Pagi mulai menyingsing di atas pegunungan, tetapi bagi Seraphina dan kelompok kecilnya, cahaya pagi itu terasa lebih seperti ancaman daripada harapan. Mereka telah bergerak sepanjang malam, bersembunyi dari patroli prajurit yang terus memburu mereka. Kondisi Alaric semakin kritis; napasnya tersengal, dan kulitnya semakin pucat. Luka di bahunya telah terinfeksi, mengeluarkan bau busuk yang mengkhawatirkan. Setiap langkah mereka seperti perlombaan melawan waktu, dan kekuatan Alaric semakin menipis.
Di tengah perjalanan mereka, kelompok itu tiba di tepi hutan gelap, yang dikenal sebagai Hutan Gelap Larang. Konon, tempat ini dipenuhi makhluk gaib dan sihir kuno yang tak terduga. Lady Elys ragu-ragu untuk memasuki hutan tersebut, tetapi Seraphina memaksa. Ini satu-satunya cara untuk menghindari pengejaran pasukan kerajaan. “Kita tidak punya pilihan lain,” kata Seraphina dengan tegas, matanya menatap lurus ke dalam hutan yang dipenuhi pepohonan tinggi yang tampak seperti penjaga misterius. “Jika kita tetap di sini, mereka akan menemukan kita. Setidaknya di dalam hutan, kita punya kesempatan untuk bersembunyi.” Marcus, yang terluka parah setelah pertarungan di gua, mengangguk pelan. Dia sudah terlalu lemah untuk membantah, dan ia tahu bahwa mereka harus bertaruh pada apa pun yang tersisa. Mereka semua tahu risiko memasuki Hutan Gelap Larang, tetapi nasib yang menunggu di luar lebih mengerikan. Mereka melangkah masuk ke dalam kegelapan hutan. Suasana dingin dan sunyi membuat mereka merasa seolah-olah sedang berjalan ke dunia lain. Seraphina terus menggenggam tangan Alaric, yang tampak semakin kehilangan kesadarannya. Meskipun lelah dan penuh luka, Alaric tetap berusaha berjalan, meski kini tubuhnya hampir sepenuhnya bergantung pada Seraphina. Di tengah perjalanan, tiba-tiba terdengar bisikan-bisikan aneh dari dalam hutan, seolah-olah makhluk-makhluk di sana sedang mengamati setiap gerakan mereka. Marcus dan Lady Elys saling bertukar pandang, menyadari bahaya yang mengintai di sekeliling mereka. Di antara bayang-bayang pepohonan, Seraphina melihat kilatan mata merah yang mengintip. Tidak ada waktu untuk berpikir, mereka harus bergerak lebih cepat. Namun, baru beberapa langkah kemudian, tanah di bawah kaki mereka berguncang, dan akar-akar pohon muncul, membelit kaki Seraphina. Ia terjatuh, terperangkap dalam jebakan sihir hutan. Marcus berusaha membantunya, tetapi akar-akar itu semakin erat menjerat mereka. Lady Elys mencoba mengeluarkan mantra untuk memutuskan akar tersebut, tetapi sihirnya tidak berfungsi seperti biasanya di tempat ini. Seraphina mencoba melepaskan diri, tetapi semakin keras ia berjuang, semakin kuat cengkeraman akar itu. Alaric, yang hampir tidak sadarkan diri, tiba-tiba terbangun oleh kekacauan itu. Melihat Seraphina dalam bahaya, ia mengerahkan kekuatan terakhirnya untuk mengangkat tongkat sihirnya dan mengucapkan mantra pelindung. Cahaya biru berpendar keluar dari tongkat Alaric, menggetarkan akar-akar tersebut hingga akhirnya terlepas dari kaki Seraphina. Namun, kekuatan sihir itu menguras tenaga Alaric yang tersisa. Alaric terjatuh dengan keras ke tanah, kehilangan kesadarannya sepenuhnya. Seraphina berlari mendekat, memeluk tubuh Alaric yang sudah tak bergerak. “Alaric! Bertahanlah!” teriak Seraphina, suaranya bergetar dengan kepanikan. Tapi Alaric tidak merespons. Napasnya tipis, hampir tak terdengar. Seraphina merasa hatinya hancur. Ia tahu bahwa Alaric telah mengorbankan sisa tenaganya untuk menyelamatkannya, dan sekarang ia berada di ambang kematian. Di tengah rasa putus asanya, Seraphina teringat akan satu cerita lama yang pernah didengarnya tentang Hutan Gelap Larang. Konon, di tengah hutan ini ada sebuah mata air ajaib yang mampu menyembuhkan luka dan penyakit. Namun, mata air itu dijaga oleh roh-roh kuno yang menuntut pengorbanan untuk setiap nyawa yang diselamatkan. “Aku akan menemukan mata air itu,” bisik Seraphina sambil menatap wajah pucat Alaric. “Aku tidak akan membiarkanmu mati di sini.” Lady Elys mencoba menghentikan Seraphina. “Mata air itu hanya mitos. Dan jika pun benar ada, roh-roh di sana tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja.” “Tapi ini