Byur!!!
"Oh! Jadi serendah ini ya kamu, Marla? Karena putus asa ingin dimasuki, kamu malah berzina dengan pria lain!" Marla gelagapan. Secepat kilat menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya yang tak berlindungkan sehelai benang pun. Tangannya menggapai tubuh suami untuk membangunkannya, namun, Marla bingung, mengapa hanya ada dirinya di atas ranjang? Marla semakin panik kala melihat bahwa suaminya sendiri justru telah berdiri di ambang pintu kamar dengan tatapan dingin, membuat Marla tak mampu berkata-kata. Dia sendiri masih kepayahan mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Kamilia meninggikan dagu, berdiri di belakang Yudha dengan tatapan meremehkan. "Ternyata kamu tidak sepolos itu ya, Marla? Kemarin kamu yang menghina aku sebagai wanita rendahan, sekarang bagaimana?" Nyonya Besar tidak mau kalah, "Yudha? Lihat! Babu yang kamu pertahankan ini, sudah dikasih makan sama tempat tinggal, eh malah menjajakan dirinya ke pria lain.""Kamu membuktikan ucapanku kemarin, Marla. Ternyata, kamu memang wanita rendahan."
Tadinya Marla masih kebingungan. Namun, saat itu dia menyadari jika suaminya membawa selembar foto yang latarnya tidak asing.
Mengerti arah tatapan Marla, lantas Yudha melemparkan foto yang dipegangnya kepada wanita itu. "Apa yang telah kamu perbuat, Marla?" "Mas," Marla menggelengkan kepala, menangis tanpa suara dengan tangan yang bergetar, "ini tidak seperti yang kamu lihat, Mas! Semalam, aku pikir dia ini—" "Sudah, Marla!" Yudha menatap istrinya itu tanpa perasaan, "mulai detik ini, aku sudah tidak menganggapmu sebagai istriku, Marla! Dan mulai hari ini, kamu diusir dari rumah ini juga! Kemasi barang-barangmu! Tenang saja, aku akan memberimu pesangon. Untuk surat perceraian, tunggu saja! Pengacaraku akan mengurusnya secepat mungkin." Air mata Marla merebak kian derasnya. Dia tidak mengira bahwa hari semacam ini akan tiba. Dalam hati kecilnya, masih tersimpan harapan akan kehidupan pernikahan yang makmur dengan Yudha. Menyebalkannya, dia mencintai pria kejam yang satu itu dengan segenap hatinya. "Mas, kamu harus mendengar perkataanku dulu, Mas! Bisa saja aku dijebak oleh pria ini! Aku saja tidak mengenalnya sama sekali, Mas!" Marla bersikeras menyuarakan pembelaan. Sudah mati rasa, Yudha menghela napas kesal. "Tak perlu membela diri, Marla, karena keputusanku sudah bulat. Aku menceraikanmu, Marla!" Hancur. Hancur sudah harapan yang sedari dulu berusaha Marla pupuk atas cinta sang suami. Kini, akibat malam panas yang terjerang dengan pria lain, rumah tangganya bersama Yudha luluh lantak tak bersisa. Tiga orang yang semula berdiri dengan tatapan menusuk itu pun pergi, bahkan mereka tidak peduli pada Marla yang selama ini menahan dirinya ditindas secara terus menerus. Mendengkus kasar, Marla beranjak dengan selimut yang melingkari tubuhnya. Detik itu, dia berharap jika semua ini hanyalah mimpi belaka. Akan tetapi, perceraian yang dilayangkan Yudha benar-benar nyata. Memasuki kamar mandi pembantu, Marla menangis sejadi-jadinya di dalam sana. Beberapa saat kemudian, wanita itu keluar dan berhadapan dengan Yudha dan Marla. Entah ke mana perginya si montir yang bersamanya tadi, tetapi Marla menyadari jika dirinya berada dalam situasi yang tidak baik. Firasatnya pun terealisasikan dalam dua detik setelahnya. "Cepat tanda tangani!" Bulpen yang semua disodorkan baik-baik oleh Kamilia, justru dilempar begitu saja ke hadapan Marla, bersama gugatan cerai yang terpampang nyata begitu cepatnya di depan mata wanita itu. "Mas ..." Marla masih menerjunkan tangis, "percayalah, Mas! Semalam pria asing itu memasuki kamarku secara tiba-tiba. Aku pikir itu kamu, Mas." "Ha?" Yudha mendecih, menggelengkan