Seraphina berdiri di atas bukit kecil di tepi desa, memandang pasukan kerajaan yang bersiap menyerang. Suara dentang logam dan derap kaki kuda memenuhi udara, membangkitkan ketegangan yang semakin menyiksa. Matahari yang terbenam memancarkan sinar keemasan, seakan menjadi pertanda bahwa hari itu bisa menjadi akhir dari segala harapan. Di bawahnya, desa tampak seperti sarang semut yang panik, penduduk berlarian mencari perlindungan sementara para pemberontak bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.
Di tengah kerumunan, Alaric mencoba memimpin penduduk untuk bertahan. Ia berusaha mengatur pasokan yang semakin menipis dan memastikan semua orang—terutama anak-anak dan orang tua—mendapat tempat yang aman. Namun, dalam hatinya, Alaric tahu bahwa apa pun yang mereka lakukan hanyalah penundaan dari kehancuran yang tak terelakkan. “Alaric!” teriak Seraphina, berlari ke arahnya dengan napas tersengal. Wajahnya memerah, dan matanya penuh kekhawatiran. “Pasukan akan menyerang dalam hitungan jam. Kita harus melakukan sesuatu.” Alaric menoleh, dan untuk pertama kalinya Seraphina melihat sorot putus asa di mata pria yang biasanya penuh keyakinan itu. “Aku tahu, Seraphina. Tapi apa yang bisa kita lakukan sekarang? Marcus terluka parah, desa ini terpecah, dan kita terjepit dari segala arah.” Seraphina menggenggam tangan Alaric, berusaha menyalurkan kekuatan yang tersisa. “Kita masih punya bukti. Kita masih bisa membawa ini ke hadapan Raja Alden, kita bisa...” “Dan bagaimana kita akan sampai ke sana?” potong Alaric dengan nada frustrasi. “Setiap jalan keluar diawasi. Jika kita mencoba mendekat, kita hanya akan ditangkap atau dibunuh.” Seraphina terdiam, merasakan beratnya situasi yang semakin mencekiknya. Ia menatap desa yang berantakan, orang-orang yang ketakutan dan marah. Di satu sisi, ia merasa gagal sebagai seorang putri yang seharusnya melindungi rakyatnya. Di sisi lain, ia merasa tidak berdaya di hadapan ayahnya yang keras kepala. Namun, saat itu, sebuah ide nekat muncul di benaknya. “Aku harus pergi sendiri,” kata Seraphina tiba-tiba, suaranya tegas meski ada getar ketakutan di dalamnya. Alaric memandangnya dengan kaget. “Apa maksudmu? Kau tidak bisa pergi sendiri, itu terlalu berbahaya!” “Ayahku hanya akan mendengarkan jika aku yang langsung menghadap. Jika aku bisa sampai di depan pasukan dan menunjukkan bukti ini, aku mungkin bisa menghentikan serangan. Ini satu-satunya cara.” Alaric ingin menolak, tapi dia tahu bahwa Seraphina benar. Tidak ada waktu lagi untuk rencana yang rumit atau negosiasi. Mereka membutuhkan aksi yang drastis, dan Seraphina adalah satu-satunya yang mungkin bisa menghentikan Raja Alden. *** Dengan hati-hati, Seraphina menyelinap keluar dari desa dengan bantuan Alaric.Dengan hati-hati, Seraphina menyelinap keluar dari desa dengan bantuan Alaric yang menyamar sebagai penjaga. Mereka berhasil mengelabui para prajurit yang menjaga jalan masuk, dan perlahan bergerak mendekati garis depan pasukan kerajaan. Namun, perjalanan itu tidaklah mudah. Di setiap sudut, mata-mata kerajaan mengintai, dan jebakan tersebar di mana-mana. Setiap langkah terasa berisiko, seolah-olah mereka berjalan di atas benang tipis yang bisa putus kapan saja. Seraphina merasa hatinya berdebar keras. Di sepanjang jalan, ia bisa melihat pasukan bersenjata lengkap, bersiap untuk menyerang desa. Ia harus bertindak cepat. Di tengah bayangan malam yang semakin pekat, Seraphina melihat titik terang: tenda pusat komando pasukan kerajaan, tempat ayahnya berada. Namun, saat mendekat, mereka