Di sebuah gudang tua yang hampir roboh, mereka menemukan Marcus yang diikat dan terluka. Dengan cepat, Alaric menghancurkan rantai yang mengikat Marcus, sementara Seraphina menghalau para prajurit yang mengejar. Marcus, meski lemah, berusaha bangkit. Wajahnya penuh luka, namun sorot matanya masih menyala dengan semangat.
"Terima kasih... kalian datang tepat waktu," ujar Marcus dengan suara serak, mencoba tersenyum meski rasa sakit terus mendera. Namun, kegembiraan mereka tak bertahan lama. Tepat ketika mereka berusaha melarikan diri, sekelompok prajurit tambahan yang dipimpin oleh salah satu tangan kanan Garreth, Lord Caelan, muncul menghadang jalan keluar. Caelan dikenal karena kecerdikannya dan kejam dalam pertempuran. Wajahnya yang penuh luka pertempuran dan tatapan dinginnya membuat siapa pun yang melihatnya merasa ngeri. "Seraphina, Alaric, dan Marcus... Betapa menyedihkan melihat kalian berjuang sia-sia. Ini adalah akhir dari semua perlawanan kalian," ujar Caelan dengan suara dingin sambil mengarahkan pedangnya ke arah mereka. Seraphina merasakan kegelisahan yang semakin dalam. Mereka terjebak, dikelilingi oleh prajurit yang terlatih dengan baik. Marcus terlalu lemah untuk bertarung, dan Alaric sudah mengerahkan hampir seluruh tenaganya untuk menyelamatkan Marcus sebelumnya. Mereka kini berdiri di ambang keputusasaan, dan pertempuran ini tampak seperti misi bunuh diri. "Caelan, ini bukan pertempuran yang perlu kita lanjutkan," Seraphina berusaha bicara, mencari celah untuk negosiasi. "Garreth sudah berkhianat pada kerajaan, dan serangan ini tidak lebih dari kebohongan yang dibuatnya. Apa yang kau perjuangkan hanyalah dusta." Caelan tersenyum sinis. "Mungkin begitu, tapi aku lebih memilih berada di sisi yang menang. Dan kalian, sayangnya, adalah pihak yang kalah." Tanpa peringatan, Caelan mengayunkan pedangnya ke arah Seraphina. Seraphina berusaha menangkis serangan itu dengan belati yang ia bawa, namun tenaganya tidak sebanding dengan kekuatan Caelan. Ia terhuyung mundur, terdesak dan nyaris terjatuh. Alaric dengan cepat melompat ke depan, mengayunkan tongkat sihirnya untuk menciptakan penghalang sementara. Percikan sihir yang meletup-letup berusaha menahan serangan prajurit Caelan, namun Alaric mulai merasakan kelelahan yang luar biasa. Setiap mantra yang ia gunakan semakin menguras energinya. Di tengah pertempuran itu, Marcus yang lemah mencoba bangkit. Ia tahu bahwa ia tidak bisa berbuat banyak dalam kondisinya, tetapi ia tidak akan membiarkan teman-temannya bertarung sendirian. Dengan sekuat tenaga, Marcus berusaha mengalihkan perhatian prajurit dengan melemparkan batu dan benda-benda di sekitarnya. Tindakannya memberi Seraphina dan Alaric sedikit ruang untuk bernapas, tetapi itu tidak cukup untuk mengubah situasi. "Ini tidak akan berhasil!" teriak Marcus putus asa, melihat prajurit semakin mendekat. "Kita harus mundur sekarang, atau kita semua akan mati di sini." Alaric menggertakkan giginya, lalu menatap Seraphina dengan penuh tekad. "Kita harus mencari celah keluar. Aku bisa menahan mereka beberapa saat, tapi kau dan Marcus harus pergi." Seraphina menolak keras. "Tidak! Kita pergi bersama. Aku tidak akan meninggalkanmu di sini sendirian!" Namun, sebelum Seraphina bisa melanjutkan, Alaric mengerahkan kekuatan terakhirnya. Dia menciptakan ledakan besar dengan sihirnya, menyebabkan lantai gudang bergetar hebat. Asap tebal membubung, menutupi pandangan prajurit dan memberikan mereka kesempatan untuk melarikan diri. Alaric memegangi dadanya, merasakan sakit yang luar biasa akibat penggunaan sihir berlebihan. Namun, ia tetap memaksa dirinya untuk bergerak, membantu Seraphina dan Marcus keluar dari gudang yang kini mulai runtuh. Mereka berlari sekuat tenaga ke arah hutan terdekat, dikejar oleh beberapa