Kabut tebal masih menyelimuti langit perkampungan tempat Tuan Sangir berada. Lelaki yang berdiri di samping jendela kamar itu hanya terdiam menatap ke arah luar jendela. Benaknya mengembara jauh, tentang masalalu yang belum usai. Ingatan itu begitu membekas di dalam kepalanya."Sekar, Sekar, maafkan aku! Aku sama sekali tidak bermaksud melakukan hal itu padamu," lirih Tuan Sangir muda dengan wajah ketakutan. Ia tidak menemukan wanita bernama Sekar di dalam curamnya jurang. Hanya tanaman liar yang bergerombol di dasar jurang.Dengupan jantung Tuan Sangir memburu sangat cepat. Bahkan peluh hampir membanjiri seluruh tubuhnya. Lelaki itu sangat ketakutan sekali, padahal ia sama sekali tidak berniat untuk membunuh wanita yang sangat ia cintai.Suara tangis Danil yang saat itu masih bayi melengking keras. Tuan Sangir tidak bisa memenangkan bayi yang berada di dalam gendongannya, meskipun ia telah berusaha untuk membuat bayi itu terdiam."Diamlah, Nak! Aku mohon!" ucap Tuan Sangir kebingunga
Tuan Sangir membunuh kedua orang tua Sekar dengan cara membabi buta. Tapi sayangnya saat ia melakukan kejahatan itu ada seseorang yang memilihnya. Pemuda kampung yang kebetulan hendak mengantarkan obat untuk Danil yang saat itu sedang demam.Malam yang semakin larut membuat Tuan Sangir tidak bisa menemukan jejak pemuda yang mengetahui pembunuh itu. Akhirnya Tuan Sangir pasrah dan membawa Danil yang masih bayi, pada seorang wanita yang di tinggal di kampung cukup jauh' dari kampung tempat tinggal Tuan Sangir. Ia tidak mungkin membawa Danil kecil ke rumahnya."Apa ini, Tuan Sangir?" tanya wanita itu terkejut saat tiba-tiba Tuan Sangir memberikan bayi mungil itu pada wanita tersebut."Aku titip anak ini, jaga dia baik-baik. Aku yang akan mencukupi semua kebutuhannya nanti," ucap Tuan Sangir.Wanita dengan rambut disanggul itu menjatuhkan tatapan serius pada balita yang ada di dalam gendongannya dengan tatapan tegang. Ia hendak menolak, tapi ia sama sekali tidak memiliki keberanian tentan
Tubuh Asma luruh bersimpuh depan pintu. Debaran jantungnya berdegup tidak beraturan. Bahkan netranya masih basah bekas air mata yang mengalir. Pandangannya menatap pada dua lelaki yang berjalan meninggalkannya di depan pintu rumah. Setelah ia berhasil mempertahankan harga dirinya atas tawaran Tuan Sangir."Tidak ada yang mampu membeli keluargaku. Apalagi cintaku dengan Bang Wisnu," lirih Asma menyakinkan dirinya sendiri. Bahwa keputusan yang baru saja ia ambil adalah benar dan ia tidak akan menyesali hal itu.Sepersekian detik Asma terduduk. Wanita berkerudung coklat itupun segera bangkit dan masuk ke dalam rumah. Ia telah sepakat untuk menjual tanah berserta rumah yang selama ini ia tinggali untuk membiayai pengobatan Umi. Karena hanya itulah harta yang Asma miliki.Beberapa barang-barang telah Asma kemasi dalam kardus besar. Wisnu telah berjanji, sesaat lagi ia akan kembali ke rumah setelah mendapatkan mobil sewaan yang akan ia gunakan untuk mengangkut barang-barang itu ke rumah Umi