satu-satunya harapan kita!” balas Seraphina dengan tegas. “Jika ada sedikit saja peluang untuk menyelamatkan Alaric, aku akan mengambilnya.” Seraphina tidak menunggu persetujuan lebih lanjut. Ia berlari lebih dalam ke dalam hutan, mengikuti intuisi dan petunjuk samar yang pernah ia dengar dari dongeng masa kecilnya. Sementara itu, Lady Elys dan Marcus tetap bersama Alaric, berusaha menjaga agar ia tetap hidup sampai Seraphina kembali. Perjalanan Seraphina menuju mata air tidak mudah. Hutan seolah-olah hidup, dengan akar-akar dan cabang pohon yang terus mencoba menghalangi jalannya. Angin berbisik seakan memohon padanya untuk mundur, untuk berhenti, tetapi tekadnya sudah bulat. Setiap langkah yang diambilnya adalah langkah menuju pengorbanan besar; jika ia gagal, bukan hanya Alaric yang akan hilang, tetapi juga harapan desa dan semua yang mereka perjuangkan. Setelah berjam-jam berjalan tanpa arah yang jelas, Seraphina akhirnya menemukan apa yang ia cari. Di tengah hutan, di antara pohon-pohon besar yang mengelilinginya seperti penjaga, ada sebuah mata air yang memancarkan cahaya lembut berwarna biru. Airnya jernih dan tenang, berbeda dengan seluruh suasana hutan yang gelap dan mengancam. Namun, di hadapan mata air itu berdiri sosok roh yang besar dan anggun, dengan wajah penuh teka-teki. Roh itu menatap Seraphina dengan mata yang dalam, seakan bisa melihat ke dalam jiwanya. “Kau datang untuk menyelamatkan seseorang,” kata roh itu, suaranya terdengar seperti ribuan daun yang berdesir. “Ya,” jawab Seraphina dengan penuh keyakinan. “Aku memohon padamu, selamatkan Alaric. Aku akan melakukan apa saja.” Roh itu tersenyum tipis. “Mata air ini bisa menyembuhkan, tetapi tidak ada yang datang tanpa harga. Kau harus menyerahkan sesuatu yang berharga sebagai pengorbanan.” Seraphina terdiam, mencoba memahami apa yang harus ia berikan. “Apa yang kau inginkan?” Roh itu mendekat, dan dengan tenang menjawab, “Hatimu. Jika kau ingin menyelamatkannya, kau harus menyerahkan hatimu. Kau tidak akan pernah merasakan cinta lagi, tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Itu adalah harga yang harus kau bayar.” Seraphina merasa tubuhnya gemetar. Pengorbanan itu begitu besar, terlalu menyakitkan. Tetapi di benaknya, wajah Alaric yang sekarat kembali terbayang. Ia tahu bahwa tanpa Alaric, perjuangan mereka akan berakhir sia-sia. Desa akan hancur, dan semua orang yang mereka sayangi akan hilang. “Aku bersedia,” jawab Seraphina akhirnya, meski air mata mulai mengalir di pipinya. “Selama dia bisa hidup, aku bersedia menanggung semua penderitaan itu.” Roh itu mengangguk, kemudian membisikkan mantra kuno yang membuat mata air berkilau lebih terang. Air mata Seraphina bercampur dengan air mata air tersebut, dan seketika sebuah botol kecil muncul, berisi air ajaib yang bisa menyelamatkan Alaric. Tanpa berpikir dua kali, Seraphina mengambil botol itu dan berlari kembali ke tempat teman-temannya. Ia tidak merasakan apa pun lagi selain tekad yang menguasai dirinya. Ketika tiba di tempat Alaric, ia segera memberinya minum air mata air tersebut. Perlahan, luka-luka Alaric mulai sembuh, dan napasnya kembali teratur. Namun, Seraphina merasakan sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Ada kekosongan yang menyakitkan, seakan seluruh jiwanya diambil oleh roh itu. Ia tahu ia telah kehilangan sesuatu yang tak tergantikan—hatinya. Alaric membuka mata, melihat Seraphina dengan pandangan penuh syukur dan cinta, tetapi Seraphina hanya bisa tersenyum pahit. Ia telah menyelamatkan nyawa Alaric, tetapi harga yang harus dibayarnya akan selalu menjadi rahasia kelam yang ia simpan sendiri. Konflik antara harapan, pengorbanan, dan cinta semakin memperumit perjuangan mereka. Meskipun mereka berhasil bertahan satu hari lagi, harga yang telah dibayar untuk kelangsungan hidup itu terlalu tinggi. Dan di dalam hati Seraph Saat Alaric perlahan sadar, rasa sakit yang menyiksa kini digantikan oleh perasaan hangat yang mengalir dari mata air ajaib itu. Wajah Seraphina yang cemas adalah hal pertama yang dilihatnya. Dia mencoba tersenyum, namun Seraphina hanya mengangguk dengan wajah datar, seolah-olah beban besar telah menyelimuti hatinya. Marcus