dihadang oleh dua prajurit dengan ekspresi garang. “Kalian siapa?” tanya salah satu prajurit dengan curiga. “Tidak ada yang diizinkan mendekat kecuali atas perintah Raja!” Seraphina mengangkat tudung jubahnya, memperlihatkan wajahnya. “Aku Putri Seraphina. Aku harus bertemu dengan ayahku sekarang.” Prajurit itu terkejut, namun masih ragu. “Putri Seraphina? Bagaimana kami tahu Anda tidak menyamar? Anda bisa saja seorang pemberontak.” Seraphina berusaha tenang, meski di dalam hatinya ia merasa cemas. “Kalau kalian masih meragukan, bawa aku langsung ke Raja Alden. Dia yang akan memutuskan. Tapi ingat, setiap menit yang kalian habiskan meragukanku, adalah menit yang bisa menghancurkan desa ini.” Setelah beberapa saat, prajurit itu akhirnya memberi jalan. Mereka berjalan menuju tenda besar di pusat kamp, dan di sana, Raja Alden berdiri di depan peta besar bersama para jenderal dan penasihatnya, mengatur strategi untuk serangan. Ketika Seraphina masuk, seluruh ruangan terdiam. Raja Alden menoleh, ekspresinya berubah antara marah dan terkejut. “Seraphina?” suaranya terdengar tegas, namun ada nada kekhawatiran tersembunyi di baliknya. “Apa yang kau lakukan di sini? Ini bukan tempat untukmu.” Seraphina maju dengan penuh keberanian, meski tangannya sedikit gemetar. Ia menatap ayahnya dengan tajam. “Ayah, aku datang untuk menghentikan serangan ini. Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Garreth telah berbohong. Ini semua permainan kotor!” Raja Alden memandangi putrinya dengan tatapan tajam, lalu mengangguk kepada salah satu pengawalnya. “Bawa dokumen itu padaku,” perintahnya dingin. Seraphina menyerahkan bukti yang dibawanya, berupa surat-surat rahasia dan bukti sabotase yang dilakukan oleh Garreth. Raja Alden membaca dengan seksama, dan semakin dalam ia membaca, semakin gelap raut wajahnya. “Apa artinya ini?” Alden berkata dengan suara serak. “Ini... ini tidak mungkin.” Seraphina melihat ada celah kecil—kesempatan bagi mereka untuk mengubah segalanya. “Ini adalah bukti bahwa Garreth berkhianat. Dia menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi kerajaan, dan sekarang kita menyerang desa yang seharusnya kita lindungi!” Para penasihat di sekeliling mulai berbisik, perpecahan mulai tampak di antara mereka. Beberapa dari mereka setuju dengan Seraphina, sementara yang lain masih ragu dan tidak mempercayai bukti tersebut. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah kehadiran Lord Varyn, seorang bangsawan yang terkenal licik dan pendukung utama Garreth. Wajahnya dingin dan tanpa emosi, namun mata Varyn tidak pernah lepas dari dokumen itu. “Yang Mulia,” Varyn akhirnya angkat bicara dengan tenang namun penuh racun. “Apakah kita akan mempercayai seorang putri yang meninggalkan istana untuk bersekutu dengan pemberontak? Ini bisa jadi tipu daya untuk melemahkan kita.” Raja Alden terdiam, terlihat terombang-ambing antara kebingungan dan kemarahan. Varyn tersenyum tipis, menyadari bahwa ia berhasil menanamkan benih keraguan di benak raja. Seraphina merasakan ketegangan yang mencekik. Dia tahu, jika Varyn dibiarkan bicara lebih jauh, semua usahanya akan sia-sia. “Ini bukan tipu daya!” Seraphina berteriak, nadanya mengguncang ruangan. “Aku adalah putri Anda, dan aku tidak akan mengkhianati kerajaan ini. Tapi kita telah dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya melindungi kita!” Alden menatap putrinya lama, mencari kebenaran di matanya. Di sisi lain, Varyn tidak tinggal diam. Ia tahu bahwa posisinya terancam, dan ia tidak akan membiarkan Seraphina