prajurit yang berhasil bertahan dari ledakan. Dalam kepanikan, Seraphina dan Alaric menyadari bahwa mereka kini tidak hanya berjuang melawan para prajurit, tetapi juga melawan waktu. Marcus semakin lemah, dan langkah mereka tertatih-tatih di medan yang sulit. Setiap suara dari balik pepohonan membuat mereka terkejut, takut akan adanya serangan mendadak. Di tengah pelarian, mereka akhirnya menemukan gua kecil yang tersembunyi di balik semak belukar. Mereka bergegas masuk, mencoba bersembunyi dari pandangan musuh. Di dalam gua yang gelap dan sempit itu, napas mereka terengah-engah, tubuh mereka penuh luka dan debu. Seraphina duduk bersandar pada dinding batu, merasa kelelahan yang amat sangat. Marcus terbaring lemah, batuk keras dengan darah yang mulai mengalir dari sudut bibirnya. Seraphina menahan air mata, mencoba merawat luka-luka Marcus meski hanya dengan peralatan seadanya. "Kita tidak bisa terus seperti ini. Jika kita tidak mendapatkan bantuan segera, Marcus... kau..." Alaric, meski dalam kondisi yang tidak jauh lebih baik, tetap berusaha memberi semangat. "Kita akan bertahan. Selama kita masih bernapas, kita punya kesempatan." Namun, di dalam gua itu, kegelapan bukan hanya datang dari malam yang melingkupinya. Di benak mereka, kekhawatiran tentang nasib desa dan orang-orang yang mereka cintai semakin menghantui. Serangan yang dilancarkan tanpa perintah itu telah memperkeruh situasi. Banyak warga yang mungkin terluka, atau lebih buruk lagi, tewas dalam kekacauan yang terjadi. Alaric menatap keluar gua, melihat bayangan pasukan kerajaan yang masih mencari mereka. Ia merasa beban tanggung jawab yang semakin besar. Sebagai satu-satunya pesulap yang bisa melindungi desa, kegagalannya bukan hanya soal kalah atau menang, tetapi soal kehilangan semua yang ia perjuangkan. "Aku tidak bisa membiarkan ini berakhir seperti ini," gumam Alaric, lebih kepada dirinya sendiri. "Kita harus mengungkap kebenaran di istana, entah bagaimana caranya." Seraphina menatap Alaric, merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia bukan lagi hanya seorang pesulap yang berusaha bertahan hidup, tetapi seorang pemimpin yang sedang tumbuh dari keputusasaan. "Kita akan mengakhiri ini, Alaric. Bersama." Namun, tepat ketika mereka berusaha menyusun rencana, mereka mendengar suara langkah kaki mendekat. Seraphina dan Alaric segera bersiap, mengira musuh telah menemukan mereka. Namun, dari balik kegelapan, muncul sosok tak terduga: Lady Elys, salah satu penasihat yang dulunya setia pada Seraphina. "Lady Elys? Bagaimana kau bisa di sini?" tanya Seraphina dengan nada terkejut. Lady Elys, dengan wajah penuh kelelahan dan luka, segera menjelaskan. "Aku kabur dari kamp kerajaan. Setelah ledakan itu, situasi menjadi semakin kacau. Banyak prajurit yang mulai meragukan komando Varyn dan Garreth. Ada pemberontakan di dalam pasukan kita sendiri." Seraphina terkejut mendengar kabar ini. "Pemberontakan di pasukan kerajaan? Apa yang sebenarnya terjadi?" Lady Elys mengangguk. "Varyn mulai menunjukkan warna aslinya. Beberapa prajurit mengetahui kebohongannya, dan sebagian dari mereka menolak bertarung lebih jauh. Ada kesempatan kecil untuk kita—mungkin, jika kita bisa menjangkau beberapa petinggi pasukan, kita bisa memutarbalikkan situasi." Harapan tipis mulai menyala kembali di hati Seraphina. Ia menatap Alaric dan Marcus yang masih berjuang untuk bertahan. Ini adalah kesempatan mereka, satu-satunya jalan untuk menghentikan kehancuran ini. Namun, untuk melakukannya, mereka harus berani melawan bukan hanya musuh dari luar, tetapi juga dari dalam—dari setiap keraguan, ketakutan, dan pengkhianatan yang terus mengintai. Pertempuran ini belum berakhir, dan konflik yang mereka hadapi kini menjadi semakin rumit dan berbahaya. Mereka tidak hanya berjuang untuk