dan Lady Elys menghela napas lega, namun ketegangan belum benar-benar hilang dari ekspresi mereka. Mereka melanjutkan perjalanan mereka dengan langkah yang lebih cepat, berusaha keluar dari hutan gelap yang memerangkap mereka dengan berbagai rintangan. Alaric yang masih lemah, dengan bantuan Seraphina, terus berjuang mengikuti kelompok. Meskipun tubuhnya pulih, perasaan gelisah terus menghantuinya. Ada sesuatu yang berbeda dari Seraphina. Matanya, yang dulu selalu penuh semangat, kini tampak kosong, seolah-olah ada bagian dari dirinya yang hilang. Namun, sebelum Alaric sempat bertanya lebih jauh, Marcus tiba-tiba berhenti di depan mereka. Ia menatap Seraphina dengan tajam, sorot matanya berubah menjadi penuh kecurigaan. “Ada sesuatu yang tidak beres,” katanya sambil mengamati sekeliling mereka. “Kita sudah terlalu lama di hutan ini, dan aku merasa kita sedang diikuti.” Seraphina menoleh dengan waspada, namun tidak ada yang terlihat. Hutan itu sunyi, terlalu sunyi. Bahkan hembusan angin pun tidak terdengar. Marcus segera mengeluarkan pedangnya, siap menghadapi apa pun yang akan muncul. Sementara Lady Elys mencoba merapal mantra perlindungan, Alaric hanya bisa memandang dengan waspada, merasakan bahaya yang mendekat. Tiba-tiba, dari balik pepohonan, muncul sekelompok prajurit kerajaan dengan seragam merah marun yang sudah begitu mereka kenal. Di antara mereka, seorang pria bertopeng dengan jubah hitam tampak melangkah maju, senyumnya dingin dan penuh perhitungan. Seraphina mengenali sosok itu seketika—Lord Eirik, salah satu penasihat terdekat Raja Alden dan musuh yang paling mereka takuti. “Selamat datang di perangkapku,” ucap Lord Eirik dengan nada mengejek, melangkah mendekat dengan langkah santai. “Aku harus mengakui, kalian sangat gigih. Tapi sekarang, semua ini akan berakhir.” Alaric merasakan darahnya berdesir. Eirik, dengan segala kelicikannya, selalu berada satu langkah di depan mereka. Seraphina menatap Eirik dengan penuh kebencian, namun kali ini, ada sesuatu yang lebih gelap di balik tatapannya. Ia merasa seperti dikhianati oleh dunia yang tidak pernah memberi mereka kesempatan untuk menang. “Apa maumu, Eirik?” tanya Seraphina dengan suara bergetar. “Belum cukupkah semua darah yang telah kau tumpahkan?” Eirik tertawa kecil, matanya menyipit penuh kesenangan. “Aku hanya menjalankan perintah, Putri. Tapi, ada satu hal yang lebih menarik bagiku—siapa yang akan menyerah lebih dulu? Kalian, atau desa yang kalian coba lindungi dengan sia-sia?” Alaric bergerak maju, meskipun tubuhnya masih lemah. “Kami tidak akan menyerah. Kau tidak akan menang dengan cara ini.” Namun, sebelum Alaric bisa mendekat, salah satu prajurit Eirik menyerangnya dengan pedang. Alaric menghindar, tapi gerakannya masih terlalu lambat karena luka-lukanya yang belum sembuh sepenuhnya. Serangan itu mengenai lengan Alaric, menimbulkan luka baru. Alaric terjatuh, darah mengalir dari lengannya, dan Seraphina segera berlari mendekat untuk menolong. Lady Elys mencoba menggunakan sihirnya, tetapi prajurit-prajurit Eirik sudah siap dengan perisai anti-sihir mereka, membuat kekuatannya tidak berguna. Marcus mengangkat pedangnya, mencoba melindungi mereka, tetapi jumlah musuh yang terlalu banyak membuat situasi menjadi mustahil. Eirik terus maju, mendekati Seraphina dan Alaric yang terpojok. Wajahnya penuh dengan kemenangan yang licik. “Kau tahu, Seraphina, aku bisa saja membunuhmu sekarang. Tapi, aku punya rencana yang lebih baik.” Seraphina menatapnya dengan tajam. “Apa maksudmu?” Eirik mengeluarkan gulungan perkamen dan melemparkannya ke tanah di depan mereka. Itu adalah surat perintah penangkapan untuk Seraphina dan Alaric, yang ditandatangani oleh Raja Alden sendiri. Namun, yang mengejutkan adalah nama yang tercantum di bagian saksi. Marcus. Seraphina tertegun, menatap Marcus yang tampak terguncang. “Apa arti semua ini?” tuntutnya, suaranya bergetar antara kemarahan dan kekecewaan. Marcus mundur, terperangkap dalam dilema yang tampak jelas di wajahnya. “Seraphina, aku… aku tidak punya pilihan. Mereka mengancam keluargaku. Aku tidak pernah ingin ini terjadi.” “Aku memercayaimu, Marcus!” seru Seraphina dengan air mata yang