Share

03. Hari Perpisahan

Melewati hari-hari dalam bayang-bayang dunia, akhirnya perpisahan itu tiba. Palu diketuk senyaring mungkin, seolah-olah mengabarkan kepada semut sekalipun jika Marla telah resmi bercerai dengan Yudha. Menggenggam erat pakaian yang dikenakan, Marla menahan diri agar tidak terlihat cengeng.

Tidak!

Dia sudah terlalu lama meratapi nasib demi mengharapkan kembali cinta mantan suaminya itu, padahal semua sangatlah tak berharga di mata Yudha.

Keluar dari ruang persidangan, seseorang menjegalnya sehingga Marla jatuh tersungkur di hadapan banyak orang. Terdengar tawa angkuh yang berasal dari belakangnya. Tanpa perlu mendongak, Marla mengetahui siapa si pemilik suara.

Kamilia bersedekap, mendengkus kasar melihat tampang menyedihkan Marla. "Lihatlah wajahmu sekarang ini, Marla! Kamu terlihat seperti babu yang kehilangannya tuannya."

"Biarlah, Kamilia," Nyonya Besar datang dengan tatapan merendahkan yang senantiasa Marla dapatkan sejak dulu, "dia manusia lemah dan rendah. Wajar saja kalau penampilannya menyedihkan seperti itu."

Marla lekas berdiri setelah menilik arloji pada pergelangan tangan kirinya. Dia harus pergi secepat mungkin. Salah satu dampak dari perpisahannya dengan Yudha ialah, bekerja lagi di toko roti dengan pemilik kejam itu.

Dia sudah meminta izin untuk menghadiri sidang perceraian terakhirnya ini, tetapi ditanggapi dengan syarat harus kembali bekerja sebelum pukul sepuluh.

"Hei! Mau ke mana kamu?!"

Kamilia mencekal lengan Marla. "Aku belum selesai bicara ya!"

Marla menghela napas lelah. Dia akan menerima perpisahannya dengan Yudha, meskipun sakit. Namun, seharusnya semua itu sudah cukup kan?

Lagi pula, sepertinya sahabat tercintanya itu sudah mendapatkan apa yang dia mau. Sekarang Yudha telah bercerai darinya, dan semestinya Kamilia tidak akan mengganggunya lagi kan?

Lantas kenapa Nyonya Besar dan Kamilia seakan-akan enggan melepasnya? Tidakkah mereka lelah lantaran telah menaburkan kesedihan secara berlebih dalam hati Marla?

"Biarkan dia pergi!"

Seruan Yudha mengalihkan tiga pasang mata tersebut. Yudha baru saja kembali dari sisi lain pengadilan untuk menghubungi sekretarisnya.

Menenggelamkan kedua tangan pada saku celana, Yudha meninggikan dagu. "Pergilah! Manusia biasa sepertimu, pastinya harus bekerja agar dapat menyambung hidup kan? Oh ya, omong-omong, tinggal di mana kamu, Marla? Beberapa hari yang lalu, aku dan orang-orang di kantor memberikan sedikit sumbangan untuk panti menyedihkan yang dikelola oleh Bu Maryam-mu itu. Ternyata, kamu tidak tinggal di sana. Memangnya, sekarang tinggal di mana kamu?"

Marla membeliak, mengepalkan kedua tangan penuh kegeraman. "Kurang ajar kamu, Mas!"

"Hm? Terserah kamu mau bilang apa, yang jelas, Bu Maryam baru saja keluar dari rumah sakit. Makanya itu, aku baik kan, mau memberi sumbangan buat Bu Maryam yang sudah tua dan tidak mampu melakukan apa-apa itu?"

"Teganya kamu berkata seperti itu, Mas!" pekik Marla.

"Nah, mau mencoba menceramahiku? Tapi, kenyataannya memang begitu, Marla. Hidupmu menyedihkan sekali ya? Tidak punya orang tua, tinggal di panti semasa hidupnya, bekerja di toko roti yang tidak laku, lalu mempunyai ibu panti yang sakit-sakitan." Kata Yudha dengan nada meremehkan.

"Satu lagi, Sayang," lanjut Kamilia, "menikah dengan kamu, tapi kamunya tidak mempunyai perasaan apa-apa sama dia. Malang sekali. Astaga, kasihan ya, Marla, setelah ini kamu harus kembali ke panti untuk merawat ibu panti yang sudah membesarkanmu itu dengan uang pas-pasan. Kalau sudah begitu, bukankah lebih baik dibiarkan sakit dan mati saja? Kamu tidak akan—"

Plak!

"Jaga perkataanmu, Kamilia!"

Kamilia terpaku, mendekat pada Yudha dengan tampang merajuk. "Yudha, lihatlah mantan istrimu yang tidak tahu diuntung ini! Dia malah menamparku! Padahal aku bicara soal kenyataan yang ada."

Yudha menggeram kesal, maju untuk memberikan tamparan balasan pada Marla. Melangkah mundur, Marla merasakan tangan Nyonya Besar menahannya supaya tidak ke mana-mana.

Marla hanya mampu menutup mata sembari menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Ini dia. Pria yang masih dicintainya akan menamparnya demi membela wanita lain, yang merupakan mantan sahabatnya sendiri. Betapa menyedihkannya kenyataan tersebut.

Akan tetapi—

Eh?

—kenapa Marla tidak merasakan apa-apa? Padahal, telah terhitung sepuluh detik sejak Yudha mengangkat tangan kanannya untuk menampar Marla.

Perlahan-lahan, Marla membuka mata. Napasnya tercekat saat mendapati kehadiran seorang pria yang sudah beberapa pekan ini tak ditemuinya, sedang menangkal pergelangan tangan mantan suami Marla dengan mudah. 

“Apa tidak malu, enteng tangan ke wanita?”

•••••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status