Degupan jantung Asma berpacu semakin cepat. Berjalan mondar mandir dengan perasaan takut di depan ruangan Dokter yang menangani Umi."Bagaimana ini, Mbak?" lirih Rani yang tidak kalah paniknya dengan Asma. Wanita berkerudung itu menoleh pada Rani dengan tatapan gusar."Kita tunggu Bang Wisnu dulu, Ran," balas Asma mencoba menenangkan Rani. Sekalipun hatinya sendiri sedang tidak baik-baik saja.Suara derit pintu mengalihkan tatapan Asma dan Rani. Kedua wanita bersaudara itu mempercepat langkah kakinya menghampiri Wisnu yang muncul dari balik pintu ruangan dokter yang terbuka. Diikuti langkah kaki Ustaz Azhar di belakang punggung Wisnu."Bang, apa yang Dokter katakan?" seloroh Asma menjatuhkan tatapan cemas pada Wisnu yang berdiri di depannya.Sepersekian detik Wisnu bungkam. Ia menatap lekat pada Asma. Wanita berkerudung coklat itu sekuat tenaga menahan gerombolan air mata yang memenuhi pelupuk matanya. Tubuhnya gemetaran dengan wajah penuh kekhawatiran."Operasi Umi gagal, As. Dokter
Wisnu berjalan cepat menghampiri Asma yang sudah menunggu di rumah sakit. Beberapa petugas kesehatan telah bersiap untuk menemani Umi ke Jakarta. Mobil ambulans pun sudah menunggu di luar."Bagaimana apakah semuanya sudah siap?" tanya Wisnu yang baru tiba pada Asma dan Rani yang terlihat gusar. Sementara Ustaz Azhar, tidak nampak diantara mereka."Sudah bang!" jawab Asma cepat. "Bagaimana, apakah Abang mendapatkan uangnya?" cetus Asma menjatuhkan tatapan penasaran. Kekhawatiran masih saja menyelimuti wajah wanita itu. "Dapat As, dapat!" balas Wisnu cepat. "Alhamdulillah!" Asma dan Rani berucap penuh rasa syukur. Kedua saudara itu terlihat sangat lega sekali."Ayo, As, kita harus segera membawa Umi," ajak Wisnu dengan nada memburui. "Iya Bang!" jawab Asma cepat. Asma segera memberikan aba-aba pada suster yang sudah bersiap mendorong rajang pasien di mana Umi berada. Mereka segera membawa Umi menuju mobil ambulans yang sudah menunggu._____Tuan Sangir menarik kedua sudut bibirnya t
"Ibu harus menjaga Uwak Sarto. Tadi dia menyerang seseorang di perkebunan teh. Untung ada aku yang melihat, jadi bisa menolong orang itu," ucap Ustaz Azhar dengan nada kesal pada Ibu Fatimah yang terduduk lesu pada bangku di ruang tamu rumahnya."Lebih baik, uwak Sarto jangan dibiarkan keluar, Bu!" imbuh Ustaz Azhar mejatuhkan tubuhnya duduk pada bangku yang berada di depan Ibu Fatimah. Wanita itu menatap sesaat pada Ustaz Azhar. Lalu membuang nafas berat."Uwak kamu itu tidak gila, Azhar. Dia hanya trauma. Apalagi setelah kematian Kakek kamu yang dibunuh. Jadi dia selalu berpikir seperti itu," tutur Ibu Fatimah, raut wajahnya berubah sedih. Seperti paham betul apa yang adik satu-satunya rasakan.Ustaz Azhar menatap sesaat lalu membuang nafas berat. "Aku tau Bu, tapi Iwak Sarto sudah membahayakan orang lain," debat Ibu Fatimah.Lagi-lagi wanita berkerudung hitam itu hanya bisa terdiam. Ia tidak memiliki alasan untuk membela apa yang telah Uwak Sarto lakukan. Sebenarnya, selama beberap
"Nad!" ucap Wisnu dengan bibir bergetar. Wanita yang duduk di kursi roda itu hanya terdiam menjatuhkan tatapan datar pada Wisnu. Namun tatapan itu cukup membuat nyali Wisnu sebagai seorang lelaki menciut. Ia terlihat menjadi salah tingkah."A, apa yang sedang kamu lakukan di sini, Nad?" cetus Wisnu terbata. "Lama tidak jumpa Mas?" celetuk Nada datar. Ucapan itu membuat Wisnu menjadi semakin salah tingkah. "Rupanya dunia ini memang sangat sempit sekali, Mas. Aku tidak menyangka jika kita akan bertemu di sini," imbuh Nada dengan nada sinis."Hari ini adalah jadwalku untuk melepaskan perban di kakiku," imbuh Nada menarik kedua sudut bibirnya sinis.Wisnu mematung sesaat. Ia bergegas keluar dari dalam lift, karena ada beberapa orang yang juga hendak masuk."Aku akan mengantarkan kamu," celetuk Wisnu seperti orang yang kebingungan.Nada terdiam, menatap seksama lelaki yang berdiri di depanya. "Apakah kamu yakin, Mas?" celetuk Nada. Sepesekian detik Wisnu hanya terdiam. Lelaki itu bergegas