mulai menggenang. “Kau adalah temanku, bagaimana bisa kau mengkhianati kami seperti ini?” Sementara itu, Eirik hanya tersenyum puas, menikmati keretakan yang terjadi di antara mereka. “Loyalitas adalah mata uang yang murah di zaman seperti ini, Putri. Tidak ada yang benar-benar setia, hanya mereka yang belum menemukan harga yang tepat.” Alaric mencoba berdiri meskipun tubuhnya terasa lemah. “Kita masih bisa bertarung. Kita tidak bisa membiarkan ini berakhir di sini.” Namun, situasi menjadi semakin buruk saat Eirik memberi perintah kepada pasukannya. “Tangkap mereka! Putri dan pesulap ini sudah cukup membuat masalah. Bawa mereka ke istana, dan kita akan lihat bagaimana mereka bertahan menghadapi pengadilan.” Pertempuran pun meletus. Lady Elys dengan segenap kekuatannya berusaha melindungi Seraphina dan Alaric. Serangan sihir dan pedang bertukar di antara kedua belah pihak, namun jumlah musuh terlalu banyak. Marcus, terjebak dalam rasa bersalah, akhirnya memutuskan untuk melawan prajurit Eirik, meskipun dia tahu bahwa apa yang dia lakukan mungkin tidak akan pernah menebus pengkhianatannya. Seraphina dan Alaric berjuang sekuat tenaga, tetapi pasukan Eirik jauh lebih terlatih dan persenjataan mereka jauh lebih lengkap. Dalam satu momen yang krusial, Alaric terluka lagi oleh serangan pedang yang hampir mengenai jantungnya. Seraphina menjerit, berusaha melindunginya, namun ia juga terpojok. Di tengah kekacauan itu, Lady Elys melepaskan mantra terakhirnya, menciptakan ledakan cahaya yang cukup kuat untuk menghalangi pandangan musuh sejenak. Kesempatan itu digunakan oleh Seraphina untuk menarik Alaric keluar dari kerumunan, meski mereka harus meninggalkan Marcus dan Lady Elys yang masih bertarung habis-habisan. Seraphina dan Alaric akhirnya berhasil melarikan diri ke bagian hutan yang lebih dalam, jauh dari pandangan pasukan Eirik. Mereka terjatuh ke tanah, napas terengah-engah dan luka menganga di tubuh mereka. Seraphina memeluk Alaric yang terluka, air mata menetes tanpa henti. “Kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Alaric dengan suara serak. “Eirik tidak akan berhenti. Dan sekarang, Marcus...” Seraphina mengangguk, mencoba menahan emosinya. “Kita sudah kehilangan terlalu banyak. Kita harus menemukan cara lain. Kita harus mencari bantuan lebih dari sekadar sihir atau pedang.” Di tengah kegelapan hutan itu, Seraphina menyadari bahwa mereka berada di titik terendah mereka. Sekarang, tidak hanya Raja Alden dan Eirik yang menjadi musuh, tetapi juga pengkhianatan yang datang dari dalam, dari orang yang seharusnya menjadi teman. Mereka harus mengumpulkan kekuatan baru, merangkai rencana yang lebih berbahaya, dan menghadapi kenyataan bahwa tidak semua orang bisa dipercaya. Dan ketika pagi mulai menyingsing sekali lagi, Seraphina tahu bahwa perang ini baru saja dimulai. Perjuangan mereka bukan hanya melawan musuh di luar, tetapi juga pengkhianatan dan ketakutan yang terus menghantui setiap langkah mereka. Mereka harus mencari sekutu baru, menemukan cara untuk membalas semua yang telah direnggut dari mereka, dan yang paling penting, menemukan kembali harapan yang hampir padam. Dengan Alaric di sisinya, Seraphina bersumpah bahwa mereka akan bangkit lagi. Apa pun yang diperlukan, mereka akan melawan. Ini belum berakhir, dan kali ini, mereka tidak akan berjuang hanya untuk bertahan hidup—mereka akan berjuang untuk menang, dengan atau tanpa kepercayaan yang telah terkoyak.Di hutan yang semakin pekat, Seraphina dan Alaric beristirahat sejenak di bawah pepohonan rimbun. Seraphina menatap luka-luka Alaric yang semakin parah. Darah mengalir membasahi pakaian Alaric, membuat Seraphina bergegas merobek sebagian pakaiannya untuk membalut luka tersebut. Tangannya gemetar, berusaha menahan rasa takut yang menggerogoti hatinya. Namun, tatapan Alaric yang meski lemah namun penuh ketenangan, seakan memberi Seraphina sedikit harapan.“Kau harus istirahat, Alaric. Kalau tidak, kau bisa mati karena luka ini,” ucap Seraphina dengan suara serak. Namun Alaric, dengan senyum kecil yang dipaksakan, hanya menggeleng.“Kita tidak punya waktu, Seraphina,” jawab Alaric sambil mengerang pelan. “Kita harus terus bergerak, atau mereka akan menemukan kita.”Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah alam pun tidak ingin memberi mereka kenyamanan. Di kejauhan, mereka bisa mendengar suara langkah kaki para prajurit yang terus mencari mereka. Seraphina tahu mereka haru