memenangkan pertempuran ini. “Yang Mulia, pertimbangkan ini,” Varyn berkata dengan tenang namun menusuk. “Jika Anda menarik mundur pasukan sekarang, itu akan menjadi tanda kelemahan. Garreth mungkin telah berbuat salah, tetapi pemberontakan ini sudah terlanjur menyebar. Desa itu tidak lagi bisa dianggap sekadar korban. Mereka telah melawan kita!” Seraphina mendekat, berusaha mengendalikan emosi yang berkecamuk. “Ayah, tolong dengarkan aku. Jika kita terus menyerang, kita akan membakar semua yang tersisa. Mereka akan melawan sampai titik darah penghabisan, dan itu tidak akan membawa kita ke mana-mana kecuali kehancuran.” Raja Alden termenung, lalu akhirnya menghela napas berat. “Aku... membutuhkan waktu untuk memikirkan ini.” Namun, sebelum ada keputusan dibuat, ledakan tiba-tiba mengguncang tenda. Seraphina terhuyung, dan prajurit langsung berlarian ke luar untuk melihat apa yang terjadi. Di kejauhan, asap hitam membubung ke langit. Pasukan yang setia kepada Garreth telah menyalakan api konflik, menyerang lebih dulu tanpa perintah. Varyn tersenyum licik, meski menyembunyikannya dengan cepat di balik ekspresi khawatir. “Yang Mulia, kita sudah diserang. Kita tidak punya pilihan lain selain melawan.” Raja Alden berbalik dengan marah. “Siapa yang memerintahkan serangan itu? Aku belum memberi komando!” Seraphina tahu bahwa ini adalah permainan terakhir dari para loyalis Garreth. Mereka tidak akan membiarkan perdamaian terjadi, dan mereka siap memicu perang agar kekacauan terus berlanjut. Seraphina dan Alaric berlari keluar tenda, melihat situasi semakin kacau. Pertempuran pecah tanpa perintah, prajurit kerajaan dan warga desa saling menyerang dalam kepanikan. Di tengah kekacauan, Alaric melihat seorang prajurit yang tampak familiar—salah satu anak buah Garreth yang terkenal kejam. Dia memimpin kelompok kecil yang dengan sengaja menembakkan panah api ke arah gudang persediaan desa, memicu kebakaran besar. Alaric dan Seraphina berusaha menghentikannya, tapi mereka kalah jumlah. Alaric maju, menggunakan sihirnya untuk menciptakan penghalang api yang besar, mencegah api menyebar lebih jauh. Namun, prajurit itu menertawakan upaya Alaric. “Sihirmu tidak akan menyelamatkan mereka kali ini, pesulap! Kau dan desamu sudah selesai!” Alaric menggertakkan giginya, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan api. Seraphina, di sisi lain, berusaha mengumpulkan penduduk untuk melawan, tapi ketakutan sudah terlanjur merajalela. Di tengah kekacauan, seseorang dari pasukan kerajaan yang setia pada Seraphina datang membawa kabar buruk: Marcus, yang sudah terluka parah, telah disandera oleh kelompok pemberontak pro-Garreth yang tersisa. Mereka ingin menggunakan Marcus sebagai alat tawar untuk melarikan diri. “Seraphina!” Alaric berteriak, mencoba menahan prajurit yang terus menyerang. “Kita harus selamatkan Marcus! Mereka akan membunuhnya jika kita tidak segera bertindak.” Seraphina merasa terhimpit di antara dua pilihan: menyelamatkan Marcus atau mencoba mengendalikan situasi yang semakin kacau. Ia tahu, jika Marcus mati, semangat perlawanan desa akan runtuh sepenuhnya. Tapi meninggalkan Alaric berarti membiarkan api konflik ini membesar dan tak terkendali. Dengan berat hati, Seraphina memutuskan untuk menyelamatkan Marcus. Bersama Alaric, mereka menembus barikade, melawan para prajurit yang berusaha menghalangi. Mereka bertarung di setiap sudut, menghadapi musuh yang tidak hanya datang dengan pedang, tapi juga dengan kebencian yang membara. Di sebuah gudang tua yang hampir roboh, mereka