Wajah Wisnu tertunduk lesu setelah menceritakan semuanya pada Danil. Kedua tanganya menumpu kepalanya yang tampak terasa berat. Seberat beban yang kini sedang dihadapinya.“Tolonglah aku Danil!” mohon Wisnu dengan suara yang terdengar lirih. Senyuman tersungging dari kedua sudut bibir Danil. Menatap penuh kepuasan melihat Wisnu datang kepadanya dengan keadaan yang sangat menyedihkan seperti yang ia harapkan selama ini. “Aku tidak tahu lagi pada siapa harus meminta tolong. Semua kolegaku sangat kecawa dengan kejadian ini. Mereka berpikir jika tenaga ahliku tidak professional dalam bekerja.” Wisnu menjeda ucapannya cukup lama. Menjatuhkan tatapan memelas pada lelaki yang duduk pada bangku di hadapannya seraya menyilangkan kakinya. “Hingga insiden ini terjadi,” ucap Wisnu lirih. Satu tanganya mengusap lembut pada wajahnya. Menjatuhkan tatapan penuh harap pada Danil.Leleki bertubuh jangkung itu mengangguk lembut. Menarik tubuhnya dari sandaran bangku. “Maafkan aku Wisnu, tetapi sepert
Dua lelaki berseragam orange yang duduk di hadapan Wisnu menenggelamkan wajahnya semakin dalam. Kedua tangannya saling meremas kuat. Tampak kaki mereka gemetaran. "Cepat katakan siapa yang sudah menyuruh kalian untuk melakukan perbuatan itu?" sentak lelaki berseragam polisi yang duduk di samping Wisnu. Suaranya menggelar memantul pada dinding ruangan. Menggetarkan dada.Dua lelaki yang duduk di hadapan Wisnu dan seorang polisi yang membersamainya semakin takut. Keringat dingin membanjiri wajah kedua lelaki itu. Sesekali lelaki bertubuh kurus yang duduk pada sudut bangku menyeka keringat yang membasahi pelipisnya.Wisnu tidak bergeming. Tatapannya melihat ke arah dua lelaki yang telah membakar habis seluruh proyeknya. Hingga ia harus mengalami kerugian yang sangat besar dan kini perusahaan berada di ambang kebangkrutan."Cepat katakan! Jika kalian tidak mau mengatakannya. Maka kalian akan membusuk di dalam penjara!" ancam Hamzah penuh dengan penekanan. Tatapannya memicing pada kedua l
Kendaraan beroda empat yang Wisnu dan Hamzah kendarai melaju dengan kecepatan sedang. Baru hari ini mereka memiliki waktu untuk mendatangi rumah Sean. Setelah kemarin pemilik perusahaan Wisnu Hutama itu sibuk mengurus semua berkas-berkas pekerjaan proyek yang berada di pelabuhan ratu, Sukabumi yang telah gagal total.Mobil berwarna hitam itu berjalan melambat. Menyusuri jalanan di sepanjang perumahan elit tempat tinggal Sean. Semenjak kejadian kebakaran itu terjadi, lelaki bermata sipit itu mendadak menghilang dan hanya sekali datang ke kantor sehari setelah kebakaran itu terjadi. Selebihnya hingga detik ini, Sean tidak pernah menunjukkan batang hidungnya."Sepertinya Sean sudah mengetahui semuanya, Tuan!" ucap Hamzah memecah keheningan yang tercipta. Setelah ia mematikan panggilan dari Sekretarisnya.Wisnu tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada jalanan yang berada di depan mobil. Sementara benaknya sedang mengembara jauh.Sean bukanlah pegawai lama di perusahaan Wisnu Hutama. Selama
Natasya menggerutu kesal. Niatannya untuk tidur sekamar dengan Wisnu tidak berhasil. Justru lelaki itu meninggalkannya tidur di kamarnya sendirian.Perlahan Wisnu memutar gagang pintu kamar Asma. Bayangan wanita cantik itu masih sama. Terbaring bagaikan putri tidur di atas ranjang tanpa tahu kapan akan terbangun dari tidur panjangnya.Langkah Wisnu tertuju pada seorang wanita yang meringkuk di bangku sofa. Wanita yang usianya cukup muda yang menjadi asisten untuk membantu Wisnu mengurus Asma selama Wisnu sibuk dengan pekerjaannya."Nela, Nela!" Panggil Wisnu menggerakan bahu Nela yang meringkuk pada bangku sofa."Tuan!" Wanita yang masih cukup muda itu bangun tergeragap. Duduk pada bangku sofa. Jemarinya dengan cepat mengusap sudut matanya yang masih terasa lengket."Tidurlah di kamar, malam ini biar saya yang menjaga Ibu Asma," tutur Wisnu."Ba-baik Tuan!" balas wanita berseragam merah muda itu bangkit dari bangku. Berjalan' menuju ke arah pintu kamar.Setelah pintu kamar tertutup Wi