"Wak Sarto!""Wak Sarto!"Suara teriakan itu menggema memacah suara derasnya hujan yang turun. Petir yang menyambar saling bersahutan bersamaan dengan seruan nama Wak Sarto yang dikumandangkan oleh para penduduk kampung. Mereka bersorak mencari keberadaan lelaki yang memiliki gangguaan kejiwaan itu. Danil melonjak dengan wajah waspada. Suara panggilan itu terdengar hingga ke telinganya. "Sudah di sini saja!" cegah lelaki berambut gondrong mejatuhkan tatapan tagang pada Danil saat Danil terlihat semakin penasaran.Rasa kebingungan dan penasaran bercampur menjadi satu. Semetara suara itu terdengar semakin mendekat ke rumah tempat Danil berada saat ini. "Bagaimana kamu tau nama itu?" cetus Uwak Sarto mengalihkan tatapan Danil. Lelaki bertubuh jangkung itu terlihat cemas dan penasaran. Kedua matanya sedikit membuka."Aku akan melihat sebentar ke depan," ucap Danil hendak bangkit. Tapi sayangnya dengan cepat sebuah tangan menjegal pergelangan tangannya. "Tetap di sini, atau kamu akan m
Tidak ada yang bisa menyembuhkan kerinduan kecuali pertemuan. Segalanya nelangsa sirna, saat raga mampu mendekap tubuh yang terkasih secara sempurna. Jarak yang membelah, kini hanya menjadi sepenggal cerita manis. Melebur menjadi sebuah kisah bahagia."Ibu!" Gala terisak di dalam pelukan Nada. Tangis dua manusia yang tidak memiliki hubungan darah itu pecah. Menumpahkan segala dahaga yang selama ini tertahan."Maafkan ibu, Gala!" lirih Nada di sela-sela tangisannya. "Jangan tinggalkan ibu!" pinta Nada, memohon.Gala mengusap lembut pipi Nada yang basah oleh air mata. Menjatuhkan tatapan teduh pada wanita yang lebih tinggi darinya itu."Tidak Bu, aku tidak akan meninggalkan ibu!" ucap Gala, suaranya terdengar sumbang. Karena terlalu banyak menangis.Wisnu yang mematung di halaman rumah hanya terdiam seraya menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum kecil. Ia tidak menyangka jika darah dagingnya bisa sesayang itu pada Nada. Wanita yang telah ia benci selama ini._____Satu bulan telah berl
Nada memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Melihat ke arah wanita dengan setelan seragam kerja yang sedang menatap ke arahnya."Saya sedang mencari pemilik apartemen ini?" Nada mengarahkan jari telunjuknya pada pintu apartemen yang ada di depannya."Saya pemilik apartemen ini!" jawab Hanum dengan tatapan sedikit bingung. Tetapi entah mengapa ia merasa pernah melihat sosok Nada sebelumnya. Tetapi lupa di mana ia pernah melihatnya.Kepulan asap putih dari gelas yang berada di depan Nada menyeruak ke udara. Aroma terapi Jasmine sedikit menghilangkan perasaan khawatir yang sejak tadi melanda hati Nada."Saya Nada, saya mencari keberadaan Gala?" seloroh Nada setelah meletakkan gelas teh yang baru saja ia sesap.Wajah Hanum berubah sesaat. Tatapan yang sulit sekali untuk Nada artikan."Apakah anda orang itu?" celetuk Hanum menebak. Puzzle kisah cinta segitiga Wisnu, Asma dan wanita yang duduk di sudut bangku ruangannya telah sempurna. Sekarang ia bisa membingkainya dengan baik.Dari pert