menemukan Marcus yang diikat dan terluka. Dengan cepat, Alaric menghancurkan rantai yang mengikat Marcus, sementara Seraphina menghalau para prajurit yang mengejar.Di sebuah gudang tua yang hampir roboh, mereka menemukan Marcus yang diikat dan terluka. Dengan cepat, Alaric menghancurkan rantai yang mengikat Marcus, sementara Seraphina menghalau para prajurit yang mengejar. Marcus, meski lemah, berusaha bangkit. Wajahnya penuh luka, namun sorot matanya masih menyala dengan semangat. "Terima kasih... kalian datang tepat waktu," ujar Marcus dengan suara serak, mencoba tersenyum meski rasa sakit terus mendera. Namun, kegembiraan mereka tak bertahan lama. Tepat ketika mereka berusaha melarikan diri, sekelompok prajurit tambahan yang dipimpin oleh salah satu tangan kanan Garreth, Lord Caelan, muncul menghadang jalan keluar. Caelan dikenal karena kecerdikannya dan kejam dalam pertempuran. Wajahnya yang penuh luka pertempuran dan tatapan dinginnya membuat siapa pun yang melihatnya merasa ngeri. "Seraphina, Alaric, dan Marcus... Betapa menyedihkan melihat kalian berjuang sia-sia. Ini adalah akhir dari semua perlawanan kalian," ujar Caelan dengan
Pagi mulai menyingsing di atas pegunungan, tetapi bagi Seraphina dan kelompok kecilnya, cahaya pagi itu terasa lebih seperti ancaman daripada harapan. Mereka telah bergerak sepanjang malam, bersembunyi dari patroli prajurit yang terus memburu mereka. Kondisi Alaric semakin kritis; napasnya tersengal, dan kulitnya semakin pucat. Luka di bahunya telah terinfeksi, mengeluarkan bau busuk yang mengkhawatirkan. Setiap langkah mereka seperti perlombaan melawan waktu, dan kekuatan Alaric semakin menipis. Di tengah perjalanan mereka, kelompok itu tiba di tepi hutan gelap, yang dikenal sebagai Hutan Gelap Larang. Konon, tempat ini dipenuhi makhluk gaib dan sihir kuno yang tak terduga. Lady Elys ragu-ragu untuk memasuki hutan tersebut, tetapi Seraphina memaksa. Ini satu-satunya cara untuk menghindari pengejaran pasukan kerajaan. “Kita tidak punya pilihan lain,” kata Seraphina dengan tegas, matanya menatap lurus ke dalam hutan yang dipenuhi pepohonan tinggi yang tampak seperti penjaga misterius
Di hutan yang semakin pekat, Seraphina dan Alaric beristirahat sejenak di bawah pepohonan rimbun. Seraphina menatap luka-luka Alaric yang semakin parah. Darah mengalir membasahi pakaian Alaric, membuat Seraphina bergegas merobek sebagian pakaiannya untuk membalut luka tersebut. Tangannya gemetar, berusaha menahan rasa takut yang menggerogoti hatinya. Namun, tatapan Alaric yang meski lemah namun penuh ketenangan, seakan memberi Seraphina sedikit harapan.“Kau harus istirahat, Alaric. Kalau tidak, kau bisa mati karena luka ini,” ucap Seraphina dengan suara serak. Namun Alaric, dengan senyum kecil yang dipaksakan, hanya menggeleng.“Kita tidak punya waktu, Seraphina,” jawab Alaric sambil mengerang pelan. “Kita harus terus bergerak, atau mereka akan menemukan kita.”Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah alam pun tidak ingin memberi mereka kenyamanan. Di kejauhan, mereka bisa mendengar suara langkah kaki para prajurit yang terus mencari mereka. Seraphina tahu mereka haru
