatkan apa pun yang diinginkan. Setidaknya, dia ingin tahu apa yang sedang Arjuna lakukan. Atau, apakah suaminya itu baik-baik saja dan tidak terlibat perselisihan serius.Tidak mengherankan, para konglomerat sering mendapatkan ancaman dari para musuh mereka—baik yang secara terang-terangan, atau yang berada di dalam selimut.Pesan dari Julie sebelumnya telah dibalas dengan menanyakan kabar sang suami saat ini. Namun, dia tidak mendapatkan jawaban apa pun atas pertanyaannya tersebut bahkan sampai matahari terbenam."Mungkin mereka memang sibuk, sampai Julie juga tidak sempat memberi tahu bagaimana keadaan Mas Arjuna sekarang," Marla menghela napas, lalu memindai beberapa lembar pakaian yang baru dibelinya dari salah satu toko wisata terdekat.Dia sempat berjalan-jalan sebentar, berusaha mengabaikan kekalutan yang membuatnya kewalahan. Perkerjaan Arjuna yang rumit dan memakan ba
Marla segera menggeleng, melempar senyum kalemnya kepada Mariana seraya mengangguk. Hanya karena hari ulang tahunnya sama dengan Mariana, Marla jadi sentimental begini. Padahal, tentunya ada banyak orang yang lahir di hari yang sama selain dirinya dan Mariana pula."Baik, saya catat ya, Nona Mariana. Untuk ke depannya, akan saya hubungi dua minggu sebelum harinya." Kata Marla, yang membuat Mariana tersenyum senang diikuti oleh pasangan paruh baya Purnama.Melihat tatapan Soni dan Almira Purnama yang dipenuhi kehangatan terhadap sosok manis Mariana, membuat Marla tak mampu menyembunyikan senyumnya. 'Ah, mungkin karena ini. Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya diperhatikan oleh orang tua kandungku. Jadi, melihat kehangatan yang ada di keluarga sederhana Purnama ini membuatku jadi sentimental sendiri.'Selagi pasangan Purnama beserta Mariana bercengkerama dengan suasana yang hangat dan nyaman, Marla hanya bisa tersenyum. Sesekali menanggapi dengan anggukan singkat sebagai pendukung a
"Mas? Kenapa—""Marla, maaf, tapi sekarang aku posisinya sudah berada di tempat lain. Dan karena sesuatu hal, ponselku terjatuh, tidak bisa digunakan. Maka dari itu, aku menghubungimu lewat ponselnya Julie.""A-ah ... begitu ...."Marla gelagapan, tetapi sebisa mungkin tidak terdengar kikuk. "Lalu, sekarang Mas Arjuna ada di mana?"Arjuna tidak langsung menjawab. Pria itu membiarkan keheningan mengisi sambungan telepon mereka untuk beberapa detik, sebelum kembali bersuara dengan tujuan mengalihkan pembicaraan."Nanti aku akan kembali ke hotel tepat sebelum makan siang, Marla. Aku sudah berbicara pada Sherry untuk menambah waktu bermalam kita di hotel. Tapi, kalau ada sesuatu yang mendesak, kamu boleh menghubungi—ah! Telepon saja ke nomornya Julie, oke?"Marla mencerna perkataan Arjuna sembari menggigit pipi dalamnya. Entah urusan macam apa yang membuat keduanya bersama pada waktu sepagi ini. Namun, seperti biasa Marla tidak bisa menyuarakan protesnya."Baik, Mas. Kalau begitu, di mana
Datang lagi.Sosok Julie datang lagi di saat yang tidak tepat—atau itu hanya firasat Marla saja?Marla tahu apa yang hendak Arjuna katakan, tetapi terhenti akibat kedatangan Julie. Menarik napas perlahan, Marla cepat-cepat menggeleng. Kenapa dia selalu mempunyai asumsi buruk di saat yang tidak tepat sih?'Mungkin saja, Julie hanya ingin berbicara terkait pekerjaan.'Segera menepis pikiran anehnya, Marla kembali merutuki diri sendiri. Lagi pula, Arjuna bukanlah orang biasa. Pria itu memiliki banyak hal yang harus diurus, meskipun sedang menghadiri resepsi pernikahan salah satu anggota keluarga besar sekaligus.Selagi Arjuna menghampiri Julie dan bercakap mengenai sesuatu yang terpampang pada layar ponsel Julie, Marla menunggu di gazebo dalam diam."Sungguh? Kamu sudah memastikannya, Julie?"Suara Arjuna yang terdengar antuasias, mengalihkan fokus Marla dalam titik keheranan. Sekiranya, apa yang membuat sang suami bersemangat. Tidak—lebih dari sekadar bersemangat di mata Marla.Arjuna s