keselamatan desa, tetapi untuk masa depan seluruh kerajaan yang berada di ambang kehancuran. Dinginnya malam menyelimuti gua tempat mereka bersembunyi. Asap tipis dari api unggun yang hampir padam berputar-putar di udara, menghangatkan mereka hanya dengan secercah cahaya. Di sudut gua, Alaric terbaring dengan napas tersengal. Wajahnya pucat, dan luka di bahunya semakin parah, mengeluarkan darah yang tak kunjung berhenti. Seraphina dan Lady Elys berusaha semampu mereka untuk menghentikan pendarahan, namun kondisi Alaric semakin memburuk. Di luar gua, suara prajurit yang masih mencari mereka terus terdengar, memberikan tekanan yang tak henti-hentinya. Marcus duduk di dekat pintu masuk gua, berjaga meskipun tubuhnya masih lemah. Wajahnya penuh kekhawatiran melihat kondisi Alaric yang semakin memburuk. Seraphina berusaha merawat Alaric, membersihkan luka dengan air seadanya, namun ia tahu bahwa usaha mereka hampir sia-sia. Luka itu terlalu dalam, terlalu parah untuk diatasi dengan peralatan yang terbatas. "Aku... baik-baik saja..." bisik Alaric, meskipun jelas ia sedang berbohong. Setiap kata yang keluar dari mulutnya diiringi oleh rintihan pelan yang tertahan. Seraphina memegangi tangan Alaric dengan erat, berusaha menahan air matanya. "Kau tidak baik-baik saja, Alaric. Kau butuh bantuan. Kita harus menemukan tabib atau pesulap lain yang bisa menyembuhkanmu." Alaric tersenyum lemah, seakan mencoba menyembunyikan rasa sakit yang dirasakannya. "Tidak ada waktu... Kita harus lanjutkan rencana ini... Kerajaan... Garreth... mereka tidak akan berhenti hanya karena aku terluka." Lady Elys, yang juga tampak kelelahan, berdiri di sebelah Seraphina. "Alaric benar. Pasukan Garreth dan Varyn semakin tak terkendali. Jika kita tidak segera bertindak, desa ini akan jatuh, dan tidak ada lagi harapan untuk melawan mereka." Seraphina memandang Lady Elys, lalu kembali menatap Alaric yang semakin pucat. Hatiku hancur melihat pria yang selama ini menjadi sumber kekuatannya terbaring tak berdaya. Namun, ia tahu bahwa Alaric tidak akan pernah menyerah, bahkan ketika hidupnya sendiri berada di ujung tanduk. “Aku tidak akan pergi tanpa kau, Alaric. Kita berjuang bersama, dan kita akan bertahan bersama,” ucap Seraphina tegas, meskipun ketakutan mulai menggerogotinya. Ia memeluk Alaric erat-erat, mencoba memberikan kehangatan yang hanya bisa didapatkan dari kedekatan mereka. Alaric, dengan sisa tenaganya, mengangkat tangan dan mengusap wajah Seraphina. "Kau lebih kuat daripada yang kau kira, Seraphina. Kau harus tetap maju, untuk desa ini... untuk rakyat kita. Aku... hanya perlu istirahat sebentar." Marcus mendekat, melihat kondisi Alaric yang semakin parah. "Aku akan mencari bantuan. Mungkin masih ada penduduk yang bersembunyi di desa yang bisa membantu. Kita tidak bisa membiarkan Alaric seperti ini." Namun, sebelum Marcus bisa bergerak, suara derap kaki kuda mendekat dengan cepat. Mereka terdiam, menyadari bahwa prajurit Garreth telah menemukan jejak mereka. Seraphina dengan cepat memadamkan api unggun dan menarik semua orang ke dalam bayang-bayang gua. Alaric menahan napasnya, mencoba menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. "Prajurit itu lebih dekat dari yang kita kira," bisik Lady Elys, melihat ke arah pintu masuk gua. "Kita harus bergerak sekarang, atau mereka akan menemukan kita." Mereka tahu bahwa jika tertangkap, tidak hanya Alaric yang akan menderita. Marcus, yang masih terluka, mencoba berdiri dengan susah payah, meski setiap langkahnya diiringi rasa sakit yang tajam. Seraphina berusaha memapah Alaric, tetapi beban tubuhnya terlalu berat karena kondisi yang semakin melemah. “Kau tidak bisa membawa dia sendirian,” ucap Lady Elys, dengan cepat membantu memapah Alaric. "Kita harus pergi sekarang." Namun, saat mereka