Angin malam berhembus dingin, menusuk sampai ke tulang. Alaric berjalan cepat di antara pepohonan, langkahnya tergesa meski rasa sakit di luka-lukanya masih terasa perih. Setiap langkah seolah mengguncang tubuhnya yang sudah lemah, namun pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Seraphina. Mereka telah berpisah beberapa hari yang lalu, namun kecemasan yang menggerogoti hatinya seolah tak pernah pergi.Setiap suara ranting yang patah atau bayangan samar di antara pohon membuatnya siaga, waspada akan kemungkinan prajurit Eirik yang mungkin masih mengejar. Alaric tahu mereka tidak akan berhenti begitu saja. Eirik bukan hanya sekadar prajurit kerajaan; dia adalah tangan kanan Raja Alden, seorang yang tak akan pernah berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan. Di sebuah tepi jurang kecil, Alaric berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan kecemasan yang terus menghantuinya. Dia memandang jauh ke arah langit, yang gelap tanpa bintang, seperti cerminan dari pikirannya
Hari sudah menjelang senja ketika pasukan pemberontak yang dipimpin Marcus berhasil memukul mundur pasukan kerajaan. Seraphina memandang sekeliling dengan napas terengah-engah, darah dan keringat bercampur di wajahnya. Teriakan kemenangan dan ratapan kesedihan bercampur jadi satu di antara hiruk-pikuk pertempuran yang baru saja berakhir. Namun, di tengah keramaian itu, hanya ada satu hal yang memenuhi pikirannya: Alaric.Seraphina berlari ke segala penjuru, mencari sosok yang paling ingin dilihatnya. Matanya berusaha menembus kerumunan para prajurit yang terluka, para pemberontak yang merayakan kemenangan kecil mereka, dan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. Namun, Alaric tidak ada di sana. Seraphina merasakan jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai merayapi pikirannya. “Apa ada yang melihat Alaric?” teriaknya pada siapa pun yang mau mendengarkan. Tapi tak ada jawaban yang memuaskan. Marcus, yang tengah mengatur barisan prajurit untuk mundur d
Alaric dan Seraphina duduk di sudut kabin kapal yang sempit, mencoba menghangatkan diri setelah pelarian yang nyaris berakhir tragis. Suara ombak yang menghantam lambung kapal terdengar berirama, namun jauh dari menenangkan. Marcus masuk ke dalam kabin, membawa sepotong roti dan air untuk Seraphina. Wajahnya tegang, matanya tidak bisa lepas dari peta yang terhampar di meja. “Kita harus bergerak cepat,” ujar Marcus sambil menunjuk titik di peta. “Pasukan kerajaan pasti sudah menyadari pelarian kita. Mereka akan mengejar.” Seraphina mengangguk, meski pikirannya masih kalut. Pengkhianatan ayahnya, pengasingan yang ia alami, dan kini, pelarian yang baru saja berakhir dengan keajaiban, semua itu masih membebani hatinya. Namun yang paling mengganggunya adalah sebuah firasat buruk yang belum bisa ia jelaskan. “Apa rencana kita selanjutnya?” tanya Seraphina, memecah keheningan. “Kita tidak bisa terus bersembunyi. Ayahku pasti akan mengirim pasuka
Di dalam penjara bawah tanah istana, Seraphina meringkuk dalam kegelapan. Suara tetesan air yang monoton menjadi satu-satunya irama yang menemaninya. Tubuhnya lemah, dan hatinya dipenuhi oleh kepahitan setelah melihat ayahnya berpaling darinya. Namun, meskipun dia berada di dasar keputusasaan, pikiran Seraphina tetap berputar; ia tak bisa menyerah sekarang. Ada terlalu banyak yang dipertaruhkan. Sementara itu, di luar istana, Alaric dan Marcus berusaha mati-matian mencari cara untuk menyelamatkan Seraphina. Mereka tahu bahwa waktu mereka terbatas, dan setiap detik yang berlalu semakin mendekatkan Seraphina pada nasib yang mengerikan di tangan Duke Alistair. Namun, kali ini situasinya berbeda. Kerajaan telah memperkuat keamanan istana dengan prajurit-prajurit terlatih, dan mata-mata berkeliaran di setiap sudut kota. “Alaric, kita tidak bisa menyerbu begitu saja,” kata Marcus sambil memandangi istana dari kejauhan. “Duke Alistair sudah siap.
