“Apa maksudmu?!”
“Sa-saya tidak tahu Tuan. Tiba-tiba Nona mengatakan sepertinya ban mobil bocor dan meminta berhenti di tengah jalan. Saat saya keluar, seseorang membius saya dari belakang.”
“Bagaimana bisa!” Ardiya mengumpat.
“Saya juga tidak tahu. Setelah sadar, saya ada di puskesmas. Katanya dibawa warga sekitar. Mobil juga tidak ada, karena itu saya kembali ke sini dengan bis umum.”
BRAK!!
Ardiya menggebrak meja membuat laki-laki yang berdiri di hadapannya kaget dan mundur ketakutan satu langkah dengan tangan saling berkait.
“Maksudnya apa ini…” desis Ardiya.
“Apa cewek itu kabur dari kamu juga, Kev?” Joe yang sejak tadi diam memperhatikan, berkomentar.
“Tidak mungkin! Dia meminta bantuan padaku. Bagaimana mungkin dia pergi atau kabur dariku,” bantah Ardiya.
‘Apalagi kami punya kesepakatan bahwa dia akan memberitahuka
Sosok tua yang masih berwibawa itu muncul dengan tongkat di tangannya. Di belakangnya, mengikuti Nuh, sang asisten pribadi Dananjaya.Satu tangan yang terlipat di belakang, serta raut wajah muram dengan kilatan kemarahan di matanya, jelas menandakan bahwa pria tua itu tengah menahan amarahnya.“Berani-beraninya kamu menghardik cucuku!” Dananjaya berseru marah. Tatapan tajamnya menghunus pada Melissa yang seketika seperti kehilangan kata.“A-ayah--”“Jangan panggil aku ayah!” hardik Dananjaya. “Kamu tidak berhak membuka mulut busukmu di sini, Melissa!”“Ayah!” Harsa berseru tidak terima.“Diam kamu, Harsa!” bentak Dananjaya kini pada Harsa. “Setelah apa yang telah kamu lakukan padaku, kamu masih berani membentakku?!”“Aku tidak membentak ayah. Tapi kata-kata ayah sangat keterlaluan pada istriku--”“Kamu masih membela wanita ini?
Wajah sepupu Brahmana itu begitu pucat dengan mata memerah dan bibir yang bergetar.Kenyataan yang baru ia dengar telah menghancurkan diri dan dunianya nyaris sempurna. Menghantam sisa-sisa kebanggaan dan harga diri yang ia pikir, masih menjadi hak untuknya.“Kevin…”Ardiya tersentak kaget mendengar suara Brahmana, lalu bergegas melangkah ke luar tanpa memandang kakak sepupunya itu.Namun Brahmana mengikuti Ardiya keluar dari ruang keluarga menuju ruang depan dan melangkah lebar tatkala ia hampir mencapai pundak Ardiya.“Tunggu.”Ardiya menyentak tangan Brahmana dari bahunya dan tetap melangkah cepat menghindari Brahmana.“Aku bilang tunggu!”Ardiya menghentikan langkahnya atas suara sentakan keras dari Brahmana itu.Ia menoleh ke bahu kanan dan tertawa sinis. “Kenapa? Kau mau menertawakan aku sekarang? Ternyata aku tidak lebih dari anak haram ibuku?”Kedua ta
Erwin melirik ponsel milik putrinya yang layarnya berkedip. Deretan nomor asing yang tidak diketahui oleh Erwin itu, tidak membuat Erwin merasa waspada. Justru sebaliknya, insting Erwin mengatakan panggilan masuk itu penting untuk putrinya. Karena itu, ia mengangkat tangannya dan menyentuh layar di ponsel milik putrinya yang diletakkan di atas meja dekat dirinya duduk, lalu menggeser tombol jawab. Bersamaan itu, Aruna yang sedang ke toilet --di warung makan tempat mereka mampir, keluar. “Errunnaaa.. errrponn..” Erwin berusaha memberitahu putrinya yang berjalan mendekat. Aruna terlihat sedikit terkejut dan menjawab, “Ayah, mengapa dijawab teleponnya?” Namun demikian, ia meraih ponsel itu dan menempelkannya ke telinga kanan. “Halo..” ‘Runa.. Ini aku..’ Deg. Jantung Aruna serasa melewati satu detakan. ‘Sayang, tolong jangan tutup dulu teleponnya,’ mohon penelepon ketika Aruna tidak menjawab apapun. ‘Aku butuh bicara denganmu.’ Aruna lalu bergerak menjauh dari Erwin, bergegas me
Aruna menatap ke depan dengan tubuh berguncang pelan dari mobil yang ia kendarai.Rintik hujan sedikit menghalangi pandangannya pada jalan lurus yang ramai oleh bus dan juga truk-truk besar.Pikirannya setengah melayang.Hatinya seakan kosong dan terasa hampa.Meski tekad itu telah ditetapkan di dalam dirinya, namun ternyata menyatakan secara jelas perpisahan itu di depan Brahmana, membuat separuh dirinya seakan tidak bersamanya.Aruna berulangkali meyakinkan diri.‘Ayah adalah cinta pertamaku dan cinta abadiku.’‘Agha adalah cinta yang baru kumiliki beberapa saat.’‘Tidak ada yang bisa menyuruhku memilih antara ayah dan Agha.’‘Sudah jelas, seluruh hidupku untuk membahagiakan ayah, tidak akan bisa membayar semua pengorbanan dan kasih sayang ayah padaku.’‘Meski secara tidak langsung, Agha yang menyebabkan ayah yang sesungguhnya adalah korban, menjadi pihak ber