Angin malam berhembus dingin, menusuk sampai ke tulang. Alaric berjalan cepat di antara pepohonan, langkahnya tergesa meski rasa sakit di luka-lukanya masih terasa perih. Setiap langkah seolah mengguncang tubuhnya yang sudah lemah, namun pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Seraphina. Mereka telah berpisah beberapa hari yang lalu, namun kecemasan yang menggerogoti hatinya seolah tak pernah pergi.Setiap suara ranting yang patah atau bayangan samar di antara pohon membuatnya siaga, waspada akan kemungkinan prajurit Eirik yang mungkin masih mengejar. Alaric tahu mereka tidak akan berhenti begitu saja. Eirik bukan hanya sekadar prajurit kerajaan; dia adalah tangan kanan Raja Alden, seorang yang tak akan pernah berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan. Di sebuah tepi jurang kecil, Alaric berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan kecemasan yang terus menghantuinya. Dia memandang jauh ke arah langit, yang gelap tanpa bintang, seperti cerminan dari pikirannya
Hari sudah menjelang senja ketika pasukan pemberontak yang dipimpin Marcus berhasil memukul mundur pasukan kerajaan. Seraphina memandang sekeliling dengan napas terengah-engah, darah dan keringat bercampur di wajahnya. Teriakan kemenangan dan ratapan kesedihan bercampur jadi satu di antara hiruk-pikuk pertempuran yang baru saja berakhir. Namun, di tengah keramaian itu, hanya ada satu hal yang memenuhi pikirannya: Alaric.Seraphina berlari ke segala penjuru, mencari sosok yang paling ingin dilihatnya. Matanya berusaha menembus kerumunan para prajurit yang terluka, para pemberontak yang merayakan kemenangan kecil mereka, dan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. Namun, Alaric tidak ada di sana. Seraphina merasakan jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai merayapi pikirannya. “Apa ada yang melihat Alaric?” teriaknya pada siapa pun yang mau mendengarkan. Tapi tak ada jawaban yang memuaskan. Marcus, yang tengah mengatur barisan prajurit untuk mundur d
Alaric dan Seraphina duduk di sudut kabin kapal yang sempit, mencoba menghangatkan diri setelah pelarian yang nyaris berakhir tragis. Suara ombak yang menghantam lambung kapal terdengar berirama, namun jauh dari menenangkan. Marcus masuk ke dalam kabin, membawa sepotong roti dan air untuk Seraphina. Wajahnya tegang, matanya tidak bisa lepas dari peta yang terhampar di meja. “Kita harus bergerak cepat,” ujar Marcus sambil menunjuk titik di peta. “Pasukan kerajaan pasti sudah menyadari pelarian kita. Mereka akan mengejar.” Seraphina mengangguk, meski pikirannya masih kalut. Pengkhianatan ayahnya, pengasingan yang ia alami, dan kini, pelarian yang baru saja berakhir dengan keajaiban, semua itu masih membebani hatinya. Namun yang paling mengganggunya adalah sebuah firasat buruk yang belum bisa ia jelaskan. “Apa rencana kita selanjutnya?” tanya Seraphina, memecah keheningan. “Kita tidak bisa terus bersembunyi. Ayahku pasti akan mengirim pasuka
Di dalam penjara bawah tanah istana, Seraphina meringkuk dalam kegelapan. Suara tetesan air yang monoton menjadi satu-satunya irama yang menemaninya. Tubuhnya lemah, dan hatinya dipenuhi oleh kepahitan setelah melihat ayahnya berpaling darinya. Namun, meskipun dia berada di dasar keputusasaan, pikiran Seraphina tetap berputar; ia tak bisa menyerah sekarang. Ada terlalu banyak yang dipertaruhkan. Sementara itu, di luar istana, Alaric dan Marcus berusaha mati-matian mencari cara untuk menyelamatkan Seraphina. Mereka tahu bahwa waktu mereka terbatas, dan setiap detik yang berlalu semakin mendekatkan Seraphina pada nasib yang mengerikan di tangan Duke Alistair. Namun, kali ini situasinya berbeda. Kerajaan telah memperkuat keamanan istana dengan prajurit-prajurit terlatih, dan mata-mata berkeliaran di setiap sudut kota. “Alaric, kita tidak bisa menyerbu begitu saja,” kata Marcus sambil memandangi istana dari kejauhan. “Duke Alistair sudah siap.
