Ini adalah kali pertama Tuan Sangir mengunjungi salah satu perkebunan miliknya yang terletak cukup jauh' dari kota Jakarta. Setelah sekian lama ia tidak menginjakkan kakinya di tanah berudara dingin itu. Jika bukan karena Wisnu, ia tidak akan datang ke perkebunan itu. Semua ini ia lakukan demi menyelamatkan seluruh harta kekayaannya. Karena, kalau saja Tuan Seno, kakek dari Nada tau apa yang telah terjadi sebenarnya. Lelaki itu tidak akan segan-segan untuk menarik semua saham dan investasi yang telah ia berikan pada perusahaan Tuan Sangir. Itulah mengapa Tuan Sangir sangat menjaga hubungan Wisnu dan Nada. Lelaki itulah yang juga telah merencanakan untuk mendapatkan keturunan Wisnu dari wanita lain. Agar Tuan Seno semakin senang dan akan memberikan hartanya lebih banyak lagi untuk Wisnu dan Nada."Hamzah, apakah perjalanan kita masih jauh?" tanya Tuan Sangir. Ia menatap pada lelaki yang duduk pada bangku kemudi yang berfokus pada jalanan yang berada di depan mobil."Tidak Tuan, sebenta
Lelaki bertubuh tinggi tegap berlari kecil menghampiri Tuan Sangir setelah ia mengelilingi rumah Wisnu."Tidak ada siapapun, Tuan," adunya pada Tuan Sangir. Lelaki bertubuh tinggi besar itu membuang nafas berat. Mengalihkan tatapannya pada langit hitam yang mulai bergelayut. Sebentar lagi hujan pasti akan turun dengan derasnya."Bagaimana kalau kita cari di rumah mertua Tuan Wisnu," usul Hamzah menatap lelaki tanpa ekspresi yang berdiri di depannya.Tuan Sangir mengalihkan tatapannya pada Hamzah. Sejenak ia terdiam, lalu berucap. "Tidak perlu, besok saja kita datangi rumah ini lagi," tegasnya.Hamzah mengangguk lembut tanda mengerti. Ia segera mengikuti langkah Tuan Sangir menuruni jalanan setapak menuju mobil yang terparkir pada jalanan di ujung lorong menuju rumah Wisnu."Tidak, tidak boleh ada satupun orang yang mengenaliku. Aku sudah menutup rapat semua masalalu itu," batin Tuan Sangir kian berkecamuk. Lelaki dengan wajah cemas itu segera masuk ke dalam mobil sebelum ada satupun
Kabut tebal masih menyelimuti langit perkampungan tempat Tuan Sangir berada. Lelaki yang berdiri di samping jendela kamar itu hanya terdiam menatap ke arah luar jendela. Benaknya mengembara jauh, tentang masalalu yang belum usai. Ingatan itu begitu membekas di dalam kepalanya."Sekar, Sekar, maafkan aku! Aku sama sekali tidak bermaksud melakukan hal itu padamu," lirih Tuan Sangir muda dengan wajah ketakutan. Ia tidak menemukan wanita bernama Sekar di dalam curamnya jurang. Hanya tanaman liar yang bergerombol di dasar jurang.Dengupan jantung Tuan Sangir memburu sangat cepat. Bahkan peluh hampir membanjiri seluruh tubuhnya. Lelaki itu sangat ketakutan sekali, padahal ia sama sekali tidak berniat untuk membunuh wanita yang sangat ia cintai.Suara tangis Danil yang saat itu masih bayi melengking keras. Tuan Sangir tidak bisa memenangkan bayi yang berada di dalam gendongannya, meskipun ia telah berusaha untuk membuat bayi itu terdiam."Diamlah, Nak! Aku mohon!" ucap Tuan Sangir kebingunga
Tuan Sangir membunuh kedua orang tua Sekar dengan cara membabi buta. Tapi sayangnya saat ia melakukan kejahatan itu ada seseorang yang memilihnya. Pemuda kampung yang kebetulan hendak mengantarkan obat untuk Danil yang saat itu sedang demam.Malam yang semakin larut membuat Tuan Sangir tidak bisa menemukan jejak pemuda yang mengetahui pembunuh itu. Akhirnya Tuan Sangir pasrah dan membawa Danil yang masih bayi, pada seorang wanita yang di tinggal di kampung cukup jauh' dari kampung tempat tinggal Tuan Sangir. Ia tidak mungkin membawa Danil kecil ke rumahnya."Apa ini, Tuan Sangir?" tanya wanita itu terkejut saat tiba-tiba Tuan Sangir memberikan bayi mungil itu pada wanita tersebut."Aku titip anak ini, jaga dia baik-baik. Aku yang akan mencukupi semua kebutuhannya nanti," ucap Tuan Sangir.Wanita dengan rambut disanggul itu menjatuhkan tatapan serius pada balita yang ada di dalam gendongannya dengan tatapan tegang. Ia hendak menolak, tapi ia sama sekali tidak memiliki keberanian tentan
