Di bawah langit yang mendung, penduduk desa berkumpul di lapangan utama, menatap Seraphina dan para utusan kerajaan dengan rasa campur aduk antara harapan dan kecemasan. Di antara kerumunan, Alaric berdiri di samping Seraphina, mencoba menenangkan kegelisahan yang terus membayang. Utusan kerajaan, mengenakan pakaian resmi mereka yang berwarna mencolok, tampak canggung di tengah desa yang sederhana dan penuh debu. Mereka mulai membacakan isi perjanjian damai, namun suara mereka tertelan oleh desahan warga yang masih ragu.
Alaric menatap wajah-wajah penduduk yang pucat dan kelelahan, lalu menoleh ke Seraphina. “Mereka butuh lebih dari sekadar kata-kata,” bisiknya. “Mereka butuh tindakan nyata.” Seraphina mengangguk. Ia tahu bahwa membangun kembali kepercayaan adalah tugas yang jauh lebih sulit daripada membuat perjanjian. Ia melangkah maju, berdiri di depan penduduk desa dengan sikap penuh tekad. “Aku tahu kalian telah melalui banyak penderitaan,” ucapnya lantang. “Dan aku tidak meminta kalian untuk langsung memercayai kami. Tapi inilah awal dari perubahan. Kami di sini untuk menepati janji kami.” Beberapa warga mulai berbisik, masih sulit untuk benar-benar percaya. Namun, ketika bantuan berupa makanan dan obat-obatan mulai dibagikan, suasana sedikit mencair. Seraphina dan Alaric bekerja sama dengan para penduduk untuk memastikan distribusi berjalan lancar. Mereka berdua turun tangan membantu, membuktikan bahwa ini bukan sekadar sandiwara politik. Di balik semua upaya itu, bayang-bayang pengkhianatan tetap mengintai. Beberapa utusan kerajaan yang hadir bukanlah sekadar diplomat biasa, melainkan mata-mata yang diam-diam memantau situasi. Mereka ditugaskan oleh Komandan Garreth untuk mencari celah yang bisa digunakan untuk menggagalkan perjanjian ini. Garreth masih percaya bahwa pendekatan militer adalah satu-satunya cara untuk menundukkan pemberontakan, dan baginya, kesepakatan damai ini adalah penghinaan. Di dalam sebuah gubuk yang tersembunyi, Garreth bertemu dengan salah satu mata-matanya. Pria itu melapor dengan suara pelan namun tegas. “Penduduk masih ragu, tapi Seraphina dan Alaric mendapatkan kepercayaan mereka perlahan. Ini mungkin berhasil jika dibiarkan.” Wajah Garreth berubah gelap. “Tidak ada yang boleh berhasil tanpa kekuatan. Kita tidak bisa membiarkan desa ini menjadi simbol perlawanan. Temukan titik lemahnya. Buat mereka tersandung, dan kita akan menghancurkan mereka di saat mereka paling lemah.” *** Di desa, kehidupan perlahan mulai membaik. Anak-anak yang dulu tampak kurus dan lesu kini terlihat bermain dengan lebih ceria. Ladang yang sempat terbengkalai mulai digarap lagi dengan semangat baru, dan warga yang sebelumnya penuh ketakutan kini mulai tersenyum meski hanya sedikit. Seraphina dan Alaric tak henti-hentinya bekerja, memastikan perjanjian ini bukan hanya sebatas di atas kertas. Namun, di tengah upaya ini, Seraphina mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Satu malam, ketika Seraphina tengah duduk merenung di pinggir desa, seorang warga tua menghampirinya. Pria itu, yang bernama Marek, adalah salah satu petani tertua di desa. “Putri Seraphina, kau sudah melakukan banyak hal baik untuk kami,” katanya dengan suara bergetar. “Tapi aku khawatir ada sesuatu yang terjadi di balik layar.” Seraphina memandang Marek dengan serius. “Apa maksudmu?” Marek mendesah pelan. “Aku mendengar pembicaraan aneh di pasar tadi. Beberapa orang dari kerajaan tampak berbisik-bisik, seolah mereka merencanakan sesuatu. Dan aku juga melihat salah satu dari mereka memasuki gudang penyimpanan makanan kita.” Rasa cemas Seraphina membesar. Ia sudah menduga bahwa tidak semua orang di istana