Wisnu berjalan cepat menghampiri Asma yang sudah menunggu di rumah sakit. Beberapa petugas kesehatan telah bersiap untuk menemani Umi ke Jakarta. Mobil ambulans pun sudah menunggu di luar."Bagaimana apakah semuanya sudah siap?" tanya Wisnu yang baru tiba pada Asma dan Rani yang terlihat gusar. Sementara Ustaz Azhar, tidak nampak diantara mereka."Sudah bang!" jawab Asma cepat. "Bagaimana, apakah Abang mendapatkan uangnya?" cetus Asma menjatuhkan tatapan penasaran. Kekhawatiran masih saja menyelimuti wajah wanita itu. "Dapat As, dapat!" balas Wisnu cepat. "Alhamdulillah!" Asma dan Rani berucap penuh rasa syukur. Kedua saudara itu terlihat sangat lega sekali."Ayo, As, kita harus segera membawa Umi," ajak Wisnu dengan nada memburui. "Iya Bang!" jawab Asma cepat. Asma segera memberikan aba-aba pada suster yang sudah bersiap mendorong rajang pasien di mana Umi berada. Mereka segera membawa Umi menuju mobil ambulans yang sudah menunggu._____Tuan Sangir menarik kedua sudut bibirnya t
"Ibu harus menjaga Uwak Sarto. Tadi dia menyerang seseorang di perkebunan teh. Untung ada aku yang melihat, jadi bisa menolong orang itu," ucap Ustaz Azhar dengan nada kesal pada Ibu Fatimah yang terduduk lesu pada bangku di ruang tamu rumahnya."Lebih baik, uwak Sarto jangan dibiarkan keluar, Bu!" imbuh Ustaz Azhar mejatuhkan tubuhnya duduk pada bangku yang berada di depan Ibu Fatimah. Wanita itu menatap sesaat pada Ustaz Azhar. Lalu membuang nafas berat."Uwak kamu itu tidak gila, Azhar. Dia hanya trauma. Apalagi setelah kematian Kakek kamu yang dibunuh. Jadi dia selalu berpikir seperti itu," tutur Ibu Fatimah, raut wajahnya berubah sedih. Seperti paham betul apa yang adik satu-satunya rasakan.Ustaz Azhar menatap sesaat lalu membuang nafas berat. "Aku tau Bu, tapi Iwak Sarto sudah membahayakan orang lain," debat Ibu Fatimah.Lagi-lagi wanita berkerudung hitam itu hanya bisa terdiam. Ia tidak memiliki alasan untuk membela apa yang telah Uwak Sarto lakukan. Sebenarnya, selama beberap
"Nad!" ucap Wisnu dengan bibir bergetar. Wanita yang duduk di kursi roda itu hanya terdiam menjatuhkan tatapan datar pada Wisnu. Namun tatapan itu cukup membuat nyali Wisnu sebagai seorang lelaki menciut. Ia terlihat menjadi salah tingkah."A, apa yang sedang kamu lakukan di sini, Nad?" cetus Wisnu terbata. "Lama tidak jumpa Mas?" celetuk Nada datar. Ucapan itu membuat Wisnu menjadi semakin salah tingkah. "Rupanya dunia ini memang sangat sempit sekali, Mas. Aku tidak menyangka jika kita akan bertemu di sini," imbuh Nada dengan nada sinis."Hari ini adalah jadwalku untuk melepaskan perban di kakiku," imbuh Nada menarik kedua sudut bibirnya sinis.Wisnu mematung sesaat. Ia bergegas keluar dari dalam lift, karena ada beberapa orang yang juga hendak masuk."Aku akan mengantarkan kamu," celetuk Wisnu seperti orang yang kebingungan.Nada terdiam, menatap seksama lelaki yang berdiri di depanya. "Apakah kamu yakin, Mas?" celetuk Nada. Sepesekian detik Wisnu hanya terdiam. Lelaki itu bergegas
"Wak Sarto!""Wak Sarto!"Suara teriakan itu menggema memacah suara derasnya hujan yang turun. Petir yang menyambar saling bersahutan bersamaan dengan seruan nama Wak Sarto yang dikumandangkan oleh para penduduk kampung. Mereka bersorak mencari keberadaan lelaki yang memiliki gangguaan kejiwaan itu. Danil melonjak dengan wajah waspada. Suara panggilan itu terdengar hingga ke telinganya. "Sudah di sini saja!" cegah lelaki berambut gondrong mejatuhkan tatapan tagang pada Danil saat Danil terlihat semakin penasaran.Rasa kebingungan dan penasaran bercampur menjadi satu. Semetara suara itu terdengar semakin mendekat ke rumah tempat Danil berada saat ini. "Bagaimana kamu tau nama itu?" cetus Uwak Sarto mengalihkan tatapan Danil. Lelaki bertubuh jangkung itu terlihat cemas dan penasaran. Kedua matanya sedikit membuka."Aku akan melihat sebentar ke depan," ucap Danil hendak bangkit. Tapi sayangnya dengan cepat sebuah tangan menjegal pergelangan tangannya. "Tetap di sini, atau kamu akan m