hendak melangkah keluar, sekelompok prajurit kerajaan yang dipimpin oleh Caelan muncul di pintu masuk gua. Tatapan mereka dingin dan penuh kebencian. Tanpa membuang waktu, prajurit-prajurit itu langsung menyerang. Seraphina dan Lady Elys mencoba menahan mereka, sementara Marcus, meski dengan tenaga yang nyaris habis, mengangkat sebilah pedang yang ia temukan di dekat gua. Pertempuran sengit pun pecah di ruang sempit itu. Denting senjata beradu dengan keras, dan suara teriakan memenuhi udara yang dingin. Seraphina dengan cepat mengayunkan belatinya, menangkis serangan demi serangan yang diarahkan padanya. Namun, ia tak bisa terus fokus. Setiap detik ia terpaksa menoleh ke belakang, memastikan Alaric tetap aman. Lady Elys pun berusaha menahan serangan prajurit dengan keahlian bertarungnya, tetapi jumlah mereka kalah banyak. Marcus berjuang mati-matian, menahan prajurit dengan sisa kekuatannya. Namun, dalam satu momen naas, Caelan berhasil menyelinap dan melayangkan serangan yang tak terhindarkan ke arah Marcus. Pedang tajam itu menghantam bahu Marcus, membuatnya terjatuh dengan keras ke lantai gua. Darah segera mengalir dari luka baru yang terbuka, menambah parah kondisinya. "Marcus!" teriak Seraphina, terbelalak melihat temannya terjatuh. Namun, serangannya terhenti ketika salah satu prajurit berhasil menangkapnya, menahan kedua lengannya dengan kasar. Di tengah kepanikan, Alaric, yang terluka parah, berusaha bangkit meski tubuhnya terasa berat. Dengan kekuatan terakhirnya, ia mengangkat tongkat sihirnya dan mengeluarkan ledakan cahaya yang begitu terang, menyilaukan seluruh ruangan. Cahaya itu seketika membutakan prajurit yang menyerang, memberikan celah bagi Seraphina dan Lady Elys untuk melawan balik. Namun, Alaric membayar harga yang mahal untuk sihir tersebut. Sihir itu menguras sisa energinya yang sudah hampir habis, membuatnya terjatuh dengan keras ke lantai. Seraphina berhasil melepaskan diri dan segera berlari menghampirinya, memeluk tubuh Alaric yang sudah tak berdaya. "Alaric, bertahanlah! Kau tidak boleh menyerah sekarang!" Seraphina menangis, merasakan napas Alaric yang semakin lemah. Caelan, yang tersadar dari kebutaan sesaat, kembali berdiri dan menatap pemandangan itu dengan tatapan penuh kemenangan. "Kau memang kuat, Alaric. Tapi kekuatanmu sia-sia di hadapan kekuasaan. Ini adalah akhir dari perlawanan kalian." Lady Elys dan Marcus, yang juga terluka parah, berdiri di sisi Seraphina, bersiap melawan dengan sisa kekuatan mereka. Mereka tahu, ini adalah pertempuran yang tidak bisa mereka menangkan dengan kekuatan fisik semata. Namun, semangat mereka tetap menyala, menolak menyerah meski di ambang kehancuran. “Jika ini akhirnya, maka kita akan mengakhirinya dengan terhormat!” seru Marcus dengan suara penuh tekad. Pertarungan mereka belum selesai. Di tengah luka, ketakutan, dan keputusasaan, mereka masih berdiri bersama. Mereka adalah simbol harapan terakhir bagi desa yang telah mereka pertahankan dengan segenap jiwa dan raga. Tapi dengan Alaric yang terluka parah, peluang mereka semakin tipis. Hanya waktu yang akan menentukan apakah perjuangan mereka akan berakhir di gua yang dingin dan gelap ini, atau apakah mereka akan menemukan cara untuk berbalik melawan kekuatan Garreth dan menyelamatkan kerajaan yang hampir hancur. Bab ini berakhir dengan ketegangan yang memuncak, dengan nasib Alaric yang menggantung di antara hidup dan mati, sementara Seraphina harus menghadapi kenyataan bahwa mereka berada di titik terendah perjuangan mereka.Pagi mulai menyingsing di atas pegunungan, tetapi bagi Seraphina dan kelompok kecilnya, cahaya pagi itu terasa lebih seperti ancaman daripada harapan. Mereka telah bergerak sepanjang malam, bersembunyi dari patroli prajurit yang terus memburu mereka. Kondisi Alaric