mendukung perjanjian ini, namun ia tidak menyangka mereka akan bertindak secepat ini. Seraphina segera mencari Alaric dan menceritakan kekhawatirannya. “Aku tahu ada yang tidak beres,” ucap Alaric sambil mengepalkan tangannya. “Kita harus bertindak sebelum mereka membuat kekacauan.” Malam itu, Seraphina dan Alaric menyusun rencana untuk memeriksa gudang makanan yang dimaksud. Ketika mereka sampai, suasana terasa sunyi dan gelap. Dengan hati-hati, mereka membuka pintu gudang dan menemukan sesuatu yang mengejutkan. Beberapa karung gandum telah dibocorkan, dan persediaan makanan mulai rusak karena dicampur dengan cairan berbau busuk. Ini bukan kecelakaan; ini sabotase yang disengaja. “Ini pekerjaan mereka,” gumam Alaric dengan marah. “Mereka ingin membuat desa ini terlihat kacau lagi, seolah-olah kita tidak bisa mengelola bantuan yang diberikan.” Seraphina mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarah. “Kita harus memberitahu warga dan segera mengatasi ini. Mereka tidak boleh menang.” Namun, situasi semakin memburuk ketika warga desa mulai menyadari bahwa makanan mereka telah tercemar. Beberapa orang mulai jatuh sakit, dan desas-desus tentang pengkhianatan kerajaan mulai menyebar cepat. Beberapa warga yang mulai percaya pada Seraphina kini kembali ragu, bahkan ada yang menuduh bahwa perjanjian damai ini hanya tipu muslihat untuk menghancurkan desa dari dalam. “Ini tidak bisa dibiarkan,” ujar Marek dalam pertemuan darurat warga. “Kita harus memutuskan apakah kita masih bisa percaya pada kerajaan atau tidak.” Seraphina berdiri di tengah kerumunan, berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. “Ini adalah ulah dari mereka yang tidak ingin melihat kita damai. Aku tahu ini berat, tapi kita harus tetap bersatu.” Namun, suara-suara sumbang mulai mengisi pertemuan. “Bagaimana kita tahu kalau ini bukan jebakan dari kalian juga?” teriak salah satu warga. “Kita sudah cukup menderita! Kita tidak bisa terus hidup dalam ketakutan dan pengkhianatan.” Di sisi lain, Alaric merasa terjepit antara dua dunia. Sebagai pemimpin desa, ia harus membela warganya. Tapi sebagai seseorang yang mempercayai Seraphina, ia juga harus mendukungnya. Konflik dalam dirinya semakin memanas ketika Marcus, salah satu pemuda yang paling vokal menentang kerajaan, berdiri dan menyatakan sesuatu yang mengejutkan. “Kita harus bertindak sendiri! Kita tidak butuh kerajaan atau siapa pun yang berpura-pura peduli pada kita!” Marcus berteriak dengan penuh emosi. “Kita sudah punya cukup bukti bahwa mereka ingin menghancurkan kita. Sudah saatnya kita menyerang balik!” Beberapa warga bersorak setuju, sementara yang lain terlihat ragu. Namun, suara Marcus semakin kuat, dan tanpa disadari, dia mulai membentuk kelompok kecil yang bersedia melakukan aksi balasan terhadap kerajaan. Marcus mengusulkan untuk menyerang gudang persediaan milik kerajaan yang berada di perbatasan desa, sebagai bentuk perlawanan. Seraphina mencoba menghentikan rencana itu. “Marcus, ini bukan caranya. Jika kalian menyerang, semua ini akan berakhir dengan kekerasan yang lebih besar!” Namun, Marcus tidak mendengarkan. “Kami sudah terlalu lama menunggu dan percaya pada janji-janji kosong. Ini saatnya untuk mengambil tindakan nyata.” Seraphina merasa kehilangan kendali, dan Alaric, yang biasanya menjadi penengah, juga tampak terombang-ambing. Ia ingin mendukung Seraphina, namun juga tidak bisa mengabaikan kemarahan dan frustrasi warga yang selama ini menjadi tanggung jawabnya. Malam itu, Marcus dan kelompoknya bergerak cepat. Mereka menyerang gudang kerajaan, membakar persediaan makanan sebagai balas dendam atas sabotase yang dilakukan terhadap