Rani berhambur mejatuhkan pelukan pada tubuh Asma saat wanita berbalut kerudung itu tiba. Seketika tangisan Rani pecah di dalam pelukan Asma. Sekuat tenaga, Asma menahan air mata yang memenuhi pelupuk matanya."Bagaimana keadaan Umi, Ran?" lirih Asma degupan jantungnya semakin berpacu cepat. Tubuhnya bergetar hebat.Sepersekian detik Rani terus menangis. Ia engan untuk menjawab pertanyaan Asma. Membuat Asma semakin cemas dilanda kekhawatiran.Asma menarik paksa tubuh Rani dari pelukannya. "Umi sedang koma, Mbak sekarang," lirih Rani di banjiri air mata. "Koma? bagaimana bisa, Rani?" cetus Asma mengeryitkan dahinya. Wajahnya menegang menatap pada Rani. Hu ... hu ..."Katakan, Ran?" sentak Asma mengguncang bahu Rani yang terus saja menangis."Kemarin sore Umi terjatuh di belakang rumah. Aku dan Bang Azhar segera membawa ibu ke rumah sakit. Dokter mengatakan jika di temukan tumor di kepala ibu dan harus segera diangkat," jelas Rani seraya terisak. Asma membuang nafas berat. Tubuhnya t
Wisnu memutuskan untuk meninggalkan rumah dan menyusul Asma ke kampung halamannya. Hal itu semakin membuat Tuan Sangir murka. Apalagi Wisnu meninggalkan Nada, saat wanita itu sedang dalam keadaan baik-baik saja. Ia takut jika Nada akan mengadu pada Tuan Seno tentang apa yang telah terjadi."Ayah akan menghukum Wisnu, Nad! Kamu tenang saja," cetus Tuan Sangir pada Nada yang masih tergugu dalam tangisannya. Wanita itu terlihat sangat sedih sekali karena Wisnu sudah meninggalkannya."Dasar anak kurang ajar!" hardik Tuan Sangir meradang. Wajahnya merah menyala.Danil yang berada di samping Nada berusaha untuk menenangkan wanita itu. Ia mengusap lembut bahu Nada yang bergetar hebat. "Semua sudah terlambat ayah," balas Nada mengalihkan tatapannya pada Tuan Sangir. "Mas Wisnu sudah tidak mencintai aku lagi, dia lebih memilih wanita bodoh itu," Isak Nada.Lelaki dengan rambut yang dipenuhi oleh uban itu menjatuhkan tatapan penuh iba pada Nada. Ia tau jika Nada sebenarnya sangat menyayangi Wi
Tubuh Asma terduduk lesu saat membaca deretan tagihan yang harus ia bayar untuk Umi. Sesaat pandangannya menjadi gelap, ia tidak tau dari mana bisa mendapatkan uang sebanyak itu."Berapa, As?" tanya Ustaz Azhar menyadarkan Asma. Asma menoleh dengan wajah lesu, lalu menyodorkan secarik kertas yang baru saja suster berikan padanya, kepada lelaki yang duduk di sampingnya.Wajah Ustaz Azhar berubah sesaat. "Apakah ini sudah termasuk biaya operasi yang harus segera kita lunasi?" tanya Ustaz Azhar mengalihkan tatapannya dari secarik kertas yang berada di tangannya lalu pada Asma. Wanita berkerudung merah muda itu menggeleng lembut. "Belum, Ustaz, ini baru perawatan selama Umi di rumah sakit ini," balas Asma lirih. Hampir saja lelaki yang berada di sampingnya tidak mendengar jawaban Asma yang terlalu pelan.Ustaz Azhar terdiam sesaat, lalu membuang nafas berat. "Maaf As, aku tidak memiliki uang untuk membantu. Semenjak kejadian dulu, Ibu melarangku untuk ... " Ustaz Azhar menjeda ucapannya.