Cuaca panas tidak hanya terjadi di kota Medan. Hampir di seluruh kota yang berada di Indonesia. Hal seperti ini akan terjadi selama kurang lebih enam bulan ke depan. Hingga musim kemarau berakhir dan berganti dengan musim penghujan.Pengacara Arif membawa Nada menuju sebuah restauran cepat saji yang berada di pusat kota. Sebuah restoran yang menjual makan khas Padang."Nyonya mau makan apa?" ucap pengacara Arif mengalihkan tatapannya dari buku menu pada Nada. "Terserah Pak Arif saja," balas Nada tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja. Netranya terus mengawasi Sekertaris Arif yang semakin lama menjadi salah tingkah oleh tatapan Nada.Setelah memesan makanan lelaki itu mulia dengan tujuannya untuk mendatangi Nada ke pulau seberang.Wajah pengacara yang tidak lagi muda itu berubah lesu, penuh dengan penyesalan. Sesekali ekor matanya melirik pada Nada yang sejenak tadi mengawasinya dengan tatapan tidak suka."Saya minta maaf, Nyonya Nada. Karen
Tubuh Gala terhuyun jatuh di lantai. Wisnu tidak sempat menghalangi peluru yang hendak menembus dada Gala. Timah panas itu melesat cepat dan berhenti tepat di jantung Gala."Gala, bangun Gala!" Wisnu menarik tubuhnya Gala di atas pangkuannya. Dar*h dengan cepat menyebar pada bagian dada Gala yang tertembus timah panas. Kemeja putih yang Gala kenakan, berubah warna menjadi merah dar*h"Polisi, tolong!" teriak Wisnu panik.Wajah Danil mendadak berubah cemas. Para polisi yang sejak tadi memang mengintai cepat mengeluarkan diri dari persembunyiannya. "Sialan!" decak Danil meradang. Beberapa lelaki berseragam kepolisian muncul satu persatu masuk ke dalam ruangannya."Gala, bangun Gala!" Wisnu mengucang tubuh' Gala. Nafasnya yang mulia melemah membuat Wisnu semakin takut.Kedipan mata Gala melemah. Sakit yang mendadak menyiksanya, perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya."Ibu ....!" lirih Gala sebelum akhirnya ia memejamkan kedua matanya dan tidak sadarkan diri."Gala, bangun!" teriak Wisnu
Memilih tidak menceritakan apapun pada Wisnu adalah pilihan Gala. Sekalipun lelaki itu terus mendesaknya dan hampir seperti memaksa. Tetapi Gala tetap menyimpan permasalahan yang terjadi antara dirinya dan Danil sendirian.Berita kematian Gala semakin menyebar luas. Setelah sebulan berlalu di temukannya mobil yang Gala kendarai meringsek ke dalam jurang. Meskipun jenazah Gala tidak di temukan, tetapi media membuat berita sedemikian rupa. Jurang yang dalam menjadi dugaan tempat jasad Gala berada. Apalagi di bawah jurang itu ada aliran sungai yang cukup deras. Membuat pihak sars menyudahi pencarian setelah semua usaha tidak mendapatkan hasil.Selama pemulihan Gala memilih bersembunyi di rumah Wisnu. Hanya lelaki itulah yang menjadi andalan Gala saat ini. Menghilang dari Danil agar lelaki itu senang karena mengetahui jika Gala telah tiada."Sudah tidak terlalu sakit, Hanum!" suara yang terdengar seperti rengekan itu menghentikan langkah kaki Wisnu yang hendak menuju pintu utama rumah.Ke
Aroma anyir menusuk pangkal hidung Wisnu. Perlahan setelah kesadarannya kembali. Tetapi entah mengapa kepalanya terasa sangat sakit sekali. Tanpa sadar, tangan kanan Wisnu memegangi sudut pelipisnya. Dan ia bisa merasakan ada sesuatu yang keluar dari pelipis lelaki itu dan sangat perih sekali.Wisnu membiarkan tubuhnya terbaring di atas rerumputan beberapa saat. Rekaman kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu berputar kembali di dalam kepalanya. Bergegas ia bangkit saat teringat dengan Gala dan mobil yang terperosok hampir masuk ke dalam jurang."Gala, di mana dia?" Wisnu bangkit dengan wajah panik duduk di atas rerumputan. Tatapannya menyapu ke sekeliling tebing. Tetapi ia tidak melihat keberadaan Gala. Hanya sebuah mobil yang terangkut pada pohon yang ada di bibir jurang.Perasaan khawatir seketika menguasai Wisnu. Seingatnya sebelum mobil yang kini tersangkut pada pohon yang berada di tepi jurang itu meringsek, Wisnu telah mendorong tubuh Gala ke arah pintu. Tetapi dia tidak