kepala. "Sialan kamu, Marla! Kamu mau menyamakan aku dengan montir rendahan itu? Sudahlah! Jangan cari alasan lagi! Tanda tangani saja, dan kita akan berpisah secepat mungkin." "Tapi ... aku harus tinggal di mana, Mas?" lirihnya. "Ya mana aku tahu! Itu bukan urusanku! Cari tempat tinggal sendiri dong, Marla! Kamu kan bukan anak kecil. Atau kamu kembali saja ke panti asuhan yang kamu sayangi itu, Marla!" Yudha tertawa kecil. Marla menggeleng pelan. Tidak! Seketika terlintas rupa sang pemilik panti yang selama ini sudah dianggap sebagai ibu sendiri itu. Terlebih, Bu Maryam pernah memperingatkan Marla untuk tidak sembarangan menerima pinangan Yudha dulu yang kelewat mendadak. "Bu Maryam ...." "Cih! Sana! Kembali saja ke panti kumuhmu itu!" Sembari melayangkan pengusiran tersebut, lembaran uang beterbangan di sekeliling Marla. "Ini! Kamu pastinya tidak mempunyai uang kan? Ini, bawa saja uangnya!" Di samping Yudha, Kamilia mendekat dengan manjanya. Tidak peduli bagaimana suasana hati Marla saat ini, Kamilia sengaja mencium Yudha dengan penuh nafsu, seolah-olah memperlihatkan pada Marla bahwa Yudha merupakan miliknya seorang. Mau bagaimana keadaan yang menjerat Yudha dan Marla, kini tetap Kamilia pemenangnya. Marla tertunduk, meneteskan air mata untuk yang kesekian kali, sementara Yudha dan Kamilia sengaja mempertontonkan kemesraan mereka hingga pada tahap saling meraba penuh antusias. Tidak tahan, Marla beranjak dan pergi dari rumah itu sembari menyeret kopernya dalam linangan kesedihan yang memilukan. Begitu Marla tak terlihat dalam pandangan, Yudha menghentikan permainannya secara tiba-tiba. Kamilia mengernyit kebingungan, "Kenapa, Yudha? Kamu mau pindah ke kamar?" Yudha menggeleng, melonggarkan dasinya yang anehnya berubah ketat dan sesak. "Tidak! Aku mau ke kamar dulu, jangan ganggu!" ••••• "Aku harus ke mana?" Marla sudah berjalan selama setengah jam lamanya. Dia tidak memiliki tujuan lain. Selama ini, dia sudah terlalu tenggelam dalam lautan cinta yang disuguhkan kepada Yudha. Dia mencintai Yudha, dan berharap pria itu akan kembali menjadi Yudha yang dulu—Yudha yang dikenalnya sebagai seorang penyayang. Berhenti di salah satu halte bus, Marla menghela napas berat. Padahal, Yudha-nya yang dulu selalu mengutamakan kenyamanan dirinya. Sekarang? Pria itu malah tak ragu sedikitpun untuk mengusir Marla tanpa mau mendengar penjelasan darinya barang sedetik. "Kenapa, Mas? Kenapa kamu bisa berubah seperti itu? Kenapa pula kamu harus menungguku jadi sehancur mungkin, baru menceraikanku seperti ini? Kalau kamu memang sudah tidak mencintaiku sama sekali, seharusnya kamu menceraikanku dari dulu. Tapi, kenapa ...." Marla memejamkan mata. Dia pikir, Yudha sengaja tak menceraikannya lantaran memang masih memiliki perasaan yang patut digali lagi. Namun, belum selesai dengan pengkhianatan yang terjalin di antara suami dan sahabatnya, justru kini dia berakhir menyedihkan. "Kenapa kamu harus menghancurkan hatiku sampai seperti ini, Mas?" Masalahnya, bagaimana bisa Yudha mendapatkan foto dirinya bersama pria asing yang bercumbu dengannya semalam itu? •••••Melewati hari-hari dalam bayang-bayang dunia, akhirnya perpisahan itu tiba. Palu diketuk senyaring mungkin, seolah-olah mengabarkan kepada semut sekalipun jika Marla telah resmi bercerai dengan Yudha. Menggenggam erat pakaian yang dikenakan, Marla menahan diri agar tidak terlihat cengeng. Tidak! Dia sudah terlalu lama meratapi nasib demi mengharapkan kembali cinta mantan suaminya itu, padahal semua sangatlah tak berharga di mata Yudha. Keluar dari ruang persidangan, seseorang menjegalnya sehingga Marla jatuh tersungkur di hadapan banyak orang. Terdengar tawa angkuh yang berasal dari belakangnya. Tanpa perlu mendongak, Marla mengetahui siapa si pemilik suara. Kamilia bersedekap, mendengkus kasar melihat tampang menyedihkan Marla. "Lihatlah wajahmu sekarang ini, Marla! Kamu terlihat seperti babu yang kehilangannya tuannya." "Biarlah, Kamilia," Nyonya Besar datang dengan tatapan merendahkan yang senantiasa Marla dapatkan sejak dulu, "dia manusia lemah dan rendah. Wajar saja ka