Malam itu, di desa yang masih terjaga oleh ketakutan dan harapan yang tipis, Luthar memandang Alaric dan Seraphina dengan wajah yang lebih serius dari sebelumnya. Langit mulai menggelap, dan hanya cahaya api unggun yang menerangi pertemuan kecil mereka. Luthar, yang biasanya penuh dengan sikap arogan dan dingin, kini terlihat berbeda—terbebani oleh keputusan besar yang harus ia buat. “Dengar,” kata Luthar, memecah kesunyian. “Keadaan semakin tidak terkendali. Raja Alden sudah terlalu jauh dengan kebijakannya, dan ibu tidak bisa berbuat apa-apa untuk menahannya. Ini bukan hanya soal prajurit yang datang menyerang desa ini, tapi seluruh Ardencia sedang di ambang kehancuran.” Alaric dan Seraphina menatap Luthar dengan penuh perhatian. Mereka tahu bahwa Luthar tidak mungkin mengatakan hal seperti ini tanpa alasan yang kuat. Luthar menarik napas dalam-dalam, seakan menimbang setiap kata yang akan ia ucapkan. “Kalian berdua harus pergi,” lanjut
Alaric, Seraphina, Miranda, dan Jameson, bersama sisa-sisa kelompok perlawanan, terus bergerak melintasi Ardencia yang kini berubah menjadi ladang perburuan. Pasukan Raja Alden menyebar di seluruh penjuru kota, menutup setiap jalan keluar, dan menyisir setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian mereka. Dari balik jendela-jendela yang pecah, warga kota yang ketakutan menyaksikan kejar-kejaran yang tak berkesudahan ini, melihat dengan mata mereka sendiri betapa kerasnya rezim Alden dalam menghadapi setiap ancaman terhadap kekuasaannya. Dengan Seraphina yang baru saja diselamatkan dan Albrecht yang gugur di pertempuran sebelumnya, kelompok ini terpaksa bersembunyi di pinggiran kota yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk pasukan kerajaan. Mereka bersembunyi di sebuah gubuk tua yang tersembunyi di dalam hutan lebat, sebuah tempat yang hanya diketahui oleh sedikit orang. Gubuk ini dulunya milik seorang pemburu yang sekarang sudah lama pergi, menjadi sa
Saat matahari mulai merangkak naik di langit Ardencia, suasana kota dipenuhi ketegangan yang terasa seperti petir di udara. Serangan besar di gerbang istana semalam membuahkan hasil yang mengejutkan; pasukan perlawanan berhasil mendesak penjaga istana mundur, meskipun belum mampu menembus ke dalam. Rakyat mulai percaya bahwa kemenangan bukanlah mimpi yang tak terjangkau. Namun, di balik sorak sorai kemenangan kecil itu, bayang-bayang pengkhianatan mulai merayap di dalam kelompok perlawanan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht berkumpul kembali di rumah persembunyian mereka yang tersembunyi di pinggiran kota. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan sekaligus tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu bahwa perlawanan ini belum selesai—masih banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Namun, saat mereka sedang mempersiapkan strategi berikutnya, seorang pria yang tidak asing tiba-tiba memasuki ruangan dengan ekspresi yang mencurigakan.