"Mas aku sudah menyiapkan sarapan untuk ...!" Ucapan Natasya terhenti saat lelaki yang ia pikir sedang melangkahkan kakinya ke arah ruang makan itu justru berjalan melewati ruang makan begitu saja."Mas Wisnu ...!" panggil Natasya berusaha untuk memanggil Wisnu. Melongokkan sedikit tubuhnya menatap ke arah pintu ruang makan. Bayangan lelaki yang baru saja menuruni anak tangga menghilang dengan begitu cepat."Ah, sialan!" Natasya berdecak. Ia meletakan piring yang hendak ia isi dengan nasi untuk Wisnu di atas meja makan dan bergegas mengejar Wisnu."Mas, Mas Wisnu tunggu dulu!" Wanita dengan perut besar itu mengejar Wisnu hingga ke ambang pintu utama rumah. Wisnu mengabaikan panggilan Natasya. Langkahnya semakin cepat menuju mobil yang terparkir di halaman rumah."Mas tunggu!" teriak Natasya. Ia harus memelankan langkah kakinya saat menuruni anak tangga yang berada di beranda rumah. Menuju halaman.Helaan nafas panjang terdengar dari lelaki yang mematung di samping pintu mobil yang t
Degupan jantung Wisnu berpacu dua kali lebih cepat. Tatapannya sedikitpun tidak beralih dari lelaki bertubuh jangkung yang sedang membuka tiap lembar buku catatan milik Tuan Sangir. Wisnu semakin penasaran, karena tidak ada ekspresi apapun yang Danil tunjukan. Jika lelaki itu tidak tahu apapun tentang masalalu yang telah terjadi. Setidaknya ada ekspresi terkejut yang muncul di wajahnya. Plak!Suara buku yang ditutup dengan keras membuat Wisnu tergeragap. Ia menarik tubuhnya duduk tegap, di depan Danil. Tetapi kegusaran terlihat begitu jelas di wajahnya. Sekalipun ia berusaha untuk menutupinya perasaan tidak karuan itu."Danil apakah ...!""Aku sudah tahu semua ini sejak dulu," ucap Danil bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Kedua mata Wisnu membulat penuh, seperti tidak percaya dengan kalimat yang baru saja terlontar dari bibir Danil."Ba-bagaimana bisa?" Wisnu terbata. Ia merasa ditipu mentah-mentah oleh Tuan Sangir dan Danil yang selama ini sudah merahasiakan darinya."Te
Danil menjingkat saat Bianca mengopres sudut bibirnya yang memar. Wajahnya mendelik kesal menatap pada Bianca."Pelan-pelan Bianca!" cetus Danil dengan nada setengah menyentak."Tadi juga sudah pelan-pelan, Danil!" protes janda muda itu menjauhkan kompres dari wajah Danil untuk sesaat. "Lagian ngapain sih kalian ribut. Sudah pada tua juga masih suka berantem," gerutu Bianca melanjutkan kalimatnya.Danil berdesis. Jemarinya memijat-mijat kecil pada bagian sudut bibirnya yang terasa perih. "Coba tadi kalau security tidak buru-buru datang ke sini pasti ada korban yang harus dilarikan ke rumah sakit," oceh Bianca. Ia kembali mengompres sudut bibir dan pelipis Danil yang terluka. Tinjuan Wisnu cukup membuat bibir lelaki itu sedikit koyak."Memang sebenarnya apa sih yang kalian perebutkan?"Danil menarik tubuhnya menjauh dari Bianca. Matanya mendelik, menatap tajam. "Memangnya mulut kamu itu tidak bisa diam apa?" cebik Danil meradang. "Bibirku ini sudah sangat sakit sekali, jadi jangan mem
Suara teriakan dan tangisan Natasya membuat Wisnu terhenyak. Lelaki itu segera melepaskan genggaman tangan Asma dan berhambur menuju ke arah pintu kamar."Astagfirullahaldzim, Natasya!" Wisnu berdecak dengan wajah terkejut. Degupan jantungnya berpacu dua kali lebih cepat, melihat Natasya bersimpuh di atas lantai, bersimbah darah tidak jauh dari depan pintu kamar Natasya."Mas, cepat tolong aku Mas!" rengek Natasya berurai air mata. Ia sadar jika sesuatu yang buruk telah terjadi pada dirinya."Ya Allah, Natasya. Bagaimana bisa semua ini terjadi!" Wisnu berlari cepat menghampiri Natasya.Lelaki berlesung pipi itu tampak bingung. Ia segera menggendong Natasya ke dalam pelukannya dan membawa wanita itu menuju mobil yang terparkir di garasi rumah."Mas, cepat Mas! Ini sangat sakit sekali," rengek Natasya merintih. Wajahnya meringis menahan kesakitan. Satu tangannya memegangi bagaian punggungnya."Ah, sial!" Wisnu berdecak. Ia lupa juga telah mencabut kunci mobilnya."Tunggu Nat, aku ambil