"Apa-apaan!?" Pria di hadapannya itu tak kunjung menjawab pertanyaan Yudha. Justru, dia menghampiri Marla dan membantunya untuk berdiri. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya. Marla mengangguk tanpa suara, terpaku atas kedatangan pria tersebut. Namun, wanita itu bertanya-tanya dalam hati, siapa pria yang telah datang membantunya itu? Mengapa postur tubuhnya terlihat tidak asing? Memastikan Marla tidak kenapa-kenapa, pria itu berbalik menghadap Yudha beserta dua wanita di belakangnya. Dengan tatapannya yang dingin dan tajam, membuat orang di sekitar segan untuk mendekatinya. “Jangan main tangan pada wanita, terlebih wanita saya. Anda bukan siapa-siapanya sekarang, dan jika Anda melukainya, saya tak akan tinggal diam.”Suara bariton dan tegas itu seolah berhasil menyihir semua orang. Bahkan, Marla yang baru saja mendengar ucapan tak berdasar sang pria tak mampu mengatakan apapun. Namun, beberapa detik berikutnya, satu kata berputar di pikiran Marla. "Wanitaku?" Memangnya siapa pria
"Tidur ... seranjang ...." Marla menggigit bibir bawahnya gelisah. Masih menggenggam tas jinjing berisikan beberapa lembar pakaian yang ada, wanita itu melirik sisi lain ruangan yang menampilkan sang suami tengah sibuk melepas setelan kelabunya yang dipakai seharian ini. Dia memang sudah pernah melewati malam panas bersama Arjuna. Akan tetapi, waktu itu mereka seolah-olah saling tak sadarkan diri. Sekarang, dia telah resmi menjadi istri dari montir bernama Arjuna itu. Seharusnya, tidak masalah bila mereka tidur bersama. "Tenang saja," Arjuna membuka suara, "kamu bisa tidur di kamar, aku akan tidur di bawah.” Meski tak enak hati saat melihat Arjuna tertidur di bawah, setidaknya Marla mengetahui bahwa pria yang baru dinikahinya itu enggan berbuat macam-macam padanya. Diam-diam, Marla tidak bisa tertidur. Dia masih kewalahan untuk memercayai kenyataan baru yang dipikulnya sekarang ini. Padahal, dulu dia sempat berharap akan merajut masa depan yang indah bersama Yudha. Namun, kin
"Eh? Apa-apaan ini?! Siapa kalian?!"Bukan hanya Yudha dan Kamilia saja yang bingung. Bahkan, Marla menggapai tangan suaminya dengan penuh tanda tanya. Mengapa orang-orang bersetelan itu memanggil Arjuna dengan sebutan 'Tuan'?Marla memicingkan mata, menyadari jika orang-orang itu merupakan para saksi yang datang ke akad nikahnya kemarin. Dia ingin bertanya kepada Arjuna mengenai apa yang sedang terjadi. Meski sekelebatan, akad nikah yang berlangsung di KUA itu masih teringat jelas di kepala Marla.Akan tetapi, saat menoleh dia sempat memergoki Arjuna menggeleng ke arah empat pria bersetelan itu. Empat pria tersebut melempar pandang untuk beberapa saat, tetapi pada akhirnya mundur selangkah. "Nah! Saya mau tanya, apa maksud kalian tadi, hah?! Kenapa kalian malah mengelilingi saya dan suami saya seperti kami ini seorang kriminal?!" Kamilia masih meneruskan ocehannya, sedangkan diam-diam Yudha mengamati tautan tangan Arjuna dan Marla yang begitu erat. Terdapat setitik kekesalan yang b