semakin kritis; napasnya tersengal, dan kulitnya semakin pucat. Luka di bahunya telah terinfeksi, mengeluarkan bau busuk yang mengkhawatirkan. Setiap langkah mereka seperti perlombaan melawan waktu, dan kekuatan Alaric semakin menipis. Di tengah perjalanan mereka, kelompok itu tiba di tepi hutan gelap, yang dikenal sebagai Hutan Gelap Larang. Konon, tempat ini dipenuhi makhluk gaib dan sihir kuno yang tak terduga. Lady Elys ragu-ragu untuk memasuki hutan tersebut, tetapi Seraphina memaksa. Ini satu-satunya cara untuk menghindari pengejaran pasukan kerajaan. “Kita tidak punya pilihan lain,” kata Seraphina dengan tegas, matanya menatap lurus ke dalam hutan yang dipenuhi pepohonan tinggi yang tampak seperti penjaga misterius
Di hutan yang semakin pekat, Seraphina dan Alaric beristirahat sejenak di bawah pepohonan rimbun. Seraphina menatap luka-luka Alaric yang semakin parah. Darah mengalir membasahi pakaian Alaric, membuat Seraphina bergegas merobek sebagian pakaiannya untuk membalut luka tersebut. Tangannya gemetar, berusaha menahan rasa takut yang menggerogoti hatinya. Namun, tatapan Alaric yang meski lemah namun penuh ketenangan, seakan memberi Seraphina sedikit harapan.“Kau harus istirahat, Alaric. Kalau tidak, kau bisa mati karena luka ini,” ucap Seraphina dengan suara serak. Namun Alaric, dengan senyum kecil yang dipaksakan, hanya menggeleng.“Kita tidak punya waktu, Seraphina,” jawab Alaric sambil mengerang pelan. “Kita harus terus bergerak, atau mereka akan menemukan kita.”Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah alam pun tidak ingin memberi mereka kenyamanan. Di kejauhan, mereka bisa mendengar suara langkah kaki para prajurit yang terus mencari mereka. Seraphina tahu mereka haru
Angin malam berhembus dingin, menusuk sampai ke tulang. Alaric berjalan cepat di antara pepohonan, langkahnya tergesa meski rasa sakit di luka-lukanya masih terasa perih. Setiap langkah seolah mengguncang tubuhnya yang sudah lemah, namun pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Seraphina. Mereka telah berpisah beberapa hari yang lalu, namun kecemasan yang menggerogoti hatinya seolah tak pernah pergi.Setiap suara ranting yang patah atau bayangan samar di antara pohon membuatnya siaga, waspada akan kemungkinan prajurit Eirik yang mungkin masih mengejar. Alaric tahu mereka tidak akan berhenti begitu saja. Eirik bukan hanya sekadar prajurit kerajaan; dia adalah tangan kanan Raja Alden, seorang yang tak akan pernah berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan. Di sebuah tepi jurang kecil, Alaric berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan kecemasan yang terus menghantuinya. Dia memandang jauh ke arah langit, yang gelap tanpa bintang, seperti cerminan dari pikirannya
Hari sudah menjelang senja ketika pasukan pemberontak yang dipimpin Marcus berhasil memukul mundur pasukan kerajaan. Seraphina memandang sekeliling dengan napas terengah-engah, darah dan keringat bercampur di wajahnya. Teriakan kemenangan dan ratapan kesedihan bercampur jadi satu di antara hiruk-pikuk pertempuran yang baru saja berakhir. Namun, di tengah keramaian itu, hanya ada satu hal yang memenuhi pikirannya: Alaric.Seraphina berlari ke segala penjuru, mencari sosok yang paling ingin dilihatnya. Matanya berusaha menembus kerumunan para prajurit yang terluka, para pemberontak yang merayakan kemenangan kecil mereka, dan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. Namun, Alaric tidak ada di sana. Seraphina merasakan jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai merayapi pikirannya. “Apa ada yang melihat Alaric?” teriaknya pada siapa pun yang mau mendengarkan. Tapi tak ada jawaban yang memuaskan. Marcus, yang tengah mengatur barisan prajurit untuk mundur d