Setelah Danil menolak ajakan sarapan paginya, Gala terpaksa menikmati serapan itu sendirian. Sebenarnya ia tahu, pasti Danil saat itu sangat marah karena niatannya untuk menyingkirkan Gala tidak berhasil. Sementara nasib Bibik, Gala belum tahu pasti. Yang jelas wanita itu pasti kena hukuman berat. Begitu dugaan Gala.Ekor mata Gala melirik pada jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Masih ada waktu yang cukup lama untuk ia berangkat ke kantor.Rasa penasaran masih menganggu pikiran Gala. Tegang surat wasiat yang Nada katakan kepadanya. Jika sebenarnya dirinyalah pewaris utama seluruh harta Tuan Seno. Tetapi sampai detik ini, Gala tidak menemukan di mana lelaki bertubuh jangkung itu menyembunyikan surat wasiat itu.Cukup pelan Gala menyeret langkah kakinya menaiki anak tangga menuju kamar Danil. Dugaan Gala kali ini, Danil menyembunyikan surat wasiat itu di dalam kamarnya. Hanya ada dua tempat di rumah itu yang memungkinkan Danil menyimpan sesuatu. Yaitu ruang ke
Bergegas Gala turun dari bangku. Memperhatikan dengan seksama kucing berwarna orange yang mendadak kejang dengan mulut berbusa. Melihat dari tanda-tandanya kucing itu sepertinya mengalami keracunan."Tidak salah lagi!" guman Gala yakin dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Jika ada seseorang yang menginginkannya mati.Gala bangkit berdiri. Tatapannya tajam melihat ke arah makanan yang tersaji di atas meja makan. Beruntungnya belum ada satupun makanan yang masuk ke dalam mulut Gala. "Aku harus lebih berhati-hati lagi!" monolog Gala dengan tatapan serius.____Danil menatap terkejut saat baru kembali ke rumah. Pemuda tampan itulah yang membukakan pintu rumah untuknya. Keringat dingin seketika membahasi sekujur tubuh Danil.Sepersekian detik Danil mematung di depan pintu rumah. Menatap pada Gala yang tengah melemparkan senyuman kepadanya dengan wajah yang sedikit malas khas seorang yang baru bangun dari tidur."Ayah, kenapa pulang larut malam sekali?" seloroh Gala terdengar malas. Ke
"Gala kamu kenapa?" seloroh Wisnu.Gala terseret kembali dari lamunannya. Sekarang ia sudah menemukan siapa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Jawaban yang sudah sangat jelas sekali.Tidak terasa sudut mata Gala pun telah basah. Cepat ia mengusap genangan itu agar tidak berjejak. Ia tidak ingin Wisnu melihat hal itu.Bagaimana tidak sakit, menemukan wanita yang telah melahirkannya tetapi dalam perpisahan yang menyakitkan. Hanya sebait kenangan yang bisa Gala ingat. Jika Asma juga tidak kalah sayangnya kepadanya. Hingga hampir gila saat Nada mengambil Gala dari kehidupannya."Aku banyak sekali bersalah pada Asma." Helaan nafas Wisnu terdengar jelas. Suaranya yang menggelar terdengar penuh kesedihan.Kerongkongan Gala terasa kering. Hanya sedikit ia menelan salivanya. Selebihnya, tatapan matanya tidak beralih sedikitpun dari Wisnu."Memangnya kesalahan apa yang sudah Om Wisnu lakukan?" ucap Gala."Banyak Gala. Kesalahanku sudah tidak termaafkan oleh Asma." Tatapan mata Wisnu meli