Keesokan harinya, Marla terbangun lebih lambat dari biasanya. Begitu menilik kasur lipat milik sang suami yang berada di bawahnya, Arjuna sudah tidak ada di sana. Entah ke mana perginya, suaminya tidak meninggalkan pesan apa pun.Akan tetapi, Marla juga tidak bisa bersantai. Dia harus pergi bekerja ke toko roti tempatnya bekerja dulu. Iya, diam-diam sudah meminta tolong pada sang pemilik untuk memberikan cuti menikah selama sepekan. Sekarang, waktu berliburnya sudah habis dan dia harus bekerja lagi.Sebelum meninggalkan rumah, Marla sempat memasak sebentar sebisanya. Kemudian, wanita itu bergegas menaiki kendaraan umum menuju Toko Roti Sunny. "Aduh! Lihatlah! Jam berapa ini, La?!"Datang-datang, Marla langsung mendapatkan omelan dari sang pemilik—Bu Sani. "Maaf, Bu. Kebetulan sa—""Halah! Saya tidak terima alasan apa pun ya?! Ingat! Kamu yang memaksa untuk meminta diterima bekerja di sini dengan gaji yang sudah disepakati. Kalau kamu mau gaji yang kamu inginkan itu tidak melayang, m
"Jangan!"Belum genap berjongkok, tahu-tahu saja sebuah tangan menarik Marla untuk berdiri. Wanita itu tersentak, lantas terperangah saat mendapati sang suami telah berdiri di sampingnya. "Apa yang Anda lakukan? Bukankah sudah saya bilang, siapa saja yang berani bermacam-macam dengan saya atau dengan Marla akan merasakan akibatnya?" tukas Arjuna.Masih dengan seragam montir yang melekat, tatapan tegas Arjuna menghunjami sosok Kamilia dan Bu Sani secara bergantian.Kamilia mendecih, "Konyol sekali! Memangnya apa yang akan kamu lakukan? Kamu tidak melihat apa yang kamu pakai ini, hah? Kamu itu hanya seorang montir! Montir rendahan sepertimu tidak berhak berkata seperti itu!""Oh, jadi kamu suaminya Marla?" Bu Sani berseru tak senang. "Apa yang kamu lakukan, hah? Tidak tahukah kalau toko ini kekurangan pelanggan? Kedatangan Mbak Kamilia ini adalah satu-satunya jalan keluar supaya toko ini bisa mendapat pemasukan. Lalu, dengan seenaknya kamu mau mengancam Mbak Kamilia?""Maaf, Bu, tapi p
"Wah, lihat siapa yang datang!"Arjuna dan Marla baru saja memasuki ballroom tempat resepsi pernikahan Yudha dan Kamilia dilangsungkan. Namun, sebuah suara menghalau langkah pasangan tersebut. Tanpa perlu menoleh, siapa pun mengetahui siapa sang pemilik suara.Nyonya Besar—mantan mertuanya yang bernama Nyonya Selvi—mendekat dengan tangan terlipat di depan dada. Tatapan angkuhnya seakan-akan kembali membawa Marla pada hari-hari menyedihkan di kediaman Anugerah.Sebagai bentuk kesopanan yang tersisa, Arjuna dan Marla mengangguk sekilas. Nyonya Selvi mendecih, sebetulnya malas untuk berhadapan dengan keduanya, tetapi menyenangkan sekali mempermalukan mantan menantunya itu."Lihatlah, Marla!" titah Nyonya Selvi sembari mengarahkan dagunya ke arah pukul dua–di mana Yudha dan Kamilia sedang menyapa tamu lain. Marla menurut, menengok pelan. "Yudha dan Kamilia adalah pasangan yang cocok. Jujur saja, aku menyesal sudah memberikan Yudha izin untuk menikahimu dulu. Padahal, kalau tidak kuberikan
"A-ayah?"Seluruh kepala yang berada di ballroom terkejut. Kehadiran keluarga Wirajaya yang terkenal saja sudah menimbulkan kegemparan, apalagi dengan kenyataan bahwa anak pertama dari sosok Aryo Wirajaya terlihat di depan mata.Arjuna Wirajaya.Selama ini, eksistensinya masih berupa misteri lantaran tak pernah membersamai Aryo ataupun mewakili pria tua itu dalam beberapa kesempatan. Namun, sekarang orang-orang melihatnya secara langsung. Sang ibu serta saudara tirinya memberikan tatapan kesal, sebab kedatangan Arjuna juga tidak mereka prediksikan. Tapi mau tak mau, Lita menyapa anak tirinya itu dengan senyum yang dibuat-buat."Tidak Ibu sangka, kamu datang ke sini juga, Jun." Lita mendekat, turut memandangi sosok Marla yang mematung. Wanita itu masih kepayahan mencerna apa yang terjadi. "Dia istrimu? Kenapa kamu tidak pernah bercerita tentang pernikahanmu pada kami? Kalau kamu cerita, pastinya kami semua akan datang dan memeriahkan pernikahan kalian."Arjuna mendengkus malas. Ibu ti