Alaric dan Seraphina duduk di sudut kabin kapal yang sempit, mencoba menghangatkan diri setelah pelarian yang nyaris berakhir tragis. Suara ombak yang menghantam lambung kapal terdengar berirama, namun jauh dari menenangkan. Marcus masuk ke dalam kabin, membawa sepotong roti dan air untuk Seraphina. Wajahnya tegang, matanya tidak bisa lepas dari peta yang terhampar di meja. “Kita harus bergerak cepat,” ujar Marcus sambil menunjuk titik di peta. “Pasukan kerajaan pasti sudah menyadari pelarian kita. Mereka akan mengejar.” Seraphina mengangguk, meski pikirannya masih kalut. Pengkhianatan ayahnya, pengasingan yang ia alami, dan kini, pelarian yang baru saja berakhir dengan keajaiban, semua itu masih membebani hatinya. Namun yang paling mengganggunya adalah sebuah firasat buruk yang belum bisa ia jelaskan. “Apa rencana kita selanjutnya?” tanya Seraphina, memecah keheningan. “Kita tidak bisa terus bersembunyi. Ayahku pasti akan mengirim pasuka
Di dalam penjara bawah tanah istana, Seraphina meringkuk dalam kegelapan. Suara tetesan air yang monoton menjadi satu-satunya irama yang menemaninya. Tubuhnya lemah, dan hatinya dipenuhi oleh kepahitan setelah melihat ayahnya berpaling darinya. Namun, meskipun dia berada di dasar keputusasaan, pikiran Seraphina tetap berputar; ia tak bisa menyerah sekarang. Ada terlalu banyak yang dipertaruhkan. Sementara itu, di luar istana, Alaric dan Marcus berusaha mati-matian mencari cara untuk menyelamatkan Seraphina. Mereka tahu bahwa waktu mereka terbatas, dan setiap detik yang berlalu semakin mendekatkan Seraphina pada nasib yang mengerikan di tangan Duke Alistair. Namun, kali ini situasinya berbeda. Kerajaan telah memperkuat keamanan istana dengan prajurit-prajurit terlatih, dan mata-mata berkeliaran di setiap sudut kota. “Alaric, kita tidak bisa menyerbu begitu saja,” kata Marcus sambil memandangi istana dari kejauhan. “Duke Alistair sudah siap.
Malam itu, di desa yang masih terjaga oleh ketakutan dan harapan yang tipis, Luthar memandang Alaric dan Seraphina dengan wajah yang lebih serius dari sebelumnya. Langit mulai menggelap, dan hanya cahaya api unggun yang menerangi pertemuan kecil mereka. Luthar, yang biasanya penuh dengan sikap arogan dan dingin, kini terlihat berbeda—terbebani oleh keputusan besar yang harus ia buat. “Dengar,” kata Luthar, memecah kesunyian. “Keadaan semakin tidak terkendali. Raja Alden sudah terlalu jauh dengan kebijakannya, dan ibu tidak bisa berbuat apa-apa untuk menahannya. Ini bukan hanya soal prajurit yang datang menyerang desa ini, tapi seluruh Ardencia sedang di ambang kehancuran.” Alaric dan Seraphina menatap Luthar dengan penuh perhatian. Mereka tahu bahwa Luthar tidak mungkin mengatakan hal seperti ini tanpa alasan yang kuat. Luthar menarik napas dalam-dalam, seakan menimbang setiap kata yang akan ia ucapkan. “Kalian berdua harus pergi,” lanjut
Sementara Alaric dan Seraphina melanjutkan perjalanan mereka di Eldoria, keadaan di Ardencia berubah dengan cepat dan semakin tidak terkendali. Ketidakhadiran Alaric dan Seraphina tidak serta-merta membuat situasi menjadi lebih tenang; justru sebaliknya, kerajaan itu berada dalam keadaan yang lebih kacau daripada sebelumnya. Dengan Luthar yang berjuang sendirian dari dalam istana, berbagai konflik internal dan eksternal mulai mengancam kestabilan kerajaan. Sejak kepergian Seraphina, Raja Alden semakin tak terkendali dalam usahanya mempertahankan kekuasaan. Dengan kabar hilangnya putri kerajaan dan pesulap desa yang menjadi pahlawan rakyat, Raja Alden merasa terancam. Baginya, Alaric dan Seraphina bukan hanya ancaman terhadap kekuasaannya, tetapi juga simbol pemberontakan yang bisa menginspirasi rakyat untuk melawan. Ia memerintahkan pasukan untuk mencari mereka hingga ke pelosok Ardencia, mengerahkan kekuatan militer yang lebih besar dari sebelumnya.