Malam itu, di desa yang masih terjaga oleh ketakutan dan harapan yang tipis, Luthar memandang Alaric dan Seraphina dengan wajah yang lebih serius dari sebelumnya. Langit mulai menggelap, dan hanya cahaya api unggun yang menerangi pertemuan kecil mereka. Luthar, yang biasanya penuh dengan sikap arogan dan dingin, kini terlihat berbeda—terbebani oleh keputusan besar yang harus ia buat. “Dengar,” kata Luthar, memecah kesunyian. “Keadaan semakin tidak terkendali. Raja Alden sudah terlalu jauh dengan kebijakannya, dan ibu tidak bisa berbuat apa-apa untuk menahannya. Ini bukan hanya soal prajurit yang datang menyerang desa ini, tapi seluruh Ardencia sedang di ambang kehancuran.” Alaric dan Seraphina menatap Luthar dengan penuh perhatian. Mereka tahu bahwa Luthar tidak mungkin mengatakan hal seperti ini tanpa alasan yang kuat. Luthar menarik napas dalam-dalam, seakan menimbang setiap kata yang akan ia ucapkan. “Kalian berdua harus pergi,” lanjut
Sementara Alaric dan Seraphina melanjutkan perjalanan mereka di Eldoria, keadaan di Ardencia berubah dengan cepat dan semakin tidak terkendali. Ketidakhadiran Alaric dan Seraphina tidak serta-merta membuat situasi menjadi lebih tenang; justru sebaliknya, kerajaan itu berada dalam keadaan yang lebih kacau daripada sebelumnya. Dengan Luthar yang berjuang sendirian dari dalam istana, berbagai konflik internal dan eksternal mulai mengancam kestabilan kerajaan. Sejak kepergian Seraphina, Raja Alden semakin tak terkendali dalam usahanya mempertahankan kekuasaan. Dengan kabar hilangnya putri kerajaan dan pesulap desa yang menjadi pahlawan rakyat, Raja Alden merasa terancam. Baginya, Alaric dan Seraphina bukan hanya ancaman terhadap kekuasaannya, tetapi juga simbol pemberontakan yang bisa menginspirasi rakyat untuk melawan. Ia memerintahkan pasukan untuk mencari mereka hingga ke pelosok Ardencia, mengerahkan kekuatan militer yang lebih besar dari sebelumnya.