Kabar tentang ledakan besar di gudang persenjataan istana Ardencia tersebar luas bagaikan api yang tak terkendali. Malam itu, kota yang dulunya sunyi dan tercekam berubah menjadi medan pertempuran batin bagi setiap penduduknya. Para prajurit kerajaan bergerak lebih waspada, meningkatkan pengawasan, sementara rakyat Ardencia mulai merasakan harapan yang lama hilang. Mereka tahu, ada seseorang yang berani melawan tirani Raja Alden, dan itu cukup untuk menyalakan kembali api perlawanan di hati mereka. Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, sebuah kelompok kecil berkumpul dalam kerahasiaan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht duduk melingkar di sekitar meja kayu yang usang, dipenuhi peta Ardencia dan catatan-catatan tentang pergerakan pasukan kerajaan. Malam ini adalah malam yang penting; mereka sedang merencanakan kebangkitan perlawanan yang lebih besar dari sekadar serangan mendadak. Alaric, sang pesulap yang pernah menjadi tulang punggung
Seraphina merapatkan selimut tipis di tubuhnya yang menggigil. Meskipun malam semakin larut, ia tidak bisa memejamkan mata. Kata-kata Duke Alistair masih terngiang di benaknya, menjadi api kecil yang membakar kegelisahan di hatinya. Ia tahu bahwa Alaric berada dalam bahaya, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi umpan dalam permainan kotor Raja Alden dan para pejabatnya. Seraphina bukanlah wanita yang bisa dipermainkan begitu saja; ia adalah seorang pejuang yang sudah terbiasa menghadapi kematian dan pengkhianatan. Di sudut sel, Seraphina memandangi batu yang retak dan dinding yang penuh lumut. Ia menelusuri celah-celah kecil yang mungkin bisa menjadi jalan keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan rencana Raja Alden adalah dengan keluar dari tempat ini. Namun, melarikan diri dari penjara paling ketat di Aldencia bukanlah hal yang mudah, terlebih dengan penjagaan ketat dan penjaga yang tak kenal ampun. Seraphina tahu bahwa ia tidak bisa melakukan ini se
Di dalam penjara Aldencia yang gelap dan suram, Seraphina duduk sendirian di sudut selnya, mencoba bertahan dari dinginnya malam dan kesendirian yang membayangi setiap detik yang berlalu. Dinding batu yang dingin dan lembap seakan-akan menutup setiap harapan yang pernah ia miliki, membuatnya merasa terjebak di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menjadi satu-satunya hiburan yang menemani hari-harinya yang sepi. Seraphina telah berada di dalam sel sempit ini selama berbulan-bulan, dipisahkan dari dunia luar, dari Alaric, dan dari semua yang ia cintai. Sejak penangkapannya, Seraphina tidak pernah diberi penjelasan apa pun oleh para penjaga. Ia hanya diberitahu bahwa ia adalah tahanan politik yang dianggap sebagai ancaman bagi kerajaan. Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa dirinya hanyalah pion dalam permainan kekuasaan Raja Aldencia, alat untuk menjebak Alaric. Meski kondisi fisiknya tampak melemah, sem
Latihan keras dan pertempuran tak henti-hentinya membuat Alaric, Jameson, dan Miranda semakin dekat. Setiap hari mereka berlatih bersama, berbagi canda tawa di tengah rasa lelah, dan menjadi sandaran satu sama lain saat kesulitan menghampiri. Namun, di balik keakraban mereka, ada momen-momen pribadi yang tak terucap, terutama antara Alaric dan Miranda. Malam itu, Alaric duduk di tepi sungai dengan pandangan menerawang. Luka di wajahnya masih terasa perih, namun yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatinya. Ia merenung, menatap bayangan dirinya yang terpantul di air sungai. Dengan satu mata yang tersisa, Alaric melihat sosoknya yang berubah; tidak lagi pesulap muda yang penuh percaya diri, melainkan seorang pria yang dihantui oleh kehilangan. Miranda datang mendekat, membawa kain bersih dan semangkuk air hangat. Ia duduk di sebelah Alaric tanpa banyak bicara, lalu mulai mengganti perban di wajah Alaric dengan tangan yang lembut. Mata birunya menat