Alaric, Seraphina, Miranda, dan Jameson, bersama sisa-sisa kelompok perlawanan, terus bergerak melintasi Ardencia yang kini berubah menjadi ladang perburuan. Pasukan Raja Alden menyebar di seluruh penjuru kota, menutup setiap jalan keluar, dan menyisir setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian mereka. Dari balik jendela-jendela yang pecah, warga kota yang ketakutan menyaksikan kejar-kejaran yang tak berkesudahan ini, melihat dengan mata mereka sendiri betapa kerasnya rezim Alden dalam menghadapi setiap ancaman terhadap kekuasaannya. Dengan Seraphina yang baru saja diselamatkan dan Albrecht yang gugur di pertempuran sebelumnya, kelompok ini terpaksa bersembunyi di pinggiran kota yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk pasukan kerajaan. Mereka bersembunyi di sebuah gubuk tua yang tersembunyi di dalam hutan lebat, sebuah tempat yang hanya diketahui oleh sedikit orang. Gubuk ini dulunya milik seorang pemburu yang sekarang sudah lama pergi, menjadi sa
Saat matahari mulai merangkak naik di langit Ardencia, suasana kota dipenuhi ketegangan yang terasa seperti petir di udara. Serangan besar di gerbang istana semalam membuahkan hasil yang mengejutkan; pasukan perlawanan berhasil mendesak penjaga istana mundur, meskipun belum mampu menembus ke dalam. Rakyat mulai percaya bahwa kemenangan bukanlah mimpi yang tak terjangkau. Namun, di balik sorak sorai kemenangan kecil itu, bayang-bayang pengkhianatan mulai merayap di dalam kelompok perlawanan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht berkumpul kembali di rumah persembunyian mereka yang tersembunyi di pinggiran kota. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan sekaligus tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu bahwa perlawanan ini belum selesai—masih banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Namun, saat mereka sedang mempersiapkan strategi berikutnya, seorang pria yang tidak asing tiba-tiba memasuki ruangan dengan ekspresi yang mencurigakan.
Kabar tentang ledakan besar di gudang persenjataan istana Ardencia tersebar luas bagaikan api yang tak terkendali. Malam itu, kota yang dulunya sunyi dan tercekam berubah menjadi medan pertempuran batin bagi setiap penduduknya. Para prajurit kerajaan bergerak lebih waspada, meningkatkan pengawasan, sementara rakyat Ardencia mulai merasakan harapan yang lama hilang. Mereka tahu, ada seseorang yang berani melawan tirani Raja Alden, dan itu cukup untuk menyalakan kembali api perlawanan di hati mereka. Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, sebuah kelompok kecil berkumpul dalam kerahasiaan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht duduk melingkar di sekitar meja kayu yang usang, dipenuhi peta Ardencia dan catatan-catatan tentang pergerakan pasukan kerajaan. Malam ini adalah malam yang penting; mereka sedang merencanakan kebangkitan perlawanan yang lebih besar dari sekadar serangan mendadak. Alaric, sang pesulap yang pernah menjadi tulang punggung
Seraphina merapatkan selimut tipis di tubuhnya yang menggigil. Meskipun malam semakin larut, ia tidak bisa memejamkan mata. Kata-kata Duke Alistair masih terngiang di benaknya, menjadi api kecil yang membakar kegelisahan di hatinya. Ia tahu bahwa Alaric berada dalam bahaya, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi umpan dalam permainan kotor Raja Alden dan para pejabatnya. Seraphina bukanlah wanita yang bisa dipermainkan begitu saja; ia adalah seorang pejuang yang sudah terbiasa menghadapi kematian dan pengkhianatan. Di sudut sel, Seraphina memandangi batu yang retak dan dinding yang penuh lumut. Ia menelusuri celah-celah kecil yang mungkin bisa menjadi jalan keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan rencana Raja Alden adalah dengan keluar dari tempat ini. Namun, melarikan diri dari penjara paling ketat di Aldencia bukanlah hal yang mudah, terlebih dengan penjagaan ketat dan penjaga yang tak kenal ampun. Seraphina tahu bahwa ia tidak bisa melakukan ini se