desa. Serangan ini mengejutkan semua pihak, termasuk Seraphina dan Alaric, yang hanya bisa melihat api menyala dari kejauhan. Keesokan harinya, prajurit kerajaan merespons dengan keras. Komandan Garreth menggunakan insiden ini sebagai alasan untuk memperketat blokade terhadap desa, mengirim lebih banyak pasukan, dan memperketat pengawasan. Seraphina dipanggil kembali ke istana untuk dimintai pertanggungjawaban, sementara Alaric harus menghadapi penduduk yang kini terpecah belah. Di istana, Raja Alden menatap Seraphina dengan wajah marah. “Aku memberimu kesempatan, dan kau biarkan desa itu menyerang kita? Apa lagi yang bisa kau katakan sekarang?” Seraphina berusaha menjelaskan bahwa serangan itu bukan hasil dari kesepakatan mereka, tetapi kemarahan yang dipicu oleh tindakan sabotase. Namun, Raja Alden semakin sulit diyakinkan. Kepercayaan yang tipis mulai runtuh, dan situasi menjadi semakin genting. Ratu Mirabelle, meski ingin membela putrinya, juga mulai meragukan apakah perjanjian damai ini masih layak diteruskan.Raja Alden masih berdiri dengan ekspresi marah, tangannya mengepal di atas meja besar yang dipenuhi peta strategi dan laporan kerusuhan. Di hadapannya, Seraphina mencoba menjelaskan, namun kata-katanya tenggelam dalam kemarahan Raja. Di sekeliling ruangan, para penasehat kerajaan hanya bisa berbisik, terlalu takut untuk ikut campur dalam perselisihan antara raja dan putrinya.“Kau telah mempermalukan kerajaan,” bentak Raja Alden, suaranya menggema di ruangan yang dingin. “Ini bukan hanya tentang desa itu lagi, Seraphina. Kau menyeret seluruh kerajaan ke dalam kekacauan dengan membiarkan mereka menyerang kita.”Seraphina menghela napas, berusaha tetap tenang meski hatinya penuh dengan kepedihan. “Ayah, aku tahu ini terlihat buruk, tapi mereka terdesak. Orang-orang di desa disabotase oleh pihak-pihak dari kerajaan kita sendiri. Mereka tidak tahu harus percaya pada siapa lagi.”Raja Alden menatap Seraphina dengan tajam. “Dan kau pikir mereka akan percaya padamu? Sejak awal, aku tahu perj
Seraphina berdiri di atas bukit kecil di tepi desa, memandang pasukan kerajaan yang bersiap menyerang. Suara dentang logam dan derap kaki kuda memenuhi udara, membangkitkan ketegangan yang semakin menyiksa. Matahari yang terbenam memancarkan sinar keemasan, seakan menjadi pertanda bahwa hari itu bisa menjadi akhir dari segala harapan. Di bawahnya, desa tampak seperti sarang semut yang panik, penduduk berlarian mencari perlindungan sementara para pemberontak bersiap menghadapi apa pun yang akan datang. Di tengah kerumunan, Alaric mencoba memimpin penduduk untuk bertahan. Ia berusaha mengatur pasokan yang semakin menipis dan memastikan semua orang—terutama anak-anak dan orang tua—mendapat tempat yang aman. Namun, dalam hatinya, Alaric tahu bahwa apa pun yang mereka lakukan hanyalah penundaan dari kehancuran yang tak terelakkan. “Alaric!” teriak Seraphina, berlari ke arahnya dengan napas tersengal. Wajahnya memerah, dan matanya penuh kekhawatiran. “Pasukan akan menyerang dalam hitung
Di sebuah gudang tua yang hampir roboh, mereka menemukan Marcus yang diikat dan terluka. Dengan cepat, Alaric menghancurkan rantai yang mengikat Marcus, sementara Seraphina menghalau para prajurit yang mengejar. Marcus, meski lemah, berusaha bangkit. Wajahnya penuh luka, namun sorot matanya masih menyala dengan semangat. "Terima kasih... kalian datang tepat waktu," ujar Marcus dengan suara serak, mencoba tersenyum meski rasa sakit terus mendera. Namun, kegembiraan mereka tak bertahan lama. Tepat ketika mereka berusaha melarikan diri, sekelompok prajurit tambahan yang dipimpin oleh salah satu tangan kanan Garreth, Lord Caelan, muncul menghadang jalan keluar. Caelan dikenal karena kecerdikannya dan kejam dalam pertempuran. Wajahnya yang penuh luka pertempuran dan tatapan dinginnya membuat siapa pun yang melihatnya merasa ngeri. "Seraphina, Alaric, dan Marcus... Betapa menyedihkan melihat kalian berjuang sia-sia. Ini adalah akhir dari semua perlawanan kalian," ujar Caelan dengan
