Wajah Nada mendadak berubah pucat. Ia berusaha untuk menutupi tanda merah bekas ia bercinta dengan Wisnu dengan telapak tangannya."Oh ini, ehm, tadi aku habis masuk angin. Jadi aku minta dikerokin," dusta Nada. Ia memasang wajah penuh keyakinan pada Asma. Agar wanita berkerudung itu percaya dengan ucapannya.Sejenak Asma terdiam. Netranya menatap intens pada wajah Nada lalu pada tanda merah yang berada di leher wanita itu secara bergantian."Siapa yang mengerokin Mbak Nada?" celetuk Asma. Ia yakin tanda pada leher Nada bukanlah bekas kerokan. "Bukankah Mbak Nada baru pulang dari kantor?" cerca Asma menatap curiga.Nada semakin gugup. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat berpikir untuk sesaat. "Tadi aku minta tolong sama Sekertaris aku, As. Habis aku tidak betah, rasanya ingin muntah dan di perut' tidak enak sekali," jelas Nada memasang wajah gelisah."Oh ...!" Asma mengangguk lembut tanda mengerti. "Seperti itu," imbuh Asma."As, apa yang sedang kamu lakukan di sana?
Tok ... Tok ...Suara ketukan pintu yang terdengar dari luar pintu kamar memecah keheningan yang tercipta di dalam kamar yang terletak di sudut lantai bawah."Ah ... Siapa sih!" gerutu Asma berdecak kesal. Ia melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu dan meninggalkan Wisnu. Lelaki dengan setelan pakaian kerja itu menghela nafas panjang. Ia terlihat lega, pada akhirnya ia tidak perlu menjawab pertanyaan Asma."Sarapan pagi sudah siap, Nyonya," ucap suara Bik Tum dari luar pintu terdengar hingga ke telinga Wisnu."Baiklah, aku dan Bang Wisnu akan segera ke sana," jawab Asma seraya menyungingkan senyuman ramah.Beberapa saat kemudian terdengar suara derit pintu yang tertutup. Wanita dengan kerudung abu-abu itu berjalan menghampiri Wisnu."Ternyata jadi orang kaya sangat menyenangkan sekali ya, Bang. Pagi-pagi kita tidak perlu menyiapkan makanan, tidak perlu mikirin mau masak apa, tidak perlu bersih-bersih rumah," ucap Asma bergelayut manja pada bahu kekar Wisnu. Lelaki pemilik lesung pi
Wisnu berjalan gontai menuju ke arah meja makan. Mengambil tas kerja miliknya yang tertinggal di sana. Asma segera menghampiri lelaki itu, ia terlihat panik."Bang, apa yang ayah bilang?" seloroh Asma mengikuti langkah Wisnu yang berjalan ke arah ruang makan setelah mengambil tas miliknya."Tidak apa-apa, As!" balas Wisnu sekilas menatap pada Asma. Tapi wajah lelaki itu sama sekali tidak bisa berbohong. Kekesalan tergambar jelas di sana.Asma mengikuti Wisnu hingga ke beranda rumah. Ia tau jika Wisnu menyembunyikan sesuatu darinya. "Bang, jawab!" cetus Asma mendesak. Wisnu menatap, gerakan tangannya terhenti memegangi pintu mobil yang terbuka.Wisnu menjatuhkan tatapan teduh. Satu tangannya membelai lembut wajah Asma. Setelah ia beberapa kali menghela nafas panjang. Meredam semua gemuruh yang sedang bergejolak. "Mulai sekarang kalau ada yang telepon, jangan kamu angkat ya!" titah Wisnu. Asma terdiam seraya mengangguk lembut. Ia sadar jika dirinya telah lancang."Iya Bang," lirihnya.
Dengan langkah cepat wanita yang membawa beberapa kantong belanjaan itu segera masuk ke dalam taksi yang sudah ia pesan lewat online. Sesekali ia menatap ke belakang punggung, pada kaca mobil. Pada kedai bakso tempat Asma memilih untuk menunggunya.Dengupan jantung Bik Tum seperti hampir terlepas dari tempatnya. Keringat dingin membahasi sekujur tubuhnya. Ia masih memperhatikan kedai bakso tempat Asma menunggu. Tapi ia sama sekali tidak melihat wanita itu di sana."Bodo amat, yang penting aku sudah menjalankan perintah dari Nyonya Nada. Dasar wanita sundal!" gerutu Bik Tum membuang tatapannya pada kaca yang berada di depan kemudi. Ia mendekap erat kantong plastik yang berisi barang bawaannya.Mobil yang membawa Bik Tum melaju semakin menjauh dari pasar tradisional yang terletak sangat jauh sekali dari rumah Tuan Sangir. Ia sengaja memilih pasar tradisional terbesar itu agar Asma tidak dapat kembali pulang seperti apa yang Nada perintahkan kepadanya._____Malam semakin merangkak naik.