Ini adalah kali pertama Tuan Sangir mengunjungi salah satu perkebunan miliknya yang terletak cukup jauh' dari kota Jakarta. Setelah sekian lama ia tidak menginjakkan kakinya di tanah berudara dingin itu. Jika bukan karena Wisnu, ia tidak akan datang ke perkebunan itu. Semua ini ia lakukan demi menyelamatkan seluruh harta kekayaannya. Karena, kalau saja Tuan Seno, kakek dari Nada tau apa yang telah terjadi sebenarnya. Lelaki itu tidak akan segan-segan untuk menarik semua saham dan investasi yang telah ia berikan pada perusahaan Tuan Sangir. Itulah mengapa Tuan Sangir sangat menjaga hubungan Wisnu dan Nada. Lelaki itulah yang juga telah merencanakan untuk mendapatkan keturunan Wisnu dari wanita lain. Agar Tuan Seno semakin senang dan akan memberikan hartanya lebih banyak lagi untuk Wisnu dan Nada."Hamzah, apakah perjalanan kita masih jauh?" tanya Tuan Sangir. Ia menatap pada lelaki yang duduk pada bangku kemudi yang berfokus pada jalanan yang berada di depan mobil."Tidak Tuan, sebenta
Lelaki bertubuh tinggi tegap berlari kecil menghampiri Tuan Sangir setelah ia mengelilingi rumah Wisnu."Tidak ada siapapun, Tuan," adunya pada Tuan Sangir. Lelaki bertubuh tinggi besar itu membuang nafas berat. Mengalihkan tatapannya pada langit hitam yang mulai bergelayut. Sebentar lagi hujan pasti akan turun dengan derasnya."Bagaimana kalau kita cari di rumah mertua Tuan Wisnu," usul Hamzah menatap lelaki tanpa ekspresi yang berdiri di depannya.Tuan Sangir mengalihkan tatapannya pada Hamzah. Sejenak ia terdiam, lalu berucap. "Tidak perlu, besok saja kita datangi rumah ini lagi," tegasnya.Hamzah mengangguk lembut tanda mengerti. Ia segera mengikuti langkah Tuan Sangir menuruni jalanan setapak menuju mobil yang terparkir pada jalanan di ujung lorong menuju rumah Wisnu."Tidak, tidak boleh ada satupun orang yang mengenaliku. Aku sudah menutup rapat semua masalalu itu," batin Tuan Sangir kian berkecamuk. Lelaki dengan wajah cemas itu segera masuk ke dalam mobil sebelum ada satupun
Kabut tebal masih menyelimuti langit perkampungan tempat Tuan Sangir berada. Lelaki yang berdiri di samping jendela kamar itu hanya terdiam menatap ke arah luar jendela. Benaknya mengembara jauh, tentang masalalu yang belum usai. Ingatan itu begitu membekas di dalam kepalanya."Sekar, Sekar, maafkan aku! Aku sama sekali tidak bermaksud melakukan hal itu padamu," lirih Tuan Sangir muda dengan wajah ketakutan. Ia tidak menemukan wanita bernama Sekar di dalam curamnya jurang. Hanya tanaman liar yang bergerombol di dasar jurang.Dengupan jantung Tuan Sangir memburu sangat cepat. Bahkan peluh hampir membanjiri seluruh tubuhnya. Lelaki itu sangat ketakutan sekali, padahal ia sama sekali tidak berniat untuk membunuh wanita yang sangat ia cintai.Suara tangis Danil yang saat itu masih bayi melengking keras. Tuan Sangir tidak bisa memenangkan bayi yang berada di dalam gendongannya, meskipun ia telah berusaha untuk membuat bayi itu terdiam."Diamlah, Nak! Aku mohon!" ucap Tuan Sangir kebingunga
Tuan Sangir membunuh kedua orang tua Sekar dengan cara membabi buta. Tapi sayangnya saat ia melakukan kejahatan itu ada seseorang yang memilihnya. Pemuda kampung yang kebetulan hendak mengantarkan obat untuk Danil yang saat itu sedang demam.Malam yang semakin larut membuat Tuan Sangir tidak bisa menemukan jejak pemuda yang mengetahui pembunuh itu. Akhirnya Tuan Sangir pasrah dan membawa Danil yang masih bayi, pada seorang wanita yang di tinggal di kampung cukup jauh' dari kampung tempat tinggal Tuan Sangir. Ia tidak mungkin membawa Danil kecil ke rumahnya."Apa ini, Tuan Sangir?" tanya wanita itu terkejut saat tiba-tiba Tuan Sangir memberikan bayi mungil itu pada wanita tersebut."Aku titip anak ini, jaga dia baik-baik. Aku yang akan mencukupi semua kebutuhannya nanti," ucap Tuan Sangir.Wanita dengan rambut disanggul itu menjatuhkan tatapan serius pada balita yang ada di dalam gendongannya dengan tatapan tegang. Ia hendak menolak, tapi ia sama sekali tidak memiliki keberanian tentan
Tubuh Asma luruh bersimpuh depan pintu. Debaran jantungnya berdegup tidak beraturan. Bahkan netranya masih basah bekas air mata yang mengalir. Pandangannya menatap pada dua lelaki yang berjalan meninggalkannya di depan pintu rumah. Setelah ia berhasil mempertahankan harga dirinya atas tawaran Tuan Sangir."Tidak ada yang mampu membeli keluargaku. Apalagi cintaku dengan Bang Wisnu," lirih Asma menyakinkan dirinya sendiri. Bahwa keputusan yang baru saja ia ambil adalah benar dan ia tidak akan menyesali hal itu.Sepersekian detik Asma terduduk. Wanita berkerudung coklat itupun segera bangkit dan masuk ke dalam rumah. Ia telah sepakat untuk menjual tanah berserta rumah yang selama ini ia tinggali untuk membiayai pengobatan Umi. Karena hanya itulah harta yang Asma miliki.Beberapa barang-barang telah Asma kemasi dalam kardus besar. Wisnu telah berjanji, sesaat lagi ia akan kembali ke rumah setelah mendapatkan mobil sewaan yang akan ia gunakan untuk mengangkut barang-barang itu ke rumah Umi