Pagi mulai menyingsing di atas pegunungan, tetapi bagi Seraphina dan kelompok kecilnya, cahaya pagi itu terasa lebih seperti ancaman daripada harapan. Mereka telah bergerak sepanjang malam, bersembunyi dari patroli prajurit yang terus memburu mereka. Kondisi Alaric semakin kritis; napasnya tersengal, dan kulitnya semakin pucat. Luka di bahunya telah terinfeksi, mengeluarkan bau busuk yang mengkhawatirkan. Setiap langkah mereka seperti perlombaan melawan waktu, dan kekuatan Alaric semakin menipis. Di tengah perjalanan mereka, kelompok itu tiba di tepi hutan gelap, yang dikenal sebagai Hutan Gelap Larang. Konon, tempat ini dipenuhi makhluk gaib dan sihir kuno yang tak terduga. Lady Elys ragu-ragu untuk memasuki hutan tersebut, tetapi Seraphina memaksa. Ini satu-satunya cara untuk menghindari pengejaran pasukan kerajaan. “Kita tidak punya pilihan lain,” kata Seraphina dengan tegas, matanya menatap lurus ke dalam hutan yang dipenuhi pepohonan tinggi yang tampak seperti penjaga misterius
Di hutan yang semakin pekat, Seraphina dan Alaric beristirahat sejenak di bawah pepohonan rimbun. Seraphina menatap luka-luka Alaric yang semakin parah. Darah mengalir membasahi pakaian Alaric, membuat Seraphina bergegas merobek sebagian pakaiannya untuk membalut luka tersebut. Tangannya gemetar, berusaha menahan rasa takut yang menggerogoti hatinya. Namun, tatapan Alaric yang meski lemah namun penuh ketenangan, seakan memberi Seraphina sedikit harapan.“Kau harus istirahat, Alaric. Kalau tidak, kau bisa mati karena luka ini,” ucap Seraphina dengan suara serak. Namun Alaric, dengan senyum kecil yang dipaksakan, hanya menggeleng.“Kita tidak punya waktu, Seraphina,” jawab Alaric sambil mengerang pelan. “Kita harus terus bergerak, atau mereka akan menemukan kita.”Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah alam pun tidak ingin memberi mereka kenyamanan. Di kejauhan, mereka bisa mendengar suara langkah kaki para prajurit yang terus mencari mereka. Seraphina tahu mereka haru
Angin malam berhembus dingin, menusuk sampai ke tulang. Alaric berjalan cepat di antara pepohonan, langkahnya tergesa meski rasa sakit di luka-lukanya masih terasa perih. Setiap langkah seolah mengguncang tubuhnya yang sudah lemah, namun pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Seraphina. Mereka telah berpisah beberapa hari yang lalu, namun kecemasan yang menggerogoti hatinya seolah tak pernah pergi.Setiap suara ranting yang patah atau bayangan samar di antara pohon membuatnya siaga, waspada akan kemungkinan prajurit Eirik yang mungkin masih mengejar. Alaric tahu mereka tidak akan berhenti begitu saja. Eirik bukan hanya sekadar prajurit kerajaan; dia adalah tangan kanan Raja Alden, seorang yang tak akan pernah berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan. Di sebuah tepi jurang kecil, Alaric berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan kecemasan yang terus menghantuinya. Dia memandang jauh ke arah langit, yang gelap tanpa bintang, seperti cerminan dari pikirannya