Di dalam penjara Aldencia yang gelap dan suram, Seraphina duduk sendirian di sudut selnya, mencoba bertahan dari dinginnya malam dan kesendirian yang membayangi setiap detik yang berlalu. Dinding batu yang dingin dan lembap seakan-akan menutup setiap harapan yang pernah ia miliki, membuatnya merasa terjebak di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menjadi satu-satunya hiburan yang menemani hari-harinya yang sepi. Seraphina telah berada di dalam sel sempit ini selama berbulan-bulan, dipisahkan dari dunia luar, dari Alaric, dan dari semua yang ia cintai. Sejak penangkapannya, Seraphina tidak pernah diberi penjelasan apa pun oleh para penjaga. Ia hanya diberitahu bahwa ia adalah tahanan politik yang dianggap sebagai ancaman bagi kerajaan. Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa dirinya hanyalah pion dalam permainan kekuasaan Raja Aldencia, alat untuk menjebak Alaric. Meski kondisi fisiknya tampak melemah, sem
Latihan keras dan pertempuran tak henti-hentinya membuat Alaric, Jameson, dan Miranda semakin dekat. Setiap hari mereka berlatih bersama, berbagi canda tawa di tengah rasa lelah, dan menjadi sandaran satu sama lain saat kesulitan menghampiri. Namun, di balik keakraban mereka, ada momen-momen pribadi yang tak terucap, terutama antara Alaric dan Miranda. Malam itu, Alaric duduk di tepi sungai dengan pandangan menerawang. Luka di wajahnya masih terasa perih, namun yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatinya. Ia merenung, menatap bayangan dirinya yang terpantul di air sungai. Dengan satu mata yang tersisa, Alaric melihat sosoknya yang berubah; tidak lagi pesulap muda yang penuh percaya diri, melainkan seorang pria yang dihantui oleh kehilangan. Miranda datang mendekat, membawa kain bersih dan semangkuk air hangat. Ia duduk di sebelah Alaric tanpa banyak bicara, lalu mulai mengganti perban di wajah Alaric dengan tangan yang lembut. Mata birunya menat
Setelah pertempuran yang memisahkan Seraphina darinya, Alaric terjebak dalam kegelapan yang lebih pekat daripada sekadar kehilangan penglihatannya. Satu matanya yang tersisa kini menjadi satu-satunya jendela bagi dunianya yang terasa kian menyempit. Setiap kali ia menutup mata, yang ia lihat hanyalah bayangan Seraphina yang dibawa paksa oleh prajurit Ardencia. Rasanya, luka di matanya tak seberapa dibandingkan dengan luka yang mengoyak hatinya. Keheningan malam terasa seperti menghimpit, dan rasa bersalah terus menghantuinya, membisikkan bahwa ia gagal melindungi satu-satunya orang yang berarti dalam hidupnya. Beberapa hari berlalu, dan Alaric berusaha keras untuk memulihkan diri. Namun, meski luka di tubuhnya mulai berangsur membaik, luka di hatinya tetap menganga lebar. Di rumah sederhana tempatnya dirawat oleh penduduk desa, Alaric terbaring dengan perban yang masih melilit kepalanya. Kesakitan dan keputusasaan menjadikannya lebih pendiam daripada biasanya. Setiap
Keputusan Alaric untuk menolak Miranda bukanlah hal yang mudah. Setelah malam yang panjang, Alaric akhirnya memutuskan untuk berbicara jujur kepada Miranda dan mengakhiri semua yang telah ia mulai. Ia sadar bahwa hubungan gelap ini bukan hanya mengancam hubungannya dengan Seraphina, tetapi juga harga dirinya sebagai seorang pria yang seharusnya menjaga komitmen dan kehormatan.Keesokan harinya, Alaric menemui Miranda di vila mewahnya. Miranda menyambutnya dengan senyuman manis dan pandangan penuh harap, seolah yakin bahwa Alaric akhirnya akan menerima tawarannya untuk meninggalkan Seraphina dan menjalani kehidupan baru bersamanya.“Alaric, aku tahu kau akan datang. Aku sudah menyiapkan segalanya untuk kita,” kata Miranda sambil mendekat, jemarinya menyentuh lembut tangan Alaric.Namun, Alaric dengan tegas menarik tangannya. “Miranda, kita harus bicara. Aku tidak bisa melanjutkan ini lagi. Seraphina adalah segalanya bagiku, dan aku tidak ingin kehilangan di
Keesokan harinya, kehidupan kembali ke rutinitas mereka yang sederhana. Alaric mempersiapkan dirinya untuk pertunjukan harian di alun-alun kota, sementara Seraphina tinggal di rumah, merapikan sedikit dagangan kerajinan yang ia buat untuk menambah penghasilan mereka. Kehidupan mereka mungkin tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat mereka merasa bahagia.Namun, tanpa mereka sadari, sebuah badai baru perlahan mendekat, membawa ancaman yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Di tengah keramaian kota, Alaric menarik perhatian banyak orang dengan sulapnya yang memukau. Anak-anak dan orang dewasa terkagum-kagum melihat trik-triknya yang selalu berhasil membuat mereka terheran-heran. Di antara para penonton, seorang wanita berambut merah menyala dengan mata tajam memperhatikan Alaric dengan penuh minat. Namanya adalah Miranda, seorang pedagang yang baru tiba di kota itu. Penampilannya menarik perhatian dengan pakaian mahal dan sikapnya yang penuh percaya diri, berbed