Suatu malam setelah pertunjukan yang sukses di rumah Bartholomew, Alaric dan Seraphina kembali ke tempat tinggal mereka yang sederhana. Mereka menyewa sebuah kamar kecil di lantai atas penginapan tua yang terletak di ujung kota Eldoria. Kamar itu tidak mewah, tetapi cukup nyaman bagi mereka. Terdapat jendela besar yang menghadap ke jalanan, dengan pemandangan lampu-lampu kota yang berpendar indah di malam hari. Malam itu terasa sejuk, dan suara angin yang berhembus lembut melalui celah jendela memberikan suasana yang tenang.Di dalam kamar, Alaric duduk bersandar di ranjang, masih mengenakan setengah dari kostum sulapnya yang penuh debu, sementara Seraphina sedang melepaskan gaun pertunjukannya. Meski lelah, wajah mereka berseri-seri dengan kebahagiaan yang jarang mereka rasakan dalam beberapa bulan terakhir. Kesuksesan pertunjukan malam ini membuat mereka merasa sedikit lega dari tekanan yang selama ini menghantui. Seraphina menatap Alaric dan tersenyum. “Kau tad
Alaric, Seraphina, Miranda, dan Jameson, bersama sisa-sisa kelompok perlawanan, terus bergerak melintasi Ardencia yang kini berubah menjadi ladang perburuan. Pasukan Raja Alden menyebar di seluruh penjuru kota, menutup setiap jalan keluar, dan menyisir setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian mereka. Dari balik jendela-jendela yang pecah, warga kota yang ketakutan menyaksikan kejar-kejaran yang tak berkesudahan ini, melihat dengan mata mereka sendiri betapa kerasnya rezim Alden dalam menghadapi setiap ancaman terhadap kekuasaannya. Dengan Seraphina yang baru saja diselamatkan dan Albrecht yang gugur di pertempuran sebelumnya, kelompok ini terpaksa bersembunyi di pinggiran kota yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk pasukan kerajaan. Mereka bersembunyi di sebuah gubuk tua yang tersembunyi di dalam hutan lebat, sebuah tempat yang hanya diketahui oleh sedikit orang. Gubuk ini dulunya milik seorang pemburu yang sekarang sudah lama pergi, menjadi sa
Saat matahari mulai merangkak naik di langit Ardencia, suasana kota dipenuhi ketegangan yang terasa seperti petir di udara. Serangan besar di gerbang istana semalam membuahkan hasil yang mengejutkan; pasukan perlawanan berhasil mendesak penjaga istana mundur, meskipun belum mampu menembus ke dalam. Rakyat mulai percaya bahwa kemenangan bukanlah mimpi yang tak terjangkau. Namun, di balik sorak sorai kemenangan kecil itu, bayang-bayang pengkhianatan mulai merayap di dalam kelompok perlawanan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht berkumpul kembali di rumah persembunyian mereka yang tersembunyi di pinggiran kota. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan sekaligus tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu bahwa perlawanan ini belum selesai—masih banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Namun, saat mereka sedang mempersiapkan strategi berikutnya, seorang pria yang tidak asing tiba-tiba memasuki ruangan dengan ekspresi yang mencurigakan.
Kabar tentang ledakan besar di gudang persenjataan istana Ardencia tersebar luas bagaikan api yang tak terkendali. Malam itu, kota yang dulunya sunyi dan tercekam berubah menjadi medan pertempuran batin bagi setiap penduduknya. Para prajurit kerajaan bergerak lebih waspada, meningkatkan pengawasan, sementara rakyat Ardencia mulai merasakan harapan yang lama hilang. Mereka tahu, ada seseorang yang berani melawan tirani Raja Alden, dan itu cukup untuk menyalakan kembali api perlawanan di hati mereka. Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, sebuah kelompok kecil berkumpul dalam kerahasiaan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht duduk melingkar di sekitar meja kayu yang usang, dipenuhi peta Ardencia dan catatan-catatan tentang pergerakan pasukan kerajaan. Malam ini adalah malam yang penting; mereka sedang merencanakan kebangkitan perlawanan yang lebih besar dari sekadar serangan mendadak. Alaric, sang pesulap yang pernah menjadi tulang punggung
Seraphina merapatkan selimut tipis di tubuhnya yang menggigil. Meskipun malam semakin larut, ia tidak bisa memejamkan mata. Kata-kata Duke Alistair masih terngiang di benaknya, menjadi api kecil yang membakar kegelisahan di hatinya. Ia tahu bahwa Alaric berada dalam bahaya, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi umpan dalam permainan kotor Raja Alden dan para pejabatnya. Seraphina bukanlah wanita yang bisa dipermainkan begitu saja; ia adalah seorang pejuang yang sudah terbiasa menghadapi kematian dan pengkhianatan. Di sudut sel, Seraphina memandangi batu yang retak dan dinding yang penuh lumut. Ia menelusuri celah-celah kecil yang mungkin bisa menjadi jalan keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan rencana Raja Alden adalah dengan keluar dari tempat ini. Namun, melarikan diri dari penjara paling ketat di Aldencia bukanlah hal yang mudah, terlebih dengan penjagaan ketat dan penjaga yang tak kenal ampun. Seraphina tahu bahwa ia tidak bisa melakukan ini se