Hari sudah menjelang senja ketika pasukan pemberontak yang dipimpin Marcus berhasil memukul mundur pasukan kerajaan. Seraphina memandang sekeliling dengan napas terengah-engah, darah dan keringat bercampur di wajahnya. Teriakan kemenangan dan ratapan kesedihan bercampur jadi satu di antara hiruk-pikuk pertempuran yang baru saja berakhir. Namun, di tengah keramaian itu, hanya ada satu hal yang memenuhi pikirannya: Alaric.Seraphina berlari ke segala penjuru, mencari sosok yang paling ingin dilihatnya. Matanya berusaha menembus kerumunan para prajurit yang terluka, para pemberontak yang merayakan kemenangan kecil mereka, dan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. Namun, Alaric tidak ada di sana. Seraphina merasakan jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai merayapi pikirannya. “Apa ada yang melihat Alaric?” teriaknya pada siapa pun yang mau mendengarkan. Tapi tak ada jawaban yang memuaskan. Marcus, yang tengah mengatur barisan prajurit untuk mundur d
Alaric dan Seraphina duduk di sudut kabin kapal yang sempit, mencoba menghangatkan diri setelah pelarian yang nyaris berakhir tragis. Suara ombak yang menghantam lambung kapal terdengar berirama, namun jauh dari menenangkan. Marcus masuk ke dalam kabin, membawa sepotong roti dan air untuk Seraphina. Wajahnya tegang, matanya tidak bisa lepas dari peta yang terhampar di meja. “Kita harus bergerak cepat,” ujar Marcus sambil menunjuk titik di peta. “Pasukan kerajaan pasti sudah menyadari pelarian kita. Mereka akan mengejar.” Seraphina mengangguk, meski pikirannya masih kalut. Pengkhianatan ayahnya, pengasingan yang ia alami, dan kini, pelarian yang baru saja berakhir dengan keajaiban, semua itu masih membebani hatinya. Namun yang paling mengganggunya adalah sebuah firasat buruk yang belum bisa ia jelaskan. “Apa rencana kita selanjutnya?” tanya Seraphina, memecah keheningan. “Kita tidak bisa terus bersembunyi. Ayahku pasti akan mengirim pasuka
Alaric, Seraphina, Miranda, dan Jameson, bersama sisa-sisa kelompok perlawanan, terus bergerak melintasi Ardencia yang kini berubah menjadi ladang perburuan. Pasukan Raja Alden menyebar di seluruh penjuru kota, menutup setiap jalan keluar, dan menyisir setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian mereka. Dari balik jendela-jendela yang pecah, warga kota yang ketakutan menyaksikan kejar-kejaran yang tak berkesudahan ini, melihat dengan mata mereka sendiri betapa kerasnya rezim Alden dalam menghadapi setiap ancaman terhadap kekuasaannya. Dengan Seraphina yang baru saja diselamatkan dan Albrecht yang gugur di pertempuran sebelumnya, kelompok ini terpaksa bersembunyi di pinggiran kota yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk pasukan kerajaan. Mereka bersembunyi di sebuah gubuk tua yang tersembunyi di dalam hutan lebat, sebuah tempat yang hanya diketahui oleh sedikit orang. Gubuk ini dulunya milik seorang pemburu yang sekarang sudah lama pergi, menjadi sa
Saat matahari mulai merangkak naik di langit Ardencia, suasana kota dipenuhi ketegangan yang terasa seperti petir di udara. Serangan besar di gerbang istana semalam membuahkan hasil yang mengejutkan; pasukan perlawanan berhasil mendesak penjaga istana mundur, meskipun belum mampu menembus ke dalam. Rakyat mulai percaya bahwa kemenangan bukanlah mimpi yang tak terjangkau. Namun, di balik sorak sorai kemenangan kecil itu, bayang-bayang pengkhianatan mulai merayap di dalam kelompok perlawanan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht berkumpul kembali di rumah persembunyian mereka yang tersembunyi di pinggiran kota. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan sekaligus tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu bahwa perlawanan ini belum selesai—masih banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Namun, saat mereka sedang mempersiapkan strategi berikutnya, seorang pria yang tidak asing tiba-tiba memasuki ruangan dengan ekspresi yang mencurigakan.