Tubuh Asma luruh bersimpuh depan pintu. Debaran jantungnya berdegup tidak beraturan. Bahkan netranya masih basah bekas air mata yang mengalir. Pandangannya menatap pada dua lelaki yang berjalan meninggalkannya di depan pintu rumah. Setelah ia berhasil mempertahankan harga dirinya atas tawaran Tuan Sangir."Tidak ada yang mampu membeli keluargaku. Apalagi cintaku dengan Bang Wisnu," lirih Asma menyakinkan dirinya sendiri. Bahwa keputusan yang baru saja ia ambil adalah benar dan ia tidak akan menyesali hal itu.Sepersekian detik Asma terduduk. Wanita berkerudung coklat itupun segera bangkit dan masuk ke dalam rumah. Ia telah sepakat untuk menjual tanah berserta rumah yang selama ini ia tinggali untuk membiayai pengobatan Umi. Karena hanya itulah harta yang Asma miliki.Beberapa barang-barang telah Asma kemasi dalam kardus besar. Wisnu telah berjanji, sesaat lagi ia akan kembali ke rumah setelah mendapatkan mobil sewaan yang akan ia gunakan untuk mengangkut barang-barang itu ke rumah Umi
Degupan jantung Asma berpacu semakin cepat. Berjalan mondar mandir dengan perasaan takut di depan ruangan Dokter yang menangani Umi."Bagaimana ini, Mbak?" lirih Rani yang tidak kalah paniknya dengan Asma. Wanita berkerudung itu menoleh pada Rani dengan tatapan gusar."Kita tunggu Bang Wisnu dulu, Ran," balas Asma mencoba menenangkan Rani. Sekalipun hatinya sendiri sedang tidak baik-baik saja.Suara derit pintu mengalihkan tatapan Asma dan Rani. Kedua wanita bersaudara itu mempercepat langkah kakinya menghampiri Wisnu yang muncul dari balik pintu ruangan dokter yang terbuka. Diikuti langkah kaki Ustaz Azhar di belakang punggung Wisnu."Bang, apa yang Dokter katakan?" seloroh Asma menjatuhkan tatapan cemas pada Wisnu yang berdiri di depannya.Sepersekian detik Wisnu bungkam. Ia menatap lekat pada Asma. Wanita berkerudung coklat itu sekuat tenaga menahan gerombolan air mata yang memenuhi pelupuk matanya. Tubuhnya gemetaran dengan wajah penuh kekhawatiran."Operasi Umi gagal, As. Dokter
Wisnu berjalan cepat menghampiri Asma yang sudah menunggu di rumah sakit. Beberapa petugas kesehatan telah bersiap untuk menemani Umi ke Jakarta. Mobil ambulans pun sudah menunggu di luar."Bagaimana apakah semuanya sudah siap?" tanya Wisnu yang baru tiba pada Asma dan Rani yang terlihat gusar. Sementara Ustaz Azhar, tidak nampak diantara mereka."Sudah bang!" jawab Asma cepat. "Bagaimana, apakah Abang mendapatkan uangnya?" cetus Asma menjatuhkan tatapan penasaran. Kekhawatiran masih saja menyelimuti wajah wanita itu. "Dapat As, dapat!" balas Wisnu cepat. "Alhamdulillah!" Asma dan Rani berucap penuh rasa syukur. Kedua saudara itu terlihat sangat lega sekali."Ayo, As, kita harus segera membawa Umi," ajak Wisnu dengan nada memburui. "Iya Bang!" jawab Asma cepat. Asma segera memberikan aba-aba pada suster yang sudah bersiap mendorong rajang pasien di mana Umi berada. Mereka segera membawa Umi menuju mobil ambulans yang sudah menunggu._____Tuan Sangir menarik kedua sudut bibirnya t
"Ibu harus menjaga Uwak Sarto. Tadi dia menyerang seseorang di perkebunan teh. Untung ada aku yang melihat, jadi bisa menolong orang itu," ucap Ustaz Azhar dengan nada kesal pada Ibu Fatimah yang terduduk lesu pada bangku di ruang tamu rumahnya."Lebih baik, uwak Sarto jangan dibiarkan keluar, Bu!" imbuh Ustaz Azhar mejatuhkan tubuhnya duduk pada bangku yang berada di depan Ibu Fatimah. Wanita itu menatap sesaat pada Ustaz Azhar. Lalu membuang nafas berat."Uwak kamu itu tidak gila, Azhar. Dia hanya trauma. Apalagi setelah kematian Kakek kamu yang dibunuh. Jadi dia selalu berpikir seperti itu," tutur Ibu Fatimah, raut wajahnya berubah sedih. Seperti paham betul apa yang adik satu-satunya rasakan.Ustaz Azhar menatap sesaat lalu membuang nafas berat. "Aku tau Bu, tapi Iwak Sarto sudah membahayakan orang lain," debat Ibu Fatimah.Lagi-lagi wanita berkerudung hitam itu hanya bisa terdiam. Ia tidak memiliki alasan untuk membela apa yang telah Uwak Sarto lakukan. Sebenarnya, selama beberap