"Danil, apa yang kamu lakukan?" sentak Tuan Sangir bangkit. Satu tangannya memegangi sudut bibirnya yang berdarah. Wajahnya terkejut menatap pada Danil. Danil mencengkram kerah baju yang Tuan Sangir kenakan. "Dasar pembunuh!" hardik Danil, rahangnya mengeras dengan wajah merah menyala. "Kamu pikir aku tidak tau apa yang sudah kamu lakukan selama ini?" sentak Danil, amarahnya semakin meledak-ledak."Tuan Sangir, Tuan Danil?" Hamzah datang berlari tergopoh-gopoh. Lelaki itu terkejut mendapati Danil yang hendak menjatuhkan tinjuan untuk yang kesekian kalinya pada Tuan Sangir."Cukup, Tuan Danil! Hentikan!" titah Hamzah. Suara berat lelaki itu menggema di seluruh penjuru. Ia menarik paksa tubuh' Danil, lalu menghempaskannya hingga terpelanting ke ujung beranda rumah. Sebelum tinjuannya mengenai Tuan Sangir.Tuan Sangir terengah-engah. Dadanya bergemuruh, bergerak naik turun. Cengkraman tangan Danil cukup menyayat kulit lehernya, mungkin terkena kuku-kuku tajam Danil. Darah segar mengalir
"Tidak tolong lepaskan aku!" teriak suara menggelegar itu mengalihkan semua tatapan mata ke arah ujung jalan menuju Villa. Seorang lelaki berambut gondrong yang hampir menutupi seluruh bagian wajahnya meronta tak kala seorang pekerja di perkebunan menarik tubuhnya paksa menuju halaman Villa."Lepaskan aku sialan!" sentak lelaki berambut gondrong yang sama sekali tidak dihiraukan oleh lelaki bertubuh tegap itu. "Tuan, saya mohon Tuan, lepaskan adik saya!" seru seorang wanita berjalan cepat mengekori langkah lelaki yang menyeret tubuh Wak Sarto. Dengan berlinang air mata, Ibu Fatimah terus memohon.Lelaki bertubuh tegap itu menghempaskan tubuh Wak Sarto di depan para lelaki berambut gondrong yang berbaris di depan halaman Villa.Danil memperhatikan dengan seksama lelaki dengan wajah yang tertutup oleh sedikit rambutnya itu. Perlahan Danil menurunkan langkah kakinya dari anak tangga menuju halaman. "Lelaki ini yang sudah mengatakannya kepadaku," lirih Danil mengacungkan jari telunjukn
Matahari telah sepenggalan naik. Dokter pun sudah mengizinkan Umi untuk dibawa pulang setelah melakukan pengecekan pada keadaannya. Tapi Asma masih belum ingin beranjak dari dalam ruangan. Wajahnya terlihat gusar, seperti sedang menunggu seseorang.Umi mendesah lesu. Wanita yang Menyadarkan tubuhnya pada ujung ranjang itu menatap pada Asma. "Bagaimana kalau kita pulang saja duluan, As?" sela Umi memecah keheningan yang tercipta.Wanita yang duduk pada bangku sofa yang berada di dalam ruangan itupun mengalihkan tatapannya. "Tapi kemarin Bang Wisnu sudah berjanji akan menemani kita pulang, Bu!" keluh Asma penuh keyakinan. "Sepertinya Tuan Wisnu ada urusan mendadak Nyonya. Jadi beliau tidak bisa menemani Nyonya," celetuk Hamzah yang sudah menunggu lebih dari tiga puluh menit yang lalu untuk mengantarkan Umi dan Asma kembali ke kampungnya.Asma mengalihkan tatapannya pada Hamzah. Ada kekecewaan yang terlukis di sana. Namun ia tetap berharap jika Wisnu akan datang menemuinya. Ia yakin Wis
Hari berlalu begitu cepat. hampir satu minggu setelah kepulangan Asma dari Jakarta Wisnu tidak kunjung kembali. Membuat wanita itupun semakin khawatir. Apalagi Akbar bersama dengan Wisnu. Nomor ponsel Wisnu pun sama sekali tidak bisa dihubungi, semakin membuat Asma dilanda ketakutan.Pagi-pagi sekali Asma telah mengemasi barang-barangnya. Ia yakin pasti ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya."As, apakah kamu yakin akan pergi ke Jakarta?" tanya Umi yang duduk pada bibir ranjang. Sejak beberapa menit yang lalu Wanita yang masih terlihat lemas itu terus memperhatikan Asma. "Iya Umi, aku harus mencari Akbar dan Bang Wisnu. Aku yakin pasti Abang membawa Akbar ke Jakarta. Karena Tuan Sangir sangat menyayangi cucunya," tutur Asma tanpa menolah sedikitpun kepada Umi. Ia sibuk menyiapkan beberapa potong baju yang ia masukkan ke dalam tasnya."Kenapa kamu tidak menunggunya pulang, As?" lirih Umi."Tidak Umi, aku sudah tidak bisa bersabar lagi." Asma menoleh sesaat pada Umi.Umi