Suara hentakan kaki mendengung keras pada lorong panjang apartemen menuju kamar Danil. Suasana terasa sepi dan hening. Karena waktu sudah memasuki dini hari. Tidak ada aktivitas apapun di apartemen itu."Kenapa kamu pulang selarut ini?" tanya Asma memecah keheningan yang tercipta. Ia menatap pada punggung lelaki jangkung yang berjalan mendahuluinya."Ada beberapa pekerja yang harus segera aku selesaikan. Makanya aku lembur," jawab Danil menoleh sekilas.Asma mengangguk, meskipun sebenarnya ia tidak terlalu percaya. Aroma alkohol dari tubuh Danil itulah yang membuatnya ragu. "Tapi kenapa tubuhmu beraroma alkohol?" celetuknya. Sepanjang perjalanan di dalam mobil Danil. Asma memilih untuk diam, aroma minuman keras dari tubuh lelaki itu seakan membuat perut' Asma seperti diaduk-aduk.Danil menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat. Menoleh pada Asma. Sejenak ia menatap sinis pada Asma."Ini bukan alkohol, hanya penghangat tubuh saja," jawab Danil mengakhiri k
Wisnu menjatuhkan pelukan pada tubuh Asma yang berdiri di depan pintu rumah bersama Danil. Kekhawatiran terlukis jelas dari sikap Wisnu."As, kamu kemana saja?" lirih Wisnu mempererat pelukannya pada tubuh Asma. Wanita berkerudung itu hanya diam. Tidak sedikitpun ia membalas pelukan Wisnu. Pelukan yang menghangatkan itu terasa begitu dingin.Wisnu melepaskan pelukannya saat suara derap langkah kaki terdengar semakin mendekat."Asma, kamu sudah kembali?" ucap Nada memasang wajah penuh haru.Asma menarik kedua sudut bibirnya. "Iya Mbak Nada. Tentu saja aku harus kembali. Karena ada orang-orang yang aku sayangi yang masih tertinggal di sini," balas Asma. Ia berani menatap netra Nada yang penuh kepalsuan."Siapa yang sudah menolong kamu, As?" selidik Nada memasang wajah bersahabat."Tuan Danil yang sudah menolong aku," jawab Asma mengalihkan tatapannya sesaat pada Danil yang berdiri mensejajarinya. Lalu menjatuhkan tatapan akhirnya pada Nada."Oh, terimakasih, Danil! Kamu sudah menyelemat
Senyuman kemenangan tersungging dari kedua sudut bibir Asma saat melihat wanita berambut sebahu itu terbakar cemburu. Sesaat ekor matanya pun menatap pada Wisnu yang melihat ke arah kepergian Nada. Kekacauan tergambar jelas dari wajah Wisnu.Brak!Suara benda yang didorong keras menyadarkan Asma dari lamunannya. Netranya beralih pada lelaki yang duduk pada bangku di ujung meja makan. Tuan Sangir pun bergegas pergi meninggalkan meja makan."Ayah kenapa, Bang?" tanya Asma mengalihkan tatapannya pada Wisnu yang bungkam. Ia semakin senang melihat Wisnu teramat kacau.Asma meletakan sendok yang berada di tangannya di atas piring. "Abang makan sendiri ya! Aku mau lihat Akbar sebentar," imbuhnya bergegas meninggalkan ruang makan.Wisnu tidak menjawab, ia semakin menenggelamkan wajahnya dalam dan membiarkan Asma berlalu. Kedua tangannya mengepal kesal._______Asma mengunci pintu kamarnya dengan sangat pelan sekali. Dengan langkah cepat ia segera menenggelamkan wajahnya pada bantal yang berad
Lelaki dengan rambut penuh uban itu berjalan cepat menuruni anak tangga. Asma yang sedang mengasuh Akbar di ruang televisi itupun terkejut. Ingin sekali ia menanyakan apa yang telah terjadi pada Tuan Sangir. Tapi Asma sadar, lelaki itu tidak akan pernah menjawab pertanyaan.Beberapa saat kemudian Bik Tum turun mengikuti langkah Tuan Sangir yang sudah menghilang di balik pintu utama rumah. Wajahnya pun sama seperti mertua Asma. Sangat panik."Semoga saja tidak terjadi apa-apa," lirih Bik Tum meremas kuat ujung pakaian yang melekat pada tubuhnya. Netranya menatap ke arah pintu utama rumah yang terbuka.Asma terus memperhatikan asisten rumah tangga itu dari ruang televisi. Meskipun di dalam hati, ia ingin sekali bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi pada wanita yang tidak lagi muda itu, tapi ia masih mengurungkannya. "Bagaimana bisa mobil itu kecelakaan!" guman Bik Tum penuh dengan kekhawatiran."Kecelakaan?" Asma mengulangi kalimat mengerikan yang keluar dari bibir wanita yang ber