Setelah pertempuran yang memisahkan Seraphina darinya, Alaric terjebak dalam kegelapan yang lebih pekat daripada sekadar kehilangan penglihatannya. Satu matanya yang tersisa kini menjadi satu-satunya jendela bagi dunianya yang terasa kian menyempit. Setiap kali ia menutup mata, yang ia lihat hanyalah bayangan Seraphina yang dibawa paksa oleh prajurit Ardencia. Rasanya, luka di matanya tak seberapa dibandingkan dengan luka yang mengoyak hatinya. Keheningan malam terasa seperti menghimpit, dan rasa bersalah terus menghantuinya, membisikkan bahwa ia gagal melindungi satu-satunya orang yang berarti dalam hidupnya. Beberapa hari berlalu, dan Alaric berusaha keras untuk memulihkan diri. Namun, meski luka di tubuhnya mulai berangsur membaik, luka di hatinya tetap menganga lebar. Di rumah sederhana tempatnya dirawat oleh penduduk desa, Alaric terbaring dengan perban yang masih melilit kepalanya. Kesakitan dan keputusasaan menjadikannya lebih pendiam daripada biasanya. Setiap
Keputusan Alaric untuk menolak Miranda bukanlah hal yang mudah. Setelah malam yang panjang, Alaric akhirnya memutuskan untuk berbicara jujur kepada Miranda dan mengakhiri semua yang telah ia mulai. Ia sadar bahwa hubungan gelap ini bukan hanya mengancam hubungannya dengan Seraphina, tetapi juga harga dirinya sebagai seorang pria yang seharusnya menjaga komitmen dan kehormatan.Keesokan harinya, Alaric menemui Miranda di vila mewahnya. Miranda menyambutnya dengan senyuman manis dan pandangan penuh harap, seolah yakin bahwa Alaric akhirnya akan menerima tawarannya untuk meninggalkan Seraphina dan menjalani kehidupan baru bersamanya.“Alaric, aku tahu kau akan datang. Aku sudah menyiapkan segalanya untuk kita,” kata Miranda sambil mendekat, jemarinya menyentuh lembut tangan Alaric.Namun, Alaric dengan tegas menarik tangannya. “Miranda, kita harus bicara. Aku tidak bisa melanjutkan ini lagi. Seraphina adalah segalanya bagiku, dan aku tidak ingin kehilangan di
Keesokan harinya, kehidupan kembali ke rutinitas mereka yang sederhana. Alaric mempersiapkan dirinya untuk pertunjukan harian di alun-alun kota, sementara Seraphina tinggal di rumah, merapikan sedikit dagangan kerajinan yang ia buat untuk menambah penghasilan mereka. Kehidupan mereka mungkin tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat mereka merasa bahagia.Namun, tanpa mereka sadari, sebuah badai baru perlahan mendekat, membawa ancaman yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Di tengah keramaian kota, Alaric menarik perhatian banyak orang dengan sulapnya yang memukau. Anak-anak dan orang dewasa terkagum-kagum melihat trik-triknya yang selalu berhasil membuat mereka terheran-heran. Di antara para penonton, seorang wanita berambut merah menyala dengan mata tajam memperhatikan Alaric dengan penuh minat. Namanya adalah Miranda, seorang pedagang yang baru tiba di kota itu. Penampilannya menarik perhatian dengan pakaian mahal dan sikapnya yang penuh percaya diri, berbed