Ardiya mengusap wajahnya lalu kedua mata itu menyorot kosong pada langit-langit kamar di apartemennya.Entah berapa lama ia tidur, perutnya terasa kosong dan letup perih terasa di dalam sana.Entah juga celekit perih itu benar-benar berasal dari perutnya atau dari hatinya. Ardiya tidak tahu.Pria itu menoleh ke arah bufet panjang di sudut kamarnya, lalu entah dari mana datangnya, sudut itu berubah menjadi sudut salah satu kamar di mansion Dananjaya yang pernah ia tempati saat kecil dulu.Di ujung sana, terbayang sosok anggun dan tampan Brahmana kecil yang duduk membaca di dekat jendela.Ya, Brahmana.Masih dapat ia ingat dengan baik, Brahmana yang tanpa kata menatap dirinya tajam saat ia mengeluarkan suara-suara berisik saat bermain mobil-mobilan.“Diamlah. Ini sudah malam.”Begitu yang dikatakan Brahmana padanya.Ardiya mengerjap. Bayangan itu kian jelas.Entah bagaimana dan mengapa, potongan memori m
Dengan patuh sang asisten segera melaksanakan perintah atasannya. Namun dalam beberapa saat, asisten itu menggeleng. “Ditolak, Pak.” “Kamu telpon ke nomor siapa?” “Bapak Fathan, executive secretary pak Brahmana, Pak.” Asisten Robert menjawab pelan. “Coba ke asisten Tuan Dananjaya,” ujar Robert gusar. Asisten Robert itu kembali melakukan perintahnya. Namun, tak lama ia kembali berujar, “Sama Pak. Ditolak.” Robert mengeluarkan ponselnya sendiri dan mengetik pesan. Beberapa detik kemudian pesan itu ia kirimkan. “Semoga Tuan Dananjaya mau menjawab telepon.” Ia lalu menunggu beberapa saat hingga pesan yang ia kirimkan terlihat telah dibaca. Dengan sedikit gugup ia lalu melakukan panggilan ke nomor asisten Dananjaya Tua. “Halo. Pak Nuh, bisa saya bicara dengan Tuan Besar?” sapa Robert sopan begitu telepon terhubung. Ia lalu menunggu. Kemudian terdengar suara berwibawa Dananjaya Tua. ‘Ada apa?’ “Se-selamat siang, Tuan Besar. Begini, perusahaan saya dalam masalah--” ‘Dan apa itu u
“Oke, oke!” Anton menyerah. “Runa emang minta tolong ama gue. Katanya mau menghindar dari orang-orang yang gangguin dia. Jadi gue dengan senang hati bantuin Runa. Runa minta gue nunggu di satu tempat dan gue membuat supir mobil yang membawa Runa, pingsan.” Pria muda itupun melanjutkan. “Runa lalu minta gue tukeran mobil ama dia. Ya gue oke-oke aja, apalagi mobil yang membawa Runa ama bokapnya, lebih bagus dari mobil yang gue punya. Gue lalu bawa mobil itu dan Runa pergi ama mobil gue.” “Lalu Aruna?” “Ya gak tau. Dia langsung pergi pake mobil gue dan gak bilang mau kemana.” Brahmana mengangkat tangan dan memberi kode pada Fathan yang langsung bergerak mendekat pada Brahmana. “Plat mobil?” tanya Fathan pada Anton. Setelah mendapatkan informasi mengenai mobil milik Anton yang dibawa Aruna, Fathan segera pergi dari sana. Tentu saja untuk segera mencari tahu kemana mobil itu pergi. Dengan mengetahui plat nomor dan jenis mobil secara jelas, akan lebih mudah melacak keberadaan Aruna se
Brahmana tertegun sekian detik.“Saya pikir saya benar. Ini pasti tentang wanita.” Syam lalu terkekeh pelan.“Ada apa, Nak?” tanyanya setelah melihat Brahmana yang masih terdiam.“Saya--” Brahmana menelan saliva. “Membuat kesalahan pada seseorang, sehingga orang itu pergi dari saya.”“Kesalahan?”“Ya, Pak Syam. Apa pak Syam ingat tentang kasus tabrak lari 2017 silam?”“2017?”“Ya, Pak.” Brahmana menarik napas dalam. Beban di dalam dadanya terasa begitu berat. Celekit nyeri ketika ia menarik napas, terasa lagi.“Saat itu pak Syam masih membimbing dan mendampingi saya. Saya meminta pak Syam untuk membereskan kasus itu.”“2017…” Syam mencoba memutar memori lamanya. “Ah.. Nak Nadiya yang tidak sengaja menabrak seorang pria?”“Bapak ingat?”Syam mengangguk. &ldquo