Di dalam penjara Aldencia yang gelap dan suram, Seraphina duduk sendirian di sudut selnya, mencoba bertahan dari dinginnya malam dan kesendirian yang membayangi setiap detik yang berlalu. Dinding batu yang dingin dan lembap seakan-akan menutup setiap harapan yang pernah ia miliki, membuatnya merasa terjebak di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menjadi satu-satunya hiburan yang menemani hari-harinya yang sepi. Seraphina telah berada di dalam sel sempit ini selama berbulan-bulan, dipisahkan dari dunia luar, dari Alaric, dan dari semua yang ia cintai. Sejak penangkapannya, Seraphina tidak pernah diberi penjelasan apa pun oleh para penjaga. Ia hanya diberitahu bahwa ia adalah tahanan politik yang dianggap sebagai ancaman bagi kerajaan. Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa dirinya hanyalah pion dalam permainan kekuasaan Raja Aldencia, alat untuk menjebak Alaric. Meski kondisi fisiknya tampak melemah, sem
Latihan keras dan pertempuran tak henti-hentinya membuat Alaric, Jameson, dan Miranda semakin dekat. Setiap hari mereka berlatih bersama, berbagi canda tawa di tengah rasa lelah, dan menjadi sandaran satu sama lain saat kesulitan menghampiri. Namun, di balik keakraban mereka, ada momen-momen pribadi yang tak terucap, terutama antara Alaric dan Miranda. Malam itu, Alaric duduk di tepi sungai dengan pandangan menerawang. Luka di wajahnya masih terasa perih, namun yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatinya. Ia merenung, menatap bayangan dirinya yang terpantul di air sungai. Dengan satu mata yang tersisa, Alaric melihat sosoknya yang berubah; tidak lagi pesulap muda yang penuh percaya diri, melainkan seorang pria yang dihantui oleh kehilangan. Miranda datang mendekat, membawa kain bersih dan semangkuk air hangat. Ia duduk di sebelah Alaric tanpa banyak bicara, lalu mulai mengganti perban di wajah Alaric dengan tangan yang lembut. Mata birunya menat
Setelah pertempuran yang memisahkan Seraphina darinya, Alaric terjebak dalam kegelapan yang lebih pekat daripada sekadar kehilangan penglihatannya. Satu matanya yang tersisa kini menjadi satu-satunya jendela bagi dunianya yang terasa kian menyempit. Setiap kali ia menutup mata, yang ia lihat hanyalah bayangan Seraphina yang dibawa paksa oleh prajurit Ardencia. Rasanya, luka di matanya tak seberapa dibandingkan dengan luka yang mengoyak hatinya. Keheningan malam terasa seperti menghimpit, dan rasa bersalah terus menghantuinya, membisikkan bahwa ia gagal melindungi satu-satunya orang yang berarti dalam hidupnya. Beberapa hari berlalu, dan Alaric berusaha keras untuk memulihkan diri. Namun, meski luka di tubuhnya mulai berangsur membaik, luka di hatinya tetap menganga lebar. Di rumah sederhana tempatnya dirawat oleh penduduk desa, Alaric terbaring dengan perban yang masih melilit kepalanya. Kesakitan dan keputusasaan menjadikannya lebih pendiam daripada biasanya. Setiap
Keputusan Alaric untuk menolak Miranda bukanlah hal yang mudah. Setelah malam yang panjang, Alaric akhirnya memutuskan untuk berbicara jujur kepada Miranda dan mengakhiri semua yang telah ia mulai. Ia sadar bahwa hubungan gelap ini bukan hanya mengancam hubungannya dengan Seraphina, tetapi juga harga dirinya sebagai seorang pria yang seharusnya menjaga komitmen dan kehormatan.Keesokan harinya, Alaric menemui Miranda di vila mewahnya. Miranda menyambutnya dengan senyuman manis dan pandangan penuh harap, seolah yakin bahwa Alaric akhirnya akan menerima tawarannya untuk meninggalkan Seraphina dan menjalani kehidupan baru bersamanya.“Alaric, aku tahu kau akan datang. Aku sudah menyiapkan segalanya untuk kita,” kata Miranda sambil mendekat, jemarinya menyentuh lembut tangan Alaric.Namun, Alaric dengan tegas menarik tangannya. “Miranda, kita harus bicara. Aku tidak bisa melanjutkan ini lagi. Seraphina adalah segalanya bagiku, dan aku tidak ingin kehilangan di
Keesokan harinya, kehidupan kembali ke rutinitas mereka yang sederhana. Alaric mempersiapkan dirinya untuk pertunjukan harian di alun-alun kota, sementara Seraphina tinggal di rumah, merapikan sedikit dagangan kerajinan yang ia buat untuk menambah penghasilan mereka. Kehidupan mereka mungkin tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat mereka merasa bahagia.Namun, tanpa mereka sadari, sebuah badai baru perlahan mendekat, membawa ancaman yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Di tengah keramaian kota, Alaric menarik perhatian banyak orang dengan sulapnya yang memukau. Anak-anak dan orang dewasa terkagum-kagum melihat trik-triknya yang selalu berhasil membuat mereka terheran-heran. Di antara para penonton, seorang wanita berambut merah menyala dengan mata tajam memperhatikan Alaric dengan penuh minat. Namanya adalah Miranda, seorang pedagang yang baru tiba di kota itu. Penampilannya menarik perhatian dengan pakaian mahal dan sikapnya yang penuh percaya diri, berbed