Kabar tentang ledakan besar di gudang persenjataan istana Ardencia tersebar luas bagaikan api yang tak terkendali. Malam itu, kota yang dulunya sunyi dan tercekam berubah menjadi medan pertempuran batin bagi setiap penduduknya. Para prajurit kerajaan bergerak lebih waspada, meningkatkan pengawasan, sementara rakyat Ardencia mulai merasakan harapan yang lama hilang. Mereka tahu, ada seseorang yang berani melawan tirani Raja Alden, dan itu cukup untuk menyalakan kembali api perlawanan di hati mereka. Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, sebuah kelompok kecil berkumpul dalam kerahasiaan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht duduk melingkar di sekitar meja kayu yang usang, dipenuhi peta Ardencia dan catatan-catatan tentang pergerakan pasukan kerajaan. Malam ini adalah malam yang penting; mereka sedang merencanakan kebangkitan perlawanan yang lebih besar dari sekadar serangan mendadak. Alaric, sang pesulap yang pernah menjadi tulang punggung
Seraphina merapatkan selimut tipis di tubuhnya yang menggigil. Meskipun malam semakin larut, ia tidak bisa memejamkan mata. Kata-kata Duke Alistair masih terngiang di benaknya, menjadi api kecil yang membakar kegelisahan di hatinya. Ia tahu bahwa Alaric berada dalam bahaya, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi umpan dalam permainan kotor Raja Alden dan para pejabatnya. Seraphina bukanlah wanita yang bisa dipermainkan begitu saja; ia adalah seorang pejuang yang sudah terbiasa menghadapi kematian dan pengkhianatan. Di sudut sel, Seraphina memandangi batu yang retak dan dinding yang penuh lumut. Ia menelusuri celah-celah kecil yang mungkin bisa menjadi jalan keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan rencana Raja Alden adalah dengan keluar dari tempat ini. Namun, melarikan diri dari penjara paling ketat di Aldencia bukanlah hal yang mudah, terlebih dengan penjagaan ketat dan penjaga yang tak kenal ampun. Seraphina tahu bahwa ia tidak bisa melakukan ini se
Di dalam penjara Aldencia yang gelap dan suram, Seraphina duduk sendirian di sudut selnya, mencoba bertahan dari dinginnya malam dan kesendirian yang membayangi setiap detik yang berlalu. Dinding batu yang dingin dan lembap seakan-akan menutup setiap harapan yang pernah ia miliki, membuatnya merasa terjebak di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menjadi satu-satunya hiburan yang menemani hari-harinya yang sepi. Seraphina telah berada di dalam sel sempit ini selama berbulan-bulan, dipisahkan dari dunia luar, dari Alaric, dan dari semua yang ia cintai. Sejak penangkapannya, Seraphina tidak pernah diberi penjelasan apa pun oleh para penjaga. Ia hanya diberitahu bahwa ia adalah tahanan politik yang dianggap sebagai ancaman bagi kerajaan. Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa dirinya hanyalah pion dalam permainan kekuasaan Raja Aldencia, alat untuk menjebak Alaric. Meski kondisi fisiknya tampak melemah, sem
Latihan keras dan pertempuran tak henti-hentinya membuat Alaric, Jameson, dan Miranda semakin dekat. Setiap hari mereka berlatih bersama, berbagi canda tawa di tengah rasa lelah, dan menjadi sandaran satu sama lain saat kesulitan menghampiri. Namun, di balik keakraban mereka, ada momen-momen pribadi yang tak terucap, terutama antara Alaric dan Miranda. Malam itu, Alaric duduk di tepi sungai dengan pandangan menerawang. Luka di wajahnya masih terasa perih, namun yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatinya. Ia merenung, menatap bayangan dirinya yang terpantul di air sungai. Dengan satu mata yang tersisa, Alaric melihat sosoknya yang berubah; tidak lagi pesulap muda yang penuh percaya diri, melainkan seorang pria yang dihantui oleh kehilangan. Miranda datang mendekat, membawa kain bersih dan semangkuk air hangat. Ia duduk di sebelah Alaric tanpa banyak bicara, lalu mulai mengganti perban di wajah Alaric dengan tangan yang lembut. Mata birunya menat
Setelah pertempuran yang memisahkan Seraphina darinya, Alaric terjebak dalam kegelapan yang lebih pekat daripada sekadar kehilangan penglihatannya. Satu matanya yang tersisa kini menjadi satu-satunya jendela bagi dunianya yang terasa kian menyempit. Setiap kali ia menutup mata, yang ia lihat hanyalah bayangan Seraphina yang dibawa paksa oleh prajurit Ardencia. Rasanya, luka di matanya tak seberapa dibandingkan dengan luka yang mengoyak hatinya. Keheningan malam terasa seperti menghimpit, dan rasa bersalah terus menghantuinya, membisikkan bahwa ia gagal melindungi satu-satunya orang yang berarti dalam hidupnya. Beberapa hari berlalu, dan Alaric berusaha keras untuk memulihkan diri. Namun, meski luka di tubuhnya mulai berangsur membaik, luka di hatinya tetap menganga lebar. Di rumah sederhana tempatnya dirawat oleh penduduk desa, Alaric terbaring dengan perban yang masih melilit kepalanya. Kesakitan dan keputusasaan menjadikannya lebih pendiam daripada biasanya. Setiap
Keputusan Alaric untuk menolak Miranda bukanlah hal yang mudah. Setelah malam yang panjang, Alaric akhirnya memutuskan untuk berbicara jujur kepada Miranda dan mengakhiri semua yang telah ia mulai. Ia sadar bahwa hubungan gelap ini bukan hanya mengancam hubungannya dengan Seraphina, tetapi juga harga dirinya sebagai seorang pria yang seharusnya menjaga komitmen dan kehormatan.Keesokan harinya, Alaric menemui Miranda di vila mewahnya. Miranda menyambutnya dengan senyuman manis dan pandangan penuh harap, seolah yakin bahwa Alaric akhirnya akan menerima tawarannya untuk meninggalkan Seraphina dan menjalani kehidupan baru bersamanya.“Alaric, aku tahu kau akan datang. Aku sudah menyiapkan segalanya untuk kita,” kata Miranda sambil mendekat, jemarinya menyentuh lembut tangan Alaric.Namun, Alaric dengan tegas menarik tangannya. “Miranda, kita harus bicara. Aku tidak bisa melanjutkan ini lagi. Seraphina adalah segalanya bagiku, dan aku tidak ingin kehilangan di
Keesokan harinya, kehidupan kembali ke rutinitas mereka yang sederhana. Alaric mempersiapkan dirinya untuk pertunjukan harian di alun-alun kota, sementara Seraphina tinggal di rumah, merapikan sedikit dagangan kerajinan yang ia buat untuk menambah penghasilan mereka. Kehidupan mereka mungkin tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat mereka merasa bahagia.Namun, tanpa mereka sadari, sebuah badai baru perlahan mendekat, membawa ancaman yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Di tengah keramaian kota, Alaric menarik perhatian banyak orang dengan sulapnya yang memukau. Anak-anak dan orang dewasa terkagum-kagum melihat trik-triknya yang selalu berhasil membuat mereka terheran-heran. Di antara para penonton, seorang wanita berambut merah menyala dengan mata tajam memperhatikan Alaric dengan penuh minat. Namanya adalah Miranda, seorang pedagang yang baru tiba di kota itu. Penampilannya menarik perhatian dengan pakaian mahal dan sikapnya yang penuh percaya diri, berbed